Di dalam perjalanan hidup kita di dunia, peperangan terjadi secara nyata. Saya, Anda, dan orang-orang di sekitar kita terlibat di dalam peperangan ini. Kita diintai oleh predator mengerikan dan dijatuhkan oleh Penguasa Kegelapan. Ia menanti saat di mana kita teperdaya untuk menggenapi rencana Si Jahat. Di dalam hari-hari yang kelam ini, sering kali kita lupa dengan realitas peperangan kosmis yang ada, karena terkadang peperangan ini tidak kasat mata, tetapi firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa sejarah ini adalah sejarah peperangan. Peperangan kosmis di mana jiwa-jiwa dipertaruhkan, dan kisah ini diceritakan semenjak Kejadian 3 sampai Wahyu 22. Kita berhadapan dengan masalah nyata!
Sebuah penghiburan dinyatakan oleh Tuhan di dalam firman-Nya, bahwa setiap kita, orang percaya, bukan lagi milik diri kita sendiri, melainkan milik Kristus Yesus, Juruselamat kita yang setia, dan karena kesetiaan-Nya kita akan bertekun. Penghiburan ini sering kali diletakkan dalam kerangka lima poin dari hasil sidang sinode Dordrecht, yaitu poin terakhir: “Perseverance of the saints” atau “Ketekunan kaum kudus”. Bagian dari penghiburan ini adalah bahwa sebagai orang yang percaya kita akan beroleh “jaminan kekal” (eternal security), atau jargon yang sering kita dengar “sekali selamat tetap selamat”. Jargon ini bukannya salah, bahkan sangat benar, akan tetapi terkadang jargon ini dimanfaatkan oleh kita untuk menekankan salah satu sisi kebenaran saja, yang nantinya mungkin menghancurkan spiritualitas kita. Ungkapan “ketekunan kaum kudus” dengan gamblang menekankan bahwa melalui upaya yang dilibatkan dalam pengudusan, seseorang mendapatkan jaminan—maka jaminan yang diberikan tidak pernah terlepas dari upaya pengudusan yang dikerjakan oleh Allah Tritunggal dalam hidup setiap orang yang mengaku percaya. Dan pada akhirnya, semua orang yang benar-benar diselamatkan oleh Tuhan akan bertahan, bagaimanapun cara dan harga yang harus dibayar.
Di Dalam Kristus
Tuhan kita, Kristus Yesus, berkali-kali menekankan kepada kita, orang percaya, untuk “tinggal tetap” di dalam Dia (Yoh. 15). Namun “tinggal” di sini bukan sekadar keberadaan yang pasif, melainkan keberadaan yang menekankan keharusan setiap orang yang percaya untuk “bertahan dan terus berlanjut” di dalam suatu keadaan: di dalam Kristus (Yun. en Christos).
“Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak… Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, …” (ay. 5b-6)
Kristus menunjukkan bahwa setiap orang percaya yang ingin berbuah harus terus tinggal tetap dan melanjutkan hubungannya dengan diri-Nya, Sang Sumber Hidup. Dengan kata lain, setiap dari kita, orang percaya, harus gigih dalam iman di dalam Kristus. Jika tidak, iman kita bukanlah iman yang sejati, dan ia akan berakhir “di dalam api” (ay. 6).
Begitu pula ketika Rasul Paulus mengingatkan kita akan kelengkapan senjata Allah ketika berperang, supaya kita dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri: ikat pinggang kebenaran (Ef. 6:14a), baju zirah keadilan (Ef. 6:14b), kasut kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera (Ef. 6:15), perisai iman (Ef. 6:16), ketopong keselamatan (Ef. 6:17a), dan pedang Roh, yaitu firman Allah (Ef. 6:17b).
Semua gambaran yang Rasul Paulus berikan mengarahkan kita untuk melihat kepada Kristus Yesus, Tuhan kita: Ia adalah Sang Kebenaran yang segala sesuatu diikat di dalam-Nya (Ef. 4), Dialah Sang Mesias yang berikatpinggangkan kebenaran (Yes. 11:5), Kristus adalah Mesias yang datang dengan zirah keadilan (Yes. 59:17), Kristus adalah Tuhan sendiri yang menghadirkan kabar baik dan damai (Yes. 52:7), Kristus adalah perisai dan pelindung yang kukuh (Mzm. 18), Dia adalah keselamatan kita, dan Dialah Firman yang menjelma. Segala peperangan ini hanya dimungkinkan jikalau kita melihat bahwa ketekunan kita hanya dimungkinkan ketika kita dipersatukan dengan Kristus.
Bertekun: Sebuah Penghiburan
Artikel ini sendiri tidak akan menimbun ayat-ayat yang mengajarkan ketekunan orang-orang kudus. Fokus dari artikel ini adalah menyatakan di dalam fakta-fakta yang ada, bahwa melalui iman, setiap orang kudus bertahan (1Ptr. 1:3-5), dan melalui pekerjaan Allah, kita bisa membagikan pengharapan ini. Mereka yang tidak memiliki iman yang sejati sedari awal tidak pernah memiliki iman yang tulus dan menyelamatkan. Meskipun tentu saja kita tahu bahwa iman yang menyelamatkan tersebut merupakan anugerah Allah yang Mahamurah.
