Reformation 500: Keimaman Semua Orang Percaya dan Panggilan Hidup Kristiani

“Manusia diciptakan untuk bekerja dalam berbagai macam hal, di mana tidak ada persembahan yang lebih mulia (darinya) kepada Allah selain daripada ketika mereka menjalankan dengan rajin apa yang menjadi panggilan mereka masing-masing, dan berusaha keras untuk hidup sedemikian sehingga (mereka) dapat berkontribusi bagi kebaikan sesamanya.”[1] Yohanes Calvin

Salah satu sumbangsih terbesar yang dihasilkan oleh Reformasi Protestan pada abad ke-16 di Eropa bagi kekristenan adalah doktrin Keimaman Semua Orang Percaya (priesthood of all believers). “Tidak ada perbedaan mendasar di antara jemaat biasa dan pendeta, para bangsawan dan para uskup, yang sakral dan yang sekuler, selain dari jenis pekerjaan yang mereka lakukan—bukan dalam hal status (rohani) mereka,”[2] dan lagi, “setiap orang Kristen adalah sungguh memiliki status sorgawi (spiritual estate), tidak ada perbedaan di antara mereka—kecuali dalam hal jenis pekerjaan yang diperuntukkan bagi mereka,”[3] —demikian yang dikatakan oleh Martin Luther, tokoh besar yang memulai Reformasi gereja pada tahun 1517 tersebut. Kalimat Martin Luther tersebut menyatakan paham yang sekarang kita kenal dengan istilah “Keimaman Semua Orang Percaya”.

Tahun ini, kita memperingati 500 tahun Reformasi yang dimulai oleh Martin Luther di Wittenberg, Jerman, pada tahun 1517. Penulis beranggapan bahwa apa yang diajarkan oleh para Reformator pada abad ke-16 mengenai “Keimaman Semua Orang Percaya” perlu mendapat tempat saat kita mengenang 500 tahun Reformasi. Ajaran ini sangat penting bagi iman Protestan, khususnya bagi jemaat awam pada zaman ini. Tanpa mengingat pentingnya “Keimaman Semua Orang Percaya”, ajaran Reformasi yang kita warisi tidaklah lengkap, terutama ketika begitu besarnya penyimpangan yang terjadi dalam ajaran gereja Katolik saat itu, dan ironisnya ajaran ini masih hidup dan berkembang bahkan di kalangan jemaat gereja Protestan saat ini.

Oleh sebab itu, penulis akan membahas sedikit mengenai (1) latar belakang doktrin gereja Katolik mengenai manusia dan pekerjaan yang dilakukannya masing-masing sebelum Reformasi, (2) doktrin “Keimaman Semua Orang Percaya”, sebagaimana dimengerti oleh para Reformator, dan (3) refleksi terhadap Keimaman Semua Orang Percaya bagi panggilan hidup kristiani yang kita miliki, sebagaimana direfleksikan oleh penulis. 

I. Latar Belakang
Sebelum peristiwa Reformasi terjadi, kehidupan masyarakat Eropa diwarnai oleh semangat dualisme sakral/sekuler yang sangat kental. Segala hal yang berkaitan dengan gereja dikategorikan sebagai hal sorgawi (spiritual estate)1 yang benilai kekal, diperkenan oleh Allah baik di bumi maupun di sorga kelak. Namun, segala hal yang non-gerejawi dikategorikan sebagai duniawi (temporal estate)1, semata “diizinkan” Allah untuk dilakukan di bumi tanpa memiliki nilai yang kekal. Dengan demikian, pekerjaan sorgawi (seperti: mengajar theologi, berdoa, berpuasa, menjalankan sakramen, dan sebagainya) dianggap bernilai lebih tinggi dibandingkan pekerjaan duniawi (misalnya: menanam padi, bekerja di pabrik, mengangkut barang dari satu desa ke desa yang lain, dan sebagainya). Penyimpangan inilah yang nantinya disebut oleh Os Guiness (seorang penulis Kristen Injili dan kritikus sosial Inggris yang tinggal di Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Call), sebagai “distorsi pandangan Katolik terhadap panggilan (pekerjaan)” atau pendeknya, “distorsi Katolik”[4].

