Ketika mereka di tengah jalan, datanglah beberapa orang dari penjaga itu ke kota dan memberitahukan segala yang terjadi itu kepada imam-imam kepala. Dan sesudah berunding dengan tua-tua, mereka mengambil keputusan lalu memberikan sejumlah besar uang kepada serdadu-serdadu itu dan berkata: “Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur. Dan apabila hal ini kedengaran oleh wali negeri, kami akan berbicara dengan dia, sehingga kamu tidak beroleh kesulitan apa-apa.” Mereka menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka. Dan cerita ini tersiar di antara orang Yahudi sampai sekarang ini. (Matius 28:11-15)
Introduksi
Artikel ini ditulis dalam momen perenungan Jumat Agung dan Paskah. Pada tahun ini (2023), penulis banyak merenungkan mengenai kisah dusta Mahkamah Agama, dan berbagai penyelewengan dalam lingkup agama, hukum, administrasi pemerintahan, dan politik secara lebih luas dalam peristiwa penyaliban Kristus. Tema-tema mengenai otoritas/kekuasaan, kebenaran, interpretasi, dan kesaksian menjadi hal-hal yang direnungkan secara intens oleh penulis.
Lebih jauh lagi, penulis berusaha mengaitkan perenungan dalam konteks saat ini, yakni ketika media, teknologi informasi, dan perkembangan kecerdasan buatan sudah berkembang sedemikian rupa. Tentu artikel ini tidak bermaksud menjelaskan secara sangat mendalam dan dalam kaidah akademis secara ketat. Penulis berharap artikel ini dapat memicu/mendorong agar para pembaca Buletin PILLAR dapat menghidupi lebih sungguh-sungguh panggilan kita dalam keseharian pekerjaan, terutama yang berkecimpung dalam ranah media, teknologi informasi, ataupun sektor publik.
Konteks Penyaliban dan Kebangkitan Kristus
Mengutip khotbah Pdt. Stephen Tong mengenai momen penyaliban Kristus, ada banyak sekali aspek yang “turut serta dan ambil bagian” dalam proses penyaliban Kristus. Aspek-aspek tersebut mencakup aspek hukum, agama, politik, militer, massa/orang banyak, dan alam semesta (nature). Kristus pun tersalib, dan mati. Banyak pihak, terutama orang-orang Farisi, merasa puas akan hasil ini. Lebih jauh lagi, Matius 27 mencatat bahwa orang-orang Farisi juga sangat kalkulatif dan antisipatif. Mereka ingat bahwa Yesus pernah menyatakan bahwa Ia akan bangkit. Orang-orang Farisi tentu tidak percaya akan hal ini. Namun mereka berusaha memastikan agar murid-murid tidak mencuri mayat Yesus. Atas permintaan orang-orang Farisi kepada Pilatus, kubur Yesus dijaga dengan begitu ketat.
Meskipun berbagai usaha keras telah dilakukan, tangan manusia tidak mampu menghentikan pekerjaan Tuhan! Kristus-pun bangkit, sesuai dengan yang kita imani dan pegang teguh. Iman akan kebangkitan Kristus yang juga mampu dipertanggungjawabkan dan diverifikasi secara rasional. Semua aspek yang tadinya “ikut serta” menyalibkan Kristus tidak berdaya untuk menghalangi kebangkitan Sang Juruselamat. Penjaga-penjaga kubur yang tadinya begitu gagah menjadi pucat, ketakutan, dan lari pontang-panting.
Imam-iman kepala dan tua-tua segera bertindak. Uang suap pun keluar dan “memainkan kuasanya”. Kesiapan “tahan badan” untuk menanggapi wali negeri juga sudah dipertimbangkan. Kabar dusta dikumandangkan dan beredar di masyarakat. Kekuasaan agama dan politik kembali menindas fakta dan kebenaran. Seperti kata Pengkhotbah, tidak ada yang baru di bawah kolong langit.
