We Give You Thanks, God, We Give You Thanks (BWV 29)

Dalam pemerintahan di seluruh dunia, ada satu tradisi yang baik yang masih dijaga sampai sekarang, dan sepertinya belum ada urgensi untuk mengubahnya. Tradisi itu adalah semua orang yang memerintah perlu bersumpah, dan bersumpah di atas Alkitab, lalu mengakhiri sumpahnya dengan kalimat, “Maka tolonglah saya, Tuhan.” Tradisi ini dimulai dengan konsep bahwa seseorang mungkin saja berbohong di pengadilan, namun ketika ia berbohong sambil bersumpah di atas Alkitab, itu artinya jiwanya telah diperuntukkan untuk neraka. Maka tradisi sumpah seperti ini tetap dipraktikkan sampai sekarang.

Pada zaman dahulu, selain upacara sumpah pada saat pengangkatan jabatan pemerintahan, terdapat juga misa, yang sayangnya sekarang sudah diganti dengan sekadar konser. Pada waktu Johann Sebastian Bach berada di Leipzig, ia pun perlu membuat sebuah kantata untuk pengangkatan para pejabat di pemerintahan. Pengangkatan pemerintahan yang baru atau yang disebut sebagai Ratwechsel ini adalah suatu perayaan yang megah. Namun, yang menarik di dalam perayaan ini adalah acaranya tidak hanya berhenti untuk membuat hati rakyat dan pemerintah senang, tetapi terdapat juga aspek doa dan ibadah.

J. S. Bach mengarang beberapa cantata for council election. Namun, partitur kantata yang bisa ditemukan secara lengkap hanya ada lima (BWV 71, 119, 120.1, 29, dan 69.2). Satu kantata lagi, yaitu BWV 193.2, partiturnya hanya ditemukan sebagian saja. Lalu masih ada lima kantata lagi yang diketahui pernah ada, tetapi partitur lagunya tidak dapat ditemukan. Seluruh kantata ini dikarang oleh Bach untuk merayakan pemilihan pemerintah daerah yang pada saat itu tidak ditentukan secara demokratis, tetapi diturunkan dari pemimpin lama ke pemimpin baru yang sudah ditunjuk. Pementasan kantata ini merupakan bagian dari perayaan pelantikan pemimpin yang baru. Memang pada zaman itu, gereja merupakan instansi yang penting bagi pemerintahan, sehingga acara-acara pemerintahan pun tidak terlepas dari keterlibatan gereja. Di dalam Ratwechsel ini, karya kantata ini tidak hanya didengarkan oleh pemerintah dan juga para pejabatnya, tetapi juga didengarkan oleh masyarakat dan utusan-utusan pemerintah daerah lain yang menghadiri acara tersebut, sehingga acara ini merupakan event yang penting bagi Bach, seperti yang dikatakan oleh seorang musikolog bernama Klaus Hofmann, “It was an opportunity for Bach to show how sacred music was flourishing under his direction and to present himself as a composer.”

Hal menarik lain yang menjadikan kantata ini penting adalah mengenai isi atau pesan dari kantata ini yang juga kental dengan pesan yang alkitabiah. Kantata ini dirangkai dengan tetap mengambil struktur ibadah seperti layaknya misa di hari Minggu. Dimulai dengan memuliakan Tuhan, bersyukur atas pemeliharaan-Nya, dilanjutkan dengan doa dan permohonan, dan ditutup kembali dengan memuliakan Tuhan. Secara umum, di dalam kantata ini ada bagian-bagian yang menggunakan baik ayat Alkitab maupun salah satu himne gereja pada zaman itu sebagai liriknya.

Di dalam artikel yang singkat ini, kantata yang akan dibahas adalah BWV 29 yang berjudul “Wir danken dir, Gott, wir danken dir” (We Give You Thanks, God, We Give You Thanks). Kantata ini diciptakan oleh Bach di sekitar tahun 1731 di Leipzig pada Ratwechsel tahun itu. Kantata ini dimulai dengan orgel bersamaan dengan alat musik gesek, trompet, dan cemballo, membuat kantata ini terdengar sangat meriah dan gembira. Menariknya, melodi ini diambil justru dari sebuah partita untuk biola (Partita in E Major - BWV 1006) yang sebenarnya sangat lembut dan manis. Namun, di sini Bach berhasil menggubahnya menjadi sangat meriah untuk disesuaikan dengan konteks perayaan.

