Membunuh Pemuda Kristen: Dari Konsepsi Hingga Metodologi

cssshhh…” Suara pemantik api terdengar dari ujung ruangan. Setitik cahaya menyala di sana, berpendar bersama segumpal asap yang mengepul. sssshhhfff… fuuffhh… Suara seseorang menghisap rokok.

“Tuan hisap juga buatan manusia itu?”

“Hanya mencoba. Ingin kuukur seberapa nikmat tiap hisapannya. Kenapa kaudatang kemari, J?”

“Hamba ingin menyampaikan strategi kita untuk membunuh pemuda Kristen, Tuanku. Strategi makro. Long run. Minimal, satu-dua generasi ke depan akan termakan.”

“Ah, pemuda Kristen… Mainan yang menyenangkan. Tingkah mereka tak pernah bosan dijadikan tontonan. Kau sendirian? Mana O?”

“Dia sedang membantai sekelompok pemuda Kristen, Tuanku. Mungkin tak sempat kemari. Tetapi peta besar strategi kita sudah kami godok. Proyeksi kami, sejumlah besar pemuda akan gugur. Kami tinggal menunggu perintah Tuanku saja.” Sesosok makhluk yang dipanggil tuan itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Tampaknya samar-samar, tertutup oleh gelap. Namun auranya terasa sangat mengerikan dan menekan. Ia memberikan kode kecil dengan tangannya, tanda memberi izin melanjutkan.

“Ceritakan padaku strategi kalian. Aku mendengar,” jawabnya dengan suara parau. Dari suaranya saja aku bisa tahu, sesosok dari balik gelap itu sudah sangat tua. Bahkan mungkin, purba.

“Tuanku K, kelemahan pemuda Kristen masa kini sangat sederhana. Mereka memandang semuanya hanya soal rasa. Rasa sudah rohani, rasa sudah Kristen, rasa sudah hebat, dan terutama, rasa sudah religius. Dengan dasar itu, kami berencana untuk membuat mereka terhanyut hanya dalam perasaan religius tersebut. Kami tidak akan menjauhkan mereka dari gereja. Justru kami akan turut berbagian untuk membawa mereka masuk ke dalam gereja. Sebab, kami tidak mau memberikan ruang yang lebih memungkinkan bagi mereka untuk bertobat. Kalau mereka jauh dari gereja, mereka akan lebih mudah menyadari bahwa mereka orang yang rusak dan tidak religius.

Kami ingin membuat perasaan mereka begitu terasosiasi dengan gereja. Tetapi, hanya sebatas perasaannya saja. Ada beberapa aspek yang bisa kita kembangkan untuk membangun perasaan itu, ya Tuanku. Kita bisa meminjam patologi orang Kristen itu sendiri. Yaitu soal intelektualisme, aktivisme, dan spiritualisme. Tiga aspek tersebut selama ini terbukti selalu berhasil menjebak pemuda-pemudi Kristen, ya Tuanku.

Tuanku, pemuda-pemudi Kristen sudah terbiasa hanya menekankan salah satunya saja di dalam membangun kerohanian mereka. Hal ini, kita tahu, disebabkan oleh karena Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) kerajaan kita yang telah berhasil menciptakan konteks dunia yang makin parsial dan instan. Tanpa keutuhan, pemuda Kristen akan dengan mudah kita arahkan kepada anomali-anomali yang, sekilas mirip dengan semangat kekristenan, tetapi sesungguhnya substansinya salah arah.

Kami berencana untuk membangun perasaan religius mereka yang tidak terhubung dengan beban dan panggilan gereja. Namun pada saat bersamaan, kami juga tidak akan membiarkan mereka kehilangan perasaan komunal. Kita tahu, manusia itu imago “you know who”. Secara natur, Dia-Yang-kita-lawan itu adalah patron dari kemanusiaan. Sehingga kebutuhan relasional sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan bagi manusia. Jadi, kami ingin menjaga mereka untuk tetap berada di dalam gereja, tetapi tidak terlalu ingin terlibat dengan pekerjaan gerejawi.

