Sola Fide: Faith from the Perspective of Justification

Disadari atau tidak, manusia sering kali melakukan usaha pembenaran atau membenarkan diri. Kita tidak suka jikalau kita divonis bersalah mulai dari kasus yang kecil hingga berat. Segala macam cara kita lakukan sebagai usaha pembelaan kita, dengan tujuan bahwa kita dinyatakan benar. Di dalam dunia psikologi, ini adalah bagian dari defense mechanism manusia. Tindakan ini hadir sebagai upaya perlindungan manusia untuk dirinya terhadap hal-hal dari pihak eksternal yang dianggap tidak menyenangkan (baik dalam pemikiran, perasaan, maupun tingkah laku). Bahkan, saat manusia melakukan dosa atau kesalahan, dan mereka diminta pertanggungjawaban atas hal tersebut, usaha pembenaran diri sering kali dilakukan dengan segala cara. Sulit sekali untuk menemukan seseorang yang dapat langsung mengakui kesalahannya. Oleh sebab itu, pola pikir pembenaran diri melalui perbuatan atau usaha manusia adalah hal yang menjadi natur dari manusia berdosa. Sebagai manusia berdosa, kita menyadari bahwa kita bersalah di hadapan Allah. Kita tahu bahwa kita berada di dalam status yang layak untuk dihukum oleh Allah, tetapi manusia selalu berusaha untuk mencari cara agar dirinya dapat membenarkan diri di hadapan Allah. Hal ini sudah tercermin di dalam manusia pertama, Adam dan Hawa, ketika jatuh ke dalam dosa. Mereka berusaha untuk menutupi ketelanjangan mereka dengan pakaian dari daun (justification by works).

Kekristenan memiliki cara pandang yang lain dari yang dunia ini ajarkan. Kita percaya bahwa sebaik dan sebanyak apa pun usaha manusia, tidak akan bisa membenarkan dirinya di hadapan Allah. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa perbuatan baik kita bagaikan kain yang kotor, tidak layak dipersembahkan kepada Allah. Kehidupan yang terlihat rajin beribadah kepada Allah, ritual keagamaan bahkan hingga penyiksaan terhadap diri agar berkenan di hadapan-Nya adalah usaha yang sia-sia karena semua dilakukan berdasarkan usaha manusia. Alkitab menyatakan bahwa pembenaran manusia tidak datang melalui perbuatan baik tetapi melalui iman kepada Allah Anak yang telah disalibkan menjadi korban tebusan dan pembenaran orang percaya (justification by faith). Konsep justification by works dan justification by faith adalah dua konsep yang memang bertolak belakang. Namun, pertentangan kedua konsep menjadi pertentangan yang di luar ruang lingkup atau sudah kebablasan. Kita pasti sering mendengar ucapan atau pemikiran yang mempertentangkan dengan sangat runcing antara iman dan perbuatan baik, iman dan pengetahuan, iman dan ilmu, atau iman dan rasio. Pertentangan ini seolah memperlakukan perbuatan baik, pengetahuan, ilmu, dan rasio sebagai hal-hal yang tidak sesuai dengan Alkitab dan tidak memiliki tempat di dalam kekristenan. Kita telah ditipu dengan persepsi bahwa kehidupan rohani adalah kehidupan emosional belaka dan rasio tidak boleh turut campur jika berbicara mengenai iman. Akibatnya, kita sering menggunakan kata iman tanpa mengerti kedalaman arti katanya. Apakah iman yang dimaksudkan Alkitab hanya sedangkal yang kita mengerti?

Salah satu penyebab kita mudah disetir oleh arus pemikiran zaman ini adalah keengganan belajar dari sejarah, padahal Tuhan telah memberikan orang-orang kudus yang telah mendahului kita. Mereka telah berjuang di zamannya untuk menggumulkan arti firman Tuhan dan menghasilkan banyak butir pengajaran yang sangat menolong kita. Karya mereka yang begitu berharga sering kali kita abaikan. Namun, melalui karya mereka yang agung, Tuhan memelihara tradisi yang agung, sehingga dapat diteruskan sampai tiba di tangan kita.

