Pendahuluan
Revolusi sains di abad 16 dan 17 merupakan momen sejarah yang penting bagi perkembangan budaya Barat. Begitu banyak ilmuwan berpengaruh yang dihasilkan pada masa itu dan penemuan-penemuan mereka terus dipelajari hingga hari ini. Kita bisa menyebutkan nama seperti Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler, Galileo Galilei, Isaac Newton, Francis Bacon, dan lain-lain. Orang-orang tersebut telah menjadi pendiri dari apa yang kita sebut sebagai sains modern pada hari ini. Ya, sains yang kita pelajari di bangku sekolah seperti fisika, kimia, dan biologi. Metodologi sains yang kita pakai di institusi riset juga lahir pada zaman ini. Semua hal ini telah mengubah wajah dunia hingga menjadi seperti hari ini.
Merupakan hal yang menarik untuk coba memahami apa yang menyebabkan bangkitnya sains modern. Hal-hal besar sering kali terjadi setelah melalui proses yang kompleks dan cukup lama. Tidak mengherankan ketika berbagai perspektif dan cerita bisa kita dengarkan dari para sejarawan yang mencoba untuk menyoroti tema ini.
Banyak sejarawan yang melihat bahwa revolusi sains ini merupakan suatu momen yang unik dan tidak terjadi di tempat lain selama ribuan tahun sebelumnya. Berabad-abad lamanya zaman Abad Pertengahan (Middle Ages, 500-1400 M), tidak menghasilkan perkembangan ilmu pengetahuan yang se-revolusioner masa ini. Bukan berarti tidak ada sama sekali penelitian sains pada zaman Abad Pertengahan. Tapi perbedaan antara kedua masa ini memang begitu mencolok. Mengapa bisa demikian? Cerita lebih detail akan kita bahas dalam artikel ini kemudian.
Selain itu, menarik juga ketika kita menyadari bahwa peristiwa ini terjadi di negara-negara Eropa yang mayoritas berkebudayaan Kristen. Bahkan hal ini berdekatan dengan Gerakan Reformasi gereja yang terjadi sekitar abad ke-16. Apakah ini suatu kebetulan belaka? Apakah Reformasi memicu terjadinya revolusi sains modern? Jika ya, bagaimana hubungannya dan seperti apa perannya?
Banyak pendapat pro dan kontra mengenai tema ini. Pada artikel ini, kita akan coba mendekati isu ini dari perspektif sejarah.
Sains Abad Pertengahan
Pada permulaan Abad Pertengahan, Kristen Katolik ditetapkan sebagai agama resmi kekaisaran Romawi. Agama Kristen saat itu begitu mendominasi dan agama selain Kristen dianggap sebagai bidat. Pada masa inilah gereja memiliki kuasa dan pengaruh yang sangat besar dalam suatu negara.
Awal Abad Pertengahan dikenal juga dengan sebutan “zaman iman” (age of faith) di mana orang-orang sangat berorientasi kepada dunia spiritual. Seorang theolog yang berpengaruh pada zaman itu adalah Agustinus. Ia adalah seorang yang dipengaruhi oleh filsafat Plato, yang menekankan ide tentang dunia rohani di luar sana (otherworldly).
Bagi Plato, realitas terbagi menjadi dua macam, yaitu dunia materi dan dunia ide/roh. Dunia materi adalah dunia fisik yang bersifat tidak tetap, sementara, dan terus berubah. Sedangkan dunia ide hanya satu macam, kekal, dan bersifat tetap. Dunia ide merupakan realitas yang sesungguhnya, sedangkan dunia materi hanya merupakan bayang-bayang dari dunia ide. Ketika konsep seperti ini masuk ke dalam kekristenan, maka penekanan kehidupan jadi mengarah kepada hal-hal yang sifatnya spiritual saja dan tidak menaruh perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat materi.
Konsep berpikir seperti demikian nyata dalam kebudayaan yang berkembang pada masa itu. Misalnya dalam aspek seni, banyak sekali lukisan pada masa itu yang menggambarkan kehidupan spiritual dan sorga, lain halnya dengan perkembangan sains alam. Pada masa ini, penyelidikan terhadap dunia fisik tidak mendapatkan tempat yang memadai karena hal itu dilihat sebagai sesuatu yang lebih tidak penting daripada hal-hal rohani/spiritual. Agustinus sendiri memandang sains hanya sebatas “gratification of the eye”, atau paling tidak sebagai “hamba” (handmaiden) dari agama.
