,

Jembatan: Refleksi mengenai Jurang Lintas Generasi dalam Kitab Ezra

Pada waktu dasar Bait Suci TUHAN diletakkan oleh tukang-tukang bangunan, maka tampillah para imam dengan memakai pakaian jabatan dan membawa nafiri, dan orang-orang Lewi, bani Asaf, dengan membawa ceracap, untuk memuji-muji TUHAN, menurut petunjuk Daud, raja Israel. Secara berbalas-balasan mereka menyanyikan bagi TUHAN nyanyian pujian dan syukur: “Sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya kepada Israel!” Dan seluruh umat bersorak-sorai dengan nyaring sambil memuji-muji TUHAN, oleh karena dasar rumah TUHAN telah diletakkan. Tetapi banyak di antara para imam, orang-orang Lewi dan kepala-kepala kaum keluarga, orang tua-tua yang pernah melihat rumah yang dahulu, menangis dengan suara nyaring, ketika perletakan dasar rumah ini dilakukan di depan mata mereka, sedang banyak orang bersorak-sorai dengan suara nyaring karena kegirangan. Orang tidak dapat lagi membedakan mana bunyi sorak-sorai kegirangan dan mana bunyi tangis rakyat, karena rakyat bersorak-sorai dengan suara yang nyaring, sehingga bunyinya kedengaran sampai jauh. (Ezr. 3:10-13)

Artikel ini ditulis sebagai refleksi pribadi penulis dalam perenungan mengenai Kitab Ezra, secara khusus berkenaan dengan tema “Jurang antara dua generasi”. Nantinya, aplikasi perenungan ini bisa sangat beragam dan terkait dengan lingkup keluarga (relasi orang tua dengan anak), pekerjaan (relasi atasan dengan bawahan, juga dengan sesama kolega), gereja (pendekatan ibadah umum, wadah remaja dan pemuda), sampai negara (relasi pemerintah dengan masyarakat, dan tindak lanjut dalam meneruskan jerih payah founding fathers atau generasi terdahulu).

Ezra 3:10-13 sendiri sebenarnya sudah cukup jelas untuk setidaknya memberikan gambaran peristiwa dan suasana yang tengah terjadi. Ada generasi “tua” yang menangis, dan di saat yang sama ada generasi “muda” bersorak-sorai kegirangan. Suara yang membahana dari erangan tangisan dan luapan jeritan sorak-sorai ini akhirnya bercampur begitu rupa di tengah angkasa, sampai tidak bisa lagi dibedakan. Inilah salah satu momen emosional, klimaks, miris, dan sekaligus ironis dari lembaran sejarah bangsa Israel.

Tentu saja berbagai pertanyaan “alamiah” langsung muncul di benak kita setelah membaca bagian ayat ini. Apa latar belakang yang menyebabkan peristiwa ini? Mengapa bisa ada luapan emosi yang begitu rupa? Mengapa ada dua reaksi yang begitu bertolak belakang di dalam tempat, kejadian, dan waktu yang sama? Pelajaran apa yang bisa kita petik, secara khusus dalam kehidupan bergereja? Dalam alur artikel ini, penulis akan berusaha perlahan-lahan membahas pertanyaan-pertanyaan ini.

Gambaran Singkat Kitab Ezra
Sedikit gambaran singkat mengenai Kitab Ezra, kitab ini menceritakan kisah kembalinya bangsa Israel dari pembuangan di Babilonia. Ada dua bagian besar yang dituliskan dalam kitab ini. Pertama, mengenai Koresh (raja negeri Persia) yang mengizinkan orang-orang Israel untuk pulang ke negerinya. Daftar orang-orang yang kembali dari pembuangan dicatat dengan terperinci. Kedua, adalah mengenai pembangunan dan dedikasi Bait Allah yang baru dibangun kembali. Sebagai figur menonjol dalam kitab ini, Ezra adalah seorang imam yang nantinya memiliki peranan penting dalam memperkenalkan kembali Taurat kepada orang-orang Israel yang kembali dari pembuangan. Sebagai seorang imam, ia kerap berdoa meminta pengampunan atas dosa-dosa bangsa Israel yang begitu keji dan bertumpuk (mis. kawin campur, melupakan Tuhan, penyembahan berhala). Ezra juga memiliki hubungan erat dengan Nehemia, seorang juru minuman raja yang berjuang untuk membangun kembali kota Yerusalem yang porak-poranda.

