“Where riches hold the dominion of the heart, God has lost His authority. True, it is not impossible that those who are rich shall serve God; but whoever gives himself up as a slave to riches must abandon the service of God; for covetousness makes us slaves of the devil.” Inilah penjelasan yang diberikan oleh Calvin dalam pembahasan ayat Matius 6:24. Ia menggambarkan ketegangan antara perhambaan uang dan pengabdian kepada Allah. Sebuah permasalahan klasik tetapi tetap relevan hingga saat ini. Dalam setiap zaman, perhambaan uang akan selalu kita jumpai. Baik orang miskin maupun orang kaya rentan terhadap hal ini, orang yang kurang terdidik maupun yang pintar, sama-sama dapat terjerat perhambaan ini. Permasalahan uang ini semakin parah di dalam beberapa tahun terakhir. Krisis ekonomi tahun 2008, krisis Eropa, hingga perlambatan ekonomi Tiongkok yang berdampak signifikan dalam kelesuan ekonomi dunia semakin jelas menunjukkan akan kerakusan manusia akan uang. Pengejaran akan keuntungan yang tinggi dengan mengorbankan pihak yang lain bahkan sampai merusak sistem ekonomi dunia, dengan kata lain mengambil kesempatan di dalam kesempitan.
Permasalahan utama bukan di dalam ekonomi itu sendiri, tetapi pada filsafat nilai atau etika yang berada di balik sistem ekonomi tersebut. John E. Stapleford mengatakan bahwa “Economics is obviously about value – the relative worth of the coin to that loaf of bread – But it’s also about values, and it always has been.” Filsafat nilai adalah dasar pemikiran, motivasi maupun semangat yang mengendalikan setiap tindakan ekonomi. Baik di dalam bekerja, berinvestasi, maupun konsumsi, kita sebagai pelaku ekonomi dikendalikan oleh sistem nilai tersebut. Ada beberapa pemikiran filsafat nilai dalam dunia ekonomi:
1. Environmentalism
Pandangan ini dibangun dalam 3 dasar pemikiran: (1) tidak ada yang lebih berharga daripada alam, (2) pertumbuhan penduduk maupun peningkatan dalam konsumsi memeras dunia ini menuju pada kepunahan, (3) dunia ini begitu rapuh. Di satu sisi, mungkin alam akan lebih terjaga sehingga kerusakan alam akan berkurang banyak dalam pemikiran ekonomi seperti ini. Tetapi benarkah dengan penerapan ekonomi seperti ini akan membawa dunia ini ke dalam kondisi yang lebih baik?
Berdasarkan pemahaman ini, maka sistem ekonomi yang terbentuk akan meningkatkan standar dasar produksi serta biaya yang diperlukan. Mulai dari bahan baku yang dengan tidak dengan mudah diperoleh karena sangat selektif, proses produksi yang lebih kompleks, hingga kemasan yang lebih higienis, semua itu akan meningkatkan harga pokok produksi. Dengan kata lain, filsafat nilai ini akan mendorong kenaikan harga barang dengan cukup signifikan. Coba perhatikan harga produk-produk ramah lingkungan yang beredar di pasar, harga yang premium diberikan untuk produk-produk tersebut.
Harga yang premium akan menimbulkan permasalahan lain yaitu kesulitan ekonomi bagi golongan masyarakat kurang mampu. Hal ini akan menimbulkan gap yang semakin tinggi antara golongan ekonomi mampu dan kurang mampu, sehingga problema sosial pun akan semakin kompleks. Selain itu, tujuan menjaga lingkungan dari kerusakan pun masih diragukan karena bahan-bahan yang digunakan tetap harus diambil dari alam. Mereka hendak mengurangi penggunaan alam tetapi dengan cara menggunakan bagian alam yang lain, sehingga alam pun sering kali tetap mengalami kerusakan.