Pembagian tersebut memiliki dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat Eropa. Kelas masyarakat Eropa, selain terbagi menjadi kelas masyarakat pemilik tanah (bangsawan), pedagang, dan pengelola tanah (buruh dan petani), terbagi juga menjadi kelas rohaniwan dan kelas non-rohaniwan. Kelas rohaniwan dalam masyarakat menerima kedudukan, kekuasaan, kehormatan, dan juga kekayaan yang lebih tinggi daripada kelas non-rohaniwan. Pengertian ini terbalik dengan apa yang terjadi pada saat ini dalam kalangan gereja Protestan2. Saat itu, pekerjaan sebagai pejabat gereja dianggap sebagai pekerjaan yang paling prestigious, yang mendatangkan baik kehormatan maupun pendapatan finansial bagi keluarga (bukan dilihat dalam hubungannya dengan tanggung jawab khususnya dalam melayani Tuhan—khususnya dalam pemberitaan firman Tuhan, sakramen, dan doa). Akibatnya, orang-orang yang seharusnya melayani Tuhan dengan hati yang tulus memiliki motif yang bercabang pada uang dan kehormatan dunia. Oleh karena itu, tidak heran jika terdapat berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh institusi gereja pada masa itu yang memerlukan Reformasi seperti praktik indulgensia, politisasi jabatan gereja, dan nepotisme3. Masih terdapat penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh gereja pada saat itu. Namun untuk tujuan tulisan ini, penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak dijabarkan, hanya akan dijelaskan latar belakang paham theologis saat itu.

II. Keimaman Semua Orang Percaya
Di tengah kondisi gereja dan masyarakat yang demikian, Martin Luther mengkritik ajaran dualisme sakral/sekuler tersebut sebagai rekaan, penipuan, dan kemunafikan dalam bukunya Three Treatises: To the Christian Nobility of the German Nation.

“Doktrin (gereja Katolik) yang mengajarkan bahwa jabatan paus, uskup, pastor, dan biarawan adalah jabatan sorgawi sedangkan kaum bangsawan, penguasa-penguasa, seniman, dan petani hanyalah merupakan jabatan duniawi adalah ajaran yang tidak benar dan merupakan rekaan semata. Ajaran tersebut sesungguhnya adalah penipuan dan kemunafikan. Janganlah seorang pun ditakut-takuti oleh ajaran tersebut, oleh sebab alasan berikut: Setiap orang Kristen adalah sungguh memiliki jabatan sorgawi, tidak ada perbedaan di antara orang Kristen yang satu dengan yang lainnya—kecuali dalam hal jenis pekerjaan yang diperuntukkan bagi mereka.”3

Diinspirasi oleh nas Alkitab yang tertulis dalam Efesus 4:1-6, Martin Luther menegaskan dalam tulisannya bahwa hanya terdapat satu kelas bagi semua orang Kristen,

“Karena kita semua (hanya) mempunyai satu baptisan, satu Injil, dan satu iman, maka semua orang Kristen adalah sama derajatnya; oleh sebab baptisan, Injil, dan iman sematalah yang membuat kita memiliki (ke)hidup(an) rohani dan menjadi jemaat Kristen.”[5]

Lebih jauh lagi, diinspirasi oleh nas Alkitab 1 Petrus 2:9, dan Wahyu 5:10, Luther menyatakan bahwa satu kelas yang dimiliki semua orang Kristen tersebut adalah imam. Setiap orang Kristen adalah imam semenjak mereka dibaptiskan. Sebagai imam, fungsi mereka adalah melayani satu sama lain di dalam setiap jenis pekerjaan yang diperuntukkan bagi mereka, sesuai dengan karunia yang diberikan Tuhan baik secara badani maupun rohani, sebagaimana anggota-anggota tubuh melayani satu sama lainnya[6]. Luther menjelaskan bahwa seorang pendeta yang bertugas di gereja memiliki kedudukan yang sederajat dengan semua orang Kristen yang lain, tidak ada pendeta yang boleh mengambil kedudukan tersebut tanpa otoritas dan (persetujuan) kosensus komunitas Kristen2.

Senada dengan Martin Luther, Yohanes Calvin memahami imam adalah fungsi yang dimiliki oleh seluruh gereja[7], bukan hanya orang yang bekerja di dalam pekerjaan gereja. Dia berpendapat bahwa hal ini seharusnya mendorong setiap orang Kristen untuk bekerja dengan rajin pada bagian di mana dirinya dipanggil demi kemuliaan Allah dengan berusaha berkontribusi sedemikian bagi kebaikan sesamanya1. Demikianlah kita mengenal doktrin yang saat ini kita warisi dari Reformasi sebagai doktrin “Keimaman Semua Orang Percaya”.

III. Refleksi terhadap Keimaman Semua Orang Percaya bagi Panggilan Hidup Kristiani
Lima abad telah berlalu sejak Reformasi, bagaimanakah kehidupan gereja saat ini? Apakah dualisme sakral/sekuler yang dialami oleh masyarakat Eropa pada zaman Reformasi sudah tidak lagi terjadi pada kehidupan Kristen kita saat ini? Apakah setiap orang Kristen telah sadar bahwa setiap dari mereka adalah imam di hadapan Tuhan dan hidup dengan penuh ucapan syukur? Apakah setiap orang Kristen telah melakukan panggilannya sebagai imam di hadapan Tuhan dengan meneladani Kristus, Imam Besar kita? Kita dapat merefleksikan hidup kita masing-masing menanggapi jabatan sebagai imam di hadapan Tuhan. Di sini, penulis akan membagikan sedikit refleksinya terhadap doktrin tersebut.

