Pagi itu saya mendatangi sebuah TK di mana teman gereja saya bekerja. Tentunya kedatangan saya ke sana bukanlah untuk mengajar melainkan menjadi dokter gigi pengganti untuk memeriksakan gigi anak-anak yang bersekolah di situ. Bagi saya yang masih berkuliah di tingkat akhir, tentunya keahlian saya tidak pantas dibandingkan dengan dokter-dokter gigi yang papan namanya terpampang di sepanjang jalan. Namun, ketelitian saya tidak akan berbeda jauh jika saya dipekerjakan hanya untuk memeriksa gigi dan mendiagnosa gigi mana saja yang perlu ditambal atau dicabut. Maka pagi itu saya berdiri dengan penuh percaya diri, menyapa guru-guru di sana, kemudian mulai duduk dan mengeluarkan perlengkapan senjata saya.
Di depan ruang kelas, anak-anak terlihat berbaris dengan manis. Namun tak jarang senyuman beberapa dari mereka mulai berubah menjadi apatis saat diminta untuk membuka mulutnya. Tetapi yang lebih sering terjadi, mereka langsung berbicara akrab dengan saya, dan dengan semangatnya mereka langsung membuka mulut lebar-lebar saat saya ingin mulai memeriksa. Bahkan beberapa dari mereka mulai bercanda-canda dan memanggil saya seakan-akan saya adalah orang lama yang berada di sana. Namun situasi dalam kelas itu mulai berubah ketika salah satu orang tua murid ikut mendampingi anaknya dan mulai bertanya-tanya dengan kritis. Beberapa pertanyaan tentang gigi dan sekitar mulut mampu saya jawab dengan lantang, tapi kemudian ibu itu mulai bertanya tentang penyakit hepar. Maka perlahan saya mulai kehilangan suara bahkan mendadak menjadi tuna wicara ketika ia mulai bertanya dengan detail mengenai hepar. Seringkali kalimat yang terlontar dari bibir saya hanyalah pengetahuan umum tentang kedokteran yang saya paparkan demi menenangkan hatinya, dan di dalam hati saya terus berharap ia tak bertanya lagi lebih jauh. Sampai akhirnya anak-anak yang mengantri di depan mulai tak sabar untuk masuk, nah saat itulah saya terselamatkan dari serbuan pertanyaan ibu tersebut.
Namun, sungguh kejadian itu begitu memalukan buat saya! Sekalipun dalam ruangan itu hanya berisi saya, ibu itu, dan anaknya, saya mulai terus bertanya-tanya apakah saya pantas disebut dokter? Sekalipun saya memang dokter gigi, pasien saya kelak tidak hanya berpenyakit gigi bukan? (sekalipun pasti tujuan utama mereka datang ke saya adalah untuk itu). Maka dalam termenungnya saya, jemari saya mulai bermain-main dengan pensil dan kertas. Goresan pada kertas dimulai dengan lingkaran pada bagian atas, mulai menuju ke bawah membuat dua garis sejajar yang tidak terlalu jauh jaraknya. Dengan lekukan di sana-sini dan arsiran putus-putus, mulailah terlihat gambar satu sosok tubuh seorang manusia. Kemudian di saat akhir, saya membuat empat buah garis di dalam lingkaran pertama yang sudah saya bagi menjadi tiga bagian. Dua garis di sepertiga atas, satu di sepertiga tengah dan satu lagi saya letakkan di sepertiga bawah. Itulah tubuh manusia ciptaan saya dalam sebuah kertas, gambaran yang sangat tidak sempurna bila dibandingkan dengan manusia sebenarnya.
Manusia yang dikatakan sebagai image of God yang diciptakan Tuhan dengan sungguh amat baik karena Allah sendiri adalah sempurna adanya. Seluruh anggota di dalam tubuh diciptakan dengan begitu uniknya. Tidak ada satu pun yang sama dan masing-masing diperlengkapi dengan makna, tujuan, dan tugas istimewa. Tidak banyak memang Alkitab menceritakan tentang kesempurnaan tubuh manusia pada masa creation. Akan tetapi saya yakin dengan mata iman bahwa segala hal yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia, segala yang dari Allah, itulah kesempurnaan sejati. Sedangkan dalam ketidaksempurnaan saya menggambar manusia di selembar kertas ini, garis terakhir yang saya gambarkan sebagai finishing adalah mulut. Mulut inilah yang akan menentukan raut muka manusia yang saya gambar ini sedang senang, sedih, atau marah. Terkadang dengan keisengan saya, saya tambahkan lekukan kecil sebagai lidah yang sedang menjulur tanda muka meledek. Tapi di manakah gigi? Bahkan saya tak pernah menggambarnya setiap kali saya menggambar tubuh manusia secara utuh. Saya lebih suka menyelipkannya di balik tarikan bibir yang saya lukis. Tetapi justru mengenai gigi inilah saya menghabiskan waktu saya untuk mempelajarinya selama bertahun-tahun. Salah satu bagian tubuh yang bahkan mungkin tak akan pernah selesai saya pelajari, karena ketelitian gigi dalam satuan milimeter harus saya pertanggungjawabkan setiap kali saya mengerjakan perawatan saluran akar gigi. Tetapi mengapa di balik segala kebanggaan saya yang mampu bekerja secara terperinci, di saat yang sama, saya menjadi begitu bodoh. Karena ketika pandangan saya terpusat pada gigi, maka keberadaan mata yang terletak di sekitar mulutpun tak mampu saya pandang dengan jelas, apalagi hepar!
