Reformation 500: Pandangan Estetika Jonathan Edwards

Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. (Flp. 4:8)

Artikel ini ditulis dalam rangka memperingati 500 tahun Reformasi (Reformation 500).[1] Dalam momen ini, pemuda-pemudi Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) akan menuliskan artikel-artikel mengenai pengaruh Reformasi terhadap berbagai bidang. Pada artikel ini, penulis akan membahas mengenai bidang filsafat seni. Cakupan pembahasan secara spesifik adalah membahas pemikiran estetika dari Jonathan Edwards. Mengenai prinsip estetika, Alkitab sendiri menekankan keharmonisan dan keterkaitan antara aspek kebenaran, kemuliaan, keadilan, kesucian, kemanisan, keindahan, dan kebajikan.[3] Mengenai struktur penulisan artikel ini, pertama-tama penulis akan membahas secara singkat mengenai konteks sejarah Reformasi. Dalam bagian ini, penulis akan memberikan beberapa penekanan pandangan seni dari para tokoh Reformator. Pada bagian kedua, penulis akan membahas beberapa pemikiran atau konsep umum mengenai estetika. Di bagian ketiga, penulis akan memaparkan gambaran singkat mengenai Jonathan Edwards, terutama mengenai pengaruh gerakan Reformasi dalam hidupnya. Bagian keempat adalah bagian inti dari artikel ini, yakni pembahasan mengenai konsep estetika Jonathan Edwards. Penjabaran estetika ini akan meliputi aspek metafisika, Allah, dan ciptaan. Penulis berharap, artikel singkat ini bisa sedikit menjelaskan pengaruh Reformasi terhadap abad-abad selanjutnya (secara spesifik mengenai filsafat seni), sampai kepada Jonathan Edwards, dan dari Jonathan Edwards sampai kepada kita yang hidup pada zaman ini.[4]

I. Konteks Singkat Reformasi
Peristiwa Reformasi bukanlah suatu peristiwa yang terjadi begitu saja. Pada tahap-tahap yang masih begitu awal, Tuhan memakai sosok-sosok yang setia dan gigih dalam menyatakan dedikasinya kepada Tuhan. Mereka telah menjadi peletak dasar fondasi dan pembuka jalan untuk Reformasi. Misalkan saja Jan Hus (1372-1415) yang dengan gigih memberikan berbagai kritik dan gagasan agar struktur gereja bisa kembali lebih setia sesuai dengan prinsip Alkitab. Juga John Wycliffe (1320-1384) yang memiliki kerinduan besar agar Alkitab bisa dicetak, disebarluaskan, dan diakses oleh setiap orang Kristen. 

Peristiwa Reformasi sendiri tidak terjadi dan terpusat hanya di satu tempat saja. Reformasi terjadi di daerah yang luas dan melibatkan berbagai macam tokoh dan lapisan masyarakat.[5] Salah satu titik awal bermulanya gelombang Reformasi terjadi pada 31 Oktober 1517 di Jerman, ketika Martin Luther memakukan 95 tesis di pintu gereja “Schlosskirche” di Wittenberg. Luther yang hidup sebagai biarawan memang memiliki pergumulan mendalam mengenai penghapusan dosa, keselamatan, dan prinsip-prinsip mengenai gereja. Sejalan dengan perkembangan gerakan Reformasi di Jerman, semangat Reformasi juga mencapai negara Swiss. Di daerah Swiss, gerakan Reformasi dikembangkan lebih jauh oleh Ulrich Zwingli. Zwingli sendiri melayani sebagai pastor di Zurich. Secara pribadi ia telah mengembangkan pemikiran dan ide mengenai perubahan-perubahan struktur gereja. Kritikan keras ia terus sampaikan terutama mengenai tindakan korupsi yang marak terjadi di lingkup gereja. Gerakan Reformasi juga kemudian berkembang di Perancis dan Swiss melalui Yohanes Calvin. Peran Yohanes Calvin sangatlah signifikan dalam membangun struktur pengajaran iman Protestan yang kukuh dan komprehensif. Ketika Calvin terlibat dalam pelayanan menggembalakan jemaat, ia berpikir untuk membuat tulisan untuk membuat jemaat bisa lebih mengerti mengenai dasar-dasar iman Kristen. Dengan kesederhanaan dan kesungguhan motivasi ini, Tuhan memberkati tulisan Calvin secara luar biasa. Tulisannya diakui begitu ketat, konsisten, dan setia kepada prinsip Alkitab, yang saat ini kita kenal dengan nama Institutes of Christian Religion.

