Kebenaran itu subyektif atau obyektif, Subyek atau obyek?
C.S.Lewis dalam essaynya Man or Rabbit (the Grand Miracle) berkata,” If Christianity is untrue, no honest man will want to believe it, however helpful it might be. If it is true, every honest man will want to believe it, even if it gives no help at all.” Mungkin kalimat ini bisa menarik perhatian so called orang Modern tapi belum tentu bisa membuat orang Post-modern tertarik (selanjutnya akan disebut Posmo). Karena justru yang penting buat orang Posmo adalah something that is helpful, preference, mengenai benar apa tidak, tidak terlalu masalah. Kalau modern menaruh nilai pada pengujian kebenaran dan mempertimbangkan kebenaran yang diuji terus menerus oleh objektifitas lalu posmodern menghakimi kebenaran dengan subjektifitas, lalu pertanyaan saya adalah bagaimana Kekristenan melihat kepada kebenaran dan meresponinya? Secara objektif seperti Modern atau secara subyektif seperti Postmodern?
Terpengaruh oleh semangat Modern, seringkali kita sebagai orang Kristen juga menempatkan kebenaran lepas dari diri, seakan-akan, kebenaran itu betul-betul mandiri dari pribadi yang mempelajari dan mengajarkannya. Alasannya, toh, kebenaran harus objektif. Yang penting, kebenaran yang diajarkan itu benar. Tetapi kita harus melihat, Firman Tuhan tidak pernah menyarankan kita menempatkan kebenaran secara objektif tok. Kebenaran demikian hanya diperbincangkan dan diperdebatkan sana sini. Saya sangat mengamini bahwa Firman Tuhan sebagai kebenaran hanya obyektif dalam pengertian kekonsistenannya, koherensinya dan yang paling masuk akal sejagad semesta alam.
Untuk memperjelas, kita akan coba lihat kata “kebebasan” (atau kemerdekaan) yang diagungkan orang-orang zaman ini. Di Singapura, kebanyakan mengatakan bahwa mereka adalah free-thinker. Mereka ingin mengatakan bahwa mereka tidak terikat oleh pemikiran apapun, agama apapun, termasuk keKristenan, padahal mereka adalah orang-orang yang paling terikat dalam sistem pemikiran mereka sendiri dan tidak bisa keluar dari sistem itu.
Sebenarnya, sejujur-jujurnya, siapakah orang yang paling bebas semesta alam? Seharusnya orang Kristen. Karena apa? Firman Tuhan menyatakannya demikian. Darah Kristus memampukan kita untuk hidup sebagai orang merdeka (Yoh.8). Tapi betulkah kita merdeka? Ataukah kita justru melihatnya sebagai belenggu? Beberapa orang mungkin melihatnya denikian dan jujur ingin keluar saja dari belenggu tersebut. Toh, kalau disuruh memilih di antara belenggu dosa dan belenggu kekristenan, sepertinya enakan belenggu dosa. Inikah yang pernah kita pikirkan sebagai seorang anak Tuhan yang merdeka?
