Ada sebuah konsep atau falsafah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita, yaitu sandang-pangan-papan. Ini merupakan konsep dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sandang berarti pakaian, pangan berarti makanan, dan papan berarti tempat tinggal. Urutan ini sebenarnya tidak bisa dibolak-balik. Ada alasan kenapa sandang ditaruh pada urutan pertama, pangan pada urutan kedua, dan papan pada urutan ketiga.
Sandang memang memiliki arti pakaian, tetapi mengandung pula makna yang lebih dalam di baliknya. Manusia tidak hanya harus memakai pakaian yang sopan, tetapi juga harus “mengenakan” sikap dan tingkah laku yang baik. Sandang ditaruh pada urutan pertama supaya atas dasar inilah manusia melanjutkan aktivitas kehidupannya dalam mencari pangan dan papan.
Menariknya, ada pula yang mengartikan sandang sebagai agama. Artinya, kita harus mengutamakan agama dan berpedoman pada agama untuk mengatur sikap dan tingkah laku kita. Pencarian pangan dan papan dilakukan sesuai dengan ajaran agama. Dengan demikian, usaha mencari pangan dan papan akan dilakukan dengan persaingan yang sehat dan halal.
Jika urutan ini dibalik, orang akan mengutamakan hal yang mengenyangkan perutnya dan menghias rumahnya tanpa memedulikan sesamanya dan apakah caranya baik atau tidak.
Orang Israel Membangun Papan
Pada tahun 597 SM, raja Babel, Nebukadnezar, menaklukkan kota Yerusalem. Sebagaimana dicatat dalam 2 Raja-raja 24:13-14, “Ia [Nebukadnezar] mengeluarkan dari sana segala perbendaharaan Rumah TUHAN dan istana raja; juga dikeratnya emas dari segala perkakas emas yang dibuat oleh Salomo, raja Israel, di Bait TUHAN seperti yang telah difirmankan TUHAN. Ia mengangkut seluruh penduduk Yerusalem ke dalam pembuangan, semua panglima dan semua pahlawan yang gagah perkasa, sepuluh ribu orang tawanan, juga semua tukang dan pandai besi; tidak ada yang ditinggalkan kecuali orang-orang lemah dari rakyat negeri.” (penekanan ditambahkan)
Lalu, pada tahun 586 SM, “Ia [Nebukadnezar] membakar Rumah TUHAN, rumah raja dan semua rumah di Yerusalem; semua rumah orang-orang besar dibakarnya dengan api.” (2Raj. 25:9, penekanan ditambahkan)
Kemudian, pada tahun 539 SM, raja Persia, Koresh, menaklukkan Babel dan memerintahkan bangsa Israel untuk kembali ke Yerusalem dan membangun kembali Bait Allah yang sudah dihancurkan oleh Nebukadnezar. Pembangunan ulang Bait Allah ini kira-kira terjadi di tahun 536 SM.
Perintah Koresh untuk membangun kembali Bait Allah bukan lahir dari pengertian dia tentang Kerajaan Allah atau tentang pentingnya umat Allah menyembah Yahweh, satu-satunya Allah yang hidup, Allah di atas segala allah. Ia hanya mengikuti kebijakan kerajaan pada masa itu. Orang Persia menilai bahwa menahan orang-orang jajahannya jauh dari tempat tinggal mereka justru tidak akan membuat mereka tunduk kepada Persia, malahan ada kemungkinan untuk memicu pemberontakan dari mereka. Maka, Koresh mengizinkan bangsa Israel kembali ke Yerusalem dan membangun Bait Allah, basically just to win their favor.
