The Puritans: Deep Thinking and Deep Spirituality

Pdt. Stephen Tong pernah membagi umat manusia menjadi dua macam: pewaris sejarah dan pengubah sejarah. Sebagian besar umat manusia masuk ke dalam golongan pewaris sejarah dan hanya beberapa orang tertentu yang mengubah arah sejarah. Kalau kita mau mencoba untuk menganalisa lebih lanjut, sebenarnya mereka – sang pengubah – sejarah pun adalah pewaris sejarah. Setiap orang adalah pewaris sejarah tetapi di manakah perbedaannya?  Mereka yang mengubah sejarah bukan hanya sekadar mewarisi tetapi juga menghidupi warisan yang mereka terima dan menerapkan prinsip yang mereka warisi di konteks zaman mereka yang baru sehingga memberikan pencerahan baru. Adalah mimpi jika kita mau jadi pengubah sejarah tapi kita sendiri tidak menghargai harta karun berharga yang diwariskan kepada kita. Bukan hanya tidak menghargai, kita bahkan tidak sadar dan sengaja melupakannya. Menurut G. F. W. Hegel, manusia belajar dari sejarah bahwa manusia tidak belajar apa-apa dari sejarah. Jadi, artikel singkat ini hendak mengajak kita untuk melihat ke belakang dan belajar dari warisan sejarah periode zaman Reformasi di abad ke-16 dan 17 yang saya yakin sudah dilupakan oleh banyak dari kita, yaitu belajar dari kaum Puritan.

Siapakah kaum Puritan? Istilah “Puritan” di dunia Barat sekarang sudah seperti suatu kata ejekan dengan konotasi “Ah sok suci kau” atau “Dead boring spiritual man”. Walaupun karikatural namun dari awalnya kata “Puritan” itu sendiri memang muncul sebagai ejekan dari orang-orang dalam Church of England kepada kaum Puritan yang ingin purify (menyucikan) gereja dari kompromi-kompromi dalam bidang liturgi.

Sehingga kalau sekarang kata Puritan itu sendiri lebih dipakai sebagai ejekan, namun esensi dari ejekan itu tidak sepenuhnya salah karena memang kaum Puritan terkenal hidup saleh dan suci dengan standar moral yang sangat tinggi. Selain itu mereka juga terkenal menghasilkan tulisan-tulisan yang sangat dalam dan bermanfaat bagi pertumbuhan rohani; Anda mungkin pernah sekilas mendengar atau bahkan pernah membaca tulisan nama-nama tokoh besar Puritan seperti John Owen, Richard Baxter, dan lain-lain.
Untuk mengerti gerakan atau kaum Puritan, kita mau tidak mau harus naik space time travel balik ke dalam era Reformasi. Di bulan Oktober 495 tahun yang lampau yaitu tepatnya Oktober 1517, kita seakan masih bisa mendengar hujaman paku yang menembus pintu kayu dari gereja Schlosskirche di Wittenberg, Jerman. Seorang imam muda yang muak melihat penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam gereja saat itu memakukan 95 tesis sebagai bahan perdebatan. Namun di dalam providensia Allah, 95 tesis yang dituliskan dari tinta yang mengering di atas kertas itu menjadi pemicu banjir perubahan dahsyat yang sudah tidak bisa lagi ditunda. Api reformasi bukan hanya mengguncangkan gereja Roma Katolik saat itu tapi guncangan itu meluas ke seluruh Eropa bagaikan gempa berskala 10 Richter dengan Martin Luther di Wittenberg sebagai epicenter-nya.

Zwingli dan Calvin menjadi tokoh Reformasi besar lainnya di Zurich dan Jenewa. Sedangkan di Inggris, Reformasi terjadi karena Raja Inggris Henry VIII mendeklarasikan Church of England memisahkan diri dari gereja Katolik Roma karena Paus menolak memberikan izin kepadanya untuk menceraikan istrinya agar dapat menikah lagi demi mendapatkan keturunan laki-laki sebagai penerusnya. Namun gaya Reformasi yang dilanjutkan oleh anaknya – Elizabeth I – adalah semacam jalan tengah yaitu mengadopsi ajaran-ajaran Reformasi namun masih mempertahankan beberapa aturan liturgi Roma Katolik. Dalam konteks inilah kaum Puritan keluar secara tegas untuk mengadakan perubahan dan pemurnian gereja Inggris.

