The Outcast

Apa yang terpikir pertama kali di kepala Anda saat mendengar kata ‘Natal’? Pohon Natal, Santa Claus, Rudolph the Red Nose Reindeer, Silver Bell, kado Natal, kaos kaki merah putih, kue castengel (atau kue nastar?), atau bahkan kombinasi warna merah-hijau? Well, sebagian besar dari kita mungkin akan memikirkan hal-hal seperti ini. Tapi tentu sebagai orang Reformed kita “jaim” sedikit lah, kita akan mengatakan bahwa yang pertama kali diingat dari Natal adalah bayi Yesus yang lahir. Atau bahkan kalau mau menggunakan kalimat yang lebih keren: “Allah Pribadi Kedua yang berinkarnasi menjadi manusia dalam rupa seorang bayi bernama Yesus” atau “Firman yang menjadi daging” – you name it. Tentu jawaban ini sangatlah benar, mengingat fokus utama dari berita Natal memang adalah Yesus yang lahir ke dalam dunia. Akan tetapi kali ini saya hendak memfokuskan pandangan kita sebentar – tanpa menggeser fokus utama dari Kristus tentunya – kepada peristiwa setelah Yesus itu sendiri lahir, yaitu peristiwa berita kelahiran Yesus yang disiarkan kepada gembala-gembala.

KISAH PARA GEMBALA
Kita sudah beribu-ribu kali mendengar kisah Natal mulai dari Sekolah Minggu hingga saat ini dan mungkin sudah bosan. Tentu kita semua tahu bahwa setelah Yesus lahir, malaikat datang kepada gembala-gembala untuk menyiarkan berita itu dan kemudian para gembala ini pun datang menghampiri bayi Yesus. Akan tetapi mari kita mendalami dengan lebih saksama untuk menarik suatu makna dari kisah ini. Untuk memahami makna dari kisah akan gembala ini kita perlu mengganti “kacamata” kita sejenak, memakai “kacamata” seorang gembala, dan mengerti konteks kehidupan gembala di masa itu. Sebelum mengkaji tentang gembala itu sendiri, mari kita terlebih dahulu mengulang kembali kisah ini secara kronologis, dari Injil Lukas. Kisah ini diawali dengan kelahiran Yesus Kristus, Sang Mesias, Juruselamat, dan Raja, di kota Betlehem (Luk. 2:1-7). Kemudian “adegan” langsung beralih kepada para gembala yang sedang menjaga kawanan dombanya pada waktu malam; mereka tiba-tiba mendapatkan kabar berita kelahiran Yesus Kristus dari malaikat (Luk. 2:8-12). Tak terduga, proklamasi yang pertama kali akan kelahiran Sang Mesias yang dinanti-nantikan itu ternyata bukan ditujukan kepada kalangan raja, imam, pemimpin agama dan politik, dan kaum elitis, tetapi ternyata kepada gembala! Tuhan tidak memakai cara top-down, melainkan justru bottom-up:mulai dari kalangan bawah.

Siapa sebenarnya gembala-gembala ini? Tentu saja kita tidak dapat melacak siapa sebenarnya orang-orang ini karena Alkitab tidak mencatat nama mereka, dan memang ibarat kata tidaklah “penting” untuk mengetahui siapa sebenarnya para gembala ini karena mereka memang bukan “siapa-siapa”. Kira-kira begitulah pandangan masyarakat pada zaman itu secara umum kepada kaum gembala. Signifikansi dari kisah tentang gembala bagi kita, pembaca modern, mungkin menjadi kurang berbunyi oleh karena kita tidak menyadari betapa rendahnya status sosial dari gembala pada masa itu. Artikel berjudul “Sheperd’s Status” di situs Eternal Perspective Ministries menjelaskan bahwa dalam Mishnah (rekaman tertulis dari hukum oral Judaisme), gembala dideskripsikan sebagai tidak kompeten, tidak ada satu orang pun yang merasa wajib menyelamatkan seorang gembala yang jatuh ke dalam lubang. Dapat dikatakan bahwa para gembala betul-betul dirampas atau kehilangan haknya sebagai warga negara yang mana salah satu haknya adalah dilindungi oleh negara. Dalam sebuah sidang, kesaksian dari gembala tidak akan diperhitungkan (sama halnya dengan wanita pada zaman itu). Sedangkan dalam artikel lain di situs Holy Ordinary, dijelaskan bagaimana para gembala pada masa itu secara umum dianggap tak dapat dipercaya. Bahkan, lebih buruk lagi, pekerjaan mereka membuat mereka secara seremonial dianggap najis oleh karena setiap hari mereka kontak dengan bangkai binatang dan binatang-binatang yang dianggap haram. Dengan kata lain, para gembala adalah kaum yang terbuang dalam masyarakat Yahudi pada saat itu.