Di dalam penghiburan ini terdapat dua sisi yang penting dalam konseling kristiani:
Kaum kudus akan bertekun.
Kaum kudus terjamin karena mereka bertahan.
Adalah penting, di dalam konteks pengudusan, untuk mengetahui bahwa setiap orang percaya yang sejati akan bertekun. Ketika kita menolak penghiburan ini, kita akan hidup di dalam ketidakpastian hidup yang mencekam. Konsekuensi logisnya, kita akan terus-menerus menaruh fokus pada diri kita sendiri, dan memusatkan perhatian kita pada keberhasilan ataupun kegagalan kita di dalam menghadapi peperangan di dalam dunia. Kita tidak mungkin dapat mengalihkan perhatian kita untuk mencintai dan melayani Tuhan dan sesama ketika kita tidak memiliki jaminan ini. Anehnya, seseorang tidak tumbuh dengan berfokus pada diri sendiri. Ketika kita mengalihkan perhatian dari diri kita sendiri dan mulai menggeser fokusnya kepada orang lain, maka pengudusan terjadi. Tetapi tidak ada cara untuk menghadirkan kondisi ini ketika ketidakpastian tentang keselamatan menghantui kita (yang mengarah kepada evaluasi diri terus-menerus). Maka, kepastian ini menjadi satu-satunya “harapan” yang dapat dimiliki seorang Kristen. Ajaran yang menyimpang dan penolakan akan pengharapan Tuhan akan membawa konsekuensi serius bagi perjalanan iman seseorang.
Ketika Tuhan membawa kita, anak-anak-Nya, ke dalam keluarga-Nya, Ia tidak mengusir kita dari rumah, melepaskan kita, membunuh kita secara rohani, ataupun menyerahkan kita kepada Si Jahat dan menempatkan kita sekali lagi di jalan menuju kegelapan ketika kita melakukan kesalahan. Sebaliknya, Bapa yang baik mendisiplinkan kita demi kebaikan kita sendiri dan demi nama Keluarga (Ibr. 12:5-11). Bapa seperti apa jadinya jika Ia tidak dapat menangani anak-anak-Nya sendiri lebih baik daripada yang apa yang disarankan oleh orang-orang di luar sana?
Hanya ada dua tempat di mana kesalahan mungkin bisa terjadi di dalam keselamatan yang diwariskan kepada kita—warisan keselamatan itu sendiri atau pada pewarisnya yaitu kita. Tetapi Tuhan telah berjanji untuk menjaga keduanya, kita dan keselamatan kita (1Ptr. 1:3-5). Dan perlindungan ini menjangkit di dalam hidup kita sepanjang hidup sampai pada nadi yang terakhir.
Mungkin dasar yang paling teguh dari seluruh kepastian kita sebagai orang percaya adalah kasih Tuhan. Tidak ada apa pun—literally, sama sekali tidak ada apa pun—yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah (Rm. 8:35-39). Kasih itu, yang dimanifestasikan di atas kayu salib, adalah kasih yang menyelamatkan; bukan sekadar kasih yang menyediakan keselamatan. Kristus mati untuk dosa-dosa kita dan kita tidak mungkin jatuh dalam penderitaan kekal karena Ia telah menderita menggantikan kita. Dan Tuhan itu adil, Ia tidak menuntut sebuah hukuman dua kali.
Kesalahan lain yang erat hubungannya dengan ajaran menyimpang tentang kemungkinan bahwa kita mungkin tidak bertekun adalah konsep keliru mengenai kemungkinan kita sempurna tanpa dosa. Sebenarnya adalah sebuah keanehan yang luar biasa ketika kita secara bersamaan menaruh begitu sedikit harapan dalam kuasa Allah untuk memelihara orang Kristen dan pada saat yang sama sangat bergantung pada kemampuan kita sendiri untuk menjalani kehidupan yang sempurna, murni tanpa dosa. Namun keanehan ini bukanlah hal yang aneh ketika kita berefleksi lebih lanjut; kedua hal ini memiliki kesamaan dalam menaruh posisi manusia tinggi di atas langit dan merendahkan Tuhan sampai ke bawah bumi.
Hanya ada dua cara untuk membuat orang selamat ketika kita tidak memercayai rahmat Tuhan yang menjaga kita:
Kita harus membedakan dosa menjadi dua jenis dosa; dosa yang cukup buruk untuk mengirim kita ke neraka, dan dosa yang tidak begitu buruk di mana Tuhan sudi mengampuni. Pertanyaan yang mendasar mengenai kepercayaan ini adalah: adakah dosa yang tidak terlalu buruk yang Allah izinkan masuk ke sorga? Alkitab sendiri tidak pernah membuat pembedaan tentang dosa kecil dan besar. Allah begitu suci sehingga dosa setitik pun harus dihukum.