Pekerjaan dan Pengorbanan Kristus sebagai Dasar Keselamatan Kita
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang telah mati rohani dan telah kehilangan kemuliaan Allah[8]. Di dalam statusnya yang telah jatuh ke dalam dosa, manusia berada bagaikan seorang kriminal yang telah melakukan kejahatan dan patut menerima hukuman mati. Manusia tidak berhak mencicipi sedikit pun kebaikan Allah, alih-alih melayani di hadapan-Nya. Manusia, di dalam status berdosa dan pemberontakannya, hanya berhak menerima hukuman kematian kekal dari Allah di neraka sampai selama-lamanya.

Akan tetapi kasih Allah yang dinyatakan melalui pengorbanan Kristus telah mengubah nasib semua orang yang percaya. Manusia yang tadinya layak menerima hukuman mati, diselamatkan oleh Allah, dengan jalan mengirimkan Anak-Nya sendiri mati menggantikan kita[9]! Dengan demikian, kita yang seharusnya binasa diselamatkan dari ancaman murka Allah yang kekal di dalam api neraka dan boleh kembali hidup bebas dari hukuman Allah. Sebagaimana seorang terpidana mati yang dibebaskan dari hukumannya, demikian kita dibebaskan dari hukuman kematian kekal oleh kematian Yesus Kristus menggantikan kita.

Pekerjaan dan Pengorbanan Kristus sebagai Dasar Keimaman Semua Orang Percaya
Namun, kebaikan Allah tidak berhenti pada titik ini! “Keimaman Semua Orang Percaya” adalah hasil selanjutnya dari pekerjaan dan pengorbanan Kristus bagi semua orang percaya yang mengikuti keselamatan[10][11].

Imam dalam Perjanjian Lama adalah orang yang berdiri di antara Tuhan dan manusia. Tidak ada manusia yang boleh berdiri di hadapan Tuhan tanpa melalui proses pengudusan yang dikerjakan oleh imam (salah satunya, melalui korban ternak sembelihan). Imam-imam sendiri pun harus menguduskan dirinya. Bahkan, di dalam Bait Allah terdapat ruang Mahakudus, lambang kehadiran Allah, yang hanya boleh dimasuki imam besar setahun sekali[12]. Namun, tidak pernah dosa manusia sungguh-sungguh dihapuskan oleh setiap persembahan tersebut, walaupun dikerjakan menurut hukum Taurat[13]. Fungsi pekerjaan imam dalam Perjanjian Lama hanyalah bayangan dari apa yang akan dikerjakan oleh Kristus[14], yaitu pengorbanan-Nya yang telah menguduskan kita, sekali untuk selama-lamanya[15].

Kristus telah menjadi korban yang sempurna bagi Allah, sehingga kita yang tadinya hidup bagai narapidana hukuman mati di hadapan Allah, bukan hanya dibebaskan dari hukuman kekal, tetapi beroleh akses untuk masuk ke tempat yang Mahakudus[16]! Ya, kita yang tadinya berdosa memberontak terhadap-Nya, oleh kematian Kristus, telah diangkat-Nya menjadi imam-imam yang melayani di hadapan-Nya! Imam-imam yang berstatus jauh lebih tinggi dari imam-imam yang berada di Perjanjian Lama yang boleh masuk ke ruang Mahakudus Allah, bukan hanya sekali setahun, tetapi setiap kali kita memerlukan rahmat dan pertolongan-Nya[17]! Bukan sebagai imam-imam yang melayani di dalam Bait Allah di dunia, tetapi sebagai imam-imam sorgawi yang melayani di hadapan takhta-Nya di sorga. Pengorbanan Kristus bukan saja telah menghapus dosa kita, tetapi juga menguduskan kita sebagai imam di hadapan Allah[18], sekali untuk selama-lamanya!
Keimaman Semua Orang Percaya adalah Pernyataan Kedalaman Kasih Allah
Inilah pernyataan kedalaman kasih Allah yang begitu ajaib! Allah menebus manusia yang berdosa dengan darah-Nya sendiri. Tindakan ini merupakan suatu keajaiban besar yang mencengangkan sorga dan bumi. Namun, Allah yang telah memberikan nyawa-Nya bagi kita juga adalah Allah yang menguduskan dan mengangkat kita menjadi imam-imam yang boleh bekerja senantiasa di hadapan-Nya. Bukankah ini terdengar berlebihan? Tidakkah berita ini terlalu baik? Tetapi inilah berita Alkitab! Inilah Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus yang melampaui segala allah hasil rekaan manusia yang lain! Inilah berita sesungguhnya dari Allah yang hidup, yang mengasihi manusia!