Kami telah melakukan kajian dan percobaan, ya Tuanku. Betul bahwa kita bisa merusak pemuda Kristen ketika kita memisahkan mereka dari komunitas yang rohani. Tetapi daya rusaknya terlalu kecil. Dampaknya hanya pada individu-individu tersebut, sedangkan efek kepada “bastion” komunitas Kristen mereka minim. Dengan turut memelihara mereka di dalam gereja, kita telah melakukan sebuah langkah taktis. Selain karena kita akan membiarkan mereka rusak secara perlahan, mereka juga diharapkan menularkan semangat yang sama di dalam gereja. Kami membiarkan semangat itu mewabah dari dalam. Skema ini mereplikasi eksperimen merebus katak dengan api kecil, ya Tuanku. Uji saintifik ini terbukti manjur untuk membuat katak tersebut tak sadar dengan suhu air yang meningkat secara perlahan; ketimbang panas yang naik drastis dan membuat katak tersebut kaget lalu melompat keluar.

Replikasi dari uji percobaan ini akan membuat mereka lengah. Sehingga, ketika mereka berada pada tepi-tepi kejatuhan dan menjadi sadar, waktu yang mereka punya sudah keburu habis. Tak ada waktu dan tenaga lagi untuk berbalik. Sebab kondisi sudah terlalu masif mengungkung, memenjarakan masyarakat kristiani di dalam sebuah kondisi yang mati suri.

Metodologi yang kami lakukan adalah dengan cara menciptakan wadah komunal yang menjadikan kenyamanan sebagai tujuan akhir. Triknya terletak di sini, ya Tuanku, bahwa para pemuda itu akan terkungkung di dalam sebuah simulasi. Simulasi komunitas sorgawi yang kita ciptakan. Kuncinya ada pada kata “simulasi”. Ia menyerupai, tetapi ia bukan yang sesungguhnya. Biarkan mereka puas dalam simulasi tersebut. Biarkan kehausan religi mereka dipuaskan, tetapi hanya sampai pada tataran self-satisfaction saja. Bukankah “perut yang kenyang” membuat orang tidak mengomel, ya Tuanku? Mereka tak akan pernah merasa bermasalah.”

“Menarik. Berikan aku lebih banyak korban J. Lebih banyak lagi.”

“Baik, Tuanku. Kami juga kembali berencana melanjutkan taktik schism. Skema perpecahan sangat cocok untuk diterapkan kepada kelompok pemuda Kristen yang mengedepankan tiga aspek: theologi yang solid, spiritualitas yang saleh, dan kegigihan perjuangan dalam bentuk movement yang konkret. Jenis yang seperti ini justru berbahaya bila bersatu. Maka perlu kita pecah-pecahkan, Tuanku. Strategi ini tidak cocok bila diterapkan kepada jenis kelompok yang mengutamakan komunalitas sebagai tujuan. Karena selain tak bernilai strategis, ia juga kontra produktif dengan rancangan strategi awal kita; seperti yang sudah saya uraikan di atas.

Untuk penerapannya sendiri, kami membagi target ke dalam dua kategori, ya Tuanku. Kategori ini berdasarkan umur dari lamanya pemuda-pemudi tersebut mengenal iman mereka. Untuk kelompok dengan komposisi pemuda/i yang masih seumur jagung, kunci kita terletak pada sinful religious pride dari orang-orang muda itu. Kita akan membangun suatu kebanggaan religi yang berlebihan dalam diri mereka. Baik pada tiap individunya, maupun pada kelompok komunal mereka.

Kita akan memantik mereka untuk saling menghajar satu sama lain. Skema ini dimungkinkan untuk kita lakukan mengingat religiositas memiliki aspek absolut. Natur absolut ini, bila salah dimengerti, akan berimplikasi pada tidak diberikannya ruang bagi yang lain, bagi yang berbeda. Kekristenan memiliki aspek absolut, tetapi bukan absolutisme monotheis. Untungnya, mereka yang masih muda jiwanya sering kali tidak mengerti hal ini. Maklum, sedang semangat-semangatnya; sekaligus juga, sedang bodoh-bodohnya. Sehingga, kita akan putar balikkan pemahaman mereka akan apa yang absolut dan apa yang relatif. Biarlah mereka saling gebuk di hadapan Tuanku, dan di hadapan Musuh Tuanku itu.