Post Truth Society
Kejadian dimana otoritas pemerintah, kaum bangsawan, atau petinggi bisnis/ekonomi melakukan berbagai manipulasi dan menyebarkan kebohongan bukanlah hal yang baru. Dalam konteks perang misalnya, sering kita mendengar pandangan bahwa “kebenaran akan peristiwa perang akan ditentukan oleh sang pemenang”. Manipulasi semacam ini sudah lama terjadi sebelum perdebatan akademik mengenai “power of truth vs truth of power” digelar. Dalam konteks yang lebih dekat dengan kita, sosok Steve Tesich kerap dinilai sebagai sosok pertama yang mencetuskan ide “post truth society”, suatu kondisi dimana masyarakat secara umum sudah tidak dapat membedakan (dan juga tidak peduli) lagi terhadap kebenaran maupun dusta yang ada dalam masyarakat. Ini juga tentunya sangat sejalan dengan spirit era post-modern dimana sepertinya kebenaran menjadi begitu relatif dan subjektif, sangat bergantung kepada pihak/orang yang melakukan interpretasi.
Penulis juga menjadi teringat akan satu buku yang ditulis oleh George Orwell yang berjudul 1984. Buku ini menceritakan kisah fiksi dimana negara menjadi begitu totaliter, menjadi “penentu kebenaran”, dan menguasai seluruh aspek media & teknologi. Seluruh masyarakat dipaksa tunduk dan mengikuti arahan & prinsip-prinsip yang dinyatakan oleh pemerintah. Tema dan mood buku ini memang kelam dan pesimis. Buku ini bermaksud memberikan peringatan dan menggambarkan secara negatif kemungkinan suatu opsi tatanan masyarakat. Berikut adalah sedikit kutipan singkat dari buku tersebut:
“Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.”
“For, after all, how do we know that two and two make four? Or that the force of gravity works? Or that the past is unchangeable? If both the past and the external world exist only in the mind, and if the mind itself is controllable – what then?”
Hilangnya Kebenaran: Perenungan mengenai Media dan Teknologi
Dalam bagian ini, penulis akan membahas singkat mengenai media dan teknologi. Dalam rangkaian artikel-artikel berikutnya, jika Tuhan pimpin, penulis akan membahas lebih spesifik hal-hal terkait media dan teknologi. Mengenai media, penulis akan sedikit mengutip dan membahas dari filsuf Søren Aabye Kierkegaard. Banyak hal yang menjadi perenungan dan hasil karya dari filsuf eksistensialis ini, namun pemikirannya mengenai media sangat layak untuk dipikirkan dan dikaitkan relevansinya dengan zaman kita sekarang. Dalam hidupnya, Kierkegaard memang pernah mengalami konflik/polemik yang dahsyat dengan satu tabloid bernama The Corsair. Meskipun demikian, kritik dari Kierkegaard mengenai media juga sudah dilontarkan sebelum konflik ini terjadi. Secara ringkas, beberapa poin kritik dari Kierkegaard mengenai media adalah: (i) media menjadi penyetir opini publik, yang secara arah tidak selalu tepat (ii) media cenderung menyorot hal-hal tidak penting, misalkan saja kehidupan selebriti atau hal-hal random dan remeh temeh dalam hidup sehari-hari (iii) media cenderung membuat manusia puas hanya berhenti dalam tahap abstraksi & diskusi, tetapi tidak sampai tahap eksekusi ataupun implikasi konkret terhadap masing-masing pribadi (iv) karena media juga perlu pelanggan, media cenderung menyorot berita yang dapat menarik pelanggan, dan biasanya itu adalah berita buruk, bencana ataupun skandal.