Itulah sebabnya Allah yang kita kenal dalam Yesus Kristus layak untuk menerima puji-pujian para malaikat dan ucapan syukur yang tak putus-putusnya dari orang-orang kudus, di mana Ia selama-lamanya bertakhta[19]. Walaupun manusia yang ada di dunia ini masih dapat berdosa, kita tetap dapat memuji Allah dari hati yang paling dalam—dan dari mulut bibir kita bisa dengan tulus mengucap syukur kepada Allah atas kasih karunia-Nya yang besar dan ajaib, mulai saat ini dan sampai selama-lamanya nanti[20]! Hal ini karena Allah adalah Allah yang mengasihi manusia berdosa.

Fungsi Imam adalah Fungsi Mulia yang Perlu Dikerjakan dengan Kerendahan Hati
Oleh karena Kristus adalah dasar dari keimaman manusia, kita tidak dapat memegahkan diri dan menganggap keimaman kita sebagai hasil usaha sendiri. Jikalau Kristus tidak memuliakan diri-Nya sebagai Imam Besar[21], maka sangatlah tidak pantas jika kita mengerjakan tugas keimaman dengan memuliakan diri. Kita perlu belajar menjalankan fungsi imam dengan kerendahan hati, karena kita menyadari ini bukanlah hasil usaha kita, melainkan pemberian Allah—sebagaimana keselamatan kita juga adalah pemberian Allah.

Namun, di sisi yang lain kita juga tidak boleh menganggap bahwa kekurangan kita akan menghambat, atau bahkan menghilangkan fungsi imam ini. Seorang yang sungguh-sungguh percaya kepada Kristus, seberapa pun rendah dan hina kedudukannya di dalam masyarakat, adalah imam di hadapan Allah. Sekalipun ia adalah seorang pengemis seperti Lazarus[22] atau seorang janda miskin yang hanya mempunyai dua keping uang untuk penghidupannya[23], ia adalah imam di hadapan Allah! Ia adalah pewaris Kerajaan Sorgawi bersama dengan Kristus[24]. Sekalipun masyarakat tidak memandangnya dan lingkungan sosial tidak menerimanya, Tuhan telah menerimanya dan mengangkatnya menjadi imam di hadapan-Nya. Sekalipun ia tidak memiliki harta untuk dipersembahkan kepada Tuhan dan tidak mempunyai nama baik untuk dipersembahkan bagi Allah, ia senantiasa memiliki hati yang bersyukur sebagai korban puji-pujian yang berkenan bagi-Nya[25]. Ia senantiasa dapat berdoa kepada Allah bagi sesamanya, sebagaimana Yesus senantiasa berdoa bagi umat-Nya kepada Allah[26]. Ia adalah imam di hadapan Allah, oleh karena Yesus Kristus yang telah menebusnya.

Jika dasar keimaman kita adalah pekerjaan dan pengorbanan Kristus, maka kita adalah imam Allah oleh karena Kristus, terlepas dari apa hasil usaha kita sendiri dan dari pandangan masyarakat di mana kita berada. Marilah kita melupakan sama sekali kemampuan diri kita, entahkah kita orang yang penuh dengan talenta ataupun tidak. Sebaliknya, marilah kita tidak melupakan—tetapi senantiasa berfokus kepada—Kristus yang telah menyatakan kasih-Nya kepada kita dan memberikan segala yang dapat kita berikan bagi kemuliaan-Nya. Dan patutlah kita menjalankan jabatan imam kita dengan penuh kerendahan hati, seberapa pun besar atau kecilnya talenta yang kita miliki.

Pekerjaan Kita adalah Bagian Kudus yang Diberikan Allah bagi Kita yang Perlu Mendapatkan Perhatian Khusus dalam Keseluruhan Pelayanan Kita bagi Tuhan
“Semua orang Kristen memiliki beberapa karunia Roh. Karena kebanyakan dari karunia-karunia tersebut hanya dapat dijalankan di dalam pekerjaan, pekerjaan harus dilihat sebagai aspek pusat dari kehidupan Kristen…”[27] — Miroslav Volf

Jika pengemis dan janda yang percaya kepada Yesus Kristus adalah imam di hadapan Allah, maka jelaslah apa yang disebut oleh Os Guinness sebagai “distorsi Katolik”, yaitu paham yang membedakan antara pekerjaan yang sakral dan yang sekuler4, adalah paham yang tidak berdasarkan pada Alkitab. Hal ini memiliki banyak implikasi langsung terhadap pekerjaan yang kita miliki, baik di bidang pekerjaan gerejawi maupun pekerjaan non-gerejawi.

Secara khusus dalam bagian ini, penulis akan menyoroti bidang yang disebutkan terakhir, yaitu pekerjaan non-gerejawi. Penulis akan berfokus pada aspek praktis dan implikasi dari pemahaman doktrin “Keimaman Semua Orang Percaya” guna menunjukkan bahwa pemahaman doktrin ini (secara benar) akan membawa banyak dampak praktis dalam melakukan pekerjaan yang kita lakukan. Jika setiap dari kita adalah imam dan setiap imam menerima bagian (pekerjaan) kudusnya dari Allah, maka (secara logis) setiap dari kita sesungguhnya menerima bagian (pekerjaan) kudusnya yang diperuntukkan Allah bagi kita masing-masing. Oleh sebab itu, sebagai orang yang mendapatkan bagian untuk bekerja dalam bidang kerja non-gerejawi, kita perlu belajar melihat pekerjaan yang kita kerjakan di dunia sebagai pekerjaan yang kudus.