Sungguh menarik mengetahui fakta bahwa Tuhan memilih para gembala menjadi kelompok orang yang pertama kali mendapatkan kabar berita tentang lahirnya Tuhan Yesus Kristus. Hal ini menunjukkan adanya sinkronisasi dan harmoni dengan kondisi kelahiran Yesus itu sendiri. Yesus juga memilih cara lahir dalam kondisi yang hina. Anak Allah mengosongkan diri-Nya dari segala kemuliaan dan turun ke dunia sebagai seorang manusia – dan lahir seperti layaknya manusia lain – dalam kondisi yang rendah – dalam palungan bagi kawanan ternak. Maka dari itu, Tuhan juga menyiarkan berita kelahiran Yesus Kristus kepada mereka yang “cattle-minders”yaitu tentu saja tidak lain tidak bukan adalah para gembala. Bisa dibayangkan jika berita itu pertama-tama sampai kepada raja-raja atau pemuka-pemuka agama yang terbiasa hidup mewah? Apa kata mereka?

Hal menarik lainnya adalah bahwa kisah mengenai gembala ini hanya ada dalam Injil Lukas, tidak ada di dalam Injil lain. Jika tidak percaya, silakan cek Alkitab Anda dan buka kitab Lukas 2:8. Di sana sama sekali tidak ada ayat referensi yang mengacu pada Injil lain, benar-benar hanya Lukas seorang yang memasukkan cerita tentang gembala ini ke dalam catatan sejarah. Memang masing-masing dari kitab Injil memiliki keunikannya sendiri, Injil Lukas tak terkecuali. Injil Lukas terkenal dengan perhatiannya terhadap kaum-kaum yang tertindas dan yang dianggap warga kelas nomor dua seperti perempuan (ada yang menyebut Injil Lukas sebagai “Gospel of Womanhood) dan anak-anak. Injil Lukas juga merupakan Injil yang ditujukan kepada “the outcast on earth” ataupun para gentiles; tidak heran Lukas menceritakan tentang orang Samaria yang baik hati, Zakheus, dan penjahat yang disalib di sebelah kanan Tuhan Yesus. Lukas dengan kepekaannya akan hal ini pun menuliskan tentang gembala yang notabene adalah kelas yang tak dipandang, terbuang, dan sangat tepat disebut sebagai “the outcast”.Berbeda dengan Injil-Injil yang lain, Lukas menuliskan Injil ini dengan kontekstual di mana pembaca kitab Lukas adalah para gentiles alias kafir. Tuhan kita pun adalah Tuhan yang memerhatikan jeritan orang yang tertindas. Dan kalau kita perhatikan, Tuhan sering kali memakai orang-orang yang dalam pandangan masyarakat itu adalah “najis” – bahkan untuk dimasukkan ke dalam sejarah keselamatan. Kita melihat bagaimana Rahab, seorang perempuan sundal, dipakai Tuhan untuk melindungi kedua pengintai Israel. Tamar yang dari perbuatan nodanya itu ternyata melahirkan keturunan yang nantinya akan menjadi nenek moyang Yesus Kristus, Sang Mesias. Dalam narasi-Nya, Tuhan sering kali menampilkan atau memakai orang-orang yang di mata manusia “the most unlikely”;kalau dibahasakan dengan bahasa kasar sehari-hari: “Emang gak ada orang lain ya Tuhan?” Yesus pun memiliki karakteristik yang serupa, di mana Ia merangkul orang-orang yang masyarakat Yahudi lihat sebagai kelompok orang yang tidak layak. Mulai dari perempuan Samaria (yang bukan saja kafir, tapi bersuami lima), para pemungut cukai, dan lain sebagainya. Sama halnya dengan para gembala.