Kita yang notabene orang Reformed sering mendapat kesempatan belajar tentang kebenaran yang konsisten dan koheren. Anugerah kesempatan dan proses pembelajaran ini bisa-bisa justru menjebak kita kepada semangat Modern. Semakin banyak kita belajar, semakin jauh kita dari Kebenaran karena kita meng-objek-kan Kebenaran tersebut. Kita menjadikan Kebenaran sebagai objek studi, tentu saja dengan alasan objektifitas kebenaran. Tetapi Firman Tuhan mengajarkan kepada kita bahwa Kebenaran itu Subyek (baca: Pribadi). Kristus adalah Kebenaran (Yoh.14:6), Roh Kudus adalah Roh Kebenaran (Yoh.14:17, 15:16) dan Firman Tuhan adalah Kebenaran (Yoh.17:17). Kebenaranlah yang seharusnya menguasai kita, jadi bukan kita yang coba untuk menguasai Pribadi Kebenaran tersebut. Bagaimana mungkin kita menguasai Kebenaran yang mendasari dan memimpin hidup kita pada waktu yang bersamaan ? Maka sesungguhnya objektifitas Modern adalah objektifitas yang absurd. Kebenaran Firman Tuhan bukan saja mampu menghidupkan seorang pribadi, mempengaruhi sedemikian rupa sehingga Firman Tuhan menjadi subyek dalam hidup, bukan lagi objek yang di luar diri manusia, dan kemudian diperbincangkan saja, karena Firman Tuhan lebih besar daripada pribadi tersebut. Ketika Kebenaran Firman Tuhan menguasai diri seseorang, maka Dia akan memampukan orang tersebut dengan bebas mengaminkan Kebenaran itu sehingga menghidupinya dalam kemerdekaan. Inilah yang dijanjikandi Yoh.8! Jadi, sebenarnya Kebenaran bukanlah masalah sesuatu objektifitas di luar diri manusia, melainkan Subjek (baca: Pribadi) yang menguasai dan memimpin manusia. Di situlah letak kebebasan kita sebagai manusia, bebas melakukan yang seharusnya, bebas karena kita berada di posisi kita yang sebenarnya yaitu sebagai ciptaan yang harus taat kepada Kebenaran. Proses pembelajaran kebenaran harus merupakan proses pembelajaran ketaatan, proses penundukkan diri dan proses penyangkalan diri di bawah Kebenaran. Jawaban ini tidak mungkin diberikan oleh Modern karena Modern telah salah bertanya tentang Kebenaran – “What is the Truth?” Apakah kita juga ikut terjebak?
John Owen dalam karyanya Grace and Duty of Being Spiritually Minded menuliskan, bahwa pengertian berpola pikir rohani ada tiga, dua di antaranya saya tidak bahas karena tentang kerangka berpikir dan pikiran kita. Yang menarik justru yang terakhir (yang mungkin hal yang paling kita suka dikesampingkan) yakni “Kepuasan dari pikiran, luapan emosi, kenikmatan, pengecapan yang didapat dalam hal-hal yang rohani.” Untuk informasi Anda, beliau menulis karya ini pada tahun 1681.Kalimat-kalimat ini mungkin tampak asing bagi kita, tetapi bagi orang Posmo, inilah yang mereka cari! Seperti yang dikatakan Jimmy Long (Emerging Hope), mereka yang di bawah usia tiga puluh tahun, sudah tidak banyak bertanya lagi “What do you think?” tetapi kepada “How do you feel?” Beberapa apologis sangat “kekeh” dengan apologetika yang rasional sehingga mengganggap pendekatan yang lain salah. Mungkin untuk beberapa orang, apologetika rasional masih diperlukan tetapi sebenarnya apologetika bukanlah hanya masalah rasional saja. Karena mesti diingatkan bahwa apologetika adalah pembelaan dan perjuangan iman yang REAL di zaman ini dan saat ini.
Saya pernah berhadapan dan berbincang dengan orang yang “cukup” Posmo di kantor dan saya menghadapi jalan buntu. Bukannya saya tidak bisa meruntuhkan pandangannya tapi ketika sudah diruntuhkan, lalu apa? Mereka mungkin bisa melihat perbedaan moral saya sebagai orang Kristen dan mereka mengakuinya, bahkan mungkin saja, mereka mengakui saya benar, tapi jujur saja, tampaknya mereka tidak terlalu tertarik. Saya jadi cukup bingung, lah, kog ini jadi saksi Kristus sudah jelas integritasnya, misalnya, tapi toh, tidak bisa menembus orang-orang posmo, mengapa demikian?