Implikasi langsung dan yang paling dasar dari hal ini adalah belajar membedakan mana pekerjaan yang baik dari yang tidak. Sebagaimana di dalam Perjanjian Lama imam diajarkan untuk membedakan yang kudus dari yang najis bagi persembahan di mezbah, demikian kita perlu memiliki pancaindra rohani yang terlatih untuk membedakan pekerjaan di dunia yang secara alamiah bersifat baik dari yang secara alamiah bersifat jahat[28], dan tidak memilih pekerjaan yang jahat. Pencuri dan pelacur, misalnya, adalah pekerjaan yang secara alamiah bersifat jahat, dan patut kita hindari. Sebaliknya, pekerjaan seperti guru atau insinyur adalah pekerjaan yang secara alamiah bersifat baik, yang dapat masuk dalam pertimbangan kita untuk bekerja dengan profesi tersebut.

Namun, kita tidak dapat berhenti dalam pergumulan kita dengan semata memilih pekerjaan yang secara alamiah bersifat baik saja; kita perlu belajar memperhatikan kualitas di dalam pekerjaan kita juga—oleh sebab banyak pekerjaan yang kita kerjakan secara alamiah bersifat baik, tetapi di dalamnya penuh dengan praktik yang jahat. Dalam hal ini, politik di Indonesia menjadi salah satu contoh yang jelas. Kendatipun politik dapat dipakai Tuhan untuk menyejahterakan masyarakat suatu bangsa, politik sering kali dijadikan ajang memperalat kekuasaan mengeruk kekayaan, dengan mengorbankan kepentingan rakyat—suatu hal yang sangat keji, bahkan di mata dunia, lebih-lebih di mata Allah. Juga, pekerjaan gerejawi sebagai pendeta sekalipun, ketika dinodai oleh cinta akan uang, akan berubah bentuk menjadi perampokan dan penipuan dari orang yang memiliki otoritas dan “pengetahuan” rohani kepada jemaat yang sungguh-sungguh takut akan Allah. Maka jelas bahwa memilih pekerjaan yang secara alamiah bersifat baik saja tidak cukup bagi kita. Kita perlu melakukan pekerjaan kita dengan kualitas yang sepadan dengan panggilan kita, yaitu kualitas tanpa cacat cela[29].

Jika di dalam Perjanjian Lama, Tuhan tidak menerima persembahan yang bercacat cela bagi-Nya, maka demikian pula di dalam pekerjaan kita, kita perlu memberikan hasil pekerjaan yang tidak bercacat cela. Dengan demikian bukan hanya kita perlu membedakan pekerjaan yang secara alamiah bersifat baik atau jahat, tetapi juga berusaha mengerjakannya dengan proses yang bersih. Kualitas praktik kerja yang diminta oleh Tuhan adalah kualitas yang tidak bercacat. Memilih pekerjaan yang secara alamiah bersifat baik tetapi di dalam praktiknya penuh dengan kejahatan, adalah seperti mempersembahkan binatang dengan buah pelir yang rusak kepada Tuhan[30], yang tidak akan diterima oleh-Nya.

Selama praktik di dalam suatu bidang pekerjaan, di dalam kapasitas kita, memungkinkan bagi kita untuk melakukan pekerjaan kita dengan tangan yang bersih, marilah kita mengerjakan pekerjaan tersebut dengan segenap tenaga, oleh karena pekerjaan tersebut adalah bagian kudus yang diperuntukkan Tuhan bagi kita, sebagaimana imam dalam Perjanjian Lama menerima bagian kudusnya dari Tuhan berdasarkan garis keturunan. Tetapi jika suatu pekerjaan memaksa kita untuk melakukan praktik yang kotor dan jahat, kendatipun dengan tawaran imbalan yang besar atau juga dengan ancaman yang bisa membahayakan kehidupan, kita perlu belajar menjauhinya dan membuangnya, oleh sebab praktik pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan fungsi kita sebagai imam di hadapan Allah. “Lebih baik orang miskin yang bersih kelakuannya dari pada orang yang berliku-liku jalannya…”[31] atau yang “…serong bibirnya lagi bebal”[32] “…sekalipun ia kaya”31. Dan lagi, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.”[33] Kiranya Tuhan menguatkan kita semua agar kita boleh mempersembahkan persembahan yang tidak bercacat cela bagi-Nya.

