landscape photo of road with mountain

It’s Just How the Way Things Are

Dalam kehidupan manusia, ada dua hal penting yang selalu dicari, yaitu hal jasmani dan hal rohani. Manusia tidak mungkin terlepas dari kedua hal ini karena manusia memang terdiri dari tubuh dan roh, dua hal yang berbeda tetapi membentuk satu kesatuan yang utuh. Berkhof menyebutnya sebagai union of life. Fakta yang menarik adalah bahwa manusia berdosa selalu lebih peduli terhadap aspek jasmani dibandingkan rohani. Manusia lebih mudah tertarik dalam memuaskan hal-hal jasmani, sedangkan ketika mereka diperhadapkan dengan hal-hal rohani, mereka menjadi overly critical. Manusia akan mencari segala upaya, dengan segala macam pemikiran yang “keren”, untuk menolak keberadaan dan kedaulatan Allah Tritunggal (Rm. 1:18). Ironisnya, dalam menjalankan kehidupan jasmaniah mereka sehari-hari, manusia justru tidak berpikir sekritis itu. Ambil contoh, nilai percepatan gravitasi yang konstan (g = 9.80665 m/s2) dan tidak berubah, yang memampukan mereka untuk bergerak dengan bebas dan dapat menaiki pesawat terbang tanpa rasa takut bahwa pesawat akan jatuh. Mereka menganggap bahwa fenomena fisik yang terjadi ini memang sewajarnya seperti itu. Mereka menganggap hukum alam memang bekerjanya seperti demikian. Namun, tanpa mereka sadari, apa yang mereka anggap sebagai “memang sewajarnya demikian”, di balik itu mengandung sebuah konsep tentang Tuhan, the very idea which they reject, and take for granted.

Sebenarnya yang salah bukan hanya mereka yang menolak Tuhan saja, tetapi banyak orang Kristen pun, yaitu kita, juga bersalah terhadap hal ini. Apa maksudnya? Ketika kita diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apa yang membuat 1+1 pasti sama dengan 2?” atau, “mengapa 1 hari pasti 24 jam?” sebagai orang Kristen, apa yang kita pikirkan dalam kepala kita? Kebanyakan orang Kristen pasti menganggap itu pertanyaan yang aneh karena mereka juga berpikir bahwa “memang sudah sewajarnya seperti itu”. Jika itu yang menjadi jawaban kita, sesungguhnya cara pikir kita pun belum Kristen. Cara pikir kita masih campur aduk, di satu sisi dualisme dan di sisi yang lain deisme. Dualisme, karena kita percaya bahwa Tuhan itu ada dan Dia berdaulat, khususnya dalam hal-hal rohani, tetapi dalam ranah ilmu pengetahuan, tidak ada hubungannya antara Tuhan dan “1+1=2” atau “1 hari terdiri dari 24 jam”. Deisme, karena kita percaya bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, tetapi alam semesta yang kita hidupi sekarang hanya berjalan sesuai hukum alam saja, bagaikan robot yang sudah diprogram untuk berjalan secara otomatis dan Sang Perancang hanya duduk diam dan mengawasi saja. Dengan kata lain, Tuhan tidak aktif terlibat dalam pengaturan alam semesta, karena yang berkuasa mengatur alam semesta sekarang hanyalah hukum alam saja.

Jika demikian, lalu yang benar seperti apa? Pertama, kita harus sadar bahwa tidak ada yang disebut sebagai “memang sudah sewajarnya seperti itu”. Ekspresi demikian sebenarnya hanya menyatakan bahwa kita sudah terlalu sering take things for granted. Yang kita anggap wajar itu boleh ada dan kita yakin akan tetap terus ada, karena sifat setianya Tuhan. Tuhan yang setia ini terus menopang dunia ciptaan-Nya. Dia bukan Tuhan yang menciptakan alam semesta kemudian bersantai di belakang sambil menonton manusia, melainkan Dia adalah Tuhan yang senantiasa menopang dunia ini melalui hukum alam yang diciptakan-Nya, dan sampai saat ini Dia tetap terlibat secara aktif. Dengan kata lain, hukum alam tidak beroperasi dengan sendirinya, melainkan beroperasi karena Tuhan dengan setia menopangnya secara aktif. Topangan tangan Tuhan, campur tangan Tuhan secara aktif inilah yang menjadikan alam ini normal dan “wajar”.

Mempunyai kesadaran seperti ini seharusnya membuat kita lebih bersyukur terhadap banyak hal. Apa yang sebelumnya kita anggap sebagai “memang sewajarnya seperti itu” sebenarnya merupakan kesetiaan dan kebaikan Tuhan bagi ciptaan-Nya dari waktu ke waktu. Lantas, apa implikasinya? Sama seperti Tuhan yang terlebih dahulu menyatakan kesetiaan-Nya kepada manusia yang berdosa, kita pun diminta untuk menjalankan hidup ini dengan penuh kesetiaan dan tanggung jawab di hadapan Sang Pencipta. Biarlah bukan “it’s just how the way things are” yang kita ucapkan, melainkan “great is Thy faithfulness”.

Stanislaus Ivanovich Krishnanda

Pemuda FIRES