Mengenai pandangan estetika, para Reformator percaya bahwa manusia memiliki aspek estetika dan kreativitas karena dicipta sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Namun, pada konteks awal Reformasi ada tantangan berupa tendensi untuk mengultuskan benda-benda yang dianggap suci. Pernah ada upaya dari kaum Protestan untuk menghancurkan patung-patung dan benda-benda yang dikultuskan ini. Karena konteks pergumulan ini, tidak heran kalau gerakan Reformasi dianggap anti terhadap seni.[6] Sebagai contoh adalah Zwingli yang cenderung melarang penggunaan seni lukisan, patung, dan instrumen musik dalam ibadah. Padahal Zwingli sendiri adalah orang yang sangat terbuka dan menikmati seni. Zwingli dikenal piawai dalam memainkan berbagai alat musik seperti harpa, biola, dan flute. Jika ditelusuri lebih jauh, nantinya gerakan Reformasi justru membuka ruang agar seni dapat berkembang dalam wilayah kedaulatannya sendiri.[7] Sebelumnya, arah dan perkembangan seni sangatlah ditentukan oleh gereja. Setelah Reformasi, seniman-seniman menjadi lebih bebas berekspresi dan menghasilkan karya seni.[8]

Mengenai seni, patung, dan lukisan, Yohanes Calvin menyatakan,

All the arts come from God and are to be respected as divine inventions.
(Calvin Commentary: Exodus 31)

But, as sculpture and painting are gifts of God, what I insist on is, that both shall be used purely and lawfully, that gifts which the Lord has bestowed upon us, for His glory and our good, shall not be preposterously abused, nay, shall not be perverted to our destruction.
(Institutes of Christian Religion, Book 1, Chapter 11)

II. Konsep-Konsep Estetika
Sebelum peristiwa Reformasi, berbagai pemikiran dan filsafat mengenai estetika telah berkembang. Dalam kategori filsafat, estetika adalah cabang ilmu yang fokus dalam memikirkan aspek seni, keindahan, taste, kekaguman, dan apresiasi. Pembelajaran mengenai estetika juga dikaitkan dengan aspek sensori dalam menangkap dan memberikan interpretasi. Ranah ilmu theologi sendiri memiliki perspektif mengenai estetika. Contoh tokoh-tokoh yang mengembangkan theologi mengenai estetika adalah sebagai berikut: Agustinus, Thomas Aquinas, Martin Luther, Jonathan Edwards, Søren Kierkegaard, Karl Barth, dan Hans Urs von Balthasar. Dari perspekfif filsafat, contoh filsuf yang mengembangkan pemikiran mengenai estetika adalah sebagai berikut: Plato, Aristoteles, Pythagoras, Immanuel Kant, dan Georg Friedrich Wilhelm Hegel. Dalam batasan artikel ini, pembahasan akan mencakup pandangan estetika dari lima tokoh, yakni Plato, Aristoteles, Agustinus, Thomas Aquinas, dan Leonardo da Vinci. Pembahasan di sini hanya sebatas memberikan gambaran singkat, agar nantinya kita bisa lebih melihat keunikan pandangan estetika dari Jonathan Edwards.[9]

Plato
Salah satu kontribusi Plato mengenai aspek estetika adalah pembahasannya mengenai mimesis (imitasi).[10] Pengertian ini didasari oleh pengertian bahwa segala hal yang indah di dunia ini hanyalah replika dari Keindahan (Beauty) itu sendiri. Bagi Plato, seniman hanya bisa melakukan imitasi dari benda-benda (object) yang sendirinya juga adalah imitasi dari form. Di masa-masa mendatang, konsep mimesis ini terus dikembangkan lebih jauh oleh berbagai tokoh seperti Aristoteles, Philip Sidney, Samuel Taylor Coleridge, Adam Smith, Sigmund Freud, Walter Benjamin, Luce Irigaray, dan Jacques Derrida. Dalam buku Republic, Plato memberikan suatu ilustrasi terkenal dalam menjelaskan mengenai mimesis:

There is a perfect Form of a bed, which exists as the nature of a bed. Then, a carpenter makes a bed. Lastly, a painter paints a picture of the bed that the carpenter constructed. The painter’s imitation is three times removed from the true form of the bed.

Plato melihat adanya keharmonisan antara kenikmatan yang didapat melalui apresiasi keindahan dan tujuan utama dari filosofi untuk mendapatkan pengetahuan.[11] Ia tidak melihat dua hal tersebut sebagai hal yang bertentangan. Dari perspektif Plato, para filsuf akan mendapatkan pengalaman keindahan yang bisa memuaskan kecintaan mereka akan keindahan, dan di saat yang sama, memampukan mereka mendapatkan pengetahuan dan pengertian yang mendalam. Plato juga cukup berhati-hati dalam penekanannya mengenai seni dan keindahan. Ia sangat menyadari sifat keindahan dan seni yang begitu kuat sekaligus berbahaya. Puisi, drama, musik, lukisan, dan tarian memiliki kemampuan untuk menggugah emosi dan menyentuh kedalaman hati manusia. Plato menganjurkan agar ekspresi seni disensor dengan ketat.