Perlu diperhatikan di sini bahwa persembahan kita yang bercacat cela bukan sebagaimana dunia melihat suatu pekerjaan tidak bercacat cela, misalnya, seperti sebuah makanan yang sangat enak pada suatu restoran, sebuah produk teknologiyang “sempurna”, atau sebuah jabatan yang lebih tinggi adalah lebih baik. Tidak bercacat cela di dalam pengertian yang Alkitabiah berarti tanpa kejahatan dan di dalam kapasitas terbaiknya[34].

Anak domba jantan Paskah berusia setahun bukanlah korban dengan daging yang paling banyak (dibandingkan dengan sapi, misalnya) dan—karena rasa enak adalah bersifat cukup subjektif—belum tentu pula yang paling enak. Juga, mengorbankan 10.000 ekor anak domba tidak dikatakan lebih baik daripada mempersembahkan seekor anak domba untuk satu (atau lebih) keluarga[35], sebagaimana dikehendaki oleh Allah. Anak domba tersebut dideklarasikan oleh Allah “tidak bercacat” dalam kapasitasnya (atau, sesuai dengan tingkat pertumbuhannya) sebagai anak domba jantan berusia satu tahun (tidak dibandingkan dengan lembu) dan untuk merepresentasikan Kristus[36]. Demikian kita perlu mempersembahkan pekerjaan yang kudus dan tak bercacat kepada Allah dalam kapasitas kita dan untuk merepresentasikan karakter Kristus. Sebagaimana dikatakan oleh Martin Luther King Jr. di dalam salah satu pidatonya pada sekelompok murid sekolah menengah di Philadelphia, Amerika Serikat,

“Jika seorang dipanggil untuk menjadi seorang penyapu jalanan, hendaklah ia menyapu jalan seperti Michelangelo dalam melukis atau seperti Beethoven dalam membuat musik atau seperti Shakespeare menulis puisi. Ia harus menyapu jalan sedemikian (baiknya) sehingga seluruh penghuni sorga dan bumi akan berhenti demi berkata, ‘Di sini pernah hidup seorang penyapu jalanan yang pernah mengerjakan pekerjaannya dengan begitu sempurna!’”[38]

Kita tidak diminta untuk menjadi sebaik orang lain dalam kapasitas mereka untuk memberikan persembahan tak bercacat kepada Allah. Kita diminta untuk memberikan persembahan tak bercacat bagi Allah, sebagai imam di hadapan-Nya, dalam kapasitas kita yang diberikan-Nya kepada kita. Karena itu, marilah kita belajar memberikan kepada Allah apa yang sudah terlebih dahulu diberikan Allah kepada kita, yaitu pekerjaan baik yang Ia siapkan untuk kita kerjakan[39] dengan tidak bercacat cela, sebagaimana layaknya imam memberikan persembahan pada Allah. Itulah korban syukur dan korban puji-pujian dari kita bagi Allah kita. Marilah kita belajar memberikan persembahan yang tidak bercacat cela kepada Allah, karena Allah adalah Allah dan Ia telah mengasihi kita begitu rupa.

Implikasi berikutnya adalah integrasi hidup kita dengan pekerjaan. Jika dalam Perjanjian Lama Tuhan menghendaki kehidupan yang kudus bagi seorang imam agar ia layak menjadi imam di hadapan-Nya, maka marilah kita juga mengejar kekudusan di dalam pekerjaan kita. Imam dalam Perjanjian Lama dipanggil bukan hanya untuk melayani dalam mezbah kudus pada waktu melakukan upacara di depan mezbah, tetapi juga perlu mempersiapkan diri, memiliki hidup yang kudus demi menghadap Tuhan[40]. Dengan demikian, kita perlu memiliki hidup yang terintegrasi dengan pekerjaan kita. Kita tidak bisa hanya mengukur hidup dengan baik buruknya mengerjakan pekerjaan kita—tetapi tidak mempertimbangkan apakah kita sudah menjadi orang yang bertanggung jawab di hadapan Allah dalam seluruh aspek hidup kita yang lain.

Pekerjaan di kota besar pada zaman ini tidak sedikit yang menuntut kita memberikan banyak waktu untuk pekerjaan dan sedikit waktu untuk yang lain. Bekerja lembur untuk menyelesaikan tugas sebelum waktu tenggatnya, misalnya, adalah hal yang biasa kita alami di dalam bekerja, terutama di kota-kota besar yang penuh dengan persaingan kerja. Kendati keputusan kita untuk bekerja lembur tidak selalu salah, dan dapat juga sungguh baik dikerjakan di waktu-waktu yang tepat, terdapat pula bahaya besar ketika kita tidak lagi melihat pekerjaan sebagai pelayanan kita kepada Tuhan, di mana Tuhan hanya menghendaki kita belajar memberikan kepada-Nya apa yang seharusnya menjadi bagian-Nya, tetapi sebagai satu-satunya yang harus kita kerjakan bagi Tuhan. Sebagai ganti dari persembahan anak domba, kita mungkin mempersembahkan anak kita sebagai “korban bakaran” —hal yang tidak pernah diminta oleh Tuhan[41] —oleh karena kita yang terlalu larut dalam pekerjaan kita. Dalam zaman modern, kita tidak lagi mempersembahkan anak dengan membakar mereka di dalam api. Namun, mungkin bagi kita dengan mengorbankan mereka berarti tidak mendidik mereka dengan benar ataupun membiarkan mereka tumbuh menjauh dari pengajaran kita sebagaimana seharusnya kita kerjakan di dalam Tuhan[42].