Jadi, pelajaran apa yang kita bisa ambil dari kisah gembala ini? Kita bisa mengambil setidaknya dua perspektif yang berbeda dari kisah ini: perspektif gembala sebagai “the outcast”dan juga perspektif Tuhan Allah yang memerhatikan kaum “the outcast”.

Perspektif 1: Gembala sebagai “The Outcast
Mungkin kisah yang memilukan dari kehidupan para gembala ini tidak terlalu “berbunyi” bagi sebagian besar kita oleh karena kita bukan masuk dalam kategori “orang yang terbuang” dalam masyarakat. Akan tetapi, tentu saja kita pernah mengalami ketidakadilan dalam hidup yang membuat kita bertanya-tanya, “Sampai berapa lama lagi, Tuhan?” Mungkin kita pernah ada pada satu titik di mana kita merasa ada sesuatu yang salah dengan dunia ini, namun tidak berdaya mengubahnya. Atau kita merasa “tertindas” oleh sistem dunia yang membuat kita bisa saja dikucilkan dalam sebuah kelompok. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang tidak akan selamanya tinggal diam mendengarkan jeritan umat-Nya. Maka dari itu, kisah gembala ini dapat menjadi penghiburan bagi kita atau “mereka” yang memang mengalami kondisi yang dikucilkan dan tidak mendapat penghargaan secara kasat mata oleh dunia.

Selain itu Tuhan kita juga adalah Tuhan yang penuh dengan paradoks di mana Ia memakai cara yang tidak sejalan dengan logika manusia. Logika manusia mengatakan bahwa kemuliaan ditunjukkan dengan kemuliaan. Akan tetapi jalan Tuhan berada di atas jalan manusia, Ia memilih untuk tidak memakai cara itu. Ia justru memakai jalan kemuliaan yang ditunjukkan dengan kehinaan. Justru di tengah-tengah kehinaan, di titik yang paling rendah, kemuliaan Tuhan dinyatakan. Kepada orang yang paling rendah, kemuliaan Tuhan dinyatakan. Lagi-lagi hal ini menjadi penghiburan bagi kita. Justru sering kali dalam titik hidup kita yang paling rendah, Tuhan bekerja. Karena dengan begitulah kemuliaan Tuhan saja yang benar-benar dinyatakan. Pada saat kondisi atau situasi seseorang sedang dalam puncak-puncaknya, yang ada adalah adanya batas yang kabur antara kemuliaan Tuhan atau kemuliaan manusia – dengan kata lain, kemuliaan Tuhan yang sebenarnya “dicuri”.