Kaitan antara theologi/doktrin dan hidup kudus terus berada di dalam ketegangan atau konflik. Ada semacam karikatur bahwa ketika pemahaman theologi meningkat maka kesalehan hidup berkurang, dan kesalehan hidup menjadi tinggi kalau pemahaman theologi tidak terlalu tinggi. Tidak percaya? Kebanyakan orang kalau disuruh memikirkan apa yang terbersit di benaknya ketika ditanya tentang orang saleh, kecil kemungkinan nama seorang theolog yang terpikir. Demikian juga orang yang bersemedi di ‘puncak gunung atau kaum mistik yang kerjaannya’ meditasi dan berdoa terlihat lebih saleh atau kudus dibandingkan seorang theolog yang riset bahan Perjanjian Baru dengan menggunakan bahasa Yunani.

Pdt. Stephen Tong pernah mengutip suatu survei tentang profesi yang dihormati masyarakat. Sayangnya penulis tidak ingat tahun dan detail pastinya tentang survei tersebut, tapi kira-kira garis besarnya sekitar 50-60 tahun yang lalu salah satu profesi yang paling dihormati adalah jabatan hamba Tuhan atau pendeta, bahkan melebihi presiden. Namun sekarang rankingnya sudah jatuh cukup banyak. Dan rupanya mudah saja kita memverifikasi kebenaran tersebut, tinggal tanya ke Om Google, kita akan mendapati bahwa survei-survei yang benar mencatat bahwa banyak profesi lain yang lebih dihormati seperti suster, dokter, pemadam kebakaran, ilmuwan, dan lain-lain. Tanpa merendahkan profesi-profesi agung tersebut, namun menyedihkan melihat kondisi profesi hamba Tuhan yang sudah dimarginalisasi atau dianggap sebelah mata sekarang oleh masyarakat. Namun di sisi lain, bukan tanpa alasan hal itu terjadi. Orang-orang yang mendalami doktrin atau pengajaran semakin terlihat sebagai orang yang dingin, kaku, dan mementingkan Taurat. Sedangkan mereka yang jenuh dengan segala ‘tetek bengek’ doktrin yang kaku itu lebih memfokuskan diri pada menjalani hidup saleh dalam segala kesederhanaan (baca: sederhana dengan mengabaikan doktrin). Hal ini ternyata bukanlah fenomena modern.

Kira-kira pada pertengahan abad ke-17, kekristenan di Eropa menghadapi suatu krisis besar. Jonathan Hill menuliskan, “The creativity and excitement of the early Reformation had long since given way to a dry and deathly dull scholasticism, as representatives of the major churches devoted their time to producing long and tedious summas of their various faiths. The rise of Pietism was a reaction to all of this. The movement was triggered by Phillip Spener, a Lutheran, who called for a new emphasis on personal devotion and a changed life. Spener admired Luther but believed that the Reformation was only half finished; he hated the new intellectualist orthodoxies and argued that doctrine is less important than personal faith and moral living.”[1] Jadi kita bisa melihat adanya dua kutub pada zaman itu: ada yang mementingkan theologi tapi kehilangan kehangatan spiritualitas; namun ada respons yang jatuh ke kutub satunya: menghina theologi demi mementingkan kesalehan dan hidup moral. Di poin inilah kita bisa belajar banyak dari kaum Puritan karena mereka cukup “sukses” menjaga keseimbangan antara deep thinking and deep spirituality. Bukan berarti mereka tidak merasakan ketegangan di antara keduanya tapi mereka dengan setia terus menjaga ketegangan di antara kedua sisi dan menolak untuk jatuh ke salah satu ekstrem.

Apa yang membuat kaum Puritan begitu istimewa? Mengapa kita harus peduli tentang mereka hari ini? Alasannya sederhana. Setiap laki-laki atau perempuan yang menginginkan kehidupan kesalehan sejati di hadapan Kristus harus mencari orang-orang yang memberikan teladan kehidupan yang kudus. Kaum Puritan memberikan teladan yang sangat baik. Ada dua hal khusus tentang mereka: 1) Mereka mengetahui Alkitab mereka dengan baik dan akibatnya mampu menulis dengan mendalam dan penuh semangat tentang hal itu, dan 2) Mereka menempatkan pengetahuan mereka tentang Kristus ke dalam tindakan. Dibandingkan dengan gereja abad ke-21, mereka adalah raksasa alkitabiah intelektual dan spiritual. Mereka dengan begitu intens merindukan suatu kehidupan suci. Inilah kerinduan dan keinginan untuk pengalaman spiritual murni. Hidup mereka dikhususkan untuk Kerajaan Allah dan untuk kemurnian ajaran dalam setiap bidang kehidupan. Tidak ada yang menahan mereka dalam upaya untuk mencapai hal ini.