Mengenai teknologi, ada banyak sekali yang bisa dibahas dalam kaitannya dengan kebenaran, ambil contoh saja hal-hal seperti media sosial, berita digital, search engine, big data, kecerdasan buatan, dll. Dalam bagian ini, penulis ingin menyoroti satu aspek kecil dari kecerdasan buatan, yakni deepfake. Bagi pembaca yang mengikuti perkembangan kecerdasan buatan (AI) di tahun 2023, kita tentu setiap hari mendengar perkembangan ChatGPT. Suatu teknologi yang memampukan kita berinteraksi dengan “sang kecerdasan buatan” dan mendapatkan rekomendasi atau jawaban yang luar biasa. Hal ini bisa mengenai pencarian informasi, rekomendasi rute liburan, ide bisnis, bahkan sampai ide pembuatan khotbah dengan gaya khotbah yang bisa disesuaikan! Satu penerapan kecerdasan buatan adalah dalam bentuk video, dimana video bisa dihasilkan dan dimanipulasi sedemikian rupa (deepfake). Sebagai contoh, bisa saja nanti dibuatkan “video palsu” mengenai tokoh pemerintah yang ditangkap tentara, sosok figur publik sedang mencuri di suatu mall elit, atau pendeta yang kedapatan sedang memukuli jemaat. Kualitas video itu akan sangat baik sehingga sulit untuk diverifikasi apakah video itu benar-benar terjadi atau palsu. Hal ini akan membuat kebohongan jauh lebih mudah beredar dan diterima. Berbagai kalangan bisnis, negarawan, petinggi internasional menaruh perhatian dan menyatakan keresahaan akan perkembangan teknologi deepfake ke depan. Karena begitu pesatnya perkembangan kecerdasan buatan dalam melakukan manipulasi video, gambar, dan suara, ada banyak petisi dan rancangan kebijakan untuk menghentikan sementara (misal: 6-12 bulan) pengembangan kecerdasan buatan secara global. Aturan-aturan mengenai syarat suatu produk/fitur kecerdasan buatan bisa diakses oleh publik juga sedang dibuat lebih ketat. Dalam perkembangan terkini, Meta/Facebook adalah satu contoh perusahaan yang menunda dibukanya (production release) fitur manipulasi suara karena khawatir akan resiko dan potensi penyalahgunaan yang begitu besar.
Penutup & Harapan
Saat ini, kita hidup dalam zaman dengan tantangan dan kompleksitas yang tinggi. Lautan distraksi, kebohongan, dan kebisingan terus bergelora. Di tengah situasi seperti ini, kita sebagai orang Kristen memiliki iman kepada Juruselamat yang telah bangkit dari kematian, Sang Jalan, Kebenaran, dan Hidup. Penulis sangat berharap ada sekelompok orang Kristen yang menghidupi prinsip firman, dan dengan anugerah Tuhan, terus memperjuangkan, memberitakan, dan menghidupi kebenaran dalam konteks zaman ini. Penulis juga berdoa agar semakin banyak orang Kristen yang sungguh-sungguh menjadi garam dan terang dalam ranah media, teknologi, dan sektor publik.
Go, tell it on the mountain
Over the hills and everywhere
Go, tell it on the mountain
That Jesus Christ is born
(Go Tell It on the Mountain)
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Editorial PILLAR
Pengasuh rubrik: iman dan pekerjaan (faith & vocation)
Catatan dan eksplorasi lebih jauh
Bagi pembaca yang ingin mempelajari lebih jauh, berikut adalah beberapa rekomendasi selektif dari penulis yang dapat dieksplorasi:
1984 (George Orwell)
https://www.goodreads.com/book/show/61439040-1984
Deepfakes and International Conflict
https://www.brookings.edu/research/deepfakes-and-international-conflict
Dosa dan Kebudayaan (Stephen Tong)
https://www.goodreads.com/book/show/13510274-dosa-dan-kebudayaan
Exclusion and Embrace (Miroslav Volf)
https://www.goodreads.com/en/book/show/9486
Gereja dan Teknologi: Menyimak ramalan Nikolai Berdyaev (Ivan Kristiono)
How an AI Chatbot May Affect Gospel-Centered Ministry
Kierkegaard and Chesterton – Use and Misuse of the Media
Kierkegaard and Social Media (Ivan Kristiono)
Pdt. Stephen Tong – Karya Terbesar 7/9 – Perayaan Paskah Nasional 2005
Post-Truth Society (Arpad Szakolczai)
https://www.goodreads.com/book/show/62336915-post-truth-society
Søren Kierkegaard versus the internet
https://www.abc.net.au/religion/kierkegaard-versus-the-internet/10427724
Teologi Penginjilan (Stephen Tong)
https://www.goodreads.com/book/show/24417406-teologi-penginjilan
Truth: Stanford Encyclopedia of Philosophy