Perspektif 2: Tuhan Allah yang memerhatikan kaum “The Outcast
Seperti sudah disinggung sebelumnya, Tuhan kita adalah Tuhan yang memerhatikan kaum yang terbuang dan tidak dipandang dalam masyarakat. Tuhan kita bukanlah Tuhan yang elitis dan berpihak kepada mereka yang duduk di kursi-kursi pejabat, kursi kemegahan. Ibarat pemerintah, Tuhan kita adalah Tuhan yang “pro-rakyat”. Kita pun sebagai individu maupun gereja secara kolektif yang mengatakan diri kita mau semakin hari serupa dengan Tuhan kita, tentu perlu mencontoh hal ini. Pesan yang saya mau angkat bukan sekadar untuk memerhatikan orang-orang miskin dan memberi bantuan berupa sembako, uang santunan, dan istilah gampangnya “beramal” (tentu saja ini hal yang baik, tapi semua agama pun bisa berkata demikian). Yang hendak disoroti dalam bagian ini adalah bagaimana kita sebagai orang-orang Kristen menghidupi spirit yang memiliki concern akan isu-isu sosial yang mendarat dan terjadi di sekitar kita. Ada begitu banyak bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam semua ranah kehidupan masyarakat. Ada begitu banyak kelompok marginal dalam masyarakat kita yang tak tersentuh oleh Injil. Kita sebagai orang-orang dalam Gerakan Reformed Injili begitu peduli pada isu-isu atau topik yang begitu berat seperti Allah Tritunggal, Pelagianisme, Dispensasionalisme, dan berbagai istilah-istilah keren itu. Saya tidak hendak mengkritik gereja/Gerakan Reformed karena terlalu mementingkan doktrin: doktrin itu SANGAT perlu, sebagai backbone. Akan tetapi manusia tentu tidak terdiri dari tulang punggung saja bukan?

Kita tentu tidak bisa hanya menekankan satu aspek dan melupakan yang lain, padahal kita menyebut diri kita sebagai manusia Kristen yang memiliki hidup yang tidak fragmented.Bagaimana dengan adanya begitu banyak isu-isu sosial di luar sana? Apakah kita concern dengan isu-isu seperti nasib TKW Indonesia yang diperkosa oleh majikannya hingga hamil namun tidak punya pilihan dan tetap bekerja di sana; nasib anak-anak di Thailand (dan di negara-negara lain juga) yang sejak kecil dieksploitasi secara seksual untuk kesenangan orang dewasa; nasib seorang nelayan yang demi mendapat sesuap nasi harus bertaruh hidup dan mati dengan ganasnya ombak laut dan toh tidak mendapatkan hasil yang setimpal, sedangkan di gedung MPR sana para pejabat “gendut” itu hanya tinggal duduk sambil kipas-kipas (atau ketiduran?) namun uang rakyat terus masuk ke dalam kantong pribadinya? Atau tidak usah jauh-jauh, pedulikah kita kepada pembantu rumah tangga kita yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah kita dan apakah bahkan kita mendoakannya? Pedulikah kita pada jemaat di gereja yang sebenarnya memiliki pergumulan yang begitu berat dan permasalahan yang bertubi-tubi dalam hidupnya? Sadarkah kita bahwa sering kali dalam komunitas kita sendiri ada banyak saudara seiman yang mengalami kondisi hidup yang begitu memilukan? Yang saya mau katakan adalah, jangan sampai kita memakai kacamata kuda dan hanya ingin mengetahui hal-hal “sorgawi” dan melupakan konteks dunia di mana kita hidup – hidup yang penuh dengan ketidakadilan.

Mungkin kita tak bisa melakukan suatu aksi nyata yang bisa mengubah seluruh sistem dunia yang sudah bobrok atau mengubah kondisi seseorang yang sedang terpuruk, namun setidaknya apakah kesadaran atau awareness itu bahkan ada? Jangan sampai kita menjadi Kristen (Reformed) yang “Platonis”, yang hanya mementingkan dunia ide dan apa yang ideal. Kita perlu agak sedikit menjadi “Aristotelian” juga, yaitu melihat apa yang terjadi di dunia, fakta yang ada di sekitar kita. Sebagai seorang manusia yang utuh, perlu dibangun suatu kesadaran yang dalam istilah jurnalistik disebut sebagai “cover both side”.Tidak hanya melihat pada satu sisi, namun juga sisi yang lain. Di manakah suara orang-orang Reformed dalam menanggapi isu-isu sosial yang riil dalam masyarakat? Di manakah orang-orang Reformed yang dengan kepekaan hati mau memerhatikan sesama dan memiliki satu compassion untuk saling menguatkan satu sama lain? Kiranya spirit Tuhan kita yang memerhatikan kaum-kaum tertindas ini juga boleh menjadi spirit kita juga – spirit yang penuh dengan kesadaran sosial dan belas kasih.