Thomas Kuhn dalam bukunya “Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains” mengungkapkan bahwa suatu masyarakat spesialis sains akan melakukan segala yang mungkin untuk menjamin kesinambungan tumbuhnya data-data yang terkumpul sehingga ia dapat memperlakukannya dengan presisi dan rinci. Dalam proses itu, masyarakat tersebut akan menderita kehilangan. Seringkali beberapa masalah lama harus dihilangkan. Selain itu, revolusi sering mempersempit ruang lingkup perhatian profesional masyarakat itu, menaikkan tingkat spesialisasi, dan mengurangi komunikasi dengan kelompok lain, baik ilmiah maupun awam. Meskipun kedalaman sains tumbuh dengan pasti, keluasannya bisa jadi tidak tumbuh seperti itu. Jika tumbuhnya sama, keluasan itu terutama terwujud dalam bertambah banyaknya keahlian khusus, bukan dalam ruang lingkup keahlian khusus tersendiri. Namun meskipun terjadi kehilangan ini atau yang lain pada masyarakat individual, sifat masyarakat demikian menyajikan jaminan yang sesungguhnya bahwa baik daftar masalah yang dipecahkan oleh sains maupun presisi pemecahan masalah individual yang akan tumbuh dan tumbuh.1
Maka kini jika para dokter gigi kembali menoleh pada ukiran sejarah manusia, sebenarnya ilmu kedokteran gigi sudah terspesialisasi sejak awal. Bahkan pada zaman Mesir kuno, tindakan medis sudah senantiasa terpisah-pisah sehingga seorang ahli medis hanya mengatasi penyakit pada satu organ saja.2 Hal ini semakin dinyatakan dengan jelas pada perkembangan zaman Renaissance sampai kepada modern dentistry saat ini. Zaman Renaissance yang terkenal dengan semangatnya menyuarakan bahwa manusia adalah pusat alam dan menitikberatkan rasio sebagai satu-satunya perangkat untuk memahami kebenaran. Maka dengan semangat inilah Allah yang pada dasarnya adalah The Absolute Truth, perlahan dengan pasti mulai digeser. Pada abad selanjutnya, modern dentistry sangat berkembang pesat di Eropa khususnya Perancis dan Inggris. Dan negara Inggris inilah yang kemudian melahirkan bapak modern dentistry yaitu Pierre Fauchard, yang lahir di Brittany pada tahun 1678. Ia mengembangkan instrumen dan kemampuan teknikal yang dibutuhkan dalam perawatan gigi berdasarkan pengetahuan yang dia dapatkan. Ia juga mencetak buku ‘The Surgeon Dentist’ yang dipublikasikan pada tahun 1728; buku yang membahas teknik-teknik dalam pembedahan. Kemudian segala aspek dari praktek dental ia tampilkan di dalam bukunya seperti restorative dentistry (penambalan), prosthodontics (gigi tiruan), oral surgery (bedah mulut), periodontics (ilmu jaringan pendukung gigi), dan orthodontics (kawat gigi).