Bagi kaum Puritan, seperti yang ditulis William Ames (sering dianggap sebagai Bapak dari Puritanisme), theologi adalah hidup bagi Tuhan. Menurutnya theologi adalah theologi praktis, harus memengaruhi tidak hanya pikiran, tetapi juga memberdayakan tangan dan kaki untuk mengikuti dan melayani Kristus. Setiap pemahaman theologi adalah usaha bagaimana kita belajar menjadi seorang murid Kristus.

Kalau dalam konteks zaman kita sekarang, urusan theologi adalah urusannya hamba Tuhan, mahasiswa seminari, majelis, dan penatua. Orang awam tidak belajar theologi dan tidak merasa perlu juga untuk belajar. Di sisi lain ada kesalahan lain, mereka yang belajar theologi naik ke mimbar mengkhotbahkan apa yang mereka pelajari di seminari, mengutip tokoh ini dan itu, memakai bahasa asli Ibrani dan Yunani, tetapi tidak menyentuh permasalahan jemaat yang hadir saat itu. Ada pemuda yang baru mengalami putus cinta yang tidak peduli dengan nama-nama besar seperti van Til atau Kuyper, ada encim-encim tua yang tidak ngeh lagi dengan bahasa-bahasa asing, ada ibu-ibu atau tante-tante yang sehari-hari bergelut dengan pergi ke pasar dan membesarkan anak tidak paham dengan doktrin setinggi langit. Rupanya kedua kecondongan salah ini saling berkaitan – orang awam tidak mau belajar theologi karena melihat mereka yang theolog seperti duduk di awan-awan dan tidak mampu berinkarnasi dan memberikan firman yang mampu menjawab persoalan-persoalan kehidupan manusia tanpa diskon/kompromi dari kualitas kebenaran firman.

Bagi kaum Puritan, theologi adalah hidup dan hidup adalah theologi (hidup di sini tentunya hidup yang saleh), tidak ada pembagian atau dikotomi keduanya. Kita tidak mungkin mendengar mereka berkata “Ahh bagian firman Tuhan ini bagus dan menyentuh tapi sepertinya tidak ada kaitannya dengan hidup sehari-hari saya deh.” Hidup mereka adalah hidup yang holistik, yang integral, yang tidak melayani dualisme sakral-sekuler. Semua segi kehidupan, semua aktivitas hidup adalah sakral bagi kemuliaan Tuhan. Mereka hidup dengan ‘metode’ (dengan aturan hidup), perencanaan, dan proporsi waktu mereka dengan hati-hati. Kita yang cenderung hidup dengan tidak direncanakan, hanya secara acak dan karenanya merasa tenggelam dan terganggu sebagian besar waktu, bisa belajar banyak dari kaum Puritan pada saat ini.[2]

Ada satu tokoh yang mungkin sangat asing bagi kita atau belum pernah mendengar nama tersebut, nama yang sangat disayangkan untuk dilupakan dan ditelan zaman, padahal tulisannya “The Practice of Piety” pada zamannya merupakan bestseller. It reached its 74th edition in 1821 and has been translated into French, German, Dutch, Italian, Polish, Romansh, Welsh, and into the language of the Massachusetts Indians. In The Netherlands it became the best sold reformed book of the 17th century.[3] Tokoh Puritan ini bernama Lewis Bayly. Buku ini adalah buku yang bersifat praktis. Kita bisa melihat penekanan Praktikal ini dengan melihat daftar isi. Ada bab yang membahas tentang pengaturan doa pagi, doa malam, saat teduh, doa bersama keluarga, doa untuk orang sakit, puasa, dan lain-lain. Banyak sekali yang mendapatkan manfaat dari pemaparan yang begitu down-to-earth, jujur, dan mendetail. Tapi tunggu dulu… apakah ini semacam hukum taurat yang baru yang mengikat setiap tindak tanduk kita? Bayly menulis ini bukan untuk membuat hukum taurat tandingan kepada orang-orang Farisi tapi dia menulis dengan kesadaran dan keinginan yang begitu tinggi agar setiap segi kehidupan kita terus memandang Tuhan dan menikmati keindahan kemuliaan-Nya.