Perihal “mengorbankan anak” ini hanyalah salah satu dari contoh bahaya yang mungkin terjadi ketika kita melihat pekerjaan adalah segala-galanya, dan bukan sebagian, dari kehidupan kita di hadapan Tuhan. Namun, oleh karena kita perlu memberikan keseluruhan hidup yang tidak bercacat cela, kita mungkin juga mengorbankan banyak hal lain yang sama nilainya dalam membuat hidup kita menjadi bercacat cela di hadapan Tuhan. Ya, kita mungkin tidak mengorbankan anak kita, tetapi kita mengorbankan waktu persekutuan kita dengan Tuhan—kita tidak lagi memiliki waktu untuk berdoa, merenungkan firman Tuhan, beribadah, maupun bersekutu dengan saudara seiman[43] —sekalipun sebenarnya semuanya itu berada dalam kontrol kita(4). Dalam hal ini, kita pun telah kehilangan integrasi hidup kita sebagai imam di hadapan Tuhan, oleh sebab hal-hal yang kita korbankan, di mana sebenarnya berada di dalam kuasa kita untuk memilihnya, bukanlah hal yang dikehendaki Allah, tetapi adalah hal-hal esensial yang harusnya kita miliki dalam persekutuan yang sehat dengan Allah. Jika ada hal yang harus kita “korbankan” (atau lebih tepatnya: buang) ketika kita makin memiliki sedikit waktu oleh karena tekanan pekerjaan, hal itu seharusnya berupa hobi dan waktu-waktu kita yang lain yang kita gunakan secara sia-sia. Tetapi ketika kita memilih mempertahankan hobi dan waktu-waktu yang kita gunakan secara sia-sia dan mengorbankan hal-hal yang esensial demi “menjaga kualitas” kerja kita, kita telah mengerjakan yang satu namun membuang yang lain[44], yang keduanya adalah esensial di mata Allah.

Fungsi Imam dan Doa Syafaat
Pada bagian yang terakhir dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak para pembaca untuk melihat bahwa, di samping jabatan imam kita memiliki dampak langsung yang praktis di dalam bidang kerja kita, doktrin ini juga memiliki dampak langsung dalam memahami bagaimana seharusnya kita menjadi orang Kristen bagi sesama kita. “Keimaman Semua Orang Percaya” tidak hanya memberikan dampak bagaimana kita melihat pekerjaan (khususnya, non-gerejawi) yang diberikan Tuhan bagi kita, tetapi juga memberikan gambaran apa yang dapat kita kerjakan sebagai imam bagi orang lain. Yohanes Calvin mengenal peran orang Kristen dalam hubungannya dengan tiga jabatan Kristus: Raja, Imam, dan Nabi[45]. Setiap dari tiga jabatan tersebut memiliki keunikannya masing-masing. Dari ketiga jabatan tersebut, jabatan imam, sangat erat dimengerti kaitannya dengan mendamaikan dunia dengan Allah oleh pekerjaan dan pengorbanan imam, sebagaimana Yesus telah memberikan teladan bagi kita7.

Oleh sebab itu, hal pertama (dan mungkin juga yang terutama), yang dapat kita kerjakan sebagai imam bagi sesama kita adalah berdoa bagi mereka, terutama untuk pengampunan dan kasih karunia Allah, baik bagi orang-orang berdosa maupun bagi orang-orang kudus. Karena kita semua adalah imam di hadapan Allah, maka “pekerjaan” mendoakan sesama kita tidak terbatas pada pekerjaan pendeta di gereja. Sebaliknya, mendoakan satu sama lain adalah hak istimewa[46] dan kewajiban[47] setiap orang Kristen. Ayub mendoakan teman-temannya sehingga Allah mengampuni dosa-dosa mereka[48]. Musa berdoa agar bangsa Israel tidak dilenyapkan karena penyembahan berhala yang mereka lakukan[49] dan Samuel tidak henti-hentinya berdoa untuk orang Israel[50]. Paulus berdoa agar jemaat yang dilayani makin penuh dengan kasih karunia dan pengenalan akan Allah yang benar[51]. Demikian pula Yesus, Imam Besar kita yang sempurna, ketika berada di dunia, mendoakan Petrus sebelum ia jatuh di dalam pencobaan, sehingga ketika Petrus bertobat, ia boleh menguatkan saudara-saudari seimannya[52]. Yesus juga berdoa agar kita boleh berada dalam persekutuan dengan-Nya dan dengan Bapa-Nya[53]. Di dalam berbagai kutipan Alkitab di atas, kita melihat bahwa setiap orang yang percaya dapat berdoa bagi kebaikan sesamanya. Jika sesamanya adalah orang yang berbuat dosa, ia dapat mendoakannya sehingga Allah memberikan pengampunan dan kasih karunia kepada mereka. Tetapi jika sesamanya adalah orang yang kudus sekalipun (catatan: hal ini bukan berarti bahwa orang kudus tidak pernah berbuat dosa), ia dapat berdoa supaya sesamanya makin penuh dengan kasih karunia Allah. Seorang imam, tidak bisa tidak, adalah seorang yang berdoa bagi sesamanya. Alkitab mengajarkan bahwa banyak orang ingin menjadi guru (pengajar) bagi sesamanya[54], tetapi hendaknya setiap dari kita mau menjadi pendoa bagi sesamanya, oleh karena keimaman kita[55]. Tidak semua orang Kristen diberikan karunia untuk bernubuat[56], namun setiap dari kita dapat berdoa bagi kebaikan sesamanya, karena setiap dari kita adalah imam.

