Kursi dalam ruangan

Dalam esainya yang berjudul “Reason and Belief in God”, Alvin Plantinga mengemukakan bahwa setiap orang memiliki suatu noetic structure atau struktur pengetahuan (pikiran). Ini adalah kumpulan proposisi yang kita percayai, yang membentuk suatu jaringan. Suatu proposisi ditopang sementara ia menopang proposisi yang lain. Yang pasti, jika kita menelusurinya sampai ke dasar, noetic structure kita pasti memiliki fondasi, yaitu kumpulan proposisi yang tidak ditopang oleh proposisi-proposisi yang lain, karena jika kumpulan proposisi ini ditopang oleh proposisi-proposisi yang lain, maka kumpulan proposisi ini bukanlah fondasi. Proposisi-proposisi dasar ini tidak lain adalah presaposisi kita, atau dengan kata lain, worldview kita—iman kita.

Setiap orang memiliki presaposisi. Jika tidak, pengetahuan menjadi tidak akan mungkin. Inilah yang dimaksud oleh Agustinus dan Anselm dengan credo ut intelligam (percaya supaya mengerti) dan fides quaerens intellectum (iman mencari pengertian). Anselm mengatakan, “Saya tidak mencari pengertian supaya percaya tetapi saya percaya supaya mengerti. Karena saya percaya akan hal ini: bahwa saya tidak akan mengerti jika saya tidak percaya.” Prinsip ini berlaku dalam hal apapun, termasuk ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak akan mungkin jika para ilmuwan tidak mempercayai bahwa ada keteraturan dalam kosmos, atau bahwa indera mereka dapat dipercayai. Orang Kristen pun memiliki presaposisi, misalnya bahwa Tuhan ada, manusia berdosa, dan Alkitab adalah Firman Tuhan. Worldview Kristen didasari oleh proposisi-proposisi ini.

Karena presaposisi mendasari proposisi-proposisi lain yang membentuk jaringan kepercayaan kita, maka tidak ada proposisi lain dalam jaringan itu yang diperlukan untuk menopang presaposisi kita. Dengan kata lain, presaposisi tidak memerlukan bukti. Tetapi meskipun presaposisi tidak memerlukan bukti, tidak berarti bahwa segala worldview itu sama benarnya hanya karena setiap worldview mengklaim dirinya benar. Dalam Alkitab, misalnya, ada klaim bahwa Alkitab itu adalah Firman Tuhan. Tapi begitu pula dengan Quran dan kitab Mormon. Lantas apakah dengan demikian semuanya sama-sama benar? Tentu tidak. Kita perlu tahu bahwa kebenaran adalah kebenaran, tidak peduli bagaimana kita menganggapnya. Jika benar bahwa ada kursi dalam ruangan ini, klaim seseorang bahwa tidak ada kursi dalam ruangan ini tidak menjadikan kebenaran itu salah. Di sini kita perlu mengerti dengan jelas perbedaan antara kebenaran dan klaim kebenaran. Kebenaran berhak mengklaim dirinya benar, namun tidak semua klaim kebenaran adalah benar. Lalu bagaimana kita menunjukkan bahwa klaim yang salah itu salah?

Kita dapat menguji setiap worldview dengan berbagai kriteria seperti yang dijelaskan dalam buku “Iman dan Akal Budi” dan “Konflik Wawasan Dunia” (keduanya ditulis oleh Ronald Nash). Salah satu kriteria pengujinya adalah apakah worldview tersebut dapat menjelaskan apa yang kita alami di dunia ini. Saya melihatnya demikian: kita mempunyai presaposisi dan kita membangun noetic structure kita berdasarkan presaposisi tersebut. Apa yang kita tahu dari dunia ini tentu saja haruslah dapat dijelaskan oleh proposisi-proposisi yang kita percayai, yang kita bangun dari presaposisi kita. Jika tidak, presaposisi kita perlu dipertanyakan. Kembali kepada contoh kursi, jika seseorang mengklaim bahwa tidak ada kursi dalam ruangan ini, tentunya tidak berlebihan untuk mengharapkan bahwa saya tidak akan melihat kursi ketika memasuki ruangan ini. Jika ternyata saya melihat kursi dalam ruangan ini, maka klaim tersebut perlu dipertanyakan.

Akan tetapi kriteria penguji ini saja tidak cukup. Dalam kelas berpikir kritis yang pernah saya ikuti di sekolah, kami pernah mendiskusikan tulisan Karl Popper, salah seorang filsuf yang cukup berpengaruh dalam menumbangkan positivisme logis dari Lingkungan Wina. Teori Popper yang terkenal mengenai filsafat ilmu pengetahuan adalah bahwa suatu teori adalah ilmiah bukan jika teori itu dapat dibuktikan benar, tetapi hanya jika teori itu mungkin untuk dibuktikan salah. Yang menentukan apakah suatu teori itu ilmiah adalah kemungkinannya untuk dibuktikan salah. Popper membandingkan teori Freud dan teori Adler dan ia cukup terperanjat menemukan bahwa kedua teori tersebut dapat menjelaskan suatu fenomena dengan sama baiknya. Bahkan, fenomena psikologis apa pun dapat dijelaskan dengan teori mereka. Dengan kata lain, teori mereka selalu terbukti ‘benar’. Lain halnya dengan teori Einstein, misalnya. Kita bisa melakukan suatu eksperimen yang jika hasilnya adalah B dan bukan A, maka teori Einstein salah. Dari sini Popper tiba pada konklusinya. Suatu teori adalah ilmiah hanya jika teori itu mungkin dibuktikan salah. Ia menemukan bahwa teori Freud atau Adler tidak memenuhi kriteria ini. Teori mereka tidak mungkin untuk digagalkan. Karena itu teori mereka tidak ilmiah. Kemudian seorang mahasiswa di kelas saya bertanya, “Lalu bagaimana dengan agama-agama? Bukankah agama-agama juga tidak mungkin digagalkan?”