Pada abad ke-19, bersamaan dengan munculnya berbagai complicated disease dan berbagai macam infeksi berbahaya, hadirnya complicated treatment kian mendesak. Sehingga pada tahun 1840, Horace Hayden dan Chapin Harris berinisiatif mendirikan sekolah kedokteran gigi yang pertama the Baltimore College of Dental Surgery, dan mempelopori the Doctor of Dental Surgery (DDS) degree. Sekolah ini pada akhirnya bergabung dengan University of Maryland School of Dentistry pada tahun 1923. Namun setelah itu suatu pergolakan hebat terjadi saat pertengahan abad ke-20. Saat itu 22.000 dokter gigi dikirim untuk melayani di perang dunia kedua. Dan tepat setelah perang dunia berakhir, Presiden Harry S. Truman menandatangani berdirinya National Institute of Dental Research yang kemudian nama ini diubah menjadi National Institute of Dental and Craniofacial Research (NIDCR) pada tahun 1998. Sejak pendirian lembaga penelitian inilah penggunaan mikroskop cukup pesat berkembang. Pendeskripsian gambaran anatomi lebih detail dan membuat modern dentistry makin berkembang di dalam wilayah eksperimental.3 Sebenarnya, sejak saat itulah, modern dentistry mulai menuruni tangga abstraksi perlahan-lahan demi menemukan unsur ultimat pada gigi manusia. Dimulai dari mengamati tubuh, berjalan ke arah rongga mulut, menganalisa gigi, menerobos dentin bahkan menyusup sampai tubulus dentin yang pergerakan hidrodinamiknya mampu menyebabkan rasa sakit. Maka di dalam menuruni tangga ini satu persatu, modern dentistry berupaya mendefinisikan hubungan-hubungan yang ada dengan memeriksa obyek-obyek yang terkait. Maka sesungguhnya hal ini tidak lain adalah dibayangi oleh filsafat Aristoteles. Suatu filsafat dengan satu presuposisi dasar bahwa segala sesuatu berada dalam proses bergerak antara potensialitas murni (materi) dan aktualisasi murni (penggerak yang tidak digerakkan). Penggerak yang tidak digerakkan tidak lain adalah jiwa kekal yang impersonal atau bentuk yang intelligible dari dunia.4
Inilah dasar Fall dari modern dentistry dan sains yang lain. Ketika yang kecil mencoba untuk mendefinisikan yang besar, ketika yang relatif mencoba mencari kebenaran secara mandiri di atas Sang Absolut yang adalah self-contained God, dan saat yang impersonal berusaha menaungi yang personal, maka pada akhirnya mereka hanyalah akan menemukan kesia-siaan yang pada dasarnya kosong. Maka tidak heran bagi kami mahasiswa yang sedang praktek mengejar gelar profesi dengan berbagai tuntutan requirement seringkali kehilangan arah. Semua teori yang kami pelajari hanyalah kumpulan-kumpulan data yang akan kami refresh saat ujian tiba. Bahkan tak jarang, manusia yang kami layani mulai kami anggap impersonal karena practical detail dalam mengatasi permasalahan gigi seringkali kami anggap hanyalah objek semata. Teknik mencabut gigi anak-anak dengan cepat tanpa rasa sakit seringkali menjadi tujuan, tanpa kami tahu, untuk apa melakukan itu semua. Maka sesungguhnya di balik semua ini, filsafat pendidikan fungsional-lah yang telah menelan sistem pendidikan konseptual. Saat anak-anak berada di bangku pendidikan, mereka kian didesak untuk berfungsi secara maksimal menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dianggap dalam bentuk impersonal. Sehingga hasil akhirnya seringkali hanya kekosonganlah yang didapat. Karena bagaimanakah pendidikan dapat berfungsi dengan baik, jika tidak mengetahui konsep di belakangnya?
Lalu pertanyaannya sekarang, bagaimana kita me-redeem modern dentistry atau bahkan dunia akademis di tengah kefasikan dan kelaliman manusia yang menekan kebenaran Allah? Tentunya tidak ada jalan lain, selain kita harus kembali pada presuposisi dasar bahwa “In the beginning God created the heavens and the earth” (Kej. 1:1). Karena apa yang dapat kita ketahui tentang Allah telah nyata bagi kita, sebab Allah telah menyatakannya kepada kita. Apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga kita tak mampu berdalih (Rm. 2:19-20). Sebaliknya natur manusia berdosa terus berusaha menginterpretasikan realita bagi dirinya sendiri. Bahkan manusia seringkali menjadi penentu di mana letak Allah di dalam alam semesta.5 Maka Calvin dengan tegas mengatakan bahwa perjuangan akan kehendak manusia merupakan satu-satunya alternatif menciptakan impersonal total. Kita, manusia berdosa ini berbuat seolah-olah kita penuh hikmat menginterpretasikan ciptaan Sang Personal, maka sebenarnya kita hanyalah manusia bodoh (Rm. 2:22).
Lalu apakah ini merupakan kebodohan yang serupa ketika saya tak mampu menjawab pertanyaan mengenai hepar? Saya yang seakan-akan penuh hikmat mampu menguasai gigi dan sekitarnya. Tapi sesungguhnya saya bodoh memandang gigi dan teorinya sebagai kebenaran dari Allah. Bodoh karena tidak memahami kebenaran yang pada awalnya Allah tanamkan dalam tubuh seorang manusia. Mengenai konsep tubuh, Alkitab menuliskan dengan detail sebagai metafora tubuh Kristus, yaitu Gereja. Pada mulanya Tuhan memang menciptakan tubuh dengan banyak anggota, tidak hanya dengan satu anggota saja. Masing-masing anggota memiliki fungsi masing-masing, yaitu telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, mata untuk melihat, dan selanjutnya. Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Maka andaikata semuanya adalah satu anggota, di manakah tubuh? Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh (1Kor. 12:18-20).