Gereja itu sesungguhnya rentan, Tuan. Sebab, sudah menjadi sebuah rahasia umum kalau di dalam gereja terdapat banyak faksi. Dari luar mereka terlihat solid, tetapi sesungguhnya “damai” yang mereka punya hanya terjadi karena setiap orang/kelompok di dalamnya sedang saling menggenggam belati di leher orang/kelompok lainnya. Tenteram hanya karena saling terancam dan mengancam. Hanya dibutuhkan sebuah pemantik kecil untuk memicu aksi saling gorok di situ. Kami perhatikan mereka bersatu bukan karena memiliki cinta persaudaraan dari Musuhmu itu, ya Tuanku, melainkan lebih karena mereka tidak ingin kehilangan bagian yang sudah menjadi milik mereka di sana.

Lalu untuk menambah ringkih situasi dan kondisi, kita juga bisa menambahkan kelompok/individu lain yang senang memainkan posisi sebagai pendamai, namun pendamai ala postmodern. Dalam warna pemikiran postmo, konflik dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Segala hal yang berpotensi mengganggu solidaritas akan dilihat sebagai anomali yang perlu dilawan. Tak peduli sekalipun isu yang diangkat bersifat konstruktif dan introspektif.

Akar filosofisnya terletak pada semangat relativisme, yang muncul akibat gerakan antipati radikal terhadap dunia modern. Masa yang nilai-nilai pokoknya dianggap telah gagal karena membawa dunia kepada Perang Dunia pertama dan kedua. Semangat otoriter, hierarkis, dan absolut memang menjadi ciri khas dunia modern. Akibatnya, semangat dekonstruksi dari tatanan modern terjadi. Perlawanan terhadap otoritas, semangat egaliter, dan relativisme menjadi embrio yang lahir melalui masa transisi ini, Tuanku.

Egaliter sebagai sesama imago you-know-who memang benar. Tetapi kami akan mengaburkan pemahaman mereka dari penafsiran yang semacam demikian. Kami akan membuat mereka memandang semangat tersebut sebagai kesamaan/kesederajatan mutlak atas segala sesuatu. Baik yang benar maupun yang salah, semua sama. Sehingga, tak ada lagi yang salah ataupun yang benar. Semua benar adanya, perbedaan itu hanya soal persepsinya saja. Dengan demikian, terciptalah sebuah kedamaian yang semu. Kembali, yang kita tawarkan adalah simulasi dari true peace, yaitu “kedamaian” yang membunuh kesempatan bagi tumbuhnya kebenaran.

Tuanku, melalui kerangka sosial yang semacam demikian, orang-orang yang sungguh-sungguh ingin mengejar pertanggungjawaban iman secara mendalam pasti akan tergencet. Mereka akan dipandang sebagai pembuat onar di tengah-tengah situasi “damai” tersebut. Kita tidak perlu repot-repot menekan mereka. Para pemuda Kristen itu sendiri yang akan melakukannya untuk kita. Hahahaha!! Di sisi lain,sinful religious pride dari mereka yang tergencet itu akan lebih mudah berkembang di bawah tekanan. Sebab, untuk sebagian konteks mereka memang sedang memperjuangkan apa yang benar. Tetapi biasanya mereka kebablasan, Tuanku. Baik kawan maupun lawan mereka pukul juga.

Dengan kondisi tersebut, sebenarnya kita telah menciptakan jebakan ganda bagi mereka. Kalau mereka menjadi minder, mereka akan terpuruk. Sebaliknya, kalau mereka menjadi sombong, karena merasa sebagai yang satu-satunya, yang paling memperjuangkan apa yang benar, mereka juga akan jatuh. Pokoknya, ke mana pun mereka coba melangkah, kita sudah siapkan lubangnya. HAHAHA! Maafkan hamba yang tertawa lancang, Tuanku.”

“Tak apa J. Menertawakan mereka, umat dari Dia-Yang-kita-lawan itu, memang perlu. Kuizinkan. Lalu pertanyaanku, bagaimana dengan para pemuda veteran mereka?”