Dalam memperingati 500 tahun Hari Reformasi, artikel ini akan membahas mengenai salah satu slogan yang dihasilkan Reformasi yaitu Sola Fide (By Faith Alone). Pembahasan ini tidak bersifat komprehensif yang menjelaskan seluruh natur dan fungsi iman dalam kehidupan kita. Penulis hanya akan menyoroti dari konteks yang sedang dihadapi para Reformator pada zamannya, khususnya ajaran mengenai pembenaran hanya oleh iman, justification by faith alone. Kita akan memikirkan kembali pengajaran mengenai pembenaran oleh iman yang diajarkan oleh para Reformator.

Situasi Reformasi
Sebelum terjun menyelami betapa dalam dan briliannya pemikiran Reformator dalam menjawab tantangan zaman dengan dasar firman Tuhan, kita harus berjalan menyusuri tantangan pemikiran yang dihadapi pada waktu itu. Periode Reformasi adalah periode yang unik. Sebab, periode ini didahului oleh aliran pemikiran besar yang melanda di daratan Eropa yaitu semangat humanisme Renaissance. Semangat humanisme ini berusaha membangkitkan ketertarikan terhadap classical scholarship, atau pengajaran klasik dari Gerika kuno. Gerakan ini menjadi ancaman kepada gereja dengan salah satu motonya yang terkenal yaitu ad fontes, back to the source. Semangat ini mendorong para akademisi mulai mempertanyakan otoritas gereja dan berusaha kembali mempelajari sumber pengetahuan tersebut. Selain itu, kondisi yang terjadi ialah kekuasaan paus juga sedang dibangun kembali sebagai yang paling berotoritas dalam gereja setelah adanya The Great Papal Schism, 1-1,5 abad sebelum Reformasi, yang menyebabkan perpecahan besar sehingga muncul tiga paus di tiga daerah berbeda. Dengan demikian, kekuasaan gereja terbelah menjadi tiga bagian dan saling memperebutkan tanah, karena permasalahannya juga mengandung unsur politis. Hingga Council of Constance dilaksanakan dan menunjuk Martin V sebagai satu-satunya paus yang berkuasa setelah 40 tahun terjadinya perpecahan (1417).

Dengan berbagai tantangan yang sedang menggoncang Katolik Roma, gereja harus memperkuat posisinya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemugaran kembali Gereja Basilika Santo Petrus menjadi gereja terbesar di dunia. Upaya ini dilaksanakan untuk menjadi momentum yang kuat dalam menegakkan kembali kekuasaan gereja. Tentu dengan besarnya pekerjaan yang dikerjakan, perlu dana yang besar untuk menutupinya. Akhirnya, gereja berusaha menjual surat indulgensia bagi orang Kristen agar menjamin keselamatan atau mengurangi masa penyucian sanak saudara pembeli indulgensia. Jadi, keselamatan dan pengampunan akan dosa dapat dibayar menggunakan uang yang masuk ke dalam gereja. Sistem inilah yang membuat Martin Luther marah dan mengajukan 95 thesis menentang pengajaran Katolik, salah satunya mengenai indulgensia. Sejak itu, arah sejarah dunia diubah.

Idea of Indulgences and Roman Catholic Justification
Kita harus melihat lebih dalam dari fenomena penjualan surat indulgensia. Praktik ini tidak terjadi dengan begitu saja, melainkan hasil dari pemikiran atau doktrin yang dipercaya oleh gereja Roma Katolik pada zaman itu. Adalah anggapan umum bahwa seluruh manusia telah jatuh ke dalam dosa. Manusia berdosa karena memberontak kepada Allah dengan tidak menaati perintah-Nya. Dengan demikian, manusia dibuang Tuhan dan diberikan kematian kekal kepadanya. Namun, melalui kemurahan-Nya yang besar, Tuhan masih memberikan kesempatan kepada manusia untuk bertobat. Pertobatan memiliki sifat rekonsiliasi, sehingga pertobatan harus disertai dengan kembalinya manusia berelasi dengan Allah. Permasalahannya terjadi di sini. Ketika manusia yang berdosa ingin berada dekat Tuhan yang suci, manusia akan langsung mati oleh kedahsyatan kuasa-Nya. Tak seorang pun manusia berdosa yang dapat bertahan di hadapan murka Tuhan. Begitu pula sebaliknya, Tuhan tidak bisa berdiam bersama dengan manusia sebab kehadiran-Nya akan membinasakan seluruh manusia. Jika demikian, pengampunan yang Tuhan berikan kepada manusia dapat berhasil bila disertai dengan proses justifikasi atau pembenaran manusia di hadapan-Nya. Justifikasi adalah proses menjadikan manusia dari status bersalah menjadi benar. Dampaknya, dosa manusia bukan saja diampuni, melainkan manusia dimampukan untuk berdiri kembali di hadapan Tuhan yang Suci.

