Manusia diciptakan sebagai hamba Kebenaran, karena itu “belajar” tidaklah mungkin terlepas dari hidup kita. Belajar sering diidentikkan dengan suatu kegiatan studi secara formal dari bangku sekolah hingga perkuliahan. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya benar, karena manusia juga belajar dan memperoleh nilai-nilai kebenaran dan kehidupan dari lingkungan keluarga dan masyarakat yang tidak didapat secara formal untuk dapat bertahan hidup dan beradaptasi dengan sekitarnya. Kegiatan belajar atau studi formal biasanya berawal dari rasa ingin tahu dan kebutuhan akan pengertian akan alam ciptaan Tuhan sehingga manusia mulai melakukan observasi, meneliti, dan menghasilkan hipotesis yang nantinya berkembang menjadi pengetahuan. Selain itu, manusia juga dapat belajar dengan mencari seseorang yang mempunyai pengertian yang melebihi dirinya untuk menjawab rasa ingin tahunya. Inilah proses pembelajaran yang kelihatan secara kasat mata.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, esensi dari kegiatan studi ini semakin kabur. Kegiatan studi yang awalnya berangkat dari kekaguman dan keingintahuan yang besar akan ciptaan Tuhan, telah berubah menjadi suatu kegiatan yang membosankan untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, dan ujung-ujungnya, untuk memuaskan hawa nafsu manusia itu sendiri. Manusia yang dulunya menikmati waktu studi sebagai wadah untuk memperdalam pengertian dan pengetahuannya, telah bergeser menjadi manusia yang ‘terpaksa’ studi dan menganggapnya sebagai batu loncatan untuk mewujudkan keinginannya menjadi kaya.
Bagaimana dengan orang Kristen? Seluruh dunia dengan rasa keingintahuannya menatap pada orang Kristen – yang katanya melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Allah – bagaimana kita berespons terhadap hal ini. Namun celakanya, banyak orang Kristen zaman sekarang yang juga jatuh pada lubang yang sama. Studi hanya diperlukan untuk menyelesaikan kebutuhan kita akan masalah masa depan kita di dunia ini. Maka, studi hanyalah bersifat duniawi. Sedangkan urusan sorga, masalah spiritualitas, segala kegiatan gerejawi tidak ada kaitannya dengan studi yang duniawi ini. Benarkah demikian? Apakah sebenarnya studi itu? Untuk apa kita harus studi? Apakah studi dan spiritualitas saling berkaitan?
Apa itu Studi?
Dalam bahasa Yunani, kata ‘schole’ berarti ‘leisure’, ‘a school’ atau dapat diartikan ‘a place for leisure’. Kata ‘leisure’ di sini bukan berarti waktu luang tanpa melakukan apa pun seperti yang kita mengerti hari ini. Bagi orang Yunani, ‘leisure’ berarti kebebasan untuk mengejar pengetahuan, dan yang bisa melakukan hal ini hanyalah kaum elitis Yunani yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk pengejaran pengetahuan dan perenungan. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, “We work in order to be at leisure.” Mereka adalah kelompok masyarakat yang mengesampingkan rutinitas harian mereka, dan waktu luang yang ada dipakai untuk studi, berdiskusi, dan merenung. Kemudian, seiring dengan perkembangannya, sekolah formal dibentuk dengan tujuan agar penduduk lainnya juga dapat menikmati kesempatan ‘leisure’ ini, mendedikasikan waktu luang mereka untuk mengejar pengetahuan.
Berbeda pada zaman ini, studi dianggap sebagai beban yang sangat berat dan karena studilah, “waktu luang” kita menjadi berkurang. Waktu luang yang kita artikan sebagai waktu untuk bersenang-senang, bermalas-malasan, melakukan kegiatan yang tidak berguna atau bahkan cenderung tidak melakukan apa-apa. Kembali kepada definisi semula, kita seharusnya sadar ketika kita studi, kita sedang mendedikasikan waktu luang kita untuk menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya yang Tuhan bukakan bagi kita dan menanggapinya dengan rasa syukur. Dan bagaimana keinginan untuk menggali pengetahuan itu bisa muncul? Philosophy begins in wonder.
Sebagai orang Kristen, kita mengerti segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan. Pengertian ini seharusnya memunculkan kekaguman akan ciptaan Tuhan yang menjadi langkah awal untuk studi dan mendorong kita untuk terus studi dengan sungguh-sungguh tanpa bosan. Rasa kagum dan takjub akan keajaiban karya Tuhanlah yang seharusnya menjadi dasar dan awal untuk menggali pengetahuan dan memuji kebesaran-Nya.
Untuk Apa Kita Studi?
“Kamu ngapain kuliah?”
“Supaya cepet kaya lah.”
“Yang penting cepat-cepat lulus terus dapat gelar.”
Manusia zaman sekarang dididik untuk berusaha seminimal mungkin dengan memperoleh hasil yang maksimal dalam waktu yang seinstan mungkin. Seluruh hasilnya kemudian digunakan untuk menikmati hidup dengan senikmat-nikmatnya. Tujuan dari seseorang studi bukanlah karena mencintai pengetahuan dan memenuhi panggilan Tuhan, tetapi karena semata-mata ingin sukses, artinya ingin kaya, mampu menikmati apa saja yang diinginkan, dan terkenal. Studi dipandang sebagai suatu wadah untuk mengejar pemuasan hawa nafsu manusia, terutama keserakahan untuk selalu memiliki lebih dan rasa tidak pernah puas yang menggerogoti manusia. Tanpa disadari, manusia telah memperalat Tuhan dan pengetahuan yang Tuhan ciptakan demi keinginannya sendiri yang berdosa.