Aristoteles
Aristoteles melihat aspek estetika dan keindahan melalui pendekatan scientific dan penyelidikan mengenai prinsip-prinsip seni.[12] Ia memberikan prinsip-prinsip keindahan secara umum dan universal. Aristoteles menekankan mengenai aspek keteraturan dan simetri. Pemikiran Aristoteles ini nantinya diaplikasikan ke berbagai aspek, misalkan saja bangunan, patung figur manusia, dan lukisan. Salah satu prinsip umum estetika ia nyatakan sebagai berikut:

“The chief forms of beauty are order and symmetry and definiteness, which the mathematical sciences demonstrate in a special degree.” (The Complete Works of Aristotle Barnes ed., volume 2, 1705)

Dalam pemikirannya, Aristoteles membedakan antara keindahan (beauty) dan kebaikan (good).[13] Konsep seni Aristoteles sedikit berbeda dengan Plato. Aristoteles menilai bahwa keindahan (beauty) bisa berada di dalam benda-benda yang tidak bergerak (motionless things, en akinetois), sedangkan kebaikan (good) selalu berada di dalam suatu pergerakan (in action, en praxei). Meskipun Aristoteles membedakan dua hal tersebut, ia juga menjelaskan kesamaannya. Dalam kondisi tertentu, kebaikan (good) bisa juga dinilai sebagai hal yang indah (beautiful).

Agustinus
Pemikiran Agustinus dipengaruhi secara signifikan oleh pola pemikiran Platonik dan Neo-Platonik. Agustinus membuat perbedaan tajam antara karya penciptaan oleh Allah (ex nihilo) dan oleh seniman (ex materia). Bagi Agustinus, keindahan alam/natural hanyalah bayang-bayang dari keindahan Allah. Keindahan Allah terpancar ke luar melalui tindakan penciptaan. Agustinus memiliki konsep hierarki keindahan berdasarkan seberapa banyak form yang dimiliki. Agustinus melihat Tuhan sebagai keindahan yang ultimat karena hanya Tuhan yang satu-satunya memiliki perfect form.[14]

Mengenai teori estetika Agustinus, ia memadukan berbagai elemen seperti kesatuan, kesamaan, proporsi, keteraturan, dan urutan. Melalui tulisan-tulisannya, relasi antara elemen-elemen ini bisa semakin terlihat. Bagi Agustinus, sesuatu bisa dianggap indah hanya jika benda itu memiliki eksistensi, dan eksistensinya itu adalah kesatuan yang utuh (bukan terpecah-pecah). Selain itu, Agustinus juga menekankan aspek proporsi yang simetris. Proporsi yang simetris akan mampu mempertahankan kesatuan dan keutuhan, sehingga bisa menjaga unsur estetika secara menyeluruh (Of True Religion, xxx. 55). Mengenai keteraturan, Agustinus sangat memerhatikan aspek penempatan/posisi. Keindahan akan tercipta ketika ada keteraturan distribusi dan penempatan antara benda-benda yang sama (equal) dan tidak sama (unequal).

Thomas Aquinas
Bagi Aquinas, keindahan adalah sesuatu yang memberikan kesenangan (pleasure) ketika dilihat (ST I-II, 27. 1). Sepintas, sepertinya pengertian ini begitu subjektif. Namun bagi Aquinas, kata “lihat” tidak hanya sebatas melihat secara sekilas, sepintas lalu, ataupun resepsi secara sensori melalui mata. Aquinas menekankan aspek kontemplatif dalam hal ini.

Thomas Aquinas menyatakan,

Knowing beauty is not the result of a discursive process, nevertheless it is an activity of the mind. Knowledge in general, for Thomas, occurs when the form of an object, without its matter, exists in the mind of the knower. (De Trinitate, q. 5, a. 2)

Aquinas memberikan penjelasan lebih jauh. Ketika seseorang melihat sebuah bunga, form dari bunga tersebut (bersifat immaterial) akan mulai ditangkap dan muncul di dalam pikiran orang tersebut. Orang tersebut kemudian bisa memikirkan lebih jauh dan semakin menemukan keindahan dari bunga yang ia sedang bayangkan dan pikirkan. Dalam hal ini, yang berperan untuk mendefinisikan keindahan adalah pikiran (mind), bukan mata (indra sensori). Dengan demikian, pikiran memiliki dua aspek, yakni pasif dan aktif. Aspek pasif berarti aspek menerima informasi yang diberikan oleh indra. Aspek aktif berarti aspek penciptaan ulang di dalam pikiran orang tersebut.

Leonardo da Vinci
Sebagai seorang Renaissance man, Leonardo da Vinci telah menjelajah begitu banyak bidang dan cabang ilmu. Ia dikenal luas sebagai seorang pelukis, penemu, arsitek, ilmuwan, musikus, matematikawan, pemikir, penulis, dan sejarawan. Leonardo da Vinci tidak memisah-misahkan antara aspek seni dan sains, seperti kebanyakan kaum humanis yang hidup pada zamannya. Ia hidup pada zaman Renaissance di mana banyak sekali penekanan terhadap aspek humanisme dan pemikiran Yunani kuno.