Saya tidak mengatakan bahwa saya setuju dengan teori Popper (bahkan kita bisa mempertanyakan apakah teori Popper dengan kriterianya sendiri bisa dikatakan ilmiah), karena jelas kebenaran akan dinyatakan dengan sejelas-jelasnya pada saat Kristus datang kelak—dengan kata lain, segala teori mungkin untuk dibuktikan salah. Namun pertanyaan teman saya ini perlu mendapat perhatian. Setiap agama mempunyai presaposisinya masing-masing mengenai kehidupan, dan setiap agama kelihatan mampu menjelaskan kehidupan. Jika tidak, mungkin sekarang hanya tertinggal satu agama atau worldview di muka bumi ini. Apalagi di zaman posmodern yang meragukan konsep kebenaran itu sendiri, apologetika menemukan tantangan-tantangan baru. Kembali lagi kepada contoh kursi, jika benar bahwa ada kursi dalam ruangan ini, dan saya memang melihat kursi dalam ruangan ini, orang skeptis, misalnya, bisa saja mengatakan, “Bagaimana kita tahu? Bukankah indera kita terbatas? Mungkin saja kita seolah-olah melihat kursi padahal tidak ada kursi.” Orang relativis bisa saja mengatakan, “Kamu pikir kamu melihat kursi, aku tidak. Itu hanya tergantung kamu mau percaya apa.” Lain lagi dengan orang antirealis. Ia bisa saja mengatakan, “Memang seolah-olah kita melihat kursi. Tapi apakah benar-benar ada kursi di ruangan ini? Tidak. Itu hanyalah sensasi gelombang cahaya yang menghasilkan gambar kursi di otak kita.” Faktanya adalah bahwa orang akan mati-matian membela presaposisinya, karena itu menempati posisi yang paling mendasar dari seluruh noetic structure-nya. Dengan mengakui kesalahan mereka, berarti mereka harus rela menanggalkan presaposisi mereka dan membangunnya kembali dengan presaposisi yang baru. Namun mereka tidak akan dengan mudahnya membiarkan hal ini terjadi. Sementara saya bisa percaya dengan mutlak bahwa iman Kristen adalah iman yang benar, adalah sangat sulit, jika bukan mustahil bagi saya (dengan kemampuan saya sendiri) untuk secara telak meyakinkan mereka yang menganut worldview yang berbeda dengan saya bahwa worldview mereka salah. Tetapi inilah apologetika. Kita bukan sedang berperang dalam level proposisi-proposisi derivatif, yang jika digugurkan tidak akan berpengaruh terlalu banyak terhadap seluruh konsep kepercayaan seseorang. Sebaliknya kita sedang berperang dalam level proposisi-proposisi dasar—level presaposisi. Di satu sisi pengertian akan konsep presaposisi ini penting bagi kita ketika kita berapologetika, namun di sisi yang lain kita tahu ini adalah peperangan yang sangat sulit, kalau bukan mustahil.

Jadi bagaimana? Adakah jaminan keberhasilan bagi apologetika kita? Tentu. Jaminan kita ada pada Allah Tritunggal. Allah yang sejati telah mewahyukan diri-Nya melalui ciptaan-Nya dan memperlengkapi manusia untuk mengenal-Nya. Calvin mengatakan:

“There is within the human mind, and indeed by natural instinct, an awareness of divinity (divinitatis sensum). This we take to be beyond controversy. To prevent anyone from taking refuge in the pretense of ignorance, God himself implanted in all men a certain understanding of his divine majesty.”

Dan jika mengingat kesaksian pertobatan kita, mungkin sebagian besar dari kita percaya bukan karena argumen yang canggih, melainkan karena kesaksian hidup orang Kristen yang sungguh-sungguh memancarkan Kristus, atau karena keunikan pribadi Kristus yang kita temukan dalam Alkitab atau orang ceritakan kepada kita. Dan kita tahu ini bukanlah pekerjaan manusia. Segala argumen kita hanyalah alat di tangan Tuhan. Dialah yang mengubah hati. Di sinilah Roh Kudus bekerja—melahirbarukan kita, memberikan iman kepada kita yang mendengar Firman Tuhan.

Sebagian orang diberikan kesempatan untuk mengalami dan membandingkan beberapa worldview yang pernah mereka percayai sebelum akhirnya menerima worldview Kristen, sebagian lagi tidak melalui cara demikian. Semuanya ini, jika pada akhirnya kita dapat memiliki iman, ini hanya karena kasih karunia. Sola Gratia!

Referensi:
Michael J. Murray (Ed.), Reason for the Hope Within
Ronald Nash, Faith and Reason