Signifikansi dan Cakupan Integritas
Seorang peneliti harus berintegritas. Tanpa integritas, apa yang dia kerjakan bisa dengan mudahnya dibuktikan salah oleh orang lain jika ia tidak bisa mengulang hasil penelitian orang pertama. Masalahnya, jika ada profesor terkenal yang memalsukan data namun tidak terdeteksi, maka hasil kerjanya akan tetap dianggap benar sampai ada orang yang menemukannya. Apakah Anda tidak merasakan besarnya masalah jika orang yang tidak berintegritas memegang popularitas tinggi dan bisa menipu seluruh dunia akademis?
Kasus penemuan kecurangan dalam bidang riset kuantum komputer topologi baru-baru ini adalah satu contoh besar di mana integritas sangatlah diperlukan dan setidaknya masih dihargai. Yang melakukan kesalahan bukanlah sang bos besar yang memimpin seluruh penelitian, namun dampak dari manipulasi data yang dilakukan bawahannya harus menyeret namanya sampai dia harus mundur saat ini. Saat ini, namanya sudah dibersihkan dari “tidak berintegritas” menjadi sekadar “kelalaian”. Apakah integritas yang dipertanyakan di sini? Artinya profesor besar ini tidak betul-betul membaca pekerjaan anak buahnya dan percaya saja akan hasilnya, terutama karena klaim yang sedang dibangun sangatlah keren dan adalah sesuatu yang sedang dinanti-nantikan. Artinya, profesor tersebut tidak curiga dengan data yang dipaparkan oleh anak buahnya. Kasihan ya? Yang tidak jujur anak buahnya, lalu bosnya yang menanggung luka paling besar.
Integritas yang lebih terkesan trivial lagi adalah tentang kejujuran melaporkan kesalahan. Setiap orang tidak suka terlihat salah, maka biasanya akan berbohong untuk menutupi kesalahannya sebisa mungkin. Jika seseorang merusak alat penelitian, seharusnya kita jujur menjelaskan segala duduk perkaranya. Hanya saja, realitasnya tidaklah seperti itu. Ada beberapa lapis kejujuran di sini. Lapisan paling bawah, dalam level pekerja, biasanya tidak jujur karena takut dilihat jelek dan tidak kompeten. Dalam level murid, biasanya tidak jujur bercerita karena juga takut terlihat jelek dan tidak kompeten. Dalam level supervisor, biasanya tidak jujur karena memikirkan dampak legal yang akan dihadapinya (bisa jadi kena pidana jika suatu kesalahan berujung pada kebakaran fasilitas).
Integritas di sini juga mencakup integritas dalam rutinitas peneliti tersebut. Misal seseorang adalah peneliti yang melakukan eksperimen. Integritas peneliti dinilai jika orang tersebut tekun menjalankan prosedur penelitian atau tahapan penelitian yang bisa saja sebenarnya ditetapkan oleh dirinya sendiri. Maksudnya, tidak ada organisasi yang menentukan apa yang harus dilakukan seorang murid doktoral saat meneliti. Biasanya murid tersebut yang menentukan langkah penelitiannya sendiri dan disetujui oleh dosen pembimbing. Apakah murid tersebut tekun melakukan langkah yang sudah disetujui bersama tersebut? Akankah dia mau memotong waktu dengan melompati langkah-langkah yang dia anggap membosankan? Lagi-lagi jika Anda adalah seorang yang lugu dalam sains, Anda akan mengatakan, “Lo, bukannya sains itu sifatnya saling uji? Kan nanti ada yang menguji hasil kerja orang tersebut dan akhirnya toh ketahuan kalau dia salah?” Lagi-lagi jawab saya, “Tidak semudah itu, Ferguso!” Tidak semua orang punya waktu dan niat untuk menguji apakah hasil tesis seseorang itu sahih atau tidak. Faktanya, banyak hasil tulisan akademis yang bernilai buruk bahkan tidak punya nilai sama sekali. Tidak ada yang peduli dengan hasil karya tersebut, tidak ada yang membacanya. Hanya penulis dan dosen pembimbing, dan Tuhan yang tahu apa yang tesis itu hendak katakan. Setelah lewat waktu beberapa lama, akhirnya hanya Tuhan yang tahu apa isi tesis tersebut. Murid dan dosen pembimbing tersebut pun sudah lupa. Jadi? Jika tesis itu dikerjakan tanpa integritas, apa jadinya jika suatu saat ada murid lugu yang membacanya dan menjadikannya dasar penelitian? Murid itu akhirnya membuang waktu sendiri dengan suatu karya yang tidak bernilai.