“Tidak perlu khawatir, Tuanku. Mereka tak pernah punya veteran. Mayoritas selalu mati ketika masih belum jadi. Mereka tidak sadar, secara long term, gereja akan makin kehilangan para pemimpinnya. Generasi muda Kristen akan menjadi tua tanpa pernah diperlengkapi secara cukup untuk menanggung beban gereja dan tekanan dunia di masa yang akan datang. Kalau sudah begitu, gereja secara tidak sadar akan mati suri dan turut mempermalukan Dia, Yang Kudus dari Allah itu, Tuanku. Dendam Tuanku kepada Dia akan terbalas, melalui tangan dari mempelai-Nya sendiri. Taktik proxy ini paling tidak dimengerti oleh muda-mudi Kristen yang masih unyu-unyu lugu tetapi belagu itu, Tuanku. Mereka merasa diri rohani, tetapi sesungguhnya kehidupan mereka hanya akan menjadi alat di tangan kita. Alat untuk melawan Tuhan mereka sendiri, dan melalui sarana dari gereja itu sendiri. HAHAHAHA!!!” Dengan suara paraunya, sosok tua itu menjawab.

“Bagus J… Tetapi, aku belum puas. Tambahkan kekuatan lain. Gunakan arus yang selama ini sudah kita bangun di luar gereja dan kekristenan. Gunakan kebangkitan dari ideologi lain. Semua itu sudah kita bangun konstruksinya selama ribuan tahun. Aku ingin kaupakai juga untuk membunuh mereka.”

“Betul, Tuanku. Aku yakin, O sedang mengerjakannya. Efek dosa terhadap pemikiran manusia telah begitu kuat membentuk arusnya sendiri di dalam sejarah. Kami hanya tinggal memanfaatkannya. Salah satu sub-skema yang sedang kami kerjakan adalah membangun kemenarikan dari agama-agama lain lewat tiga pilarnya. Kekuatan intelektualisme dari agama-agama lain akan kami bangun. Sampai-sampai kalau bisa, orang pilihan pun turut disesatkan. Karena kami ingin agar pemuda-pemudi Kristen tersebut kagum ketika melihat agama dan ideologi lain, seolah-olah, lebih dapat memberikan penjelasan dan jawaban akan realitas dunia ini ketimbang iman mereka sendiri. Agama-agama beserta ideologi yang ada tersebut akan kami arahkan kepada “bijaksana” yang kita dapat dari Dia, Yang kaubenci itu, Tuanku.” Tiba-tiba sosok yang dipanggil K itu meraung dengan kencang. Seperti seekor singa ia mengaum.

“J! Aku tak tahan melihat takhta Sang Kekal di sana! Dia menertawakan kita, para penentang-Nya. Aku tersiksa atas kehadiran-Nya, dan atas fakta bahwa kita sudah pasti kalah dalam peperangan ini. Kekalahan telak akan berada di pihak kita. Tak peduli seberapa kuat dan kompleksnya strategi kita, juga tak peduli seberapa bodohnya umat tebusan Anak Domba Allah itu!”

“Jangan khawatir, Tuanku. Bukankah kita belajar dari sejarah bahwa “Israel” milik-Nya itu tak pernah berubah? Mereka tak pernah belajar dari sejarah. Kita dapat melakukan reverse psychology di sini, Tuanku. Pada satu sisi kita akan terus berpropaganda supaya para pemuda Kristen itu merasa begitu percaya diri akan kondisi intelektual, moral, dan spiritual mereka dibandingkan dengan orang lain. Biarkan mereka terus memiliki asumsi bahwa orang di luar sana lebih buruk ketimbang mereka. Sehingga mereka tak pernah sadar kalau mereka telah jauh tertinggal. Sampai suatu saat, dengan mata kepala sendiri, mereka melihat betapa cerdas, saleh, dan bersemangatnya pemuda-pemudi non-Kristen di luar sana. Kita akan buat muda-mudi Kristen itu begitu terpesona kepada pencapaian dunia; sampai-sampai mereka merasa intelektualitas, kesalehan, dan semangat perjuangan kelompok Kristen itu tak ada apa-apanya. Akibatnya nanti, jadilah mereka sebagai generasi muda yang universalis, yang pluralis, dan yang apatis akan iman mereka sendiri. Beberapa dari pemuda-pemudi itu nanti pasti akan menjadi nabi kita, membawa pola pikir dan semangat yang sama ke dalam gereja.

