Siapakah Seperti YHWH?

Konteks
Kitab Mikha ditulis pada zaman pemerintahan Yotam (742 SM) hingga Hizkia (715 SM). Ia bernubuat pada masa yang sama dengan Nabi Yesaya. Di masa ini, Asyur bangkit sebagai kekuatan politik serta militer yang dominan dan melakukan ekspansi militer ke bangsa-bangsa di sekitarnya, termasuk Israel. Invasi berkelanjutan dari beberapa generasi raja Asyur pada akhirnya menaklukkan Samaria, ibukota Kerajaan Israel, pada tahun 722 SM.

Asyur tidak hanya melakukan pendudukan terhadap daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan, namun juga mengangkut warga yang tertawan ke berbagai daerah di wilayah kekuasaannya. Pengangkutan ini terutama dilakukan pada kelompok yang memiliki kuasa serta pengaruh dalam masyarakat. Dari segi sosial dan politik, tindakan ini mengurangi kemungkinan mobilisasi massa oleh figur-figur masyarakat sehingga memadamkan potensi pemberontakan. Israel pun tidak luput dari hal ini. Para pemuka serta masyarakat kelas atas Israel diangkut ke berbagai kota kekuasaan Asyur, dan sebagai gantinya, bangsa-bangsa taklukan dari berbagai kota lain diangkut untuk menempati bekas wilayah Israel. Inilah pembuangan yang dialami Kerajaan Utara.

Cara pembuangan ini tidak hanya memisahkan bangsa Israel dari Tanah Perjanjian, Bait Suci, ibadah, kebudayaan, serta saudara-saudara sedarah mereka, cara ini juga menghancurkan identitas Israel sebagai sebuah bangsa. Tidak semua bangsa Israel diangkut oleh Asyur ke pembuangan. Sebagian tetap tinggal dan terpaksa hidup bercampur dengan bangsa-bangsa lain. Seiring berjalannya waktu, Israel yang seharusnya hidup kudus dan menjaga kemurnian diri akhirnya melakukan kawin campur serta mengadopsi agama dan kebudayaan bangsa-bangsa lain. Mereka yang kemudian pulang dari pembuangan dan kembali ke wilayah Kerajaan Utara tidak akan lagi menemukan Israel yang sama dengan yang mereka tinggalkan dahulu. Hampir seluruh Kerajaan Utara, baik masyarakat maupun identitasnya, telah hilang dari sejarah. Sebagian kecil orang yang berhasil luput dari tentara Asyur melarikan diri ke wilayah Yehuda (Kerajaan Selatan).

Pada kondisi inilah Mikha hidup. Ia tinggal di Moresyet, sebuah kota dekat pesisir laut sekaligus di kaki bukit yang terletak sekitar 30 km di barat daya Yerusalem. Wilayah Moresyet dikelilingi oleh dataran rendah. Sangat mungkin banyak penduduk Moresyet saat itu hidup sebagai petani dan gembala, dan Mikha mengenal erat pergumulan masyarakat kelas menengah-bawah tersebut.

Moresyet juga terletak di wilayah yang strategis dari segi militer. Kota-kota di sekitar Moresyet, seperti Lakhis, Gat, Sokho, dan Azeka termasuk kota-kota berkubu yang pernah diperkuat oleh Rehobeam dua abad sebelumnya (2Taw. 11:5-10). Kota berkubu menawarkan keamanan yang lebih baik terhadap invasi, namun kota-kota sedemikian juga akan menjadi salah satu sasaran utama dalam sebuah kampanye militer karena posisinya yang strategis. Moresyet terletak di tanah yang cukup tinggi, sedangkan wilayah sekitarnya merupakan dataran rendah. Kondisi ini membuat penduduk Moresyet dapat melihat sangat jauh ke kota-kota berkubu di sekitarnya, dan sangat mungkin Mikha beserta rakyat Moresyet melihat sendiri ratusan ribu tentara Asyur menaklukkan kota-kota Yehuda dan mengangkut saudara sebangsa mereka menjadi tawanan. Prasasti Lakhis, yang saat ini disimpan di British Museum di London, mengisahkan bagaimana pada tahun 701 SM Raja Sanherib (raja yang mengirim utusan ke Hizkia di 2 Raja-Raja 18:13-19) menaklukkan Lakhis yang berjarak sangat dekat dengan Moresyet, mengangkut penduduknya sebagai tawanan, serta menghina Hizkia yang sedang terkepung oleh pasukannya di Yerusalem.

Tuntutan dan Penghukuman
Kitab Mikha dibuka dengan tuntutan Tuhan terhadap bangsa Israel, yang pada kitab ini diwakili oleh Samaria dan Yerusalem. Mikha memanggil bumi beserta seluruh isinya untuk mendengar dakwaan Tuhan (1:2-3). Tuhan sendiri keluar dari kediaman-Nya dan kehadiran-Nya yang digambarkan seolah menghancurkan gunung dan lembah, ibarat api yang menghanguskan (1:4). Ia datang dengan murka yang disebabkan oleh pelanggaran Israel.