2. Socialism
Ide utama dari pandangan ini adalah prinsip sama rata. Prinsip ini dipercaya mengurangi kesenjangan antara golongan sehingga mencegah pertikaian yang tidak perlu. Di dalam pandangan ini, hak kepemilikan pribadi tidak diperbolehkan karena semua dimiliki oleh bersama dan dikelola oleh pemerintah sebagai penanggung jawabnya. Selain itu, perlakuan sama rata pun diberikan dalam hal kompensasi atau skala gaji pekerja, sehingga pemilik jabatan paling tinggi dengan pemilik jabatan paling rendah akan memiliki gaji yang tidak jauh berbeda, karena prinsip sama rata yang ingin diterapkan.
Masalah kesenjangan sosial mungkin dapat berkurang melalui sistem ini tetapi akan timbul permasalahan sosial lainnya. Stapleford menyatakan, “Communal property rights encourage overuse and abuse of poverty and reward shirking one’s obligations. Private property rights encourage property to be treated as a long-term asset and provide direct link between individual effort and economic return.” Hilangnya tanggung jawab karena ketidakjelasan batasan antara kepemilikan satu dan yang lainnya, sehingga ketidakadilan pun akan terjadi di dalam sistem yang seperti ini. Inilah yang menjadi penyebab hancurnya negara-negara penganut socialism, karena penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah yang memegang kontrol akan perekonomian negaranya.
Masalah berikutnya yang mungkin terjadi adalah hilangnya dorongan untuk bekerja keras karena ketiadaan insentif atau kompensasi dari kerja keras tersebut. Bayangkan apa yang akan terjadi di saat orang yang bekerja keras dan orang yang bermalas-malasan mendapatkan kompensasi yang hampir sama? Bukankah hal ini akan mendorong orang yang malas menjadi semakin malas dan orang yang rajin menjadi malas? Inilah masalah yang akan timbul dalam sistem ini: hilangnya kerja keras dan produktivitas.
3. Capitalism
Penghargaan terhadap kerja keras, itulah yang menjadi dasar dari pandangan ini. Hal ini akan mendorong produktivitas di dalam bekerja. Semakin rajin dan keras kita bekerja maka kompensasi yang kita peroleh pun akan semakin tinggi. Oleh karena itu, tidak heran kalau pandangan ini lebih populer dan dianggap berhasil dibandingkan dengan pandangan lainnya. Kemajuan ekonomi yang pesat dan meningkatnya kesejahteraan hidup adalah dampak positif dari pandangan ini.
Apresiasi yang tinggi terhadap capitalism, tidak menjadikan sistem ini kebal dari dampak negatif. Kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin cukup kentara terjadi, diperkuat dengan gaya hidup yang hedonis dari golongan pekerja kerah putih. Tidak hanya itu, permasalahan kerusakan alam pun cukup santer terdengar karena pengeksploitasian demi mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa kesadaran adanya tanggung jawab moral. Semua ini menjadikan ekonomi pada masa ini terlihat baik dan menjanjikan dalam beberapa periode tetapi begitu buruk dan suram di periode yang lain. Ketimpangan ini dapat terjadi karena kerakusan dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya pada masa ini dan tidak adanya tanggung jawab moral demi masa depan. Yang lebih parah adalah pola berpikir materialisme yang mendorong nafsu para pelaku bisnis untuk semakin lama semakin haus dengan harta dan kekayaan.
Di antara ketiga pandangan ini, kekristenan sering kali diidentikkan dengan capitalism. Tetapi ini adalah pandangan yang salah. Memang di dalam beberapa poin dasar, kekristenan mengajarkan nilai yang mirip dengan capitalism. Nilai mengenai kerja keras, kebebasan, hak kepemilikan adalah beberapa di antaranya. Kegagalan terbesar dari capitalism adalah hati dari para pelaku ekonomi di dalamnya yang condong hanya pada profit dan kekayaan tanpa memedulikan tanggung jawab kepada Tuhan, sesama, dan alam. Performa kerja yang tinggi tanpa disertai etika yang tepat hanya akan menjadi alat penghancur yang bukan hanya menghancurkan orang lain tetapi juga diri sendiri. Sedangkan socialism adalah suatu usaha yang kontradiktif, perjuangan menegakkan akan keadilan tetapi menciptakan ketidakadilan yang bahkan bisa lebih rusak adanya. Memperjuangkan keadilan tanpa kembali kepada etika yang sejati dari Sang Adil itu sendiri tidak akan membuahkan hasil, yang ada hanyalah menciptakan keadilan dengan menggunakan cara yang tidak adil, itulah kontradiksinya. Begitu juga dengan environmetalism yang berusaha untuk memperjuangkan perbaikan lingkungan tetapi tidak menegakkan kembali etika yang benar, hanya akan berakhir pada kesia-siaan.
