,

Ketetapan Hati Seorang Yohanes Calvin

Pengantar

Adakah di antara kita yang belum mengenal nama Yohanes Calvin? Mungkin ada. Adakah orang-orang di dunia ini yang belum pernah mendengar nama Yohanes Calvin? Banyak. Contohnya 2 orang teman (fiktif) kita di bawah ini.

Alvin: “Siapa sih sebenarnya si Calvin sampai Pillar harus mendedikasikan 3 edisinya yang berharga untuk membahas dia dan pengajarannya itu?”

Kelvin: “Iya nih! Siapa sih dia ini, pake namanya ikut-ikut kita lagi, temen-temen jadi sering ledekin kita deh.”

Siapa sih Alvin dan Kelvin yang cerewet ini? Belum tahu mereka siapa sesungguhnya Calvin. Apalah artinya Alvin dan Kelvin bila dibandingkan dengan Yang Terpenting dan sungguh-sungguh mengenal Calvin, yaitu: TUHAN Allah sendiri.

Alvin & Kelvin: “Eits! … Nanti dulu. Apa spesialnya sih si Calvin ini kok lagi-lagi dipuja-puja dan kita diledek-ledek? Pertama, jelasin siapa elu; dan kedua, emang siapa itu Calvin!”

… boom!

Penulis yang menciptakan tokoh fiktif si Alvin dan Kelvin memutuskan untuk menghentikan eksistensi mereka berdua karena mereka terlalu kurang ajar terhadap penciptanya dan juga Calvin. Sesungguhnya apakah hal yang terpenting dan berharga di dalam hidup ini? Bukankah perkenanan dari Sang Pencipta? Diberkatilah mereka yang hidupnya berkenan di hadapan TUHAN, karena itulah yang terindah dan termulia! Demikianlah Yohanes Calvin dikenal oleh Allah sendiri karena dia mendasarkan pengetahuan akan Allahnya di atas dasar hidup kesalehan yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan (1Kor. 8:3; Institutio I.I.2). Calvin begitu tahu diri, tahu Penulis, tahu Alvin dan Kelvin, tahu bahwa semua manusia itu bobrok dan busuk di hadapan Allah yang sempurna dan mulia. Calvin menyadari kekurangajaran Alvin dan Kelvin serta keliaran imajinasi Penulis juga ada pada dirinya karena semua manusia telah menyeleweng dan bibirnya mengandung bisa (Rm. 3:12-13). Bedanya Calvin dengan Alvin dan Kelvin adalah Calvin tahu kekurangajaran dirinya sedangkan Alvin dan Kelvin tidak. Calvin benar-benar rendah hati dan mengenal siapa dirinya di hadapan Allah [baca artikel Pembelajaran Kerendahan Hati dari Yohanes Calvin pada buletin PILLAR edisi lalu]. Pada saat manusia sadar diri sebenar-benarnya di hadapan Allah, dia akan tahu betapa bobrok dirinya; dan pada saat manusia sadar siapakah Tuhan sebenar-benarnya dibandingkan dengan kita, dia akan tahu betapa mulia dan agungnya Tuhan; pengenalan terhadap diri dan Allah ini saling berkait dan membawa manusia kepada sikap penyembahan dengan takut dan gentar kepada Allah [baca artikel Change We Can Believe In pada buletin PILLAR edisi lalu] (Institutio I.I.1).

Pertemuan Calvin dan Idelette

Selain rendah hati (humble), Yohanes Calvin adalah seorang yang teguh hatinya (steadfast), setia (faithful), dan konsisten (consistent). Dari berbagai fase hidup dan pelayanannya yang sudah banyak dibahas di artikel-artikel lain buletin Pillar ini, Penulis mencoba mengangkat keagungan karakter Calvin dari kisah hidupnya dalam membangun keluarga. Ketika dirinya diperhadapkan dengan berbagai kesulitan bagaikan ombak menerpa, justru keharuman karakternya terpancar. Hal ini tentu tidak lepas dari kuatnya iman, dalamnya pengertian, dan teguh tetapnya kesetiaan Calvin terhadap diri Allah dan karya pemeliharaan Allah.