Bagi pembaca yang tertarik, dapat dengan mudah mengakses tulisannya karena tersedia dengan gratis secara online. Tetapi buku ini mempunyai suatu masalah kecil: “Remember that this is a handbook on devotion, a practical work. Apparently Bayly saw no reason to rush past the doctrine of God in a hurry to get to the practical tips and pointers. In fact, he settles down and does several pages of pretty serious trinitarian theology.[4]”
Salah satu titik penekanan lainnya dalam kehidupan Puritan adalah kehidupan bergereja dan menyembah Allah. Mereka melihat gereja bukan sebagai sebuah bangunan, tetapi sebagai tubuh yang ditebus yang berkumpul bersama untuk merefleksikan kembali kepada Kristus kemuliaan karena nama-Nya. Gereja adalah orang-orang di dalam gereja, bukan batu dari dinding atau kayu bangunan. Dan mereka berpendapat bahwa sebuah gereja yang kuat dan berakar kuat dalam Kristus mempunyai lima karakteristik ini:
pemberitaan firman sejati dengan ajaran sehat,
administrasi sakramen yang benar,
aktivitas disiplin gereja,
kepemimpinan yang kuat, dan
ibadah yang alkitabiah.

Tujuan utama di dalam khotbah Puritan adalah untuk menggerakkan kehendak (lebih dari sekadar memindahkan pikiran dan emosi). Kaum Puritan tidak tertarik pada menghibur pendengar sebagai “pengkhotbah” hari ini. Mereka berfokus pada tiga bahan utama,
1) untuk membaca teks dari Alkitab dan kemudian menjelaskan arti yang jelas dari teks,
2) untuk mengetahui dan membahas beberapa poin penting tentang doktrin dari teks, dan
3) untuk menerapkan doktrin dalam kehidupan orang percaya. Mereka mencintai firman Tuhan sedemikian rupa dan peduli untuk jiwa-jiwa pendengar mereka, maka mereka hanya memberitakan firman. Ibadah sangat penting bagi mereka. Mereka mulai mempersiapkan hati mereka untuk itu bahkan dari malam sebelumnya. Mereka akan menyempatkan waktu setelah makan malam untuk ibadah keluarga, dan kemudian membaca selama beberapa waktu, dan akhirnya pergi tidur. Demikian, satu dalam tujuh hari diberikan Allah kepada manusia sebagai hari istirahat harus dipandang sebagai hari khusus kesalehan.[5]

Kaum Puritan percaya bahwa spiritualitas berkembang terbaik dalam kehidupan keluarga yang normal dan rutinitas kerja, ibadah, dan rumah. Orang kudus Puritan bukanlah orang-orang luar biasa yang hidup terpisah dari dunia dan terlibat dalam kontemplasi mistik, tetapi hanyalah manusia biasa yang menghidupi hidup kekristenan mereka dengan keseriusan yang tepat. Tentunya mereka juga bukan orang-orang super suci (kaum Übermann) yang tanpa noda cacat, tapi mereka justru sangat bergumul dengan noda cacat mereka dan dengan kegigihan berusaha untuk hidup lebih suci, lebih berserah, lebih taat, dan lebih menyenangkan Tuhan.

Di tengah dunia yang sekarang bukan saja telah memisahkan dunia sekuler dari dunia spiritual, tapi juga berusaha menyingkirkan Tuhan dan religious life dari public square. Untuk itu, sepertinya kita mau tidak mau harus kembali ke gudang harta warisan kekristenan kita dan mulai membongkar semua harta warisan: tulisan, pemikiran, semangat hidup, kesalehan, dan teladan hidup dari para tokoh Puritan yang terus- menerus dengan gigih memperjuangkan bahwa theologi dan devotion kepada Tuhan dalam hidup sehari-hari bukanlah dua hal yang diceraikan tetapi dua hal yang senantiasa dipersatukan. Dunia dan tantangan zaman kita jelas jauh berbeda dari zaman mereka namun kebenaran dan semangat yang mereka wariskan melampaui zaman dan lokasi. Maukah kita bercermin kepada mereka dan belajar menjalani langkah-langkah yang sudah mereka pernah tempuh dalam konteks zaman kita? Mari kita menjadi kaum Puritan modern abad ke-21!

Heruarto Salim
Redaksi Pelaksana PILLAR

Endnotes:
[1] The History of Christian Thought – Jonathan Hill.
[2] http://www.apuritansmind.com/the-puritan-era/why-we-need-the-puritans-by-dr-j-i-packer/
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Lewis_Bayly
[4] http://www.patheos.com/blogs/scriptorium/2009/10/lewis-bayly-and-the-practice-of-trinitarian-piety/
[5] http://www.apuritansmind.com/the-puritan-era/puritan-roots-a-brief-sketch-of-the-values-of-puritanism-by-dr-c-matthew-mcmahon/