Bagian kedua adalah bagian kur. Liriknya diambil dari Mazmur 75:1, “We give You thanks, God, we give You thanks and tell of Your great deeds,” yang mengingatkan kita untuk memuji Tuhan. Memuji Tuhan bukan sekadar untuk anugerah-anugerah yang terjadi pada kita saja, tetapi juga untuk karya-karya Tuhan “verkündigen deine Wunder”. Bagi beberapa dari kita, mungkin melodi ini tidak asing, karena Bach menggunakan melodi yang sama juga untuk lagu Gratias agimus tibi dan Dona nobis pacem dalam Mass in B minor. Sama seperti dalam Mass in B minor, di sini Bach juga membuat lagu ini secara canon atau bersahut-sahutan. Hal ini menggambarkan kuasa Tuhan dan anugerah Tuhan baik dalam lingkup yang kecil maupun besar yang saling terjalin untuk menyatakan kuasa Tuhan yang absolut dan sempurna.

Dalam bagian berikutnya, Bach mengajak kita untuk melihat kuat dan kuasa Tuhan dan bersyukur akan atribut Tuhan tersebut. Bagian ini dinyanyikan oleh solo tenor yang diiringi oleh solo biola dan juga continuo, menjadi trio yang menampilkan lagu ini. Di sini, Bach juga mengasosiasikan Leipzig dengan kota Sion, kota di mana Tuhan berada. Bagi kita, orang Kristen, kota Sion adalah kota di mana kita memuji dan menyembah Allah. Di dalam Alkitab dinyatakan bahwa kota Sion tidak lagi dibatasi oleh kota secara fisik, tetapi Sion adalah tempat di mana pun kita menyembah Allah. Bagian ini diiringi dengan melodi yang begitu semangat dan meriah, menunjukkan betapa sukacitanya umat Tuhan di Leipzig jika Tuhan beserta dengan mereka.

Setelah memuji Tuhan, bagian berikutnya (dinyanyikan oleh bas) masuk kepada ucapan syukur untuk perlindungan Tuhan bagi umat-Nya (yang di sini diasosiasikan dengan masyarakat Leipzig). Perlindungan Tuhan ini memberikan suatu keyakinan bagi umat-Nya. Namun apakah keyakinan ini menjadi terlalu berlebihan? Dalam liriknya terdapat kalimat, “Siapa umat yang seperti kami, yang Tuhan lindungi dan kepada mereka Tuhan begitu dekat dan berbelaskasihan?” Dalam terjemahan bahasa Inggris, kalimat ini diakhiri dengan tanda seru, namun dalam bahasa aslinya dengan tanda tanya. Untuk lebih mengerti apakah kalimat ini menggambarkan keyakinan diri yang berlebihan atau justru kerendahan hati karena merasa tidak layak, kita dapat mendengarkan sendiri melodi yang ditambahkan oleh Bach.

Dalam doa syafaat kita sehari-hari, atau paling tidak dalam kebaktian, mungkin kita sering berdoa untuk pemerintah. Kita sering kali berdoa kiranya Tuhan memberikan kebijaksanaan untuk orang yang memerintah, kiranya Tuhan memberikan hikmat dalam mengatur negara ini. Tetapi mungkin kita jarang sekali berdoa juga untuk orang-orang yang diperintah, mereka yang tunduk dan taat kepada pemerintah. Bagian kelima dari kantata ini berisi permohonan akan belas kasihan Tuhan, baik kepada orang-orang yang memerintah dan duduk di kursi pemerintahan, maupun juga kepada orang-orang yang tunduk kepada pemerintahan mereka. Berbeda dengan bagian lain yang begitu megah dan meriah, Bach membuat doa ini terdengar sangat halus, lembut, dan melankolis. Sopran bernyanyi di nada tinggi tanpa ada iringan bas yang megah di register yang lebih rendah. Bagi mereka yang duduk di pemerintahan, doa ini menggambarkan suatu kerendahan hati, menyadari bahwa kuasa mereka pun datangnya dari Tuhan. Bagi rakyat yang diperintah, doa ini juga menunjukkan suatu kerendahan hati, bahwa kita memang sering kali jatuh dan melakukan pelanggaran, dan maka dari itu memerlukan orang yang lebih berkuasa untuk dapat mengatur kita.