Perspektif 3: Tuhan Allah yang MENJADI “The Outcast
Akan tetapi sebenarnya yang Tuhan Allah lakukan jauh lebih radikal daripada itu: Ia bukan sekadar memerhatikan kaum “the outcast”namun bahkan Ia MENJADI “the outcast”itu sendiri. Tuhan Yesus Kristus sejak lahir telah menjadi “the outcast”. Dengan lahir melalui rahim Maria yang masih gadis dara, itu sudah menimbulkan prasangka buruk bahwa Yesus sebenarnya adalah anak haram. Belum lagi dengan kondisi saat Ia lahir yang begitu hina dan rendah yang mau tidak mau memberikan kepada-Nya suatu cap “berstatus sosial rendah”. Inilah yang dinamakan sebagai spirit inkarnasi dan inilah inti dari seluruh pesan Natal. Tuhan Allah menjadi “the outcast”untuk menjangkau kaum “the outcast”dan membawa “the outcast”ini kembali kepada Tuhan. Bagaimana spirit dari inkarnasi ini dapat diterapkan dalam hidup kita baik itu secara individual maupun komunal?

Permasalahan yang sering terjadi di dalam gereja ataupun Gerakan Reformed yang saya amati adalah bahwa apa yang kita lakukan sering kali tidak “mendarat”. Kita pasti dengan jelas mengetahui misi mulia dari gereja dan gerakan ini untuk membawa orang-orang Kristen kepada pengertian theologi, musik, seni, dan sebagainya yang bermutu tinggi. Kita sebagai jemaat gereja dan pengikut dari gerakan sudah mendapat begitu banyak asupan makanan yang bergizi dan makanan “keras”. Namun yang terjadi adalah kepala kita semakin besar karena semakin banyak diisi oleh segala macam pengetahuan namun sulit untuk mendaratkannya saat kita bertemu dengan realitas hidup sehari-hari. Penyakit orang-orang Reformed mungkin bisa dikatakan sebagai “hidrosefalus”. Kita adalah manusia-manusia Kristen yang hidrosefalus, berkumpul dengan sesama saudara hidrosefalus, dan menjadi kelompok eksklusif yang tidak terjun keluar dan mendarat ke masyarakat. Kita cukup berpuas diri untuk mengikuti semua kegiatan GRII atau STEMI dan lain sebagainya, menambah besar penyakit hidrosefalus kita, tanpa ada usaha untuk “berhenti” sejenak dan mencoba untuk mendaratkan semuanya itu. Kaitannya dengan spirit inkarnasi adalah bahwa seharusnya kita tidak hanya semakin meninggikan diri dengan begitu banyak pengetahuan dan tidak mengontekstualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah dari kognisi kita ada “saluran yang memampat” hingga membuat apa yang kita ketahui tidak menggerakkan kita untuk bergerak dan melakukan sesuatu untuk menjadi berkat. Kalau pun kita terjun, sebut saja dalam penginjilan, akhirnya yang terjadi adalah penginjilan yang kita lakukan tidaklah “inkarna-tif”. Penginjilan yang kita lakukan hanya terbatas pada tataran normatif dan hanya menjunjung tinggi substansi tanpa memikirkan konteks. Penginjilan yang tidak melihat konteks membuat substansi yang sudah begitu baik menjadi tidak relevan karena tidak “berbunyi” bagi audiensi (walaupun kita tentu juga mengandalkan pekerjaan Roh Kudus terlepas dari usaha manusia). Namun lagi-lagi, dalam rangka meneladani cara kerja Tuhan kita perlu memerhatikan hal ini. Tuhan kita adalah Tuhan yang berinkarnasi dan merangkul semua kalangan dengan mengondisikan sesuatu yang sesuai dengan konteks kalangan tersebut, tanpa mengurangi satu iota pun dari kemuliaan-Nya. Jadi, adalah tantangan bagi kita untuk mendaratkan segala macam theologi dan ilmu yang sudah kita dapat pada konteksnya, tanpa mengurangi standar dari konten tersebut. Dan sebagai orang-orang Reformed yang sudah menerima segala berkat rohani, menjadi tugas kita juga untuk membuat Theologi Reformed bukan menjadi sesuatu yang eksklusif, melainkan bagaimana mengemas dan meng-inkarnasi-kan Theologi Reformed – katanya berat ini – ke dalam bentuk yang bisa diterima orang lain, tanpa mengurangi substansi aslinya. Karena kita yang sudah mengetahui dan menyadari betapa pentingnya Theologi Reformed bagi zaman ini tentu mau agar mutiara yang berharga ini dapat dikumandangkan kepada banyak orang, bukan?