Calvin adalah seorang yang visioner dan fokus, dia betul-betul mengasihi Tuhan dan pekerjaan Tuhan dengan memberikan pengabdian tuntas untuk memberikan yang terbaik. Dia memiliki standar yang tinggi dan sangat serius dalam menetapkan hidupnya. Tentu saja, dalam memilih pasangan hidupnya, Calvin pun tidak main-main dalam pilih-pilih pacar. Berikut ini adalah standar yang Calvin berikan bagi calon istrinya:

The only kind of beauty which can win my soul is a woman who is chaste, not fastidious, economical, patient, and who is likely to interest herself in my health.[i]

John: “Wah standar Calvin ternyata tinggi sekali yah. Masakan Calvin minta perempuan yang murni bersih (chaste) dan tidak menuntut [baca: tidak cerewet] (not fastidious). Yah, selain itu, ternyata Calvin sepertinya cukup self-centered dan egois yah, masa ceweknya harus sederhana, sabar, dan memperhatikan kesehatan dirinya. Di zaman sekarang, apalagi di kota-kota besar post-kapitalisme, post-industrialisme, post-feminisme, post-emansipasianisme, dan post-post lainnya, mana ada cewek model ginian. Ah, Calvin itu terlalu idealis untuk zaman sekarang. Untung nama belakang gua bukan Calvin, bisa-bisa jadi bahan ledekan seperti Alvin dan Kelvin.

Johan: “Eits… Nanti dulu. Aku ngerti perasaanmu karena nama kita emang mirip ama Calvin. Tapi Calvin standarnya baru segitu kok kamu sudah bingung? Gimana kalau standar Alkitab? Wah, kalau kita tengok Alkitab di Amsal 31 bisa-bisa kita semua ndak nikah. Bisa-bisa kebudayaan manusia habis bukan karena global warming yang muncul akibat post-industrialisme tapi karena perubahan lifestyle manusia yang walaupun juga akibat post-industrialisme dan kawan-kawannya.

John: “Iya… gawat dong. Hm, aneh deh. Kalau gitu, kok kebudayaan Israel masih langgeng sampai zaman Yesus yah, katanya orang Israel itu ketat-ketat dalam menjalankan prinsip-prinsip Perjanjian Lama.

Johan: “Iya begitulah. Aku yakin Amsal 31 itu standar ideal di mana setiap cewek harus sungguh-sungguh mengusahakannya supaya bisa jadi perempuan. Dan itu menjadi standar yang baik bagi cowok untuk menimbang sebagai laki-laki. Dan di tengah-tengah segala keterbatasan, kelemahan, dan mungkin kesalahan masa lalu, tetap ada batasan-batasan toleransi yang Tuhan izinkan di mana pasangan laki-laki dan perempuan itu saling melengkapi.”

John: “Hooh deh. Itu dia. Aku harap kelak bisa menemukan perempuan yang sungguh-sungguh lemah lembut dan rendah hati belajar berjuang untuk memenuhi panggilannya di zaman post-post ini. Tapi sebelumnya aku harus siap dulu sebagai laki-laki di zaman post-post ini untuk menuntut diri lebih banyak sebagai kepala. Tapi Calvin sendiri akhirnya gimana yah? Gimana kelanjutan dia ama Idelette, janda yang dulunya pengikut Anabaptis tapi akhirnya menjadi istrinya?”

Idelette de Bure of Guelderland adalah janda dari John Storder dari Liege. Pada tahun 1530-an, keduanya kemungkinan mengungsi ke Strasburg karena penganiayaan atas Injil yang mereka percaya. Pada bulan September 1538, Calvin memulai pelayanannya di Strasburg yang kemudian memberikan hubungan kedekatan antara Calvin dengan John Storder dan Idelette yang juga sudah mulai dipengaruhi oleh ajaran Calvin. Singkat cerita, Storder meninggal dunia 2 tahun kemudian karena wabah (plague) yang menyebar saat itu dan meninggalkan Idelette menjadi janda. Dan akhirnya, berkat jasa Martin Bucer maka Idelette dapat muncul di kepala Calvin yang super sibuk, dan akhirnya Calvin pun menyadari keindahan yang terdapat di dalam diri Idelette. Idelette sebaya dengannya, baik, dan juga cukup pandai.[ii] Pada bulan Agustus 1540 Calvin menikahi Idelette di Strasburg.[iii]

Keluarga Calvin

Calvin and Idelette

John: “Wah, Calvin menikah juga akhirnya meskipun standarnya tinggi gitu. Seneng deh! Tapi ngomong-ngomong, kita semua tahu kalau Calvin itu tidak menggubris kesehatannya dan kita tahu kalau dia kepingin istri yang bisa mengisi role untuk perhatiin kesehatannya. Yang gue mau tanyain tuh, apa Calvin akhirnya izinin istrinya terlalu ribet ama kesehatannya? Atau  itu cuman pandangan awal Calvin aja waktu cari istri?”