Karena ajaran nomor 1 di atas sama sekali tidak dapat dipertahankan, maka cara rasional kedua harus diangkat, yakni kemungkinan kita untuk sempurna tanpa dosa. Di dalam pengertian ini, jenis dosa yang tidak terlalu buruk diubah menjadi kategori bukan dosa. Hanya jenis dosa yang disengajalah yang cukup buruk untuk mengirim manusia ke neraka. Jenis dosa seperti ini yang dianggap sebagai dosa. Selainnya disebut sebagai kesalahan, kelalaian, dan lain-lain, tetapi tetap bukan dosa.
Dengan cara pandang seperti ini, selama kita tidak melanggar perintah Tuhan dengan sengaja, kita tidak disebut berdosa. Dengan kata lain, satu-satunya cara bagi kita untuk memiliki kepercayaan tentang keselamatannya adalah melalui semacam “karya kasih sekunder” (atau “berkat sekunder”) yang memungkinkan kita untuk terhindar dari melakukan jenis dosa-dosa yang “buruk”. Kemudian, jika kita tidak berdosa dengan sengaja, kita bisa memiliki kedamaian di dalam “kesempurnaan” macam ini.
Namun Yohanes tidak ragu-ragu untuk menyebut konsep seperti ini sebagai sebuah kebohongan (1Yoh. 1:8, 10). Konsekuensi pemikiran yang demikian begitu mengerikan di dalam kehidupan orang percaya. Terkadang kita, ketika mencoba menolong orang di sekitar kita, akan mengalami kesulitan yang besar ketika mencoba menunjukkan berbagai dosa, terutama ketika orang tersebut tidak memandang dosa sebagai dosa. Pandangan tentang dosa yang fragmented seperti ini tidak mungkin meyakinkan seseorang untuk bertobat dan mencari pengampunan ke hadapan Tuhan. Selain itu, kita juga mungkin bertemu dengan orang-orang yang melakukan hal-hal berdosa tanpa hukuman sembari menolak menyebut diri mereka berdosa. Hal ini mengakibatkan banyak orang terperangkap dalam jerat Iblis yang menyamar sebagai nabi palsu, dan berkata, “Damai, damai” (Yer. 6:14).
Kita harus berdoa kepada Tuhan untuk membantu kita dan menjadikan kita sebagai alat di tangan Penebus untuk menyadarkan sesama kita dalam mengembangkan pandangan yang benar mengenai dosa. Lepas dari hal ini, kita tidak akan mampu menangani banyak masalah dalam kehidupan kita secara alkitabiah.
Memberitakan Pengharapan
Dua fakta yang jelas ketika kita mau dipakai Tuhan dalam membawa pengharapan ini:
Kita tidak dapat menghindar dalam berurusan dengan ajaran ini, karena
Ajaran ini memengaruhi seluruh kehidupan Kristen.
Itulah alasan mengapa setiap kita, ketika kita ingin membantu orang di sekitar kita, tidak hanya harus menjadi penafsir yang baik, tetapi juga harus mengerti seperangkat pemahaman sistematis tentang apa yang Alkitab ajarkan tentang berbagai hal. Kadang-kadang (seperti dalam contoh sebelumnya) kita tidak dapat menolong orang lain kecuali kita terlebih dahulu menghilangkan penghalang doktrinal yang ada di dalam pemahaman orang tersebut.
Kembali kepada ketekunan, menarik untuk dicatat bahwa Allah terus mengingatkan kita sebagai orang yang percaya untuk bertekun (Mat. 10:22; 24:13; Rm. 2:7-8). Catatan ini adalah salah satu hal yang harus selalu ada pada bibir kita ketika orang lain datang dengan beban berat. Banyak orang yang datang sebagai orang yang dikalahkan dan tertimpa masalah berat. Mereka jatuh ke dalam penyesalan dan penghakiman ketika mencoba mengatasi berbagai macam persoalan sendiri. Ketika hal ini terjadi, kita sebagai alat di tangan Penebus harus mengatakan dengan pasti bahwa setiap dari kita benar-benar telah ditebus oleh Tuhan dan dimurnikan di dalam Kristus, kita menjadi kepunyaan-Nya, itu penting; Tuhan peduli dan Ia menjaga setiap domba milik-Nya, sehingga setiap orang kudus akan bertahan; cepat atau lambat ketika orang berdosa menyadari hal ini, mereka boleh menghadapi setiap permasalahan yang ada dan keluar dari kelesuan mereka. Mereka boleh berhenti mengasihani diri sendiri (atau apa pun) dan mulai bertindak seperti orang kudus yang percaya, yang meletakkan Kristus di depan mereka dan hidup penuh ungkapan syukur: mengasihi Tuhan dan sesama. Dengan demikian kita boleh menjadi alat-alat Tuhan untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan orang di sekitar kita dengan cara Tuhan. Bukankah Tuhan yang mengajak kita memikul kuk itu (Mat. 11:29-30) adalah Tuhan yang sama yang menggendong kita sampai putih rambut kita (Yes. 46:4)? Amin.
Robin Gui
Pemuda FIRES