Pada saat yang bersamaan, dunia Islam mengalami perkembangan ilmu pengetahuan oleh karena mereka mengadopsi karya filsuf Yunani seperti Aristoteles, Ptolemy, dan Galen. Filsafat Aristoteles berbeda dengan Plato karena ia memandang dunia materi ini sebagai realitas yang nyata dan layak untuk dipelajari. Bagi Aristoteles, pengetahuan didapatkan justru dengan mempelajari hal konkret dan partikular yang ada di sekitar kita. Metode yang dipakai adalah induksi dan bukan deduksi.
Kemajuan dunia Islam ini mulai menarik dunia Eropa di awal abad ke-12. Karya Aristoteles mulai “dilirik” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Meski paham Aristoteles kian memikat, gereja masih bersikap ambivalen terhadap filsafat Aristoteles. Sampai ketika Thomas Aquinas membawa filsafat Aristoteles masuk ke dalam gereja dan menggabungkannya dengan theologi Kristen, barulah konsep Aristoteles menjadi “beken” di kalangan gereja saat itu. Singkat cerita, pengaruh Aristoteles kini menjadi begitu kuat di tanah Eropa hingga berabad-abad lamanya.
Berabad-abad sebelumnya, dunia Eropa terobsesi dengan dunia “di sana” (spiritual), tetapi kini haluan berpindah menjadi ketertarikan kepada dunia manusia yang “di sini”. Filsafat Aristoteles memiliki ketertarikan kepada peran rasio, dan dengan demikian ikut memicu munculnya universitas-universitas awal yang didirikan di Bologna, Paris, dan Oxford. Tulisan-tulisan Aristoteles menjadi bacaan dasar dan wajib bagi universitas-universitas tersebut. Meski ketertarikan pada rasio dan dunia “di sini” mulai berkembang, perkembangan sains tidak banyak mengalami revolusi yang hebat. Mengapa? Metode sains pada masa ini sangat sedikit melakukan penelitian ilmiah dan eksperimen. Mereka mendasarkan pengetahuan lebih kepada logika daripada observasi. Para ilmuwan dan para pelajar hanya membaca karya-karya yang berotoritas dan menerima dogma-dogma yang ada sebagai kebenaran.
Pada masa itu, gereja memegang otoritas mutlak untuk memutuskan dengan pasti sejumlah dogma kebenaran dalam berbagai hal, termasuk dalam hal sains. “Kebenaran” yang dipegang saat itu merupakan hasil perkawinan antara theologi dan filsafat Aristoteles. Mereka memiliki otoritas untuk mengklaim suatu kebenaran dan hal itu tidak dapat dipungkiri. Semua ungkapan theologi maupun sains dipantau secara ekstensif oleh gereja.
Tanpa disadari, sistem pemikiran Aristoteles memiliki kekeliruan dalam mendefinisikan berbagai hal. Misalnya dalam hukum fisika, pemikiran Aristoteles menyatakan bahwa kecepatan jatuhnya suatu benda ditentukan oleh berat benda tersebut. Hal ini dibuktikan salah secara empiris oleh Galileo yang menjatuhkan dua benda dengan berat berbeda dari atas Menara Pisa. Secara menakjubkan, kedua benda itu jatuh ke tanah dengan kecepatan yang sama. Selain itu ada juga paham Aristoteles yang mengatakan bahwa bumi menempati posisi sentral terhadap benda-benda langit seperti matahari, planet-planet, dan bintang-bintang.
Dogma-dogma seperti beberapa contoh di atas umumnya tidak dipertanyakan selama bertahun-tahun dan telah menjadi ajaran umum institusi pendidikan di era tersebut. Gereja pun mendukung dogma-dogma itu dan menyelaraskan dengan tafsiran Alkitab mereka. Misalnya, gereja akan setuju dengan kosmologi Aristoteles yang menyatakan bahwa bumi merupakan pusat alam semesta karena ada dukungan dari beberapa bagian dalam Alkitab secara literal. Gereja akan mengutip Alkitab, khususnya Kitab Mazmur dan Yosua untuk mendukung dogma itu.
“[Tuhan] yang telah mendasarkan bumi di atas tumpuannya, sehingga takkan goyang untuk seterusnya dan selamanya.” (Mzm. 104:5)
“Lalu Yosua berbicara kepada TUHAN pada hari TUHAN menyerahkan orang Amori itu kepada orang Israel; ia berkata di hadapan orang Israel: “Matahari, berhentilah di atas Gibeon dan engkau, bulan, di atas lembah Ayalon!” Maka berhentilah matahari dan bulan pun tidak bergerak, sampai bangsa itu membalaskan dendamnya kepada musuhnya. Bukankah hal itu telah tertulis dalam Kitab Orang Jujur? Matahari tidak bergerak di tengah langit dan lambat-lambat terbenam kira-kira sehari penuh.” (Yos. 10:12-13)
Dengan demikian, dogma demi dogma dimutlakkan dan barang siapa yang berani menentangnya akan dicap sebagai penentang gereja. Bahkan ketika para ilmuwan telah membuktikan secara empiris bahwa hal-hal itu salah, banyak filsuf skolastik yang tetap memercayai dogma rasional dari teori Aristoteles.