Reformed Ethics
Salah satu prinsip utama dalam menegakkan etika Kristen khususnya dalam sudut pandang Theologi Reformed adalah dengan melihatnya secara komprehensif dan tidak parsial. Cornelius Van Til menyatakan bahwa reformed ethics harus melihat di dalam ketiga aspek tersebut: goal, standard, dan motive. John M. Frame merumuskannya di dalam 3 perspectives:
1. Normative Perspectives
Normative yang dimaksudkan di sini adalah hukum atau standar yang harus diikuti oleh setiap orang Kristen. Tentu saja apa yang dinyatakan oleh Alkitab menjadi standar bagi hidup kita. Kita harus selalu merefleksikan hidup kita pada apa yang Alkitab ajarkan. Melalui Perjanjian Lama kita belajar bahwa 10 Hukum Taurat diberikan untuk menyatakan keberdosaan manusia dan membawa umat Allah untuk berpegang kepada janji Allah akan Mesias. Melalui Perjanjian Baru kita belajar bahwa kita sudah ditebus oleh Sang Anak Domba Allah yang tersalib, dan melalui-Nya yang telah bangkit kita dituntun dalam pengudusan hidup yang progresif sesuai dengan Hukum Allah. Oleh karena itu, konteks hidup kita saat ini sebagai orang percaya adalah hidup yang harus selalu sinkron dengan Alkitab sebagai standar hidup kita. Di dalam normative perspective, reformed ethics adalah etika yang sesuai dengan hukum yang Allah sudah nyatakan di dalam Alkitab.
2. Situational Perspectives
Etika Reformed tidak hanya berhenti dalam tataran menaati hukum saja, karena reformed ethics bukanlah etika seorang legalis. Perspektif situasional juga menjadi sudut pandang yang harus digumulkan dalam membangun kehidupan yang beretika. Dengan memerhatikan situasi tidak berarti kita mengompromikan kebenaran berdasarkan situasi. Standar tetap kita pertahankan, tetapi konteks pengudusan yang progresif lebih disoroti dalam perspektif ini. Etika kehidupan yang mengarahkan kehidupan saat ini kepada Kerajaan Allah sebagai goal atau etika bertujuan untuk memuliakan Allah. Di dalam perspektif ini kita diajak untuk melihat kehidupan sebagai suatu pekerjaan Allah yang progresif dan berkesinambungan. Kita dipimpin untuk menyadari kehidupan saat ini sebagai struktur yang Tuhan sudah kerjakan sejak masa lampau melalui karya penebusan-Nya, dan juga melihatnya sebagai kehidupan yang sedang diarahkan kepada titik konsumasi di mana segala sesuatu disempurnakan. Inilah kehidupan yang berada dalam paradoks already and not yet. Oleh karena reformed ethics berfokus kepada pekerjaan Allah yang dinamis tetapi juga memiliki kesinambungan dan konsistensi, maka reformed ethics bukanlah etika yang ‘bunglon’ terhadap situasi. Fokus reformed ethics bukan kepada situasi tetapi kepada pekerjaan Allah dalam sejarah.