Ingat akan cerita Musa dalam Kitab Ulangan? Bagian keenam dari kantata ini ditutup dengan seruan “Amin” yang keras oleh kur, yang mungkin mengingatkan kita akan cerita di zaman Musa. Ketika Musa mengatakan, “Terkutuklah, terkutuklah, terkutuklah,” dalam Ulangan 27, seluruh umat Israel harus menjawabnya dengan seruan, “Amin!” Setelah doa dan permohonan akan belas kasihan Tuhan, pada bagian keenam ini, kita sekali lagi diingatkan bahwa semua berkat Tuhan itu akan nyata ketika kita sendiri hidup sesuai dengan ketetapan Tuhan. Di sini Bach mengingatkan bahwa semua akan berjalan harmonis ketika kita hidup sesuai kehendak Tuhan, yaitu ketika pemerintah memerintah dengan adil dan rakyat taat kepada perintah Tuhan yang ternyatakan lewat hukum-hukum manusia. Biarlah kita juga mengingat bahwa semua orang yang melanggar hukum adalah orang yang terkutuk dan murka Tuhan tidak mungkin jauh dari padanya.

Kantata ini ditutup dengan bagian ketujuh yang mengulang bagian ketiga, dan diakhiri dengan bagian kedelapan yang juga sama megahnya dan meriahnya dengan bagian kedua. Pada bagian kedelapan ini, Bach menggunakan bait kelima dari lagu himne karya Johann Gramann yang berjudul Nun lob, mein Seel, den Herren (My Soul, Now Praise Thy Maker!), yang menunjukkan bahwa setelah kita memohon kepada Tuhan, mendengarkan dan merenungkan firman-Nya, kita mengembalikan segala kemuliaan kepada Tuhan. Chorale penutup dari kantata ini merupakan sebuah pengingat bagi pemerintah yang dilantik saat ini bahwa seluruh kehidupannya adalah persembahan kepada Allah, maka ia harus meninggalkan atau menyangkal dirinya dan menyerahkan seluruh kehidupannya kepada Allah. Ia harus merelakan seluruh hidupnya untuk dipimpin oleh Allah, karena seorang pemimpin yang agung adalah pemimpin yang menyerahkan hidupnya untuk dipimpin oleh Allah.

Dari sebuah lagu, kita dapat belajar satu lagi kaitan antara hidup gerejawi kita dan hidup kita sehari-hari. Sering kali kita memisahkan keduanya, seolah-olah keduanya adalah dua hal yang sangat berbeda. Sering kali kita merasa aneh jika mendengarkan khotbah yang terkait dengan sejarah, pemerintahan, atau dengan isu sosial yang ada. Kita sering kali percaya bahwa Tuhan memerintah dalam segala aspek hidup kita, tetapi kita sulit untuk menemukan benang merah antara kehidupan sehari-hari dan relasi kita dengan Tuhan.

Melalui kantata ini, Bach menunjukkan bahwa di dalam kehidupan berpolitik pun, biarlah kita juga memuliakan Tuhan dan berdoa kepada-Nya sebagaimana kita lakukan dalam liturgi ibadah setiap hari Minggu. Ketika kita kembali mengingat bahwa kehidupan berpolitik pun juga datangnya dari Tuhan, Tuhan akan berbelaskasihan kepada siapa Ia mau berbelaskasihan. Kita pun perlu mengingat bahwa kita sebagai warga negara juga perlu bertanggung jawab dan tunduk kepada pemerintahan yang ada, sehingga ketika suatu pemerintahan berjalan dengan harmonis, kita pun tahu kepada siapa kita harus bersyukur, seperti pujian penutup kantata ini (yang liriknya tersedia di bawah ini).

8th movement of BWV 29 (Nun lob, mein Seel, den Herren – Verse 5)

May there be praise and glory and honour

for God the Father, Son and Holy Spirit!

May it be his will to increase in us

what he promised us through his grace,

so that we firmly trust him,

surrender ourselves wholly to him,

build on him in our hearts,

so that our heart, spirit and mind

steadfastly depend on him.

For this reason we sing now:

Amen, we shall achieve this,

we believe from the bottom of our hearts.

Eunice Girsang

Pemudi FIRES