Karya-karya seni yang dihasilkan da Vinci mencerminkan kedalaman pengertian akan anatomi, hukum alam, natur cahaya, sifat atmosfer udara, dan mekanisme cara kerja dari suatu benda. Sebaliknya, benda-benda penemuan da Vinci juga memancarkan kemahiran aspek estetika dan desain yang elegan. Mengenai kreativitas, da Vinci membandingkan kreativitas manusia dengan rancangan agung Sang Ilahi:

“The painter’s mind is a copy of the divine mind, since it operates freely in creating the many kinds of animals, plants, fruits, landscapes, country-sides, ruins, and awe-inspiring places by promising results which are not obtainable.”

III. Kisah Hidup Jonathan Edwards
Kembali lagi kepada peristiwa Reformasi, gelombang pengaruh dari Reformasi terus memberikan dampak di berbagai tempat, termasuk di negara Inggris. Berbeda dengan tempat-tempat seperti di Jerman, Swiss, dan Prancis, tidak ada tokoh/pemimpin yang sangat menonjol untuk gerakan Reformasi di Inggris. Kaum Protestan di Inggris juga kerap kali mengalami berbagai gejolak agama, sosial, dan politik.[15] Karena gejolak ini, nantinya mereka harus berpindah-pindah tempat. Mereka pernah diusir dari Inggris, pergi ke Jenewa, kembali lagi ke Inggris, sampai nantinya sama sekali pergi ke benua yang begitu jauh, yang sekarang kita kenal dengan nama Amerika Serikat. Kaum ini nantinya dikenal dengan nama kaum Puritan. Kaum Puritan menghasilkan orang-orang Kristen yang begitu sungguh-sungguh dan berbobot seperti Richard Baxter, John Owen, John Bunyan, Thomas Goodwin, Matthew Henry, dan tokoh yang akan dibahas lebih jauh, yakni Jonathan Edwards.[16]

Jonathan Edwards adalah seorang berkebangsaan Amerika yang dilahirkan pada tanggal 5 Oktober 1703. Dalam masa studinya, Edwards memperoleh sebuah kesempatan untuk melayani di satu gereja Presbyterian yang kecil di kota New York. Pada momen itu, Jonathan Edwards menuliskan resolusi-resolusi yang sudah sangat dikenal sekarang. Resolusi ini ia tuliskan dengan penuh kegentaran dan kerendahan hati. Ia sadar bahwa ia tidak akan mampu melakukannya jika Tuhan tidak memberikan anugerah dan kekuatan. Kerinduannya dalam mempelajari firman Tuhan terlihat begitu jelas dan nyata. Pembacaan Alkitab Edwards begitu teliti dan menyeluruh. Dalam bagian-bagian atau ayat-ayat yang tidak terlalu ‘terkenal’, Edwards tetap masih menuliskan catatan dan refleksi yang panjang mengenai ayat-ayat tersebut. Sampai begitu banyaknya catatan yang dituliskan, kerap kali huruf-huruf yang dituliskan begitu kecil dan tidak terbaca.

Pembelajaran Jonathan Edwards mencakup aspek-aspek yang begitu luas.[17] Ia dengan sungguh-sungguh mempelajari theologi, filsafat, sejarah, dan sains. Selama hidupnya, Edwards telah menghasilkan berbagai tulisan dengan tema-tema sebagai berikut: kehendak, kebebasan, kebajikan, afeksi, pekerjaan Roh Kudus, kemurahan hati, dosa asal, dan kebangunan rohani. Ia juga dinobatkan sebagai presiden dari College of New Jersey (Princeton) pada tahun 1758. Pada awalnya, ia tidak langsung menerima jabatan tersebut. Ia merasa karakternya agak pasif dan masih kurang matang dalam pembelajaran bidang ilmu tertentu, misalnya matematika dan bahasa Yunani. Namun, ia akhirnya bersedia setelah beberapa orang terus membujuknya dengan tidak jemu-jemu.

Edwards memiliki kesukaan untuk menikmati alam. Kerap kali di hari-hari yang cerah, ia berjalan-jalan di tengah padang rumput atau hutan untuk mengagumi indahnya langit, awan, dan tumbuh-tumbuhan yang ia lihat di sekelilingnya. Tidak jarang dalam momen-momen seperti ini, Edwards tergerak untuk berdoa, membaca Alkitab, ataupun melakukan berbagai perenungan. Ia tiba-tiba bisa tergerak untuk berdoa selama berjam-jam di tengah rindangnya pepohonan di hutan. Aspek keindahan, kenikmatan, dan apresiasi alam bukanlah hal yang asing dalam hidup seorang Jonathan Edwards. Kekagumannya akan keindahan alam semakin membawa Edwards untuk mengenal Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Tuhan adalah Sang Desainer Agung yang terus memerhatikan karya ciptaan-Nya. Tuhan adalah Tuhan yang setia dan terus menopang dunia yang sudah Ia ciptakan. Kesukaannya menikmati alam sedikit banyak memberikan pengaruh dalam perenungan terhadap konsep estetikanya, terutama mengenai estetika dalam dunia ciptaan. C. H. Faust dan T. Johnson pernah mencatat tulisan pengalaman pribadi Edwards sebagai berikut:

“Suatu kali saya berkuda demi kesehatan saya pada tahun 1737, sebagaimana biasa, saya berjalan untuk kontemplasi rohani dan berdoa. Saya kemudian mengalami satu pandangan yang begitu luar biasa mengenai kemuliaan Allah. Pandangan mengenai Allah sebagai pengantara, anugerah-Nya, kasih-Nya yang begitu indah, murni, lembut, dan sabar. Hal itu terus berlanjut kira-kira selama satu jam, yang mana membuat saya menjadi banjir air mata dan meratap dengan keras.”

IV. Pandangan Estetika Jonathan Edwards
Cakupan pemikiran Jonathan Edwards melingkupi aspek-aspek yang bervariasi, salah satunya adalah aspek estetika. Ia sendiri tidak pernah menuliskan satu karya spesifik yang membahas khusus mengenai estetika. Pembahasan mengenai estetika terkandung dalam beberapa bab atau bagian dalam karya-karyanya, misalkan saja The Nature of True Virtue, Works 8:537-627. Jonathan Edwards menyatakan,[18]

Secondary” beauty is a mere “image” or “resemblance” of true beauty. It consists in “symmetry,” “harmony,” or “proportion,” or “as Mr. Hutcheson” says, in “agreement of different things in form, manner, quantity, and visible end or design,” i.e., in “regularity.” The beauty of well-ordered societies, of “wisdom…consisting in the united tendency of thoughts, ideas, and particular volitions to one general purpose,” of the natural fitness of actions and circumstances (having made a promise, for example, and keeping it), “of a building, of a flower, or of the rainbow” are examples. (True Virtue, 1765; Edwards 1957, vol. 8, 561–62)

Pandangan estetika Edwards sangat berkaitan dengan pemahamannya mengenai Alkitab dan theologi. Ia sangat menekankan kebesaran, kesucian, dan kemuliaan Allah dalam konsep estetikanya.

Since God’s benevolence alone is perfect, He is the only thing that is (truly) beautiful without qualification. The fitness of God’s dispensations, the harmony of his providential design, and so on, also exhibit the highest degree of secondary beauty. God is thus infinitely the most beautiful and excellent, the measure of both primary and secondary beauty. Moreover, he is the foundation and fountain of all beauty. All the beauty to be found throughout the whole creation is…the reflection of the diffused beams of that being who hath an infinite fullness of brightness and glory. (True Virtue, 1765; Edwards 1957–, vol. 8, 550–51)

Edwards menekankan bahwa dunia yang Tuhan ciptakan dipenuhi dengan berbagai macam dan rupa keindahan. Keindahan tersebut tidak hanya berupa suara-suara dengan harmoni yang begitu indah, ataupun kemegahan bentangan alam, tetapi juga mengenai keindahan Injil, yakni yang menggambarkan rencana dan intervensi Allah dalam sejarah. Secara khusus mengenai keindahan Injil, hanya orang-orang pilihan Tuhan yang sanggup menyelami keindahan Injil ini.[19] Jonathan Edwards juga mengaitkan antara aspek estetika dan etika/moral. Edwards yakin bahwa keagungan dan keindahan Allah akan menarik orang untuk dapat berespons secara etis. Keindahan tersebut akan mendorong seseorang untuk hidup, bertindak, dan bekerja bagi Allah dengan kepenuhan sukacita. Bagi Edwards, kemegahan dan keagungan Allah akan membuat manusia merasa berbagai tantangan, penderitaan, dan kesulitan hidup menjadi relatif kecil.

Dalam bagian-bagian selanjutnya, penulis akan membahas pandangan estetika Jonathan Edwards dalam tiga aspek, yakni aspek metafisika, Allah, dan ciptaan.

A. Estetika dan Metafisika
Semasa hidupnya, Edwards menghadapi tantangan dari Abad Pencerahan (Enlightenment).[20] Pandangan estetikanya menjadi salah satu bentuk perlawanannya terhadap pandangan-pandangan Abad Pencerahan yang sangat menekankan peran dan fungsi rasio. Pada zaman ini, sains berkembang dengan sangat pesat, selaras dengan berkembangnya filsafat rasionalisme dan empirisisme. Francis Hutcheson adalah salah satu pemikir Abad Pencerahan yang dinilai memberikan pengaruh terhadap konsep estetika Jonathan Edwards.[21] Dalam konteks dan tantangan Abad Pencerahan, Edwards tetap secara konsisten mempertahankan cara pandang (worldview) theistik. Ia kerap merujuk kepada ide/pemikiran dari Isaac Newton dan John Locke untuk mempertahankan pandangannya.[22] Dinamika ini menghasilkan ciri khas pemikiran Edward yang keluar dari intensitas interaksi theologi Reformed yang ia pelajari, dengan berbagai perkembangan sains pada zamannya.