Reformasi
Lambat laun, beriringan dengan waktu yang berjalan, interaksi terhadap realitas mulai menciptakan pertanyaan-pertanyaan terhadap dogma yang diterima saat itu. Rasa ingin tahu orang-orang pada zaman itu mulai berkembang karena didorong oleh beberapa faktor seperti banyaknya ekplorasi geografis di mana orang-orang ingin mengetahui dunia di balik lautan yang sangat luas. Selain itu penemuan akan flora fauna baru, kebudayaan baru, dan sebagainya juga membentuk konteks sosial masyarakat saat itu untuk menerima ide-ide atau hal-hal yang baru. Para seniman juga mulai memiliki ketertarikan kepada “dunia di sini”, yang kemudian juga ikut mendorong kemajuan dalam bidang sains. Misalnya, kita mengenal Leonardo da Vinci yang sangat mahir dan detail dalam memahat atau melukiskan bentuk tubuh manusia. Hal itu tidak lepas dari fakta bahwa dia secara nekat suka melakukan observasi terhadap mayat manusia secara sembunyi-sembunyi, di mana praktik membedah mayat di zaman itu dilarang keras oleh gereja. Leonardo da Vinci menggambarkan sketsa tubuh manusia di dalam buku catatannya, dan hal ini memberikan kontribusi besar bagi dunia kedokteran di kemudian hari.
Meskipun demikian, institusi pendidikan masih terus-menerus mengajarkan sistem Aristoteles dan gereja terus memperkuat dogma dengan otoritasnya. Bukan hanya sekadar urusan mempertahankan dogma, gereja saat itu juga banyak bermain politik yang kotor dan melakukan praktik-praktik yang meresahkan banyak orang. Terjadinya korupsi, haus kuasa, penjualan surat indulgensia, dan lain-lain, telah mewarnai lembar hitam gereja pada masa itu. Lambat laun, makin banyak orang yang mulai mempertanyakan praktik gereja yang selalu dianggap mutlak dan mengatasnamakan otoritas Tuhan. Di tengah-tengah kondisi seperti demikian, Reformasi Protestan yang dilakukan oleh Martin Luther pada tahun 1517, secara radikal telah mengubah kerangka pikir theologis dan mengguncang kondisi sosial politik Eropa.
Pengaruh Luther menjadi sangat viral di zaman itu. Tulisannya yang fenomenal dan sangat menohok itu kian menyebar luas di Eropa. Adanya mesin cetak Gutenberg jelas sangat membantu penyebaran hal itu secara masif di masyarakat, sehingga sangat sulit bagi gereja untuk membendungnya. Terlebih lagi, muncul beberapa kelompok masyarakat yang juga ikut mendukung Luther dalam melawan otoritas paus, sehingga ikut melemahkan kekuasaan gereja.
Meskipun demikian, otoritas gereja tidak secepat itu melunak. Orang-orang seperti Copernicus dan Galileo, yang mengajarkan bahwa mataharilah pusat tata surya (heliosentris) dan bukan bumi (geosentris), masih menerima kecaman serius dan harus mengalami pengasingan oleh gereja. Copernicus sendiri yang pertama memelopori konsep heliosentris menunda penerbitan buku masterpiece-nyakarena ancaman gereja. Buku yang berjudul De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Revolusi Bidang Angkasa) ini diterbitkan tahun 1543, beberapa saat sebelum Copernicus meninggal dunia, agar dia tidak usah mengetahui bagaimana gereja akan berespons. Buku ini merupakan salah satu buku terpenting dalam masa revolusi sains yang membahas tentang matahari sebagai pusat tata surya.