Ian Kamajaya
Pemuda GRII Singapura

Endnotes:
[1] Calvin, John. 1555. Harmony of the Evangelists Vol 2 halaman 120. CCEL.
[2] Luther, Martin. 1519. Luther’s Works 44: The Christian in Society I, halaman 129. Fortress Press (1966).
[3] Luther, Martin. 1520. Three Treatises: To the Christian Nobility of the German Nation. Fortpress Press (1970).
[4] Guinness, Os. The Call: Finding and Fulfilling the Central Purpose of your Life. Nashville, TN: Word Publishing. 1998. Terdapat distorsi yang sebaliknya yang disebut oleh Os Guinness sebagai “distorsi Protestan” yang tidak dimasukkan oleh karena dianggap berada di luar cakupan tulisan ini oleh penulis. Pembaca yang ingin mengerti lebih lanjut mengenai “distorsi Protestan” dapat membacanya langsung melalui buku karya Os Guinness yang berjudul The Call.
[5] Luther, Martin. 1519. Luther’s Works 44: The Christian in Society I, halaman 127. Fortress Press (1966).
[6] Luther, Martin. 1519. Luther’s Works 44: The Christian in Society I, halaman 130. Fortress Press (1966).
[7] Calvin, John. Institutes of the Christian Religion Buku 4, Bab 19, Paragraf 25.
[8] Rm. 3:23.
[9] Yoh. 3:16.
[10] John R. Crawford, “Calvin and the Priesthood of All Believers,” Scottish Journal of Theology 21 (1968): 145-56.
[11] Ef. 2:9-10; Why. 5:10.
[12] Ibr. 9:7.
[13] Ibr. 10:4-8.
[14] Ibr. 10:1.
[15] Ibr. 10:10.
[16] Ibr. 10:12-21; Mat. 27:51; Mrk. 15:38; Luk. 23:45.
[17] Ibr. 4:16.
[18] Why. 1:5-6.
[19] Mzm. 22:4.
[20] Mzm. 72:19; Rm. 16:27; Why. 7:12.
[21] Ibr. 5:5.
[22] Luk. 16:19-31.
[23] Luk. 21:1-4.
[24] Rm. 8:17.
[25] Yun. 2:9.
[26] Ibr. 7:25, 8:1-2.
[27] Volf, Miroslav. 2001. Towards a Theology of Work: Work in the Spirit. Paperback.
[28] Ibr. 5:14.
[29] Ul. 17:1; Mzm. 15.
[30] Im. 22:24.
[31] Ams. 28:8.
[32] Ams. 19:1.
[33] Kol. 3:23-24.
[34] Kol. 1:22; Yak. 1:2-4.
[35] Ul. 12:3-4.
[36] Yoh. 1:29.
[37] Rm. 12:3; Flp. 3:12-16.
[38] Martin Luther King Jr. pada sekelompok siswa di Barrat Junior High School, Philadelphia, 26 Oktober 1967.
[39] Ef. 2:10.
[40] Kel. 19:10; Im. 15:2-13; Bil. 19:13-18.
[41] Yer. 19:5.
[42] Ul. 6:6-7.
[43] Kis. 2: 42-47; Ibr. 10: 24-25.
[44] Mat. 23:23.
[45] George, Timothy. 2016. The Priesthood of All Believers. First Things Journal (2016).
[46] Mat. 18:20.
[47] Yak. 5:16.
[48] Ayb. 42:7-10.
[49] Kel. 32:11-14.
[50] 1Sam. 12:23.
[51] Ef. 1:15-19; 2Tes. 1:11; Kol. 1:9-10.
[52] Luk. 22:31-32.
[53] Yoh. 17:20-23.
[54] Yak. 3:1.
[55] Ef. 6:18.
[56] 1Kor. 12:10.