Selanjutnya, integritas peneliti dapat dinilai dari apakah dia jujur dalam mengakui hasil karyanya. Mungkin di Indonesia sering terdengar jika dosen memublikasikan hasil kerja muridnya seakan-akan itu menjadi kerja utama dosen tersebut. Kalau di luar negeri, yang sering terjadi adalah ada orang yang namanya tersempil dalam suatu karya penelitian karena suatu politik tertentu dalam sebuah proyek penelitian. Intinya, ada orang yang namanya disematkan pada suatu karya tanpa sungguh-sungguh tahu akan karya tersebut. Apakah Anda terima jika namanya di situ tanpa mengerjakan karya itu? Biasanya tergantung di mana karya itu terbit. Jika terbit di jurnal bergengsi tentu orang akan “diam” saja membiarkan namanya ada di situ. “Mumpung!” Kalau ada orang yang meminta namanya dikeluarkan karena dia tidak merasa mengerjakan hal itu, maka orang tersebut bisa dikatakan berintegritas.
Kristus & Anugerah
Apa yang saya jabarkan di atas hanyalah sebagian kecil dari konsep integritas di dalam penelitian. Tetapi, bukannya orang non-Kristen pun dituntut demikian? Buat apa perlu Kristus? Jika Anda berpikir demikian, mungkin Anda harus belajar lagi tentang doktrin dosa. Justru Anda harus kasihan jika orang non-Kristen dituntut berintegritas dalam mereka bekerja, meneliti, dan sejenisnya. Hanya anugerah Tuhan semata yang dapat menahan kejahatan setiap orang. Lebih parahnya lagi, setiap orang tidak sadar kalau dia bisa sejahat itu dan menganggap dirinya cukup baik.
Jika meneliti sains adalah seperti bertanya kepada Tuhan apa yang Dia kerjakan, maka sebenarnya apa yang dikerjakan peneliti yang tidak percaya Kristus? Mereka bertanya kepada Allah yang sama, bahkan mereka bisa mendapatkan jawaban yang lebih tepat daripada peneliti Kristen. Apa untungnya menuhankan Kristus? Justru saya melihatnya terbalik. Jika tidak ada anugerah Tuhan yang menopang integritas dari suatu penelitian, maka sia-sia si peneliti kondang tersebut bekerja.
Seorang atheis mungkin berkata bahwa dia tidak perlu Tuhan untuk berbuat baik atau berintegritas. Jawab saya adalah, “Jika saya bukan Kristen, saya tidak bisa percaya pekerjaan Anda. Apa yang bisa menjamin saya bahwa pekerjaan Anda tidak ada tipu-tipu sedikit-sedikit?” Nyatanya, seluruh pekerjaan dalam sains itu mengasumsikan hal yang paling dasar yang harus dilakukan yaitu bekerja dengan integritas. Apa jadinya jika teknisi akselerator CERN di Jenewa tidak berintegritas melaporkan kesalahannya? Mungkin bisa meledak.
Jadi, supremasi Kristus bisa dilihat dari hal-hal yang terkesan trivial namun jelas memerlukan Kristus di dalamnya, seperti integritas ini. Tidak perlu mengeklaim bahwa hukum sains itu ditemukan di dalam Alkitab. Tidak perlu memaksakan klaim sains menggunakan Alkitab. Alkitab itu sendiri akhirnya menyaksikan dirinya menjadi dasar dari segala sesuatu karena memang Pribadi Kedua Tritunggal itulah yang menopang seluruh semesta ini.
Setelah artikel ini, saya akan membahas supremasi Kristus dalam sains: Tentang Sebuah Cerita.
Sandy Adhitia Ekahana
Pengurus MRII Swiss