Salah satu peran penting Reformasi adalah membuat Alkitab tersedia bagi semua orang dan disajikan dalam bahasa sehari-hari mereka. Pada zaman sebelumnya, hanya petinggi-petinggi dalam gereja yang memiliki akses kepada Alkitab. Itu pun ada dalam bahasa Latin, yang merupakan bahasa intelektual pada zaman tersebut, bukan bahasa sehari-hari. Luther sendiri berusaha untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman. Selain itu ada juga beberapa tokoh Reformasi lainnya seperti John Wycliffe yang menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris. Dengan adanya investigasi langsung kepada teks Alkitab, di mana setiap jemaat adalah imam di hadapan Allah, Luther mencetuskan moto sola scriptura (by Scripture alone). Terbukanya kebenaran di dalam Alkitab inilah yang akhirnya mendompleng spekulasi theologis dan kejahatan otoritas gereja di masa itu. Dia menyatakan,
“A simple man with Scripture has more authority than the Pope or a council.”
Hal ini mendorong banyak orang untuk membaca dan melihat sendiri kebenaran firman Tuhan, sehingga banyak orang yang meninggalkan gereja Katolik dan berhenti untuk melindungi dogma-dogma yang terbukti tidak berdasar. Di dalam situasi dan atmosfer inilah revolusi sains ikut berkembang, dan sistem Aristoteles runtuh.
Dengan demikian, secara tidak langsung, Reformasi Protestan berkontribusi dalam membangun sebuah “panggung” di mana revolusi sains dapat subur dipentaskan oleh orang-orang seperti Isaac Newton, Francis Bacon, dan kawan-kawan. Reformasi bagai garam yang ikut memberi rasa dalam pergerakan zaman saat itu. Terbukanya akses langsung terhadap sumber awal, baik Alkitab maupun alam, menyuburkan suatu bentuk metodologi atau semangat di zaman Renaisans yang berbeda dengan abad-abad sebelumnya, yaitu semangat untuk kembali kepada sumber primer (ad fontes). Hal ini menjadi semangat yang membentuk perkembangan metodologi sains seperti yang kita kenal sekarang.
Beberapa Interaksi Theologi Reformasi dan Sains
Reformasi 500 tahun yang lalu diawali dengan menghasilkan reformasi theologis dalam gereja Tuhan. Saat itu, Alkitab yang terbuka telah bercahaya memberikan pembaharuan salah satunya dalam aspek theologis. Aspek theologis yang sudah dibarui berinteraksi dengan dunia sains. Mereka hadir dalam dialog yang juga saling memengaruhi. Ada beberapa dasar theologis yang dibangun oleh para Reformator, khususnya Luther dan John Calvin yang menjadi dasar motivasi dan legitimasi terhadap investigasi sains.
Luther
Pada zaman sebelumnya yang cenderung mengutamakan hanya peran rasio, manusia bisa terjerumus dalam jebakan untuk menghasilkan spekulasi dan konsep-konsep kosong belaka. Pada kasus Abad Pertengahan, spekulasi ini berujung pada kesalahan dogma yang diterima luas dan berkembang menghasilkan praktik-praktik yang melenceng. Minimnya akses untuk mengkaji sendiri kebenaran secara langsung serta keharusan untuk tunduk mutlak pada otoritas penguasa menghasilkan sebuah panggung yang tidak sehat. Luther menentang keras situasi seperti demikian. Ia mengklaim bahwa Gereja Roma Katolik saat itu telah menciptakan berhala dan menggantikan Allah sejati yang dinyatakan oleh Alkitab. Demikianlah, seperti yang sudah dinyatakan di atas, Luther sangat mementingkan observasi dan terbukanya akses pembacaan Alkitab sebagai dasar kebenaran.
Bacon juga melihat bahwa metode “hanya rasio saja” dapat menyebabkan spekulasi dan menghasilkan teori yang kosong. Padahal seharusnya kita mengenali tanda-tanda dan jejak pekerjaan penciptaan yang ternyatakan langsung di dalam alam. Dia mengatakan,
“Unless we recognize the difference, between the Idols of the human mind and the Ideas of the divine, we will continue to acquiesce in sterile, self-serving rationalism and fail to achieve progress in the knowledge of nature.”
Seperti para Protestan yang melawan theologi spekulasi Roma Katolik, demikian juga Bacon melawan spekulasi rasional dari filosofi Aristoteles atas alam.
Untuk mengatasi hal ini, Bacon mengajukan sebuah metode yang dapat kita lihat kaitannya dalam metode para Reformator. Para Reformator mementingkan pembelajaran teks Alkitab untuk menangkal dogma dan spekulasi yang kosong; demikian juga Bacon percaya bahwa ilmu pengetahuan harus bermula dari observasi dan klasifikasi terhadap teks alam untuk menangkal teori filsafat alam Aristoteles yang salah. Bacon mengatakan,
“The formation of ideas and axioms by true induction is no doubt the proper remedy to be applied for keeping off and clearing away idols.”