3. Existential Perspectives
Motivasi termasuk dalam aspek yang penting dalam reformed ethics. Salah satu syarat dalam menilai baik atau tidaknya suatu tindakan adalah dengan memerhatikan motivasi di balik tindakan tersebut. Iman kepada Allah dan kasih terhadap sesama adalah motivasi yang benar dari orang percaya. Oleh karena itu, di dalam perspektif ini kita memiliki tugas untuk melihat kekudusan motivasi hati kita, sehingga perbuatan baik itu bukan hanya terlihat dari sisi eksternal saja tetapi secara motivasi dalam diri pun (internal) murni di hadapan Tuhan. Existential perspectives berbeda dengan etika ‘asal motivasi baik’. Sebagaimana pohon yang baik pasti menghasilkan buah yang baik, maka motivasi yang benar akan menghasilkan tindakan benar yang memuliakan-Nya dan sesuai dengan kehendak-Nya.
Reformed Ethics on Economy
Membangun ekonomi yang Alkitabiah dimulai dengan membereskan apa yang menjadi core dari ekonomi itu sendiri yaitu etika. Salah satu yang banyak dilupakan dalam mempelajari ekonomi pada saat ini adalah relasi yang erat antara pembelajaran ekonomi dan pembelajaran etika. Kalau kita telusuri dengan baik, para pemikir bidang ekonomi pada zaman dahulu adalah tokoh-tokoh yang menuangkan pemikirannya juga dalam bidang etika. Bahkan untuk memahami dengan baik akan tulisan Adam Smith mengenai ekonomi, kita perlu dengan baik mengerti akan pemikirannya dalam bidang etika. Oleh karena itu, menegakkan kembali etika dalam dunia ekonomi sangatlah penting. Maka, untuk menerangi bidang ekonomi dengan kebenaran firman Tuhan, kita perlu dengan ketat menegakkan prinsip etika yang kuat berakar pada Alkitab.
Situational Perspective: Worship the Triune God vs. Idolatry
Seluruh alam semesta diciptakan untuk kemuliaan Allah, karena hanya Allah Tritunggal yang layak untuk disembah dan dimuliakan. Di saat kita memuliakan Allah berarti sedang membina relasi pribadi dengan-Nya. Hal ini berarti kita mengakui, memuji, berkomunikasi, dan tunduk kepada-Nya. Setiap aktivitas yang kita lakukan, termasuk dalam aktivitas ekonomi, harus kita lakukan demi kemuliaan Allah. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang dunia ini kejar yaitu kekayaan. Di saat kita menetapkan mamon sebagai tujuan akhir kita maka sudah jelas seluruh hidup kita bukan hamba Tuhan tetapi sudah menjadi hamba mamon. Kita perlu kembali mengevaluasi akan setiap aktivitas ekonomi yang terjadi di sekeliling kita, sudahkah aktivitas tersebut bertujuan untuk memuliakan Tuhan, atau justru untuk pengejaran akan materi? Dari pagi sampai dengan malam hari kita bekerja, triliunan USD diputar setiap harinya di sektor keuangan maupun sektor riil, jutaan transaksi terjadi setiap harinya, apa yang sedang dikejar dari semua ini? Mayoritas semua dilakukan hanya untuk mengejar profit yang sebesar-besarnya dan menggunakannya untuk kesenangan diri. Tetapi Alkitab mengajarkan untuk kita melakukan semuanya itu untuk kemuliaan Tuhan. Prinsip ini kontras berbeda dengan capitalism yang berjalan saat ini, yang mendorong setiap pelaku ekonomi untuk mengejar kekayaan bukan untuk kemuliaan Tuhan. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau dunia ini semakin hari semakin dirusak oleh keserakahan manusia demi kekayaan sebesar-besarnya. Tetapi sebagai orang percaya, kita harus membawa kembali semangat yang benar, marilah kita sedikit demi sedikit mencoba untuk memikirkan, menggumulkan, dan membangun sistem ekonomi yang menempatkan kemuliaan Allah sebagai tujuannya.
