“Orang Kristen sama orang dunia hidupnya nggak ada bedanya!”
“Buat apa saya jadi orang Kristen? Hidup mereka nggak lebih baik dari saya.”
“Lihat deh hidup mereka, masih berani pula mengaku kenal Tuhan!”
Kalimat-kalimat menusuk yang sangat klasik, bukan? Klasik, sudah begitu sering kita dengar, sebuah stereotype yang terus ditempelkan pada Gereja Tuhan sepanjang sejarah. Tidakkah hati kita gelisah mendengarnya? Apakah kalimat-kalimat itu benar? Lebih jauh lagi, apakah kita yang membuat stereotype itu kembali ‘panjang umur’ di zaman ini? Mari belajar dari sejarah.
Pelagius (354-420 M), salah seorang Bapa Gereja yang selalu dituding sebagai penyesat, adalah seorang yang bertubuh besar dan kuat, tetapi dikenal sangat lembut. Ia mempunyai reputasi yang sangat baik mengenai hidupnya yang kudus dan saleh. Pelagius tidak secara resmi ditahbiskan sebagai biarawan, namun ia banyak menjadi penasihat rohani bagi masyarakat Roma saat itu. Lalu apa kaitan permasalahan di atas dengan Pelagius?
Permasalahan kehidupan orang Kristen yang bobrok adalah duka dan pergumulan Pelagius yang paling besar. Pada akhir abad ke-4, Pelagius berpindah dari Britania ke Roma, di mana kekristenan diakui dan diresmikan sebagai agama negara. Oh, betapa indahnya negeri yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat! Tetapi kenyataan yang ia lihat di depan matanya ternyata sangat berbeda dengan apa yang ia bayangkan mengenai sebuah negara yang menyebut dirinya Kristen. Manusia hidup seenaknya sambil menyebut diri anak-anak Allah. Pelagius kemudian dibuat lebih terkejut melihat orang-orang bahkan membenarkan diri dan ‘membaptis’ dosa-dosanya dengan memanfaatkan pengertian-pengertian theologis!
Doktrin mengenai dosa asal (original sin) yang diturunkan dari Adam, misalnya, dimanfaatkan untuk mengatakan bahwa dosa asal adalah sesuatu yang tak bisa mereka hindari dan tak bisa mereka atasi. Natur keberdosaan akan terus melekat pada diri mereka, jadi tentu saja mereka masih terus melakukan dosa! Doktrin anugerah pun dimanfaatkan untuk berkata bahwa jikalau memang Tuhan sendirilah yang akan memilih manusia dan menentukan siapa yang akan diberi anugerah keselamatan dan siapa yang tidak, mengapa mereka harus berusaha hidup benar? Kalau anugerah diberikan, toh nanti pasti bisa hidup benar. Kalau anugerah tidak diberikan, manusia bisa apa? Demikianlah orang-orang di sekitar Pelagius mengajukan pembelaan diri yang begitu ‘rohani’ atas dosa-dosanya. Pelagius murka.
Dengan latar belakang pergumulan yang demikian, Pelagius kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan yang salah mengenai doktrin-doktrin tersebut. Ia pun menjadi sangat antipati terhadap tulisan-tulisan Agustinus di dalam The Confessions yang sangat menekankan mengenai dosa asal, ketidakberdayaan manusia, kedaulatan mutlak Allah atas manusia, dan anugerah Tuhan. Pelagius tidak bisa menerima konsep bahwa manusia seolah-olah menjadi boneka di tangan Allah, yang seutuh-utuhnya bergantung pada anugerah Tuhan tanpa mempunyai kekuatan untuk menentukan pilihan-pilihannya sendiri. Pelagius menilai doktrin ini akan membuahkan akibat yang sangat fatal, yang jelas sudah terjadi pada orang-orang di Roma saat itu: kekristenan palsu.
Pelagius mengatakan, “Orang-orang Kristen, di atas segalanya, harus berjuang sekuat tenaga untuk hidup benar.” Maka, melawan Agustinus, ia kemudian menekankan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (freewill) dan dapat menentukan sendiri untuk memakai kebebasan tersebut dengan benar. Ia menolak paham mengenai original sin sebagai suatu kuasa yang dapat membuat orang terus berdosa bahkan setelah orang itu dibaptiskan. Ia juga menolak pemikiran bahwa dosa Adam telah membuat seluruh umat manusia secara otomatis ikut menjadi orang berdosa. Pelagius melihat dosa Adam sebagai sesuatu yang sangat buruk karena dengan demikian Adam menjadi contoh yang sangat buruk bagi generasi selanjutnya untuk melawan Allah, tidak lebih dari itu.
Menurut Pelagius, ada kemungkinan bagi manusia untuk hidup tanpa dosa, asalkan manusia sungguh-sungguh berjuang untuk itu. Baginya, adalah sebuah ketidakadilan jika Allah memerintahkan sesuatu yang melebihi kemampuan manusia dan kemudian menghukum manusia karena gagal menjalankannya. Bagaimana mungkin Kristus memerintahkan manusia untuk menjadi sempurna seperti Bapa, jikalau Ia tahu manusia tidak mungkin melakukannya? Maka kekristenan, bagi Pelagius, adalah perjuangan manusia untuk hidup sempurna. Manusia dibaptiskan supaya dosa-dosa masa lalunya dibersihkan melalui salib Kristus, selanjutnya merupakan pilihan bebas manusia sendiri untuk menjauh dari dosa. Pengorbanan Kristus di kayu salib merupakan contoh dari ketaatan mutlak kepada Allah, tetapi adalah bagian kita sendiri untuk menentukan apakah kita mau meneladani-Nya atau tidak. Pelagius tidak menerima pemikiran bahwa anugerah Allah dapat secara langsung memengaruhi hati manusia dan mengubahnya ke arah yang benar. Menurutnya hal itu akan merupakan penyangkalan terhadap kuasa manusia untuk dapat dengan bebas memilih yang benar dan yang salah.