Pertanyaan selanjutnya yang mungkin muncul di benak kita adalah bagaimana caranya kita dibenarkan di hadapan Tuhan? Atau melalui apa Tuhan mendasarkan pembenaran yang dibutuhkan agar manusia dapat kembali bersama dengan Tuhan (hidup yang kekal)? Gereja Roma Katolik pada zaman itu memercayai dua hal yang fundamental berkaitan hal ini. Pertama, bahwa manusia berdosa setelah percaya kepada Kristus dan diselamatkan tetap harus menjalani semacam hukuman sementara demi memuaskan keadilan Tuhan. Segala pengampunan dosa yang diberikan menjadi utang yang harus dibayar kepada Tuhan melalui perbuatan baik yang dilakukan. Perbuatan baik itu antara lain berziarah, memberi amal, pengakuan dosa, dan sejenisnya yang dapat mengurangi utang kita kepada Tuhan. Kedua, jika perbuatan baik ketika orang itu masih hidup tidak cukup melunasi utang pengampunan dosa yang telah diberikan Tuhan melalui otoritas gereja atau paus, maka manusia harus masuk ke dalam api penyucian (purgatory) sebelum masuk ke dalam sorga. Di sana, manusia akan dimurnikan dengan api selama jangka waktu tertentu sesuai dengan utang yang masih harus dilunasi. Lalu, adakah kemungkinan periode api penyucian tersebut dapat berkurang? Di sini muncul praktik surat indulgensia. Gereja menjual surat indulgensia agar sanak saudara pembeli yang telah meninggal boleh dikurangi waktu penyucian dalam purgatory.

Akan tetapi, seseorang tidak perlu bergantung pada dirinya saja untuk melunasi utang tersebut. Kekristenan pada zaman itu diyakini sebagai sebuah komunitas besar yang saling mendukung satu dengan lainnya melalui doa dan perbuatan baik. Komunitas ini terdiri dari Church Militant di bumi, Church Suffering di purgatory, dan Church Triumphant di sorga. Pekerjaan baik yang telah dilakukan Yesus Kristus, para santo dan santa, dan yang lain dapat menolong jiwa-jiwa yang masih berada dalam purgatory dengan berdoa dan memohon kepada mereka. Bukan suatu praktik yang aneh untuk memohon kepada santo dan santa agar memberikan jasanya supaya masa penghukuman dapat berkurang.

Melalui ini, kita dapat melihat ide tentang pembenaran yang dipercaya oleh Gereja Roma Katolik. Menurut Thomas Schreiner, doktrin pembenaran yang dipercaya oleh gereja Abad Pertengahan mendapat pengaruh yang besar dari definisi yang Agustinus berikan. Agustinus memberikan definisi bahwa pembenaran adalah proses made righteous. Pembenaran yang dianut gereja bukan hanya sebagai pernyataan status manusia agar dianggap benar di hadapan Tuhan, melainkan termasuk transformasi dan perubahan yang berlangsung selama kehidupan orang percaya. Konsensus mengenai pembenaran pada Abad Pertengahan sangat jelas bahwa pembenaran meliputi deklarasi status dan proses menjadikan manusia itu benar.