Johan: “Hm, menurut artikel yang gue dapet dari www.thirdmill.org, kayaknya Calvin emang bener pengen kesehatannya diperhatiin, soalnya dia sadar dia nggak ada waktu untuk perhatiin dirinya sendiri. Tapi, kembali lagi, pekerjaan Tuhan didahulukan dan Idelette juga sadar betul itu sehingga dia nggak ngerintangin Calvin dalam pelayanannya. Ini nih, coba liat kutipan dari artikel yang gue bawa:

“Calvin — only thirty-two years old, remember, was now committed to an immense amount of civil work — committees met every week — as well as preaching, teaching, writing, and correspondence. He used to rise at 5 a.m. and begin dictating to a student. He was again expanding his Institutes for the third edition and was also writing a commentary on separate books of the Bible. Idelette in her loving care of his health and comfort was all that he could desire. By her cheerful, soothing words she would revive his spirits when, as sometimes, they were dejected almost to despair as the larger troubles of European Protestantism were added to his burdens. ‘Her counsel to him always was to be true to God at whatever cost; and that he might not be tempted from a regard for her ease and comfort to shrink from the conscientious performance of his duty, she assured him of her readiness to share with him whatever perils might befall him.’[iv]

Johan: “Dan yang mengagumkan, mereka itu begitu sungguh-sungguh untuk mendahulukan orang lain lebih dari keluarganya sendiri. Nih, coba liat beberapa paragraf di bawahnya:

“A welcome refugee to Geneva at that time was Clement Marot, a French lyrical poet who had published a book of twenty-five psalms in metre, done from the French translation of the Book of Psalms … Calvin and Idelette gave him help and hospitality.”[v]

“In 1545 hundreds of Waldensians, driven by terrible persecution from their valleys, came over the Alps to Geneva. Calvin and his wife did their utmost for them in the way of hospitality, finding them lodgings and employment. Calvin set up a subscription for their relief and got the council to employ them in repairing the fortifications. In fact so zealous were they that they were blamed for being more careful of these strangers than of the native population.”[vi]

Calvin, Idelette, dan Anak-anaknya

Calvin dikaruniai 3 orang anak oleh Tuhan, tetapi sayang sekali semua anak Calvin mati ketika masih bayi. Apakah kata-kata ‘dikaruniai’ itu cocok bagi Calvin? Ataukah kita semua yang melihat kehidupan Calvin pantas menilai penderitaan Calvin dan bentukan kedaulatan Allah atas Calvin? Bagaimanakah seharusnya kita berespons? Anak laki-laki pertamanya harus meninggal dengan umur hanya beberapa hari, demikian pula dengan anak keduanya yang perempuan harus meninggal karena demam, serta anak ketiganya yang juga mati ketika masih bayi. Tetapi lebih dari itu, yang menjadi horor adalah tuduhan dari Katolik saat itu (yang menganggap Calvin bidat) mengatakan:

“He married Idelette’, writes one, ‘by whom he had no children, though she was in the prime of life, that the name of this infamous man might not be propagated”.[vii]

Bahkan, dalam usia pernikahan yang sangat singkat (9 tahun) dan penuh kepedihan, Calvin akhirnya juga ditinggal mati oleh Idelette pada tanggal 29 Maret 1549.[viii]

John: “Aduh… sedih dan mengenaskan sekali ya hidup Calvin. Di manakah Tuhan yang dengan setia dia layani dengan penuh pengabdian sampai tubuhnya menjadi sakit-sakitan?”