Gambaran ini seharusnya sangat menggentarkan bangsa Israel. Israel tidak asing dengan kisah Tuhan yang turun ke bumi. Ketika bangsa Israel masih dipimpin Musa di padang gurun, Tuhan sendiri menampakkan diri di Gunung Sinai untuk memberikan hukum-Nya kepada bangsa Israel (Kel. 19:1-25). Alkitab mencatat bahwa Tuhan turun dalam awan, guruh, kilat, sangkakala yang kian keras, dan api. Kehadiran Tuhan sangat mengerikan sampai bangsa Israel tidak berani naik ke gunung dan meminta Musa mewakili mereka.

Tetapi ada perbedaan besar antara kehadiran Tuhan di Sinai dengan yang digambarkan oleh Mikha. Di Sinai Tuhan hadir sebagai api yang tidak menghanguskan (Kel. 19:18). Seluruh gunung dipenuhi asap, namun gunung itu tidak terbakar. Sedangkan kehadiran Tuhan yang digambarkan Mikha ibarat api yang menghanguskan. Gunung-gunung luluh di hadapan Tuhan seperti lilin di depan api. Selain itu, di Sinai Tuhan hadir untuk memberi berkat kepada umat-Nya. Ia hadir memberi hukum yang jika ditaati akan menuntun kepada hidup (Ul. 6:1-25). Sedangkan Kitab Mikha menyatakan bahwa Tuhan hadir untuk menghakimi umat-Nya.

Tuntutan Tuhan kepada Israel ditujukan baik kepada para penguasa, pemimpin agama, maupun rakyat biasa. Setiap lapisan masyarakat melakukan kejahatan dan membangkitkan murka Tuhan. Padahal, bangsa Israel seharusnya mencerminkan kemuliaan Tuhan dan membuat nama Tuhan termasyhur di antara bangsa-bangsa lewat kekudusan dan keadilan hidupnya.

Para hakim seharusnya menjatuhkan putusan dengan tidak memihak serta menjauhkan diri dari suap (Ul. 16:18, 2Taw. 19:6-7). Para nabi seharusnya secara jujur menyampaikan nubuat tanpa memikirkan untung-rugi sendiri. Sedangkan imam seharusnya dengan rela hati mengajar dan membimbing Israel untuk hidup menurut Taurat Tuhan (Yer. 5:31). Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Hakim memutuskan perkara karena suap. Nubuat para nabi manis apabila dibayar. Para imam pun mengajar dengan maksud mencari keuntungan, bukan untuk mendidik umat (Mi. 3:11).

Di antara masyarakat pun terdapat ketidakadilan. Pemilik-pemilik tanah yang kaya memanfaatkan praktik suap dan kerusakan dalam peradilan untuk merebut tanah milik saudara sebangsanya (Mi. 2:1-3). Bagi Tuhan, hal ini merupakan kejahatan besar. Tuhan memimpin Israel masuk ke Tanah Kanaan, kemudian Ia sendiri yang membagi tanah pusaka kepada setiap suku Israel. Tuhan memastikan bahwa tidak ada sebidang tanah pun yang dapat beralih kepemilikan secara mutlak (Im. 25:23-24). Dari segi ekonomi, keberadaan tanah memastikan bahwa seseorang setidaknya memiliki cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dirinya dan keluarganya. Dari segi sosial, tanah membantu menjaga status sosial seseorang karena tanpa tanah, seseorang mungkin terpaksa menjadi buruh harian, atau yang terburuk menjadi budak untuk bisa bertahan hidup. Dan yang terutama, apa yang Tuhan perhatikan dan anggap penting tidak boleh dianggap kurang penting oleh umat-Nya.

Semua kerusakan di atas mencakup seluruh lapisan masyarakat, baik penguasa, pemimpin agama, maupun rakyat biasa. Namun, kelompok-kelompok yang sudah disebutkan di atas seluruhnya adalah kelompok yang “kuat”, yakni mereka yang memiliki pengaruh baik politik maupun keuangan di dalam masyarakat. Apakah itu berarti masyarakat kelas menengah ke bawah hanyalah korban, dan Mikha merupakan nabi yang memperjuangkan hak-hak mereka yang miskin dan lemah? Tidak. Mikha memperjuangkan hak orang-orang yang diperlakukan tidak adil, bukan orang miskin dan lemah. Kalangan menengah ke bawah ternyata juga memiliki kejahatan hati yang sama. Mereka menipu dan berlaku curang saat berdagang (Mi. 6:10). Mungkin, jika suatu saat mereka menjadi kuat, mereka pun akan melakukan kejahatan yang sama, atau bahkan lebih parah dibanding yang dilakukan orang lain kepada mereka. Seluruh bangsa Israel telah rusak, dan Tuhan akan menghakimi mereka (Mi. 7:4). Maka Tuhan memukul Israel dengan pukulan paling keras bagi bangsa itu, yaitu mereka dibuang oleh Allah.