Dengan ide pembenaran seperti di atas, bukanlah sesuatu yang aneh bila keselamatan tidak didasarkan melalui iman saja melainkan adanya jasa dari perbuatan manusia untuk melengkapi pembenaran tersebut. Hal ini diartikulasikan dengan lebih jelas oleh Gereja Roma Katolik dalam Council of Trent, sebagai reaksi dari Reformasi yang dibawa Martin Luther. Dalam butir-butir yang dihasilkan dalam konsili di Trent, Gereja Roma Katolik secara eksplisit menentang ide bahwa kita dibenarkan melalui iman saja. Ide ini, menurut mereka, diambil dari Yakobus 2 yang mengindikasikan bahwa iman bekerja sama dengan perbuatan baik sehingga meningkatkan pembenaran kita dan ini membuktikan bahwa pembenaran tidak hanya melalui iman. Keselamatan diberikan kepada mereka yang terus melakukan perbuatan baik hingga akhir hidupnya. Doktrin ini menekankan kehendak bebas manusia yang dapat bekerja sama demi keselamatan dan pembenaran mereka. Akibatnya, pembenaran tidak dianggap sebagai forensic (dideklarasikan bahwa seseorang adalah orang benar) melainkan bersifat transformative berarti meliputi proses yang berlangsung terus-menerus. Meskipun demikian, pembenaran tetap dianggap sebagai anugerah yang diberikan secara cuma-cuma untuk manusia sebab perbuatan baik atau iman sebelum pembenaran tidak memiliki pengaruh kepada pembenaran orang tersebut. Kesimpulannya adalah manusia tidak dapat menerima anugerah Tuhan melalui pekerjaan baik atau kehendak mereka sendiri, akan tetapi pekerjaan baik memiliki andil dengan memberikan jasa agar pembenaran dan anugerah menjadi karya penebusan yang utuh.

Reformer’s Idea of Justification
Philip Watson berpendapat bahwa isu fundamental dalam theologi yang dibangun Luther bukanlah filosofis maupun psikologis, tetapi theologis. Kita harus mengerti bahwa keinginan Luther yang paling dalam adalah memiliki relasi yang benar dengan Tuhan. Sikap seperti inilah yang tak banyak diungkapkan pada zaman sekarang. Luther tidak mendasarkan doktrinnya melalui pemikiran akademis yang dingin. Karena jika demikian, hal ini tidak akan mendorong Luther sedemikian jauh untuk melawan paus dalam menegakkan kebenaran. Melainkan, Luther sangat berharap dapat memiliki relasi yang benar dengan Tuhan.

Pergumulan yang dihadapi Luther pada awal masa hidupnya adalah ide tentang Tuhan yang berlaku hanya seperti hakim. Tuhan digambarkan sebagai Hakim yang berdiri di depan gerbang sorga dan bertanya mengenai jasa atau perbuatan baik apa yang telah manusia kerjakan. Jika jasa tersebut mencukupi syarat untuk mencapai pembenaran, barulah manusia dapat berelasi kembali dengan Tuhan. Gambaran ini membuat Luther begitu giat untuk mengoleksi merit seperti orang-orang lain di zamannya. Melalui ziarah, sikap hidup asketis, berdoa dan berpuasa kepada santo dan santa, dan lain-lain. Bagi Luther, gambaran Tuhan menjadi Hakim inilah yang menghalangi dia untuk dapat kembali menikmati relasi dengan Tuhan sebab dia melihat dirinya begitu kotor dan hina. Hingga akhirnya, Luther menemukan ide tentang sola fide dari Alkitab yang ia katakan melepaskannya dari belenggu ketakutan selama ini.

Ide ini dipikir begitu serius oleh Luther sebab ia menganggap Tuhan adalah fondasi satu-satunya atas segala sesuatu sehingga ia percaya pembenaran adalah doktrin yang dapat menyebabkan gereja runtuh jika salah memahaminya. Luther menyatakan seperti demikian (dikutip dari buku Iustitia Dei oleh McGrath):

“nothing in this article (Justification) can be given up or compromised, even if heaven and things temporal should be destroyed.”

Terlebih lagi,

“the Article of justification is the Master and the prince, the lord, the ruler and judge, over all the kinds of doctrine, which preserves and governs the entire church doctrine and sets up our conscience in the sight of God.”