Jurang
Jika kita sedikit melihat konteks saat ini, sepertinya jurang antargenerasi terhampar dengan begitu lebar. Lihat saja berbagai fenomena sehari-hari di sekeliling kita. Kecepatan akses internet, kentalnya pengaruh social media, games yang semakin canggih dan “mendekati” realitas, sarana transportasi yang semakin efisien dan terjangkau, messaging applications yang semakin menjamur, ataupun kecanggihan berbagai perangkat elektronik (smartphone, laptop, wearable devices), hal-hal ini menjadi suatu puncak gunung es dari jurang antargenerasi ini.[1] Kelompok orang berumur 15-25 tahun, sepertinya sangat sulit untuk bisa berkomunikasi atau untuk bisa mengerti kelompok berumur 35-45 tahun, apalagi yang berumur di atas 55 tahun (dan juga sebaliknya).

Dalam konteks dunia profesional, kelompok-kelompok ini biasa disebut generasi Baby Boomers (kelahiran 1945-1960), Generation X (kelahiran 1961-1980), Generation Y (kelahiran 1981-1995), Generation Z (kelahiran setelah tahun 1995). Setiap golongan akan memiliki ciri-ciri khusus dalam aspek aspirasi, prioritas hidup, sikap terhadap inovasi atau teknologi, prioritas dalam karier, cara komunikasi yang disukai, dan cara pengambilan keputusan. Tidak heran di era teknologi dan informasi ini, berbagai perusahaan yang berusaha menarik tenaga profesional muda kompeten, akhirnya mencoba melakukan berbagai pendekatan atau usaha yang lebih sesuai dengan konteks Generation Y dan Z.

Dalam konteks family business di Indonesia, hal jurang antargenerasi juga menjadi pergumulan yang sangat kental. Tantangan biasa sangat terasa ketika founders atau generasi pertama (baca: orang tua) mulai menyerahkan keseluruhan perusahaan kepada generasi penerus (baca: anak-anak).[2] Biasa “konflik-konflik” mulai terjadi ketika generasi penerus berusaha mengubah struktur organisasi, cara manajemen, sampai niat untuk mengimplementasi teknologi atau terobosan terbaru. Generasi pertama cenderung lebih stabil, bersandar kepada pengalaman jatuh bangun selama puluhan tahun, dan tidak terlalu tertarik untuk hanya sekadar mengadopsi hal-hal “baru”.

Pemerintah di negara Singapura juga mengalami kesulitan yang serupa dalam menyelaraskan aspirasi generasi tua dan generasi muda. Generasi tua adalah generasi yang mengalami langsung masa genting ketika Singapura harus menjadi negara yang mandiri (terpisah dari Malaysia). Generasi pertama ini sangat sadar bahwa negara Singapura harus bisa bertahan dalam dunia yang keras ini tanpa bantuan dari negara mana pun, dan tanpa modal sumber daya alam sedikit pun.

Nilai-nilai seperti meritokrasi, pemerintah yang bersih, dan pertumbuhan dan kestabilan ekonomi dipegang dengan begitu kuat. Setelah 51 tahun berlalu, nilai-nilai tersebut masih jelas dan dijunjung tinggi. Namun, generasi muda sekarang tidak lagi mengalami masa-masa sulit dan genting. Mereka lahir dan hidup dalam negara Singapura yang damai dan maju. Generasi muda ini ingin pendapat atau aspirasi mereka didengar, juga agar mereka bisa “bereksperimen” dengan hal-hal baru dalam menentukan arah negara ini.[3]