Mikayahu, Pemulihan
Dalam bahasa Ibrani, nama Mikha ditulis “Mikayahu” (Ibrani: ÓœÈÎÀÈÀ ‰Â), yang berarti “Siapakah seperti YHWH ?”. Sejalan dengan ini, kabar yang disampaikan Mikha menyatakan bahwa tidak ada yang seperti YHWH. Dari tuntutan dan penghukuman yang Tuhan berikan, kita dapat melihat bahwa Ia adalah Tuhan yang kudus, adil, dan mengingat perjanjian-Nya. Sifat-sifat inilah yang membuat-Nya menghukum Israel, sebab mereka tidak lagi memegang teguh perjanjian mereka dengan Tuhan dan hidup dengan cara yang melanggar keadilan dan kekudusan Tuhan.

Betapa menyedihkan dan menggentarkannya kisah umat Tuhan apabila berita Mikha berhenti sampai di sini. Umat Tuhan tidak akan memiliki pengharapan untuk kembali. Tetapi Mikha secara mengejutkan menyampaikan pesan lain. Di antara pasal-pasal yang menyatakan tuntutan dan ancaman penghukuman, terselip janji pemulihan serta keselamatan bagi Israel dan Yerusalem (2:12-13, 4:1-8, 5:1-8, 7:1-13). Ibarat gembala yang baik, Tuhan akan menghimpunkan sisa-sisa Israel dan berjalan membawa mereka ke padang (2:12-13). Yerusalem akan kembali dimuliakan di antara bangsa-bangsa dan akan menarik banyak orang untuk datang mengenal Allah Israel (4:1-8). Bagi Israel pun Tuhan akan mengangkat seorang Raja yang akan membawa damai sejahtera (5:1-3). Tuhan tetap mau menerima dan memulihkan Israel kembali. YHWH adalah Allah yang penuh kasih setia dan pengampunan !

Pada titik ini adalah baik jika kita berhenti dan merenung sejenak. Apa yang kita rasakan ketika kita mendengar berita ini? Adakah kita takjub akan pengampunan Tuhan dan bertanya dalam hati , “Bagaimana mungkin ?” Sering kali kita memiliki gambaran tentang Tuhan yang timpang, yakni hanya mengharapkan dan menekankan satu sifat tanpa peduli sifat yang lain. Mungkin ketika mendengar berita semacam ini hati kecil kita berkata , “Pasti, Tuhan kan memang seharusnya mengampuni.” Ibarat seorang protagonis utama dalam suatu cerita, kita seolah bisa menebak bahwa sang tokoh pada akhirnya pasti akan berbuat benar. Tetapi yang kita lupakan di sini adalah Tuhan tidak punya kewajiban untuk mengampuni. Adalah hak-Nya sepenuhnya untuk memilih mengampuni atau membiarkan kita hancur dalam hukuman yang pantas kita terima. Kita tidak boleh mempermainkan kasih dan pengampunan Tuhan.

Hal inilah yang terus diingat oleh Israel ketika mereka kembali dari pembuangan. Mereka mengakui dosa-dosa mereka dan bersama-sama memperbarui komitmen untuk hidup menurut Taurat Tuhan (Ezr. 9-10). Sejarah mencatat bahwa sampai saat ini bangsa Israel di berbagai tempat terus menjaga diri mereka untuk hidup sesuai tradisi dan Taurat yang diwariskan kepada mereka.

Kiranya kisah ini membuat kita gentar dan memikirkan kembali bagaimana kita hidup sebagai orang Kristen, sebab Allah yang sama yang menuntut keadilan dan kekudusan kepada bangsa Israel juga adalah Allah yang kita sembah saat ini. Tetapi kiranya kisah ini juga tidak membuat kita hidup di dalam ketakutan dari hari ke hari kepada Sang Kudus, sebab di dalam keadilan dan kekudusan-Nya Ia sangat mengasihi umat-Nya. Mari kita berdoa agar Tuhan membentuk hati kita sehingga kita mengejar kekudusan oleh karena cinta kita kepada Dia serta kerinduan kita untuk hidup menyenangkan-Nya. Amin.

Martin Lutta Putra
Pemuda GRII Bandung

Referensi:
Bullock, C. H. (2007). An Introduction to the Old Testament Prophetic Books. Chicago: Moody Publishers.
Calvin, J. (2005). Calvin s Commentaries Volume XIV. Michigan: Baker Books.
Hedley, Manfred P. (2015). Who is like YHWH ? Reading for Dominant Themes, Argument, and Theology in Micah. Westminster Theological Centre.
McComiskey, T. E. (2009). The Minor Prophets: An Exegetical and Expository Commentary. Michigan: Baker Academic.
Utley, B. (2006). Eighth Century Minor Prophets: Amos, Hosea, Jonah, & Micah. http://www.ibiblio.org/freebiblecommentary/pdf/EN/VOL10OT.pdf (diakses tanggal 4 Mei 2019).
Waltke, B. K. (2007). A Commentary on Micah. Cambridge: Eerdman Publishing.