Edwards tetap mempertahankan dua lapisan realitas (materi dan spiritual) seperti yang dipercaya oleh tradisi gereja pada umumnya. Jejak-jejak pemikiran Plato yang pernah memengaruhi gereja, juga terlihat dalam pemikiran Edwards.[23] Secara prioritas, Edwards tetap menempatkan aspek spiritual di atas aspek materi. Selain menjelaskan berbagai lapisan realitas, Edwards juga memaparkan keterkaitan lapisan-lapisan tersebut, dan signifikansi elemen estetika sebagai basis dari keterkaitan ini. Edwards membagi aspek estetika menjadi dua: secondary beauty dan primary beauty. Secondary beauty mencakup benda-benda materi, sedangkan primary beauty mencakup aspek-aspek spiritual. Bagi Edwards, “Beauty is not just a curious fact of human behaviour. Beauty is a foundational reality that gives meaning to both the natural world and the human world.

B. Estetika dan Allah
Edwards secara jelas melihat Allah sebagai Pribadi yang transenden, yang berbeda, dan jauh lebih tinggi dari segala ciptaan. Pribadi Allah adalah Sang Keindahan yang ultimat, dan menjadi sumber dari segala keindahan yang ada. Keindahan ilahi jauh melampaui keindahan-keindahan yang berada di dalam level alam ciptaan. Secara unik, Edwards menjelaskan bahwa Allah itu indah karena Allah adalah Allah yang Tritunggal.[24] Konsep Allah yang hanya bersifat tunggal (monotheisme), tanpa memiliki relasi dan referensi kepada pihak lain, tidak bisa memancarkan keindahan yang sesungguhnya. Keindahan ilahi juga menunjukkan keagungan moral dan karakter Allah, yang secara sempurna bisa dilihat dalam pribadi Allah Tritunggal.

One alone, without any reference to any more, cannot be excellent; for in such a case there can be no manner of relation no way, and therefore, no such thing as consent. (The Mind 1, 6:337)

Bagi Edwards, hanya suatu being yang bisa memiliki sifat keindahan (beauty). Sesuatu yang tidak berada (non-existence), tidak mungkin bisa memancarkan aspek keindahan. Karena Allah adalah sumber dari seluruh keberadaan, maka Allah jugalah yang menjadi sumber segala keindahan. Segala benda (being) lain bisa disebut indah hanya ketika Allah mencipta dan membuat mereka berada. Dalam perspektif ini, Edwards menggunakan istilah Universal Being bagi Allah.

Secara spesifik, Edwards juga menekankan keindahan pribadi Kristus, dan karya keselamatan yang dikerjakan oleh-Nya. Edwards kerap kali menyatakan kekagumannya akan kerelaan, ketaatan, kelemahlembutan, dan kerendahan hati Kristus selama Ia inkarnasi ke dalam dunia. Harmoni antara kemuliaan Kristus sebagai Anak Allah, sekaligus kerendahan hati-Nya sebagai manusia, semakin mendorong orang percaya untuk semakin mengagumi dan mengasihi-Nya.

To be sensible of the greatness of the trial of those virtues in Christ that were exercised under his sufferings, two things must be considered: (1) the infinite height and dignity of his person and state, and (2) the degree of suffering and humiliation that he was subject to.

C. Estetika dan Ciptaan
Edwards menegaskan bahwa tidak mungkin alam semesta bisa berada tanpa adanya eksistensi Pribadi Pencipta. Alam ciptaan dikatakan indah bukan hanya dari perspektif aspek mekanisme dan keteraturan internal, melainkan juga karena ada aspek keharmonisan dan relasi dengan aspek spiritual. Bagi Edwards, benda-benda materi memiliki fungsi sebagai representasi akan aspek-aspek spiritual: “For indeed the whole outward creation, which is but the shadows of beings, is so made as to represent spiritual things.” Dari pemikiran Edwards, aspek estetika dan keindahan dilihat sebagai jembatan penghubung yang penting antara dunia materi dan dunia spiritual. Jika dianalogikan, dunia materi ini adalah bahasa (language), maka keindahan spiritual adalah makna/arti (meaning) dari bahasa tersebut.

Edwards banyak memberikan contoh dalam perumpamaan atau ilustrasi dari dalam Alkitab. Misalkan saja, mengenai pokok dan carang anggur yang melambangkan relasi antara Kristus dan umat Allah. Juga berbagai perumpamaan lain mengenai biji sesawi, harta terpendam, dan ragi roti dalam menggambarkan Kerajaan Allah. Mengenai hal ini, Edwards menyatakan,

I am not ashamed to own that I believe that the whole universe, heaven and earth, air and seas, and the divine constitution and history of the holy Scriptures, be full of images of divine things, as full as a language is of words; and that the multitude of those things that I have mentioned are but a very small part of what is really intended to be signified and typified by these things: there is room for persons to be learning more and more of this language and seeing more of that which is declared in it to the end of the world without discovering all.