Gereja
Bagaimana dengan gereja? Ternyata kita bisa melihat beberapa hal yang tidak berbeda jauh. Ada beberapa riset dan analisis yang telah dilakukan sebelumnya dalam membandingkan hal-hal ini. Dalam generasi yang berbeda, terdapat berbagai keunikan dalam pendekatan pelayanan, karakteristik kepemimpinan dalam gereja, perspektif dalam mempelajari firman Tuhan, sarana penginjilan, dan figur hamba Tuhan yang representatif. Tentunya perenungan akan hal ini bukan dengan tujuan agar gereja melayani dengan mentalitas market-oriented atau human-centered. Namun seperti pernyataan Paulus, ia menjadi seperti orang Yahudi untuk memenangkan orang Yahudi, seperti orang di bawah Taurat untuk memenangkan orang yang berada di bawah hukum Taurat, dan menjadi seperti orang lemah untuk dapat memenangkan orang yang lemah, dan itu semua Paulus lakukan demi Injil.

Dalam buku The Younger Evangelicals: Facing the Challenges of the New World oleh Robert E. Webber, dituliskan tabel rangkuman observasi (lihat tabel di bawah).

Golongan kaum Injili yang lahir setelah tahun 2000 (Young Evangelicals) mengalami pengaruh besar dari arus postmodern dan teknologi internet (dan berbagai inovasi setelahnya). Dengan berbagai kemajuan teknologi transportasi, orang dari berbagai latar belakang dan tempat bisa bertemu dan beribadah di gereja yang sama. Dengan demikian, gereja juga menjadi lebih bersifat multikultur. Pendekatan terhadap generasi ini lebih condong ke arah kelompok kecil, komunitas, dengan mentor yang memfasilitasi pertumbuhan secara komunal dan disiplin spiritual.Ketika memikirkan hal ini, penulis juga sadar bahwa setiap generasi memiliki blindspot-nya sendiri. Dengan kesadaran ini, sangat didorong agar dalam sebuah gereja bisa terjalin persekutuan lintas generasi dengan sikap saling mengerti dan belajar sebagai satu tubuh Kristus.[4]

Tangisan dan Sorak-Sorai
Kembali lagi kepada Kitab Ezra pasal 3, jurang antara dua generasi begitu jelas terlihat. Generasi tua adalah generasi yang pernah melihat langsung kemegahan Bait Allah yang dibangun oleh Salomo. Ketika zaman Salomo, Israel mencapai salah satu zaman yang begitu jaya dan makmur. Pada masa itu, perak bahkan tidak dianggap lagi berharga di Israel. Kedamaian begitu terjaga dalam setiap jengkal tanah Israel. Berbeda dengan generasi tua, generasi muda belum pernah melihat langsung kemegahan Bait Allah yang dibangun pada zaman Salomo. Mungkin mereka hanya pernah mendengar kisah atau cerita mengenai kemegahan Bait Allah tersebut. Terlebih lagi, mereka merasakan pengalaman pahit pembuangan di Babel tanpa pernah melihat langsung kemuliaan yang pernah dicapai bangsa Israel.

Di dalam pasal 3, bangsa Israel dituliskan telah kembali dan “berhasil” meletakkan dasar Bait Allah yang baru. Respons yang diberikan oleh dua kelompok ini ternyata begitu berbeda. Setelah melihat dasar Bait Allah yang baru, generasi tua secara otomatis langsung terbayang akan gambaran kemegahan Bait Allah yang terdahulu. Jika dibandingkan dengan yang sebelumnya, Bait Allah yang baru ini seperti tidak ada apa-apanya. Emosi dukacita yang mendalam langsung terdengar melalui raungan tangis mereka. Sedangkan bagi generasi muda, mereka selama ini telah menghabiskan sekian tahun hidup mereka di dalam pembuangan. Di tanah pembuangan, sama sekali tidak ada Bait Allah. Ketika mereka berhasil meletakkan dasar Bait Allah yang baru, ini adalah pengalaman “nol menjadi satu” bagi mereka. Sesuatu yang tadinya tidak ada, akhirnya terwujud. Perasaan sukacita yang begitu melimpah langsung meluap dari hati mereka.
Penulis sendiri sangat tertarik dengan cara pemaparan kejadian ini yang tertulis di dalam Kitab Ezra pasal 3. Tidak ada komentar lebih jauh. Alkitab tidak memberikan pujian, larangan, makian, ataupun teguran. Demikian pula tidak dituliskan “solusi” atau tindakan yang perlu dilakukan (setidaknya dalam pasal 3 ini). Yang ada hanyalah pemaparan fakta yang begitu jelas dan “netral”. Suatu fakta akan adanya dua generasi berbeda, yang memberikan dua respons yang berbeda dalam melihat suatu kejadian atau peristiwa yang sama.