Studi juga dapat membawa seseorang mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari orang lain. Manusia – yang diciptakan dengan identitas begitu mulia sebagai peta dan teladan Allah – ketika jatuh dalam dosa, berada dalam krisis identitas. Kehilangan identitas akibat keberdosaannya menjadikan manusia terus mencari identitas “baru” di luar Tuhan. Identitas baru ini sering didapatinya melalui penilaian dan pengakuan yang kosong dan rapuh dari sesama orang berdosa yang kehilangan identitas. Manusia tanpa identitas sejati membangun identitasnya di atas pengakuan manusia tanpa identitas sejati. Pengakuan ini memberikan kebanggaan sekaligus ketidakamanan dalam diri manusia karena manusia tersebut sadar bahwa pengakuan itu sewaktu-waktu dapat hilang dari dirinya dan berpindah ke orang lain. Maka benarlah ungkapan dari Bapa Gereja Agustinus yang menyatakan, “The honors of this world, what are they but puff, and emptiness, and peril of falling?” Penghormatan manusia diibaratkan sebagai asap dan kekosongan, bahkan sesuatu yang sangat berbahaya yang menjatuhkan manusia.
Jadi, mengapa studi? Ada yang menjalankannya hanya karena sekadar kewajiban. Ketika kita melihat orang lain studi maka kita pun ikut studi tanpa mengetahui apa tujuannya. Studi hanya dianggap sebagai suatu tahapan dalam hidup yang harus dijalani dan merupakan standar atau syarat untuk melangkah ke tahapan hidup selanjutnya, seperti bekerja, sehingga ‘terpaksa’ harus dijalani. Jika hal ini benar, manusia tidak akan benar-benar mengejar pengetahuan. Akhirnya manusia menjadi sangat miskin di dalam pengetahuan dan pengenalannya akan Allah melalui ciptaan.
Studi dan Spiritualitas
Seperti dikatakan di atas, studi dan spiritualitas sering dilihat sebagai dua hal yang bertolak belakang atau yang tidak ada hubungannya. Studi sebagai kegiatan yang bersifat duniawi sedangkan spiritualitas sebagai kegiatan yang bersifat rohani. Pemikiran dualisme seperti ini tidaklah benar. Ini adalah jebakan yang diberikan oleh zaman modern, di mana pengetahuan dan iman dipisahkan, seakan-akan keduanya tidak bisa saling bersentuhan. Alkitab menyatakan bagaimana seluruh hidup kita adalah pertanggungjawaban di hadapan Tuhan, artinya tidak ada bagian dari hidup kita yang tidak bersifat spiritual, demikian juga studi.
Lebih jauh lagi, studi kita seharusnya membawa kita semakin mengenal Allah. Justru melalui studi akan alam kita seharusnya semakin mengenal Allah Sang Pencipta. Hal ini tidak lagi terjadi dikarenakan oleh dosa manusia yang membutakan. Manusia berdosa tidak lagi mampu melihat wahyu Allah (wahyu umum) di dalam alam karena kebutaannya. Karena itulah, wahyu khusus dibutuhkan untuk menjadi kacamata bagi manusia dalam melihat wahyu umum. Jikalau mata sudah tidak lagi dapat melihat benar, maka dipastikan bahwa studi manusia akan membawanya bukan kepada pengetahuan sejati, melainkan kepada kepalsuan atau kesesatan dalam ilmu dan akhirnya akan menjadi kecelakaan bagi manusia. Melalui wahyu khusus Allah, kita dimampukan kembali melihat dengan benar sesuai apa yang diciptakan Tuhan. Kita diberikan kerangka yang benar, ketajaman dalam melihat, dan kebijaksanaan dalam menerapkannya. Kita melihat bahwa baik spiritualitas (dalam hal ini pengetahuan akan wahyu khusus Allah) maupun studi (pengejaran akan wahyu umum Allah) tidak bisa dipisahkan.
Kesimpulan
Akhirnya kita melihat bahwa melalui studi, seharusnya kerohanian kita juga semakin bertumbuh karena kita sedang mengenal Allah melalui ciptaan-Nya, mengenal sifat-sifat Allah yang tercermin dalam keberagaman hukum-hukum alam beserta seluruh makhluk ciptaan-Nya, ditambah lagi akan pengharapan eskatologis di mana di langit dan bumi yang baru kita masih terus menjalankan mandat budaya dengan menggali dan mengembangkan pengetahuan di bidang kita masing-masing. Kiranya kita semakin sungguh-sungguh dalam menekuni studi kita dengan benar, memiliki tujuan yang benar, yaitu mengerjakan panggilan Tuhan atas hidup kita di zaman ini dengan setia meskipun ada harga yang harus dibayar, dan mensyukuri anugerah bahwa kita diizinkan Tuhan untuk berpartisipasi dalam mengelola ciptaan Tuhan serta menikmati keindahan dan keajaiban ciptaan Tuhan yang akhirnya membawa kita kepada pengenalan akan Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi.
Felicia Pennali Lawson
Pemuda GRII Bandung
Referensi:
Khotbah serta bahan KTB mengenai “Spiritualitas dalam Studi” oleh Ev. Jimmy Pardede, GRII Bandung.