Sekali lagi, bagaimana kita melihat hidup penebusan ini akan menentukan kesaksian hidup kita. Di zaman sekarang, kita sebagai orang Kristen seringkali tidak bisa lagi menemukan bahwa hidup kita mempunyai kekuatan yang besar sekali untuk membalikkan realita yang sudah terbalik. Kita tidak punya kemampuan menyaksikan kelimpahan hidup yang integral di dalam seluruh aspek kehidupan manusia baru, suatu kelimpahan hidup yang mampu menantang ide-ide apapun yang muncul di muka bumi ini pada segala zaman. Kita gagal menyatakan kehidupan yang dipimpin Kebenaran. Orang Postmo mencari kelimpahan hidup, dan mereka tidak menemukannya dalam filsafat mereka, seharusnya, kitalah yang dapat menjawab kehausan orang Postmo dalam mencari kelimpahan hidup. Kitalah orang-orang yang dapat membuat mereka tergiur karena kelimpahan hidup yang dipimpin Kebenaran (Yoh.10:10). Namun kita sendiri sekali lagi terjebak dalam zaman kita sendiri. Kita tidak berbeda dengan orang Postmo yang masih meraba-raba dan mencari kelimpahan di luar sana. Iman keselamatan seakan-akan hanya menghantarkan kita kepada kepemilikan tiket ke surga dan tidak bersama kita sepanjang perjalanan ke surga. Itulah kekristenan hari ini! Kita terjebak oleh pemikiran Postmo tentang Kebenaran yang impersonal, Kebenaran yang relatif yang pada akhirnya ditentukan oleh manusia itu sendiri secara subyektif. Sekali lagi, kita gagal untuk tunduk, taat, dan dipimpin oleh Sang Kebenaran. Kita memilah-milah Kebenaran Firman Tuhan mana yang bisa dilakukan, mana yang tidak bisa dilakukan sekarang, dan lain sebagainya. Kita menjadikan Kebenaran Firman Tuhan itu sesuatu yang kita tentukan sejauh mana kebenaran itu berlaku bagi diriku. Kita menjadi tuan atas Firman Kebenaran sambil tidak puas dengan kehidupan kita sendiri. Itulah yang terjadi bukan?
Tuhan menjanjikan kehidupan yang penuh kelimpahan. Kelimpahan ini hanya ada di dalam Kebenaran sejati, tidak ada di tempat lain. Hal ini kita ketahui, tetapi di manakah integritas hidup kita sesuai dengan janji Tuhan yang ini? Suatu integritas kehidupan yang menyeluruh, yang menjadikan Firman Tuhan satu-satunya standard dan absolut dalam kehidupan, dan yang menghidupi janji Tuhan seutuhnya. Itulah kehidupan kekristenan yang sesungguhnya! Di situlah kemerdekaan sejati, di situlah kelimpahan hidup, di situlah kuasa penyertaan Allah kepada manusia untuk men-transform dunia ini dan memberikan jawaban kepada dunia ini.
Mari kita belajar Alkitab baik-baik dan menghidupinya, jangan pernah tinggalkan sisi-sisi yang diungkapkan Alkitab (even hanya secuil), karena betul-betul seperti Pdt Billy dalam ceramah Eight Deadly Thoughts, (NREC 2005), mengatakan, “Kita tidak perlu meminjam dari Modernisme untuk mengetahui kebenaran, atau dari Postmodernisme untuk meningkatkan moral. Alkitab sudah membicarakan segala sesuatu.” Memang tidak perlu. Lebih lebih, kita yang akan rugi sendiri. Mari kita nyatakan dan saksikan bahwa Kebenaran itu real, personal dan hidup melalui kehidupan kita. Soli Deo Gloria.
Kecaplah dan lihatlah, bahwa Allah itu baik!
Endnotes:
[1] Jika kebenaran bukan Pribadi (Person) maka manusia sedang mencari sesuatu yang impersonal untuk memimpin dirinya yang personal. Inilah absurdity yang dilakukan manusia ketika tidak kembali kepada Sang Kebenaran sejati yakni Kristus.
[2] seperti Reformed Barat pada umumnya (kehilangan fighting spirit secara utuh).
Referensi:
Manusia: Ciptaan Menurut Gambar dan Rupa Allah, Anthony Hoekema
Semua kebenaran adalah kebenaran Allah, Arthur F. Holmes
Kotbah “Eight Deadly Thoughts”, Pdt Billy Kristanto (NREC 2005)The Grand Miracle, C.S. Lewis
The Screwtape Letter, C.S. Lewis
Basic of Reformed Faith, David Hagopian
Emerging Hope, Jimmy Long
Grace and Duty of Being Spiritually Minded, John Owen