Salah satu contoh yang terkenal adalah penjelasan Edwards mengenai ulat sutra (silkworm), juga perenungannya mengenai bunga, padang rumput, dan sejuknya hembusan angin ketika ia tengah menikmati keindahan alam:

The silkworm is a remarkable type of Christ, which, when it dies, yields, us that of which we make such glorious clothing. Christ became a worm for our sakes, and by his death finished that righteousness with which believers are clothed, and thereby procured that we should be clothed with robes of glory.

So that when we are delighted with flowery meadows and gentle breezes of wind, we may consider that we only see the emanations of the sweet benevolence of Jesus Christ; when we behold the fragrant rose and lily, we see his love and purity.

V. Penutup
Pengaruh Reformasi dapat dilihat jelas dalam diri Jonathan Edwards. Di tengah-tengah tantangan arus pemikiran Abad Pencerahan, Edwards mampu berdiri tegak sebagai orang Kristen. Ia dengan jelas percaya bahwa hanya Allah yang berdaulat di atas segala sesuatu dan lebih tinggi dari segala ciptaan, termasuk kapasitas rasio manusia. Edwards sangat sadar bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang layak untuk menjadi pusat alam semesta, bukan manusia. Dalam aspek metafisika, Edwards tetap yakin akan aspek tubuh jasmani dan rohani, seperti yang dipercaya oleh gereja pada umumnya. Meskipun pada zaman ini, gempuran terhadap aspek rohani datang begitu keras. Dalam perenungannya mengenai aspek estetika, Edwards menunjukkan pemikiran yang unik pada zamannya, sekaligus tetap setia terhadap iman Kristen. Konsep estetika Edwards jelas berlandaskan atas keindahan pribadi Allah Tritunggal, secara khusus pribadi Kristus yang inkarnasi, dan dilanjutkan dengan keindahan Injil.

Pengaruh dan teladan hidup dari Jonathan Edwards tidak berhenti ketika ia telah berpulang ke rumah Bapa. Pengaruh Edwards terus terpancar melalui keturunan-keturunannya. Pada tahun 1900, A. E. Winship menelusuri dengan saksama mengenai 1.400 keturunan Jonathan Edwards. Ia menemukan ada 13 presiden universitas, 65 profesor, 100 pengacara, 30 hakim, 66 dokter, 80 pejabat publik, termasuk senat, gubernur, dan Wakil Presiden Amerika Serikat. Sosok Edwards telah menjadi sumber inspirasi bagi keturunan-keturunannya, sehingga menjadikan mereka sebagai orang-orang yang berguna dan menjadi berkat bagi masyarakat. Lebih luas lagi, buah pelayanan Edwards tentu jauh melampaui apa yang Edwards bisa lihat melalui mata jasmaninya. Secara spesifik mengenai pelayanan kebangunan rohani yang ia kerjakan, bentuk pelayanan tersebut telah menjadi acuan dan teladan dari berbagai kebaktian kebangunan rohani yang diadakan pada zaman-zaman selanjutnya.

Juan Kanggrawan
Pemuda GRII Singapura

Referensi:
Bavinck, Herman. Essays on Religion, Science, and Society (Baker Academic, 2008).
Calvin, John. Institutes of Christian Religion (Massachusetts: Hendrickson Publishers, 2008)
Edwards, Jonathan. Religious Affections, ed. John Smith (New Haven: Yale University Press, 1959).
Edwards, Jonathan. Ethical Writings, ed. Paul Ramsey (New Haven: Yale University Press, 1989).
Farley, Edward. Faith and Beauty: A Theological Aesthetic (Aldershot: Ashgate, 2001).
Gombrich, E. H. The Story of Art (London: Phaidon Press, 1995).
Holmes, Stephen R. God of Grace and God of Glory: An Account of the Theology of Jonathan Edwards (Edinburgh: T&T Clark, 2000).
Iain Murray, “The Distinguishing Marks of a Work of the Holy Spirit of God” in Jonathan Edwards’ Selected Works, vol. 1 (Edinburg: Banner of Truth, 1999), 80-81.
Kemp, Martin (ed.). The Oxford History of Western Art (Oxford: University Press, 2000).
Kuyper, Abraham. Lectures on Calvinism. (Grand Rapids: Eerdmans, 1931).
Michael A. G. Haykin (Ed.). A Sweet Flame – Piety in the Letters of Jonathan Edwards (Reformation Heritage Books).
Preziosi, Donald. The Art of Art History: A Critical Anthology (London: Oxford University Press, 2009).
Stephen J. Nichols. Jonathan Edwards: A Guided Tour of His Life and Thought (P&R Publishing).