Kesimpulan
Dari kisah mengenai para gembala ini setidaknya kita dapat menarik tiga macam sudut pandang yang memberi kita tiga macam pelajaran. Pertama, dari perspektif gembala itu sendiri, kisah mengenai gembala ini menjadi penghiburan bagi kita yang mengalami penindasan, ketidakadilan hidup, dan sebagainya. Juga penghiburan di dalam penderitaan bahwa pada titik terendah dalam hidup kita justru kemuliaan Tuhan dinyatakan. Perspektif yang kedua, yaitu bagaimana Tuhan Allah adalah Tuhan yang memerhatikan kaum tertindas dan tak terpandang. Kita yang mengaku adalah pengikut Tuhan perlu menanamkan suatu kesadaran sosial dan kepekaan akan permasalahan riil yang terjadi di sekitar kita. Namun bukan hanya sekadar peduli pada kaum yang tertindas, Tuhan Allah Pribadi Kedua yaitu Yesus Kristus secara radikal telah menjadi yang tertindas dan terbuang itu sendiri – spirit inkarnasi. Spirit inkarnasi inilah yang perlu ada dalam diri kita masing-masing untuk membuat kita bukan menjadi orang-orang yang “eksklusif” dan seolah “tak tersentuh”, “transenden”, dan “jauh di awang-awang”, melainkan dengan giat melakukan suatu aksi nyata untuk mendaratkan setiap firman yang didapat. Kiranya refleksi akan kisah gembala ini dapat mengingatkan kita pada inti dari pesan Natal yang sesungguhnya dan menjadikan kita manusia yang memiliki kesadaran yang lebih utuh akan kehidupan ini. Ingatlah bahwa Natal bukanlah pesta hura-hura, dekorasi Natal yang sebenarnya adalah pemborosan, dan perayaan yang meriah. Natal adalah suatu paradoks yang indah di mana kemuliaan dinyatakan dalam kehinaan. Selamat Natal!

Izzaura Abidin
Pemudi GRII Pondok Indah

Referensi:
Alcom, Randy (2010). “Shepherd’s Status” dalam situs “Eternal Perspective Ministries” : http://www.epm.org/resources/2010/Mar/11/shepherds-status/.
Bill, Brent (2007). “Shepherds – of Sheep and the Lamb: An Advent Meditation” dalam situs “Holy Ordinary” : http://holyordinary.blogspot.com/2007/12/shepherds-of-sheep-and-lamb-advent.html.
LUKE” dari situs “Walking Thru the Bible” : http://home.hiwaay.net/~wgann//walk/luke.htm.
“Tidings to Shepherds: Broadcasts to Outcasts” dari situs “Reflection in the WORD” : http://reflectionsintheword.org/2011/12/23/tidings-to-shepherds-broadcasts-to-outcasts/.