Maka sesungguhnya di atas itu semua, yang menaungi satu tubuh dengan banyak anggota ini adalah karena Sang Pencipta dunia ini adalah Allah Tritunggal. Allah yang bukan hanya satu atau jamak, melainkan Allah yang satu dan jamak. Seperti halnya rencana Allah adalah rencana satu-dan-banyak yang personal, karena naturnya adalah satu-dan-banyak. Multifoldness Allah terlihat di dalam kemajemukan artibut-Nya, pemikiran-Nya, dan rencana-Nya. Tetapi hal ini terlihat khususnya di dalam ketiga Pribadi Trinitas. Tidak ada satu hal pun di dalam pribadi-pribadi tersebut yang bukan merupakan kesatuan Ilahi yang tidak secara penuh mengekspresikan Pribadi-Pribadi tersebut. Di dalam Allah, semua satuan disatukan secara penuh, dan semua kesatuan ini dinyatakan secara penuh di dalam detail-nya. Sesungguhnya keesaan Allah adalah satu kesatuan dari kekayaan natur-Nya, dan kekayaan Allah adalah self-contained God, kekayaan dari karakter-Nya yang seragam. Namun kemudian Van Til kembali mengingatkan bahwa Trinitas bukanlah pemersatu dari kesatuan abstrak dan satuan abstrak hingga pada akhirnya bisa bermakna. Keduanya tetap tidak dapat disatukan secara bermakna. Demikian juga Trinitas tidak menunjukkan kepada kita bagaimana pengetahuan manusia akan dunia ciptaan bisa lengkap jika berdasarkan presuposisi-presuposisi theistik. Tidak, manusia tidak mungkin mengetahui secara lengkap, titik.6
Kini di balik segala misteri Allah Tritunggal, beranikah kita me-redeem dentistry serta dunia akademis lainnya? Dengan memandang gigi sebagai bagian dalam tubuh yang jamak adanya, namun ia pun adalah anggota tubuh secara utuh. Jika benar saat ini kita sedang memegang bendera Allah kita yang adalah Allah Tritunggal yang berpribadi dan absolut adanya, beranikah kita senantiasa berperang menerangi dentistry? Jika ya dan benar, maka sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengerti secara benar apa yang menjadi kebenaran absolut Allah di dalam dentistry. Dan tentunya dengan kesadaran penuh memandang tubuh sebagai suatu kesatuan utuh dengan panggilan jelas sebagai dentist. Artinya, dengan menjadi dentist kita bukanlah dipanggil untuk hanya mengerti gigi saja, melainkan senantiasa membuka diri kita untuk melihat secara luas. Bagaikan mata yang selalu melihat kepada sesuatu yang fokus dan pada saat yang sama dia juga melihat banyak hal di sekitar fokus tersebut. Marilah kita sebagai akademisi modern berani membuka wawasan kita seluas mungkin dan sekaligus mendalami panggilan kita setajam mungkin. Maka, dengan mengenal Allah Alkitab, Allah Tritunggal dengan benar, kita para cendekiawan Kristen dipanggil untuk menghidupinya dengan hati yang mau belajar berjuang untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatan di tengah zaman yang bengkok ini melalui bidang kita masing-masing. Perjuangan menyatakan Allah Tritunggal, Allah yang kita imani melalui seluruh hidup kita, termasuk bidang studi kita. Biarlah segala kemuliaan kembali hanya kepada Allah. Soli Deo Gloria.
Rebecca Puspasari, Megafuri, Naomi Paramita, Noviany, Wawan Rusdi
REDS – Dent
1. Kuhn, Thomas.1993. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
2. www.sadanet.co.za/dhw/history/etruscan.html.
3. Carranza, Fermin. 1996. Clinical Periodontology. Saunders: Philadelphia
4. Hoffecker, W. Andrew (Ed).2006. Membangun Wawasan Dunia Kristen Vol 1: Allah, Manusia dan pengetahuan. Surabaya: Momentum
5. Berkhof, L dan Van Til, C. 2004. Dasar Pendidikan Kristen. Surabaya: Momentum
6. Frame, J.M. 2002. Cornelius VanTil: Suatu Analisis Terhadap Pemikirannya. Surabaya: Momentum