Normative Perspective: Image of God and Stewardship
Selain semua dipersembahkan untuk kemuliaan Tuhan, etika Kristen pun menekankan akan siapa dan apa peranan kita di dalam dunia ini. Sebagai gambar dan rupa Allah, kita harus menyadari bahwa kita berada di dalam dunia ini untuk merefleksikan akan siapa Allah, maka setiap hal yang kita kerjakan harus sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. Sebagai puncak ciptaan Allah, kita tetap harus menyadari bahwa seluruh dunia ini adalah milik Allah dan peranan kita adalah untuk menggarapnya dan mengembalikannya untuk kemuliaan Tuhan. Prinsip ini mengajarkan kita bahwa manusia adalah wadah dari kebenaran yang bertugas untuk menjalankan setiap kebenaran yang ia peroleh dari Allah dalam menggarap dunia ini. Oleh karena itu, ekonomi yang Alkitabiah adalah ekonomi yang dijalankan berdasarkan mandat dan hikmat Allah, bukan berdasarkan keinginan dan hikmat manusia yang bodoh dalam menggarap alam ini. Kesadaran bahwa alam ini adalah titipan Tuhan menjadikan manusia bertanggung jawab dalam menggunakannya. Dengan menggunakan hikmat Allah, manusia dapat dengan bijaksana menggunakan alam ini untuk kepentingan umat manusia. Berbeda dengan environmentalism, di dalam kebenaran kita menggarap alam untuk kesejahteraan manusia dan di dalam konsep stewardship kita bertanggung jawab menggunakan alam ini. Yang utama adalah mandat dan hikmat Allah dalam menggarap alam, bukan alam itu sendiri.
Existential Perspective: Justice, Righteousness and Fairness
Berbeda dengan socialism yang berusaha untuk menegakkan keadilan tetapi berujung pada ketidakadilan. Etika Kristen membangun ekonomi dengan motivasi yang berdasarkan justice, righteousness, dan fairness. Justice berarti setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang diusahakannya, sedangkan righteousness berarti melakukan sesuatu secara benar dan memikirkan dampaknya secara komunal, serta fairness adalah setiap orang mendapatkan haknya yang sama sebagai manusia. Di dalam konsep ini maka setiap orang akan tetap bekerja keras dan mendapatkan kompensasi sesuai dengan usahanya karena adanya prinsip justice. Tetapi di sisi lain, usaha yang ia lakukan pun tidak boleh usaha yang egois tetapi memikirkan juga prinsip righteousness dengan melihat dampak dari usahanya serta memikirkan kepentingan orang lain juga, sehingga jangan sampai keuntungan yang ia peroleh didapatkan melalui kerugian orang lain. Dan di sisi yang lain, berdasarkan prinsip fairness kita membangun sistem ekonomi yang melibatkan setiap orang di dalamnya, karena setiap manusia berhak dan harus diberikan kesempatan untuk menjalankan aktivitas ekonomi bukan demi mendapatkan profit semata tetapi juga untuk berbagian dalam melayani dan memuliakan Tuhan melalui dijalankannya prinsip fairness tersebut. Melalui ketiga prinsip inilah maka keadilan yang benar dan sejati dapat dijalankan dengan tepat dan sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.
Ketiga prinsip ini hanya beberapa prinsip yang dipaparkan untuk mengontraskan etika yang Alkitab tawarkan, khususnya dalam sudut pandang Theologi Reformed, dengan filsafat nilai yang dunia ini tawarkan. Masih begitu banyak prinsip etika Kristen yang diajarkan Alkitab serta sudut pandang yang juga diberikan oleh firman Allah tersebut. Tetapi biarlah melalui beberapa prinsip yang sederhana ini kita menyadari krusialnya Theologi Reformed dalam menjalankan mandat budaya untuk membangun masyarakat yang memiliki budaya yang sesuai dengan kebenaran dan memuliakan Allah.
Simon Lukmana
Pemuda GRII Bandung
Referensi:
1. John E. Stapleford, Bulls, Bears & Golden Calves: Applying Christian Ethics in Economics (Downers Grove, IL: Inter Varsity Press, 2002).
2. David E. Hall & Matthew D. Burton, Calvin and Commerce (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2009).
3. John M. Frame, The Doctrine of Christian Life (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing, 2008).