Tentu saja hal ini bukan berarti bahwa dalam perkembangannya, para ilmuwan modern hanya menggunakan metode observasi empiris semata dan membuang sama sekali pendekatan rasional. Bukan juga berarti bahwa di zaman Abad Pertengahan, para filsuf/ilmuwan tidak memakai pendekatan empiris sama sekali. Cerita di atas hanya mau mengatakan bahwa metode empiris lebih ditekankan setelah abad ke-17 daripada abad sebelumnya karena perubahan konteks panggung sejarah.
Calvin
Calvin dalam buku Institutes of the Christian Religion bagian kelima menyatakan bahwa pengetahuan akan Allah mengenai kebijaksanaan-Nya dan sifat-Nya telah terpancar dalam alam semesta. Kemuliaan Allah terpancar dalam ciptaan di sekeliling kita. Melalui alam kita mengecap keindahan dan mengenal pribadi-Nya. Calvin mengatakan bahwa barang siapa yang menyepelekan studi akan alam adalah sama bersalahnya dengan mereka yang telah melupakan Sang Pencipta. Cara pandang seperti demikian memengaruhi para ilmuwan Protestan di zaman itu seperti Coiter, Clusius, dan Palissy dalam memandang alam sebagai pekerjaan tangan Allah yang sangat menarik untuk diselidiki keindahannya.
Selain itu, Calvin juga meletakkan legitimasi sains pada konsep mandat budaya seperti yang diekspresikan dalam Kejadian 1:26.
“Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.””
Manusia memiliki panggilan untuk mengeskplorasi, memahami, dan mengembangkan dunia ini dengan tujuan pengenalan akan Allah dan diri. Dalam tafsirannya terhadap surat Korintus, Calvin mengatakan,
“Without Christ, sciences in every department are vain, and the man who knows not God is vain, though he should be conversant with every branch of learning.”
Penutup
Dalam sejarah, Tuhan bekerja dengan berbagai-bagai cara untuk menyatakan karya keselamatan-Nya kepada dunia ini. Interaksi Reformasi dan revolusi sains merupakan suatu hubungan kompleks yang saling terjalin dengan banyak konteks sosial pada masa itu. Respons dan dialog yang dilontarkan oleh para Reformator terhadap konteks mereka merupakan hal yang dapat kita dengarkan dan masih berbunyi dalam konteks kita hari ini.
Panggung yang tercipta dan akses yang diberikan saat ini setelah 500 tahun yang lalu belum mencapai titik yang sempurna. Berbagai skandal dan kesalahan yang dihasilkan pasca-Reformasi juga tetap saja ada. Kita bisa melihat adanya semangat deisme yang berkembang setelah itu, sekularisme, atheisme, dan sebagainya, yang mulai menjalar di mana-mana. Hal-hal tersebut bahkan bermula dan terjadi dalam komunitas orang-orang Reformed sendiri. Melihat hal ini menyadarkan kita bahwa perjuangan untuk setia kepada kebenaran itu masih terus nyata dalam interaksi kita terhadap diri sendiri maupun komunitas. Dengan demikian, semangat untuk terus mereformasi diri seturut dengan firman Tuhan, semper reformanda secundum verbum Dei, perlu terus dikumandangkan. SpiritReformasi bukanlah semangat revolusi yang egois, melainkan semangat untuk mengusahakan pertobatan dalam seluruh aspek kehidupan, seperti yang diserukan oleh Martin Luther di dalam poin pertama tesisnya yang berbunyi:
When our Lord and Master Jesus Christ said “Repent,” he intended that the entire life of believers should be repentance.
Kiranya melalui pembacaan kisah Reformasi dan revolusi sains ini, kita boleh merenungkan untuk senantiasa berdialog dengan situasi kita hari ini dalam terang Kristus yang membebaskan.
Andre Winoto (Pemuda FIRES)
Ezra Tjung (Pemuda PR San Fransisco)
Sumber:
1. Scottish Journal of Theology, Volume 38, Issue 02, 1985. Deason, G. B. The Protestant Reformation and the Rise of Modern Science.
2. The Objective Standard, Vol. 7, No. 3. Frederick Seiler. The Role of Religion in the Scientific Revolution.
3. Christian Perspectives on Science and Technology,Iscast Online Journal, 2010. Brian Edgar. Calvin and the Natural Order: Positives and problems for science-faith dialogue.
4. E. L. Hebden Taylor, “The Reformation and the Development of Modern Science” Churchman 82 (2) (1968): 87-103.
5. Calvin’s Role in the History of Science. Paul Arveson. May 2009.
6. The Scientific Revolution (1550-1700).