Pemuda Kristen akhirnya tak akan pernah punya corak identitas yang kuat. Kenapa? Karena tidak ada lagi generasi muda yang mampu, dan mau, membangun kedalaman, ketajaman, dan keutuhan iman Kristen. Mereka bangga menjadi easy-going Christian. Sehingga, perlahan namun pasti, gereja pasti akan mati. Tentu bukan karena ketiadaan gedungnya, melainkan karena ketiadaan imannya. Itu yang kami incar, ya Tuanku. Kami akan menciptakan sebuah kondisi di mana keberadaan gereja dan aktivitas umatnya tetap ada secara fisik. Hal ini perlu dilakukan untuk membuat mereka lengah dan tidak peka akan kondisi mereka sendiri. Dengan demikian, ketika ada orang yang Dia utus kepada umat kepunyaan-Nya untuk membangkitkan, mereka akan dengan sangat mudah berdalih. “Kekristenan mati? Mana buktinya? Gereja tetap ada di mana-mana, dan orang-orang masih terus datang berbakti kok. Lalu di mana buktinya? Dasar orang gila,” begitu kira-kira narasi yang akan kami bangun.

Narasi klasik tersebut terbukti selalu berhasil, Tuanku. Sebab kami telah menelusuri sejarah, dan belajar darinya. Kami telah lama mengikuti perjalanan mereka, dan kami temukan bahwa umat yang katanya kepunyaan Allah, Sang Pemilik sejarah itu, ternyata adalah orang-orang yang paling tak pernah belajar dari sejarah. Mereka sesungguhnya kumpulan orang yang paling konyol, Tuanku. Hihihi! Para pemuda ini lebih mirip badut ketimbang laskar iman. Jujur saja Tuanku, hambamu ini ingin sekali tertawa sekencang-kencangnya di hadapan muka mereka satu per satu. Mereka itu sudah cupu, belagu lagi. Justru itu yang menjadikan mereka lucu. Tetapi sialnya bagi kita, Dia Yang Benar dan Setia itu yang akan menjadi Pembela mereka. Dia yang akan menjadi Gembala mereka, yang juga adalah Kepala dari Gereja. Yang Awal dan Yang Akhir itu…” Belum selesai sosok J berbicara, tangan K yang penuh cakar membungkam mulutnya.

“Berhenti membicarakan Dia, atau kepalamu akan menggelinding juga di lantai ini.”

“Ampun, Tuanku! Ampun! Aku hendak berhenti membicarakan-Nya, tetapi entah mengapa aku tak bisa. Aku tak bisa berdusta tentang nama-nama-Nya. Aku ingin mengutuki-Nya, namun aku tak sanggup! Hatiku terlalu gentar, dan bibirku terlalu gemetar! Aku tak berani! Aku ketakutan, Tuanku!” Sambil bangkit dari tempatnya duduk, sosok K membentak dengan suara yang menggelegar.

“Diam! Kauingin kita jadi bahan tertawaan ketika orang-orang tahu setan pun ketakutan terhadap-Nya? Sudah! Kita selesaikan saja pembicaraan ini! Soal strategi, segera kaueksekusi! Generasi muda Kristen harus kita binasakan sebanyak-banyaknya! Aku ingin bila kita binasa nanti, biarlah kita binasa bersama banyak manusia; terutama bersama mereka, para penerus gereja. Tak akan pernah kubiarkan kita dihukum ke dalam neraka tanpa perlawanan. Gerakkan pasukan! Koordinasikan strategi ini dengan panglima-panglimaku yang lain!”

“Siap! Laksanakan, Tuanku! Aku akan segera berkonsolidasi dengan O, E, dan R.” Sambil menarik satu hisapan terakhir, K kembali duduk dengan perlahan. Cih, rokok manusia ini sudah habis. Ternyata, cukup hanya sepuntung rokok saja lamanya untuk membicarakan cara membunuh pemuda Kristen. Hahahaha….” Setelah tawanya mengisi seluruh pojok di ruangan itu, suasana tiba-tiba menjadi senyap. Sunyi dan sepi. Seakan-akan suara lari terburu-buru dari ruangan itu. Sesosok makhluk yang dari tadi dipanggil K itu tiba-tiba diam, tak bergerak. Nuansa seketika berubah menjadi begitu mencekam. Pelan-pelan, kepala dari sosok itu berbalik 180 derajat, hingga wajahnya mengarah kepada pembaca. Sambil tersenyum kepadamu, dia berkata, “Hi, young men… why so serious?”

Nikki Tirta

Pemuda FIRES