Johan: “Aku sendiri merasa bingung. Awalnya terasa begitu indah ketika Calvin menikah dengan Idelette. Walaupun Idelette adalah janda dan mungkin orang zaman sekarang bilang ‘bekas’ yang sepertinya tidak cocok dengan syarat Calvin yang pertama (chaste), aku yakin yang Alkitab dan Calvin ajarkan bukan menunjuk kepada hal-hal yang fisik dan lahiriah. Karena itu aku begitu menikmati kehidupan Calvin yang begitu sungguh-sungguh, baik, pandai, dan bersahaja. Tapi ternyata sesudah mengabdi begitu tuntas dan hidup bersahaja dengan sungguh-sungguh, semua anaknya harus mati dan istrinya pun meninggal dunia. Musuhnya tidak ketinggalan turut menjadi duri dalam daging Calvin yang sudah penuh dengan duri-duri lainnya. ”

John: “Iya, kita manusia sungguh-sungguh terbatas di hadapan Tuhan Allah yang Maha Besar. Aku merasa kacau kalau harus menjadi sahabat Calvin saat itu. Aku merasa serba salah bagaimana harus bersikap menghadapi situasi kayak gitu. Nggak ajak ngobrol salah, ajak ngobrol bingung dan malah bisa tambah salah. Elifas, Bildad, dan Zofar pun lebih memiliki kualifikasi menjadi kawan Ayub. Meskipun istri Calvin tetap setia dan tidak mengutuki Calvin, harta benda Calvin tidak hilang, dan tidak ada sahabat-sahabat yang menuduh dia, tetapi jangan lupa bahwa dia juga tidak mendapat atau mencari istri dan anak-anak lagi, dan harta bendanya selama ini sudah dia berikan semua demi pelayanan Tuhan, tubuhnya diperas tiap hari untuk bekerja bagi pekerjaan Tuhan, dan otaknya terus-menerus diisi dan diperas untuk memikirkan keteraturan dan aplikasi firman Tuhan demi kebaikan gereja, negara, dan seluruh totalitas kehidupan manusia [baca artikel Dalam Dunia Tetapi Tidak Duniawi dalam buletin PILLAR edisi lalu]. Apakah kalau tahu gitu lebih baik tidak usah menikah saja? Juga, buat apa istilah Tuhan ‘mengaruniakan’ dan memang mengaruniakan anak kalau hanya untuk hidup beberapa hari saja? Kalau aku bandingkan dengan spirit pragmatisme, egoisme, dan kenyamanan zaman ini, buat apa Tuhan memberikan kesempatan melihat bayi hanya untuk beberapa hari? Kenapa tidak dibuat mandul saja? Toh itu hal yang sudah tidak terlalu tabu dan orang bisa mengerti dibandingkan dengan zaman Israel dulu. Selain itu, biaya perawatan (kasarnya: maintenance), emosi curahan perhatian pengharapan, dan kesakitan melahirkan setelah 9 bulan bersusah payah juga bukan main-main. Bukannya nggak merhatiin bayi, ingin mandul, dan melawan kedaulatan Allah ya, tapi maafkan, secara nalar orang normal aja, nggak usah nyebut orang humanis, ‘Bukankah seharusnya tidak perlu ada korban jiwa dan kepedihan? Untuk apa semua kepedihan ini diberikan?’ ”

Johan:  “… ”

Johan: “Gimana ya respon Calvin yang katanya mendasarkan theologinya di atas kesalehan dan cinta kasih kepada Tuhan serta percaya kepada Tuhan yang tidak pernah salah dalam kedaulatan-Nya yang pasti?”

Respon Calvin

Pada bulan Juli 1542 ketika anak pertamanya lahir prematur, Calvin menulis surat kepada kawannya, Peter Viret di Lausanne,

“This brother, the bearer, will tell you in what anguish I now write to you. My wife has been delivered prematurely, not without extreme danger. May the Lord look down upon us in mercy!”[ix]

Sesudah Jacque lahir dan meninggal dalam beberapa hari, maka Calvin menulis surat lagi kepada Viret,

“… The Lord has certainly inflicted a severe and bitter wound by the death of our infant son. But He is himself a Father and knows what is necessary for his children.”[x]

Calvin sama sekali tidak menyalahkan Tuhan atas penderitaan yang menimpanya, bahkan dengan penuh keyakinan kepada kasih dan kedaulatan Allah, Calvin tetap dapat memanggil Tuhan itu sebagai Bapa [baca artikel Sabar itu Subur dalam buletin PILLAR edisi lalu]. Dan meskipun mengalami kepedihan yang mendalam, Calvin tetap memiliki iman, pengharapan, cinta kasih, dan interpretasi yang benar terhadap tuduhan-tuduhan musuhnya. Calvin tetap berjiwa besar, memiliki kingdom-minded, dan menunjukkan keagungan karakternya. Calvin menafsirkan seluruh hidupnya dari kacamata rencana kekal Allah, kehendak Allah, dan kedaulatan Allah atas kerajaan-Nya, bukan dari kacamata kebaikan, kesenangan, kenyamanan, keinginan, kerajaan dirinya dan keluarganya. Hal ini terlihat di dalam tulisannya dan biografi Calvin yang ditulis muridnya, Theodore Beza [baca sepotong kutipan tulisan Beza tentang kehidupan gurunya 2 paragraf di bawah ini].

