Raja Kampung

Siapakah yang tidak pernah mempunyai angan-angan, cita-cita, atau harapan hidup yang ingin digapai? Siapakah yang tidak pernah mempunyai mimpi, aspirasi, atau tujuan hidup yang hendak dikejar? Bukankah mereka yang menggapai langit di atas langit yang terbukti menjadi penentu dan pengubah arah sejarah? Setiap kita pasti mempunyai harapan karena hidup kita itu berarti di mata Tuhan dan diciptakan dengan tujuan untuk sungguh-sungguh menyenangkan hati Tuhan. Yang menakutkan adalah ketika kita tidak mengetahui apa yang menjadi tujuan kita hidup, karena kita tidak mengenal diri kita di hadapan Tuhan. Dan barangsiapa yang tidak lagi mempunyai tujuan hidup, maka hidupnya sudah tidak lagi dapat dikatakan hidup; karena salah satu unsur yang membedakan dunia ciptaan dan mahkota ciptaan adalah kemampuan untuk mengerti tujuan hidupnya sedalam-dalamnya dan mengerjakan tujuan hidupnya itu dengan setuntas-tuntasnya sesuai kehendak Penciptanya. Tujuan hidup kita sebagai manusia itu begitu mulia dan maknanya bahkan dapat menembusi membran[i] kesementaraan dan kekekalan.

Raja dan Cerita Anak-anak

Mengapa cerita klasik seperti Cinderella, Snow White, Beauty and the Beast sampai Shrek yang cukup baru itu berkisah mengenai puteri dan/atau pangeran yang selalu laku bagi dongeng anak-anak? Bukankah kisah superhero yang lahir beberapa dekade yang lalu seperti Superman dan Batman juga masih laku dengan berbagai sekuelnya sampai sekarang? Bagaimana dengan keberhasilan Kamen Raider dengan berbagai kostum dan senjata yang berbeda sampai sekarang untuk mengisi kebutuhan generasi ke generasi? Ketika kita duduk di bangku sekolah dasar, mimpi atau cita-cita menjadi pilot, presiden, atau astronot, bahkan angan-angan yang mendekati khayalan atau fantasi seperti raja-ratu atau pangeran-putri juga sering terdengar di antara teman-teman kita atau bahkan dalam benak kita sendiri. Ada sifat keagungan dan kemuliaan dari berbagai cerita di atas. Hati anak-anak yang polos dan murni begitu indah ketika mereka melukiskan mimpi-mimpi mereka tersebut. Ada nilai-nilai yang kekal terdapat di dalam cerita-cerita tersebut. Tetapi ketika kita melihat lebih dalam, bagaimana dengan diri kita sendiri apabila dibandingkan dengan anak-anak itu? Akankah kita tetap memelihara kepolosan dan kemurnian hati seiring dengan bertambahnya pengetahuan kita terhadap realitas dunia ini? Mengapa nilai-nilai yang indah dan kekal itu lenyap tersapu oleh waktu?

Ketika menginjakkan kaki di universitas, mimpi-mimpi tersebut telah kita tinggalkan di bangku kayu tua sekolah untuk dibahas ulang oleh adik-adik kelas kita. Ada yang perlahan meninggalkannya ketika masih berseragam putih-biru, ada juga yang baru meninggalkannya ketika sudah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Tetapi apakah yang sesungguhnya menjadi respons kita sebagai pemuda Kristen terhadap mimpi-mimpi tersebut? Apakah kita meninggalkan mimpi-mimpi tersebut hanya semata-mata hanya karena itu kekanak-kanakan (childish), terlalu tidak realistis, atau justru karena kepahitan kita terhadap realitas dunia yang kejam dan membuat kita tidak lagi murni seperti anak-anak (childlike