Manusia tidak dapat menikmati relasi dengan Allah yang kudus tanpa adanya anugerah dari Tuhan. Sebab Luther melihat dosa sebagai pemberontakan kepada Tuhan. Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan sehingga seluruh keberadaannya berutang kepada Sang Pencipta. Namun, dalam kondisi demikian manusia malah melawan dan menggeser otoritas Tuhan. Ini adalah perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan. Carl Trueman menjelaskan pandangan Luther seperti ini, “Thus it is not healing that sinners needs; rather, it is death and resurrection, for only these radical steps can address the truly radical nature of sin itself as involving primarily a certain status before God.” Luther dengan jelas menyadari seberapa kuat pengaruh dosa, sehingga perlu percaya kepada Kristus yang tersalib agar kita dapat dilepaskan dari belenggu dosa. Bagi Luther, ketidakpercayaan bukanlah hal yang kecil sebab dosa pada dasarnya adalah tidak memercayakan seluruh keberadaannya kepada Tuhan. Karena tidak memercayakan seluruhnya kepada Tuhan, manusia berpikir dia dapat memenuhi tuntutan Allah dengan melaksanakan hukum yang telah ditetapkan. Akan tetapi, mereka yang berpikir dapat dengan baik menjalankan hukum Tuhan demi keselamatan sendiri bersalah dalam penyembahan berhala. Orang sedemikian, kata Luther, menolak Tuhan dan menjadikan dirinya sendiri Tuhan.

Jika demikian, mengapa Tuhan tetap memberikan kita hukum Taurat? Luther melihat hukum Taurat sebagai media yang Tuhan pakai untuk mengekspos kejahatan manusia. Hukum Taurat menyatakan pemberontakan, pemberhalaan, ketidakpercayaan manusia kepada Tuhan. Taurat juga menyatakan Tuhan akan mendatangkan kematian bagi kita sebagai pelanggar hukum agar kita sadar betapa besarnya dosa kita. Luther mengilustrasikan Taurat sebagai palu Tuhan. Jika manusia sudah begitu sombong akan kebenarannya sendiri, Tuhan akan menghancurkan perasaan self-righteous dengan palu itu. Perasaan self-righteous adalah monster yang begitu besar, sehingga Tuhan menggunakan palu yang kuat untuk menghancurkannya, yaitu hukum Taurat. Setelah kita menyadari betapa besarnya dosa kita, kita mau tidak mau harus mengarahkan pandangan kita hanya kepada Kristus. Atau dari perspektif lain, setelah asumsi self-righteous dihancurkan, barulah kita dapat melihat karya Kristus di kayu salib dengan lebih jelas.

Berkait dengan doktrin pembenaran, Luther memiliki pandangan tentang pembenaran yang berubah di awal Reformasi hingga kehidupannya yang lebih tenang. Trueman menjelaskan bahwa early Luther (1515-1520) mengerti pembenaran sebagai proses dan pertumbuhan dalam kebenaran, sedangkan mature Luther memiliki keyakinan bahwa pembenaran berdampak pada status dan relasi seseorang di hadapan Allah. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa Luther percaya pembenaran adalah anugerah dan bersifat ekstrinsik. Kita menerima pembenaran via passivae, bukan via activae. Ini berarti kita tidak dapat mempersiapkan diri dalam bentuk apa pun untuk menerimanya dan tidak ada andil apa pun yang dapat kita berikan demi pembenaran kita. Melainkan, kita menerimanya dari sorga, bukan dari diri kita sendiri. Kebenaran yang menjadi dasar pembenaran orang percaya adalah alien righteousness, berarti bukan berasal dari manusia sendiri. Melalui iman kepada Kristus, menyebabkan kebenaran Kristus menjadi kebenaran kita karena kita telah menjadi satu dengan-Nya. Barang siapa percaya kepada Kristus dan hidup di dalam-Nya, ia memiliki kebenaran yang sama dengan Dia.