“The Lord gave me a son but soon took him away. Baudouin [red: Calvin’s enemy] reckons this among my disgraces that I have no children. I have myriads of sons throughout the Christian world.”[xi]

Lalu, apakah yang diucapkan oleh Calvin dan Idelette pada detik-detik menjelang kematian Idelette? Jiwa saling mengasihi dan mendahulukan yang lain terpancar dengan jelas dari perkataan mereka. Argumen dan tuturan yang penuh bijaksana, kedalaman pengalaman, pergumulan, dan firman Tuhan begitu nyata dalam percakapan mereka. Meskipun Calvin awalnya terlihat ketat, ‘egois’, dan berstandar tinggi dalam memilih istri, sesungguhnya Calvin adalah seseorang yang tulus, perhatian, penuh cinta kasih, dan hangat. Dia begitu mengasihi dan memperhatikan anak-anak Idelette dari pernikahannya yang pertama.

Idelette: “I have already commended them to the Lord”. (about her own two children)

Calvin: “That will not prevent me from caring for them.”

Idelette: “I am sure you will not neglect the children whom you know to be commended to the Lord.”

Calvin: “This greatness of soul will influence me more powerfully than a hundred commendations would have done.”[xii]

Apakah dengan meninggalnya Idelette, pergumulan Calvin terhadap tuduhan-tuduhan musuhnya berhenti? Tidak. Bahkan sampai akhir hayat Idelette pun, musuhnya masih mencari-cari kesalahan Calvin dengan menuduhnya kejam dan tidak berbelas kasihan.

Johan: “Wah, ternyata Calvin seorang yang agung yah…. Prinsip-prinsip Alkitab yang dihidupinya menjadikannya seseorang yang stabil, tenang, dan kuat menghadapi segala pergumulan, ujian, dan kesulitan yang timbul. Calvin pasti bukan orang biasa seperti kita atau orang-orang pada umumnya. Pergumulan dia begitu sulit, melampaui kesulitan yang diterima manusia kebanyakan. Aku yakin hanya sedikit orang di dunia ini sepanjang sejarah yang pernah mengalami ujian seberat dia. Tetapi aku kagum, karena justru respon dia tidak pernah berubah dan konsisten, yaitu: Cor meum tibi offero Domine prompte et sincere (I offer my heart to God promptly and sincerely) seperti yang dibahas Pdt. Sutjipto Subeno di NREC 2008. Calvin adalah hamba Tuhan yang tidak pernah bergeser dari panggilannya melayani Tuhan, terlihat bukan saja dari motto hidupnya tetapi juga dari kesaksian orang-orang di sekitarnya seperti yang tertulis di dalam biografi Calvin yang dituliskan oleh Theodore Beza, muridnya:

“What his ordinary labors at this time were will be seen from the following statement. During the week he preached every alternate and lectured every third day, on Thursday he met with the Presbytery, and on Friday attended the ordinary Scripture meeting, called ‘The Congregation’, where he had his full share of the duty. He also wrote most learned Commentaries on several of the books of Scripture, besides answering the enemies of religion, and maintaining an extensive correspondence on matters of importance. Any one who reads these attentively, will be astonished how one man could be fit for labors so numerous and so great”.[xiii]