Dengan pemikirannya yang demikian, Pelagius menjatuhkan dirinya ke dalam masalah besar pada zaman itu. Penekanannya yang timpang pada kehendak bebas dan kemungkinan kesempurnaan manusia dinilai merupakan penyangkalan terhadap anugerah Allah dan kuasa salib Kristus. Pelagius dan pengikutnya dijatuhi hukuman pada tahun 415 M, kemudian Pelagius dibuang ke pengasingan, suatu kenyataan yang ia terima dengan tenang sebagai harga yang harus dibayarnya demi apa yang ia anggap benar.
Maka istilah Pelagianisme yang kita kenal hari ini merupakan karikatur dari keseluruhan pergumulan Pelagius: sebuah konsep yang salah bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memilih dan memperjuangkan keselamatan bagi dirinya sendiri tanpa memerlukan anugerah Allah. Betapa berbahaya buah pemikiran Pelagius! Ia telah mengecilkan cakupan kedaulatan Allah, mengecilkan makna dari kejatuhan manusia dalam dosa, dan dengan demikian mengecilkan pula signifikansi dari kematian dan kebangkitan Kristus. Pemikirannya telah merendahkan Allah dan meninggikan manusia.
Tetapi mari kita berhenti sejenak. Kita bisa dengan mudah memaki dan meneriakkan “Dasar sesat!” kepada Pelagius, toh apa yang ia pikirkan memang sudah teruji merupakan penyesatan. Namun kalau kita mau melihat sedikit lebih jauh, ia adalah orang yang pada zamannya mempunyai kepekaan akan kebobrokan orang Kristen dan dengan hati yang jujur berusaha membangunkan Gereja dari penipuan diri yang mengatasnamakan kebenaran. Pelagius, sekali lagi, adalah orang yang sampai hari ini dikenal sebagai orang yang sangat menjaga hidupnya kudus dan berteriak memanggil masyarakat Roma saat itu untuk hidup kudus sesuai dengan yang Alkitab perintahkan. Bagaimana dengan kita?
Paling sedikit ada dua hal yang dapat kita pelajari dari sejarah singkat mengenai Pelagius ini. Yang pertama, penyesatan sesungguhnya tidak hanya datang dalam bentuk sebuah konsep pemikiran yang kemudian diadopsi dan disebarkan kepada orang-orang lain. Penyesatan bisa datang dalam bentuk lain: hidup orang Kristen. Kita akhirnya harus melihat dan mengakui bahwa yang awalnya membuat Pelagius meragukan dan akhirnya melawan doktrin yang benar adalah konteks orang-orang Kristen saat itu yang mengetahui kebenaran namun justru memanfaatkannya untuk hidup semakin rusak! Pelagius akhirnya mengeluarkan pemikiran demikian yang masih banyak memengaruhi orang-orang Kristen sampai zaman ini. Bayangkan, sudah berapa jauh penyesatan yang diakibatkan oleh kebobrokan hidup orang yang mengaku Kristen di Roma saat itu? Melintasi zaman!
Yang kedua, coba kita refleksikan betapa ironisnya kenyataan bahwa Pelagius mempunyai pemikiran yang sesat sekaligus hidup yang saleh. Memang pada akhirnya, hidup Pelagius pun tidak dapat dikatakan sungguh-sungguh benar karena kesalahan konsep yang mendasari hidupnya, tetapi mengapa yang terjadi harus demikian? Orang yang mempunyai pemikiran yang sesat justru adalah orang yang berjuang untuk hidup benar. Tidakkah hal ini sangat menyedihkan?
Sekali lagi, kita harus belajar dari sejarah. Jikalau kita adalah orang-orang yang dianugerahkan Tuhan pada zaman ini untuk sejak muda sudah mendengar kebenaran firman Tuhan di dalam pengertian doktrin yang ketat, apa yang kita perbuat dengan hidup kita? Apakah kita akan mengulang sejarah, menjadi orang-orang yang mengaku Kristen dan mengerti doktrin yang benar, namun justru menghidupi hidup yang menyesatkan orang lain dan generasi-generasi selanjutnya di depan kita?
Mari menyatakan bahwa kebenaran Allah sungguh-sungguh sanggup membuat manusia hidup dengan benar. Karena Allah kita adalah Allah yang hidup, satu-satunya Allah yang benar dan berdaulat, maka keutuhan pemikiran yang benar sekaligus hidup yang benar harus ternyatakan melalui Gereja-Nya. Kiranya kita, yang menyebut diri umat Allah, tidak terus-menerus hidup sebagai orang-orang yang mempermalukan Dia. Kiranya kita menjadi umat Allah yang berani mempelajari kebenaran sedalam-dalamnya, sekaligus berani berjuang mematikan kuasa dosa yang terus mencoba menjatuhkan kita, dan di dalam anugerah Tuhan, menjadi orang-orang yang hidup kudus dan benar di hadapan-Nya. Mari berjuang memiliki doktrin dan pemikiran yang benar, sekaligus hidup yang benar, sehingga itulah yang menjadi gambaran Gereja Tuhan di dalam zaman ini dan di masa depan. Kiranya nama Tuhan dipermuliakan!
Lydiawati Shu
Pemudi FIRES