Calvin juga memberikan perhatian dalam hal ini dan mengatakan bahwa kebenaran tidak dapat berasal dari diri kita sendiri sebab pekerjaan yang paling baik pun telah tercemar oleh dosa. Jasa kita tidak membuat kita dibenarkan karena tuntutan Allah adalah sempurna. Jadi, pembenaran tidak berarti kita dijadikan benar, melainkan kita dianggap oleh Tuhan sebagai orang benar. Kita tidak ditransformasi menjadi benar tetapi diampuni oleh Tuhan. Melalui pembenaran, kita mendapat status baru di hadapan Allah. Hal ini berarti pembenaran kita sudah sempurna sejak awal. Kita tidak menjadi lebih benar ketika kita berjuang dalam kekudusan melainkan sejak semula dibenarkan, kita sudah menjadi orang benar. Dengan pemahaman ini, api penyucian tidak memiliki tempat lagi dalam kehidupan kita, sebab pembenaran yang dikerjakan Allah dalam hidup kita telah sempurna.

Luther membawa kita lebih jauh lagi tentang pengertian akan pembenaran. Pembenaran hanya melalui iman. Luther menekankan bagian ini berulang kali bahwa kita dibenarkan hanya melalui iman. Iman yang ditujukan kepada firman, iman yang bersandar pada pekerjaan yang Allah kerjakan melalui Kristus di kayu salib. Bagi Luther, pandangan bahwa kita yang memiliki inisiatif terlebih dahulu kepada Allah dengan melakukan yang terbaik, telah mengotori iman karena tidak memahami bahwa iman adalah pemberian Allah untuk kita. Pekerjaan baik tidak membenarkan dan Alkitab dengan jelas menyatakannya seperti di Kitab Roma.

Merupakan hal yang penting untuk setiap orang Kristen menyingkirkan segala keangkuhan mereka dalam pekerjaan baik dan beralih kepada pengenalan yang benar akan Yesus Kristus yang telah mati dan bangkit untuk umat-Nya. Bagi Luther pembenaran tidak secara ultimat berdasar pada iman, melainkan iman adalah media yang dipakai seseorang untuk mendapatkan Kristus yang adalah Kebenaran kita. Hanya melalui iman kita dibenarkan sebab iman membawa Roh Kudus kepada kita oleh pekerjaan yang telah dikerjakan Kristus. Iman menyelamatkan karena melalui iman umat percaya dipersatukan kepada Kristus. Sehingga, Kristuslah yang menjadi dasar pembenaran kita secara ultimat.

Calvin untuk poin ini juga dengan berhati-hati mengatakan bahwa iman tidak boleh dianggap sebagai suatu perbuatan baik. Dengan demikian, jika iman sendiri yang membenarkan kita, hal itu berarti iman dianggap sebagai pekerjaan baik yang membuat kita benar di hadapan Tuhan. Padahal, iman adalah instrumen untuk kita dapat bersatu dengan Kristus yang melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib, dan kita beroleh pembenaran itu. Iman bukan sekadar menyetujui bahwa suatu peristiwa berkenaan dengan Injil terjadi dalam sejarah. Namun, iman yang sejati melihat kemuliaan dan keindahan Kristus. Sehingga, iman yang sejati memiliki dampak yang sangat besar dalam kehidupan kita. Kita semakin merasakan keindahan cinta kasih Tuhan ketika iman kita bertumbuh. Kita akan ditarik semakin menikmati kasih Tuhan dan bergantung kepada-Nya. Iman tidak dapat bertumbuh atau berasal dari sumber yang lain selain firman. Iman harus didasarkan dari firman Allah dan Injil Yesus Kristus (Rm. 10:17). Calvin mengeluarkan definisinya tentang iman yang terkenal dan tepat.

“Now we shall possess a right definition of faith if we call it a firm and certain knowledge of God’s benevolence toward us, founded upon the truth of the freely given promise in Christ, both revealed to our minds and sealed upon our hearts through the holy Spirit.”

Iman bukan sekadar perasaan percaya, atau rasa nyaman, atau bentuk psikologis jiwa manusia. Melainkan iman adalah pengenalan, yang dapat dipertanggungjawabkan, akan Allah yang mengasihi manusia melalui firman yang diwahyukan-Nya. Iman mengenal siapa Allah dan kasih-Nya dalam Yesus Kristus melalui Roh Kudus beserta janji-janji-Nya.