John: “Iya. Calvin seorang yang agung yah, dia layak disebut gentleman [baca transkrip Gentleman & Small Man di buletin Pillar beberapa edisi terakhir]. Kalau menurut ajaran orang-orang China tuh yah, kestabilan, ketenangan, dan kekuatan itu mirip ama pohon bambu yang begitu luwes. Ketika tertiup angin kencang, pohon bambu tidak mudah patah karena sifatnya lentur dan memiliki himpunan reaksi kekuatan untuk membalas tiupan angin yang sama kuatnya… Aku baca ini di Kungfu Boy lho… Dan aku pun yakin, Calvin pasti merasa dirinya orang berdosa sama seperti kita dan manusia yang lain. Bahkan, orang seperti Calvin pasti mengharapkan dan sangat mendorong kita semua untuk bisa terus bertumbuh seperti dia sesuai dengan panggilan Tuhan masing-masing. Contohnya itu George Muller yang adalah man of faith, man of prayer, dan father of orphans and fatherless. Kesaksian iman dan pelayanannya begitu baik, diterima, dan banyak orang ingin belajar dari dia. Responnya terhadap orang-orang pada umumnya adalah bahwa dia adalah orang biasa, bukan orang yang khusus memiliki karunia iman. Karena iman dan pelayanannya hanya didasarkan pada lutut dan doanya tiap hari yang konsisten, sungguh-sungguh, dan setia. Itu semua hanyalah sejauh doa di mana setiap kita seharusnya bisa melakukan itu. Dan ngomong-ngomong soal hubungan Calvin dan teman-temannya, apakah mereka seperti Elifas, Bildad, dan Zofar, dan gimana sikap Calvin terhadap mereka, ternyata ada hubungan yang indah terjadi di antara mereka. Aku jadi merasa nama John ini terlalu berat buat aku nih. Sudah mengikut Rasul Yohanes, sekarang ditambah lagi dengan Calvin.

Johan: “Eits… nanti dulu. Bukannya Rasul Yohanes dan Calvin, sama halnya dengan George Muller, nggak mau kita excuse. Kita lihat aja eksposisi Calvin di Roma 1:18-32 mengenai dalih manusia yang melawan Allah, firman-Nya, dan wahyu-Nya.

John: “Iya sih ….”

Calvin sangat menghargai setiap usaha teman-temannya untuk menghibur dan meringankan beban dan penderitaan jiwanya, mendoakan teman-temannya, bahkan ucapannya diakhiri dengan doksologi yang tetap percaya, berharap, dan memuliakan Tuhan:

“My friends leave nothing undone to lighten, in some degree, the sorrow of my soul. . . . May the Lord Jesus confirm you by his Spirit, and me also under this great affliction, which certainly would have crushed me had not He whose office it is to raise up the prostrate, to strengthen the weak, and to revive the faint, extended help to me from heaven”.’[xiv]

Dan Calvin sampai akhir hidupnya terus bekerja keras, fokus, dan menunaikan tugas panggilannya dengan penuh pengharapan terhadap kemuliaan yang Tuhan nyatakan dan tidak pernah menikah lagi [baca artikel Calvin and Meditation of the Future Life di buletin PILLAR edisi 2 bulan lalu]. Dia telah menetapkan hatinya untuk tetap berpaut kepada kesetiaan Allah, pemeliharan Allah di dalam kedaulatan Allah. Apakah hati kita masih bercabang dalam pengikutan kita kepada Tuhan bahkan sebelum diuji seperti Calvin?

Lukas Yuan Utomo

Redaksi Bahasa PILLAR


[i]  Philip Schaff, History of the Christian Church, Vol. VIII.  [diambil dari sumber sekunder: http://en.wikipedia.org/wiki/Idelette_Calvin dan http://www.the-highway.com/Idelette.html pada tanggal 27-07-2009]

[ii]  http://www.the-highway.com/Idelette.html [diambil pada tanggal 27-07-2009]

[iii]  http://www.gameo.org/encyclopedia/contents/B8476.html [diambil pada tanggal 27-07-2009]

[iv]  http://thirdmill.org/newfiles/jh_alexander/jh_alexander.wifeofcalvin.doc [diambil pada tanggal 27-08-2009]

[v]   Ibid.

[vi]   Ibid.

[vii]   http://www.the-highway.com/Idelette.html [diambil pada tanggal 27-07-2009]

[viii]  http://www.gameo.org/encyclopedia/contents/B8476.html [diambil pada tanggal 27-07-2009]

[ix]  http://www.the-highway.com/Idelette.html [diambil pada tanggal 27-07-2009]

[x]  Ibid.

[xi]  Ibid.

[xii]  Ibid.

[xiii]  Theodore beza, The Life of John Calvin

[xiv]  http://www.the-highway.com/Idelette.html [diambil pada tanggal 27-07-2009]