Jembatan
Penulis percaya bahwa walaupun Kitab Ezra tidak memberikan solusi langsung terhadap “permasalahan” yang ada, bagian-bagian firman Tuhan di tempat lain bisa memberikan prinsip yang indah dalam menjawab tantangan ini. Dalam satu sesi master class, Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengupas pembahasan mengenai Paulus yang memerintahkan Timotius untuk memercayakan dan mendidik orang-orang yang bisa mengajar lagi. Dalam bagian ini, setidaknya ada empat generasi yang sudah tercakup: (i) Paulus, (ii) Timotius sebagai penerus Paulus, (iii) Orang-orang yang bisa mengajar lagi, yakni para pelayan dalam gereja-gereja yang telah dirintis Paulus, (iv) Orang-orang yang menerima pengajaran. Paulus sadar bahwa iman Kristen yang murni dan sungguh-sungguh perlu diteruskan kepada generasi selanjutnya.

Dalam perenungan dan takaran pribadi penulis yang tentunya penuh keterbatasan, setidaknya ada respons yang dapat dipikirkan bersama-sama oleh generasi tua dan generasi muda:

Generasi tua dihimbau untuk mengajarkan firman Tuhan secara turun-temurun, berulang-ulang, tidak lalai, dan tidak jemu-jemu. Generasi tua juga seharusnya menceritakan pekerjaan-pekerjaan dahsyat yang Allah telah kerjakan dalam sejarah. Dengan demikian, generasi selanjutnya memiliki kesempatan untuk mempelajari dan meneruskan iman dari generasi sebelumnya. Generasi yang lebih tua juga dituntut untuk memiliki sikap keteladanan yang baik, sehingga dapat menjadi acuan sebagai orang yang terlebih dahulu berjalan dan dibentuk oleh Tuhan. Selain itu, generasi tua juga memiliki kesempatan melewati berbagai periode atau lembaran sejarah. Generasi ini seharusnya lebih memiliki kepekaan dan kebijaksanaan dalam menilai zaman, untuk kemudian memberikan arahan kepada generasi selanjutnya.

Generasi muda seharusnya memiliki telinga yang terbuka, secara khusus terhadap firman Tuhan dan nasihat. Prinsip firman ini kemudian yang akan terus dipegang sehingga generasi ini tetap tidak menyimpang sampai masa tua. Generasi muda juga seharusnya memiliki tekad untuk menyelidiki dan mempelajari pekerjaan Tuhan di masa lampau. Generasi muda yang identik dengan idealisme dan kenaifan, sudah selayaknya memiliki kerendahan hati, dan sikap mau belajar atau dibentuk. Ibrani 13 juga menyatakan bahwa kita sudah sepatutnya menaati dan tunduk kepada pemimpin-pemimpin rohani yang berjaga-jaga atas jiwa kita. Secara khusus kepada pemimpin-pemimpin yang memberitakan firman, ada penekanan mendalam untuk mencontoh iman dan memerhatikan dengan saksama akhir hidup dari pemimpin-pemimpin tersebut.

Sebagai penutup, penulis sangat mendorong pembaca setia Buletin PILLAR untuk dapat lebih menggali dan mendalami berbagai ayat lain di Alkitab yang menjelaskan mengenai perbedaan dan tantangan lintas generasi. List dari bagian firman di bawah ini hanyalah sedikit contoh yang penulis bisa bagikan dalam cakupan artikel ini. Tentunya masih banyak ayat-ayat lain yang bisa direnungkan lebih jauh. Semoga artikel singkat ini dan perenungan dari berbagai bagian firman bisa semakin membentuk dan memperlengkapi kita sebagai orang Kristen untuk dapat dengan peka melihat, menimbang, mempersiapkan diri, dan menjawab tantangan zaman yang telah menanti di depan mata.