Yesua bin Yozadak beserta dengan Zerubabel bin Sealtiel mulai membangun mezbah Allah untuk mempersembahkan korban bakaran di atasnya (Ezr. 3:2). Bukan hanya mezbah, kira-kira setengah tahun kemudian mereka juga mulai membangun Rumah TUHAN (Ezr. 3:8). Namun, segera setelah fondasi Rumah Allah diletakkan, banyak di antara para imam, orang-orang Lewi, dan kepala-kepala kaum keluarga, orang tua-tua yang pernah melihat Rumah yang dahulu, menangis dengan suara nyaring (Ezr. 3:10, 12). Karena mereka melihat betapa jauhnya perbedaan kemegahan Rumah Allah yang dahulu dibangun oleh Salomo dengan yang sekarang. Hal ini pastinya mengecilkan hati Yesua dan Zerubabel untuk melanjutkan pembangunan, dan ditambah dengan tekanan dari musuh mereka yang berhasil meyakinkan Raja Artahsasta untuk mengeluarkan surat perintah yang melarang orang Israel melanjutkan pembangunan Rumah Allah, maka berhentilah pembangunan Rumah Allah (Ezr. 4).
Namun, bukan berarti orang Israel berhenti bekerja sepenuhnya. Mereka justru dengan giat membangun rumah mereka sendiri. Rumah mereka dipapani dengan baik, sementara Rumah Allah dibiarkan dalam kondisi reruntuhan. Papan di sini mempunyai arti bahwa rumah mereka memiliki dinding dan atap yang dilapisi oleh kayu aras. Hal ini menunjukkan kemewahan karena pada saat itu kayu sangatlah jarang. Ada pula yang menjelaskan bahwa kemewahan ini tidak kalah jika disandingkan dengan istana Salomo dan segala perkakas yang ada di dalamnya.
Di tengah-tengah kemewahan seperti ini, mereka membiarkan Rumah Allah dalam kondisi reruntuhan selama enam belas tahun, sampai akhirnya Tuhan memanggil Nabi Hagai (520 SM) untuk menyadarkan bangsa Israel dari keacuhannya. Nabi Hagai mengkritik bangsa Israel atas ketidakpedulian mereka terhadap Rumah Tuhan. Rumah Allah yang hancur merupakan simbol dari relasi antara Allah dan umat-Nya yang rusak pula. Alhasil, mereka pun tidak diberkati Tuhan. Langit menahan embunnya dan bumi menahan hasilnya, kekeringan datang ke atas negeri, ke atas gunung-gunung, ke atas gandum, ke atas anggur, ke atas minyak, ke atas segala yang dihasilkan tanah, ke atas manusia dan hewan, dan ke atas segala hasil usaha (Hag. 1:10-11). Kesempatan yang Tuhan berikan untuk membangun kembali Rumah Allah tidak sungguh-sungguh mereka prioritaskan, hanya karena ada ancaman yang tidak adil dari musuh mereka. Padahal kesempatan ini menunjukkan bahwa Allah mau memperbarui perjanjian-Nya dengan umat-Nya, Allah mau sekali lagi tinggal di tengah-tengah mereka. Allah akan berkenan dan menyatakan kemuliaan-Nya di Rumah itu (Hag. 1:8). Ironisnya, bangsa Israel tetap sibuk dengan urusan rumah mereka masing-masing dan tetap membiarkan Rumah Allah menjadi reruntuhan (Hag. 1:9).
’Tis the Season to be Jolly
Sejauh ini, kita bisa renungkan satu hal dari kisah di atas. Kegagalan bangsa Israel untuk membangun kembali Rumah Allah setelah pulang dari pembuangan Babel merupakan bentuk ketidaktaatan mereka dalam memprioritaskan firman Tuhan. Kita pun sering kali, if not always, tidak memprioritaskan firman Tuhan.
Sekarang sudah bulan November, yang artinya bulan depan adalah bulan Desember yang identik dengan bulan Natal. Mungkin mulai dari akhir bulan November, toko-toko perbelanjaan dan mal-mal sudah mulai memasang ornamen Natal dan memainkan lagu-lagu Natal.