Endnotes:
[1] Berikut adalah contoh-contoh perayaan Reformed 500 di berbagai belahan dunia: The Gospel Coalition 2017 National Conference, Reformation Conferences, Reformation 500 Festival (Tennessee), Calvin Studies Colloquium “Calvin and the Early Reformation”.
[3] Ada pandangan yang memisahkan antara aspek rasio/kebenaran dari estetika/keindahan. Pemisahan ini nantinya sangat ditekankan dalam pemikiran Immanuel Kant. Surat Filipi memberikan prinsip keterkaitan antara dua hal tersebut.
[4] Sampai saat ini, pengaruh Jonathan Edwards masih dapat kita rasakan terutama dalam aspek pengertian theologis dan berbagai bentuk kebaktian kebangunan rohani.
[5] Pengaruh Reformasi mencakup kaum rohaniwan, pengusaha, petani, buruh, dan masyarakat umum.
[6] Berikut adalah beberapa buku yang membahas lebih detail mengenai tema iconoclasm: The Reformation: A History, Reformation and the Visual Arts: The Protestant Image Question in Western and Eastern Europe, Calvin and Culture: Exploring a Worldview.
[7] Seni memiliki lingkup/cakupannya dan bertanggung jawab secara unik di hadapan Allah. Tindakan gereja atau negara yang mengekang seni akan mengurung dan membuat miskin seni itu sendiri. Pengertian ini tentunya tidak boleh berkembang liar yang nantinya bahkan melihat seni seharusnya terbebas dari konsep estetika dan tanggung jawab di hadapan Tuhan. Prinsip Arts for Arts’ sake menjadi pemikiran yang dapat dipelajari lebih jauh.
[8] Hal ini berbeda dengan konteks gereja Katolik waktu itu yang kerap meminta seniman untuk melukiskan hal-hal yang terkait dengan aspek gerejawi atau rohani saja.
[9] Pembahasan dari para tokoh di sini tidak bertujuan untuk memberikan penjelasan lengkap dan detail. Penulis mengambil beberapa cetusan atau pemikiran singkat dengan maksud untuk membandingkan secara singkat.
[10] Penjelasan mengenai mimesis bisa dilihat melalui link ini: https://plato.stanford.edu/entries/plato-aesthetics/.
[11] Pada zaman Plato, ada pandangan yang melihat kenikmatan apresiasi keindahan sebagai faktor yang mengganggu manusia untuk mendapatkan pengetahuan atau perenungan yang lebih mendalam.
[12] Berbeda dengan Plato yang menekankan dunia ide, Aristoteles menekankan realitas yang berada di sini dan sekarang. Dengan prinsip ini, ia sangat menekankan penyelidikan terhadap alam.
[13] Beauty.
[14] Medieval Theories of Aesthetics.
[15] Dinamika pemerintahan yang cenderung mengarah ke Katolik atau Protestan menjadi pemicu berbagai pergolakan dan perubahan yang ada.
[16] Kaum Puritan dikenal sebagai kelompok Kristen yang memiliki pengertian firman Tuhan yang mendalam, kepekaan akan dosa, kerinduan untuk memberitakan Injil, kematangan rohani, dan kesungguhan untuk menerapkan prinsip firman Tuhan dalam berbagai aspek hidup.
[17] Pemikiran Edwards yang luas dan dalam adalah berasal dari komitmen/ketetapan hatinya untuk mempelajari firman Tuhan dengan sungguh-sungguh, memaksimalkan bakat yang ada padanya, dan tidak menyia-nyiakan setiap waktu yang Tuhan karuniakan kepadanya.
[18] Penulis juga membandingkan berbagai tulisan Edwards dalam mempelajari konsep estetika Jonathan Edwards. Disertasi berikut adalah contoh tulisan yang baik mengenai pemikiran estetika Edwards: The Theological Aesthetics of
Jonathan Edwards
.
[19] Bagian ini adalah salah satu keunikan pandangan estetika Edwards dibandingkan pemikir-pemikir lain yang hidup satu zaman dengannya.
[20] Abad Pencerahan cenderung menekankan aspek rasio manusia dan berbagai perkembangan ilmu pengetahuan.
[21] Francis Hutcheson (1694—1745).
[22] Pemikiran Newton dan Locke sedikit banyak dipengaruhi oleh iman Reformatoris. Walau nantinya perlu ditelusuri dan dipilah lebih jauh mengenai aspek-aspek pemikiran mereka.
[23] Pemikiran Plato yang menekankan dunia ide, sedikit banyak memengaruhi gereja dalam mengutamakan aspek spiritual. Bapa Gereja Agustinus juga mendapatkan banyak pengaruh dari arus pemikiran Plato.
[24] Prinsip inilah yang menjadi keunikan estetika Kristen. Tidak ada filsafat dan agama lain yang  melihat estetika dari sudut pandang Allah Tritunggal.