•     Perbedaan sikap dan cara pandang dari generasi di Mesir yang mengenal Yusuf dan jasa-jasanya, dengan generasi setelahnya yang sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang Yusuf. Semenjak itu, penyiksaan dan perbudakan terhadap orang Israel dimulai.

•     Konteks generasi Israel yang selama empat puluh tahun berputar-putar dan mati di padang gurun, dengan generasi selanjutnya yang kemudian masuk, berperang, dan menduduki tanah Kanaan.

•     Pergumulan besar Yosua dalam menggantikan dan meneruskan sosok Musa yang begitu raksasa, monumental, signifikan, dan berkarisma.

•     Perubahan besar dari generasi Yosua dan tua-tua kepada generasi setelahnya yang masih harus terus berperang menghadapi bangsa-bangsa Kanaan yang belum kalah sepenuhnya. Alkitab mencatat jelas bahwa orang Israel beribadah sungguh-sungguh kepada Tuhan ketika Yosua dan tua-tua tersebut hidup.

•     Kisah Salomo yang harus meneruskan raja dan sekaligus pahlawan yang begitu besar dan gagah, yakni Daud, ayahnya sendiri. Salomo kemudian bisa membawa Israel menuju kejayaan yang lebih lagi, tentunya setelah Raja Daud sendiri melakukan berbagai persiapan yang begitu serius dan sungguh-sungguh (seperti desain dasar Bait Allah dan berbagai bahan dasar yang dibutuhkan dalam pembangunan Bait Allah).

•     Perbedaan cara pandang dan nasihat yang diberikan oleh generasi tua dan generasi muda kepada Raja Rehabeam. Pengambilan keputusan oleh Raja Rehabeam akhirnya menyebabkan kerajaan Israel terpecah menjadi dua.

•     Yesus Kristus sendiri yang memercayakan pelayanan kepada para rasul. Kalau dipikir lebih jauh, sebetulnya para rasul sangat “tidak bisa dipercaya” untuk meneruskan pekerjaan besar ini. Mereka dicatat lari meninggalkan Yesus, sebagian besar tidak hadir ketika Yesus disalib, dan masih sangat skeptis bahkan ketika Yesus bangkit. Beberapa saat sebelum Yesus memberitakan Amanat Agung dan terangkat ke sorga, sebagian murid juga dicatat masih begitu ragu.

•     Paulus yang memercayakan pelayanan penggembalaan gereja-gereja kepada sosok muda Timotius.

•     Kitab Ibrani 13:7 yang memerintahkan agar kita melihat pemimpin-pemimpin yang menjadi teladan dan telah memberitakan firman bagi kita. Juga memerhatikan dengan saksama mengenai bagaimana mereka hidup dan mengakhiri hidup mereka.

Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR

Referensi:
PoythressVernRedeemingSociology.pdf.
The Church in the Modern Age: Global Christianity & Reformed Theology
.
The Church in the Modern Age: Evangelicalism & Post-modernity
.
generations-chart-full.jpg.

Endnotes:
[1] Perkembangan teknologi yang begitu pesat menjadi salah satu penyebab semakin lebarnya jurang ini, seperti adanya perbedaan cara berpikir dan cara hidup dari generasi yang dari kecil sampai berkeluarga tidak pernah menyentuh dan memiliki handphone atau personal computer, dengan generasi yang bahkan sejak bayi sudah akrab bermain dengan tablet dan smartphone.
[2] Berdasarkan sumber berbagai artikel bisnis dan ekonomi di media-media Indonesia, sekaligus beberapa kenalan pribadi yang mengalami langsung tantangan-tantangan semacam ini.
[3] Singapore’s competitive advantage: Politics and policies that work
[4] Why the Church Needs Intergenerational Friendships.