~ Deck the halls with boughs of holly
Fa la la la la, la la la la
’Tis the season to be jolly
Fa la la la la, la la la la ~
Kira-kira apa yang membuat kita jolly setiap kali memasuki bulan Desember atau menyambut hari Natal? Mungkin tidak sedikit dari kita yang senang menyambut bulan Desember karena artinya ada diskon di mana-mana. Maka, mungkin belanja adalah prioritas kita di bulan Desember ini. Ada pula yang mungkin sudah sibuk booking restoran sana-sini untuk Christmas lunch atau dinner dengan teman-teman dan keluarga. Ada juga yang mulai sekarang sudah berburu tiket pesawat atau kereta untuk pergi berlibur ke luar kota ataupun luar negeri.
Kalau kita melihat kepada hari Natal yang pertama, orang-orang Majus pun menyambutnya dengan pergi ke luar negeri. Ada yang menafsirkan bahwa these wise men from the East kemungkinan berasal dari Persia, jadi untuk mencapai Yerusalem mereka harus menempuh jarak kira-kira 2.200 kilometer. Jelas bahwa perjalanan ini bukan demi pergi berlibur, tetapi demi bertemu dengan Sang Anak Allah yang baru lahir, yang ditandai dengan munculnya Bintang Timur.
Ketika orang-orang Majus ini tahu bahwa Sang Bayi ada di Betlehem, mereka langsung pergi ke sana tanpa menunda-nunda. Prioritas mereka jelas. Mereka mau bertemu dengan Sang Mesias yang baru lahir. Mereka sangat bersukacita ketika bintang itu menuntun mereka tepat ke rumah di mana Sang Bayi berada. Mereka pun tidak datang dengan tangan kosong, mereka membawa hadiah yang tidak bisa dibilang murah. Mereka mempersembahkan emas, kemenyan, dan mur.
Demikian pula prioritas kita adalah untuk datang kepada Allah untuk menyembah Dia dan untuk menikmati dan memuliakan Dia. Kita tidak pernah dipanggil untuk memprioritaskan urusan badan kita, atau perut kita, atau atap di atas kepala kita. Karena no matter seberapa bagus baju kita, atau betapa kenyangnya perut kita, atau megahnya rumah kita, tetap tidak bisa menjamin kepuasan kita sebagaimana yang dialami oleh bangsa Israel. Sebagaimana dicatat dalam Hagai 1:6, “Kamu menabur banyak, tetapi membawa pulang hasil sedikit; kamu makan, tetapi tidak sampai kenyang; kamu minum, tetapi tidak sampai puas; kamu berpakaian, tetapi badanmu tidak sampai panas; dan orang yang bekerja untuk upah, ia bekerja untuk upah yang ditaruh dalam pundi-pundi yang berlobang!”
Satu-satunya yang bisa memuaskan kita hanyalah Allah. Allah Anak berinkarnasi menjadi daging supaya bisa diam di antara kita (Yoh. 1:14). Diam bisa diterjemahkan secara literal dari bahasa aslinya, yaitu dengan kata tabernacle – He tabernacled among us. Kita tidak lagi diperintahkan untuk membangun Rumah Allah secara fisik seperti perintah yang diberikan kepada bangsa Israel, karena Tuhan Yesus Kristus sudah datang menjadi Rumah Allah yang ultimat, menjadi satu-satunya mediator supaya manusia berdosa dapat bertemu dengan Allah.
Relasi dengan Allahlah yang seharusnya menjadi prioritas kita. Biarlah dalam memasuki masa adven Natal ini, kita mengerti bagaimana seharusnya memenuhi kebutuhan sandang-pangan-papan kita — sandang: mengenakan kebenaran Kristus yang telah diimputasikan kepada kita (2Kor. 5:21), pangan: mengenyangkan jiwa kita dengan setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Mat. 4:4), dan papan: di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi Bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan (Ef. 2:21).
Kiranya dalam menyambut the season to be jolly, kita bersukacita bukan karena our halls are decked with boughs of holly, tetapi karena our hearts are decked with words of Holy. Amin.
Widya Sheena
Pemudi FIRES