Apakah hal ini mengimplikasikan bahwa pekerjaan baik tidak penting? Tentu tidak. Luther tidak menganggap pekerjaan baik itu tidak penting ataupun tidak perlu. Memang Luther menekankan pekerjaan baik bukan penyebab dari keselamatan, namun tetap perlu. Luther percaya bahwa pekerjaan baik adalah bukti dari iman yang sejati. Bagian ini tidak terlalu ditekankan Luther sebab ia lebih mengkhawatirkan keadaan zamannya yang meninggikan kasih manusia lebih dari iman. Terlebih lagi, katanya, jika kita terlalu fokus pada pekerjaan baik kita, maka dengan mudah pengorbanan Kristus digantikan dengan kasih kita. Seharusnya kasih kita adalah ekspresi dari iman, bukan sebaliknya. Iman menyatakan dirinya secara aktif melalui kasih. Pekerjaan baik tidak menjadikan seseorang benar, melainkan orang benar akan melakukan pekerjaan yang baik.

Calvin juga tidak mengesampingkan pentingnya pekerjaan baik. Calvin mengatakan bahwa pekerjaan baik keluar dari iman dan buah dari iman. Adalah sebuah mimpi, jika kita percaya iman tanpa perbuatan baik. Pekerjaan baik bukanlah fondasi yang dapat dipakai manusia saat berdiri di hadapan Allah melainkan cara yang Bapa berikan agar kita belajar menikmati persekutuan dengan Dia. Dalam bagian ini, Calvin membagi pembenaran dengan penyucian, justification dan sanctification. Menurut Calvin, sanctification bukanlah justification namun tidak dapat dipisahkan darinya. Siapa yang dimiliki Kristus akan ditransformasikan. Mereka yang di dalam Kristus akan dibenarkan sekaligus disucikan. Meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan, tetapi tetap harus dibedakan. Keduanya diikat dalam satu pengertian yaitu union with Christ, yaitu bahwa keduanya tidak boleh dipisahkan dari Kristus. Pembenaran bukan berdiri pada dirinya sendiri melainkan membawa karya Kristus dalam keselamatan kita. Sedangkan penyucian juga tidak dapat terjadi tanpa sumber utama yaitu Kristus dan Roh Kudus yang memampukan kita hidup semakin kudus di hadapan Tuhan.

Summary
McGrath menekankan ada tiga poin yang membedakan doktrin pembenaran Protestan dari yang lain. Pertama, pembenaran bersifat forensic bukan transformative, perubahan terjadi pada status dibanding pada natur. Kedua, pembenaran mengindikasikan adanya alien righteousness yang berarti kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada orang percaya. Dengan demikian, kebenaran kita tidak didasarkan oleh perbuatan baik kita. Ketiga, pembedaan antara justification dan sanctification. Pembenaran berarti Tuhan menganggap seseorang sebagai orang benar sedangkan penyucian adalah proses menjadikan benar yang terus berlangsung dalam kehidupan orang percaya.

Berdasarkan pengertian ini maka kita perlu kembali menyadari bahwa iman dan perbuatan bukanlah dua hal yang seharusnya dipisahkan. Walaupun perbuatan baik kita tidak ada andil dalam menentukan keselamatan, tetapi tetap perbuatan baik adalah bagian yang penting dalam kita mengerjakan anugerah keselamatan yang Ia sudah berikan. Jikalau orang-orang yang belum menerima anugerah keselamatan begitu giat dalam berbuat baik dan berusaha agar diperkenan Allah, bukankah seharusnya kita yang sudah diperkenan Allah ini lebih giat lagi dalam hidup memuliakan-Nya? Biarlah melalui ulasan singkat artikel ini, kita dapat menyadari kembali semangat sola fide yang benar. Sebuah semangat yang mendorong kita untuk semakin giat bekerja untuk Tuhan dan memuliakan-Nya.

Howard Louis
Pemuda GRII Bandung

Referensi:
http://www.christianitytoday.com/history/issues/issue-28/1378-great-papal-schism.html.
https://www.britannica.com/topic/classical-scholarship.
https://www.britannica.com/topic/indulgence.
Institutes of Christian Religion Book 3, John Calvin.
Faith Alone: The Doctrine of Justification, Thomas Schreiner.