William Bradford adalah salah satu tokoh kekristenan yang paling berpengaruh di sejarah Amerika. Namun, kebanyakan orang Kristen jarang mendengar nama tersebut. Kita mungkin lebih sering mengenal nama-nama seperti Jonathan Edwards, George Whitefield, dan Billy Graham yang memelopori gerakan penginjilan besar di Amerika. Walaupun demikian, pengaruh Bradford sangatlah penting bagi sejarah Amerika. Tanpa dia, mungkin kita tidak akan pernah mendengar nama-nama besar kekristenan yang sudah disebutkan sebelumnya. William Bradford adalah orang Puritan pertama yang memimpin sekelompok orang Inggris imigrasi ke benua Amerika Utara, yang pada saat itu disebut sebagai Dunia Baru (New World). Bradford bersama rekan-rekan lainnya tinggal di sana sebagai koloni baru dan menetapkan daerah itu sebagai Inggris Baru (New England). Siapa sangka keberanian Bradford ini menjadi awal dari era baru kekristenan yang berpindah dari benua Eropa ke Amerika.
Latar Belakang
Aksi imigrasi Bradford bersama koloni Inggris ini bukanlah tanpa sebab. Pada pertengahan abad ke-16, di kota Plymouth, Inggris, sebagian orang Puritan menginisiasi suatu gerakan yang ingin terbebas dari ikatan Gereja Anglikan. Salah satu argumentasi mereka adalah Gereja Anglikan masih setengah hati di dalam menegakkan semangat Reformasi gereja di Inggris. Yang diperjuangkan bukan semangat Reformasi seperti yang dikumandangkan oleh Martin Luther, melainkan hanya ingin keluar dari sistem pemerintahan Gereja Katolik Roma. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip orang Puritan yang ingin Reformasi ditegakkan dengan Alkitab sebagai satu-satunya otoritas tertinggi. Mereka mempunyai prinsip bahwa gereja seharusnya tidak boleh berpihak pada kepentingan politik tertentu. Gereja seharusnya mengedepankan kemurnian, tanpa campur tangan dari pemerintah sipil. Gerakan orang Puritan ini kemudian membentuk sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai Koloni Plymouth.
Kemudian orang Puritan makin geram dan tidak senang terhadap sikap dan keputusan Gereja Anglikan. Hal ini terjadi ketika Raja Henry VIII sebagai pemimpin tertinggi negara Inggris dan Gereja Anglikan, ingin bercerai dengan Katherine dari Aragon, istri sahnya. Ia hendak menikahi seorang perempuan bernama Anne Boleyn.
Keputusan cerai dan menikah kembali tidak disetujui oleh paus Katolik Roma. Raja Henry VIII kemudian mencari berbagai cara, tetapi tetap tidak berhasil. Pada akhirnya melalui bantuan parlemen Inggris dan para rohaniwan, Raja Henry VIII memutuskan tidak perlu mendapat persetujuan paus untuk menikah kembali dengan Anne Boleyn oleh karena ia sendiri membangun institusi gereja yang baru, terlepas dari Gereja Katolik Roma, yaitu Church of England.
Koloni Plymouth menentang sikap dan keputusan raja yang berlawanan dengan semangat Reformasi yang asli. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah membagi traktat yang mengkritik motivasi egois dari Raja Henry VIII. Ia pun mulai merasa terancam dengan kehadiran gerakan koloni ini. Ketidaksenangan raja atas kritikan tersebut membuat ia melakukan tindakan opresif terhadap orang-orang Puritan di Koloni Plymouth.
Beberapa di antara mereka ada yang dibekam di dalam penjara. Ada juga yang diusir dari tanah Inggris. Tetapi tindakan-tindakan Kerajaan Inggris ini tidak membuat orang Puritan melunak dan kompromi. Mereka terus memperjuangkan semangat dan kesetiaan menjalankan Reformasi gereja.
Melihat tidak adanya harapan untuk Reformasi yang lebih baik di tanah Inggris, akhirnya mereka memutuskan untuk pindah ke wilayah yang baru. Wilayah yang ditemukan oleh para penjelajah disebut sebagai Dunia Baru (New World). Orang-orang Puritan berharap tanah yang baru itu dapat menjadi awal mula kebebasan di dalam menegakkan semangat Reformasi, menjadi permulaan dari kehidupan kekristenan yang holistik dan setia kepada Alkitab. William Bradford menjadi pemimpin dari Koloni Plymouth ini menuju Dunia Baru, atau yang mereka sebut sebagai Inggris yang Baru.
Menuju Dunia Baru
Sebelum menuju Dunia Baru, William Bradford lebih memilih menetap terlebih dahulu di Belanda oleh karena Belanda menjadi salah satu tempat pelarian bagi orang-orang Kristen yang mendukung Gerakan Reformasi. Ia kemudian menjadi seorang pedagang sukses di sana. Sebagian uangnya ia investasikan sebagai modal bagi koloni untuk biaya perjalanan menuju Dunia Baru. Walaupun Bradford bersama beberapa rekannya menetap cukup lama di Belanda, tetapi mereka tetap tidak merasa puas dengan kondisi di sana. Salah satunya adalah mereka tidak ingin menjadi warga negara Belanda, melainkan setia sebagai warga negara Inggris. Selain itu, budaya masyarakat Belanda yang cenderung terlalu pluralis dan kompromi membuat mereka khawatir anak-anak mereka akan menjadi agnostik. Oleh karena itu, mereka berharap di Dunia Baru mereka dapat membentuk pemerintahan dengan semangat Reformasi, dan tentu saja gereja yang terbebas dari kepentingan politik praktis.
Perjalanan mereka dimulai ketika mereka mendapatkan sponsor dari Virginia Company, sebuah kongsi dagang Inggris. Mereka diberikan izin untuk mendirikan pemukiman baru di sebuah daerah bernama Virginia. Kemudian Bradford dan koloni kembali ke Inggris terlebih dahulu, dan berangkat bersama dari pelabuhan Plymouth. Mereka pun berlayar menggunakan kapal yang bernama Mayflower menuju Dunia Baru, sebuah nama yang sampai saat ini terus diingat sebagai sejarah permulaan berdirinya Amerika.
Ternyata perjalanan mereka tidak semulus yang dibayangkan. Ada banyak kesulitan yang mereka hadapi. Mulai dari stok makanan yang menipis hingga ada beberapa yang meregang nyawa oleh karena kelaparan, termasuk istri Bradford. Hal ini menimbulkan kesedihan yang begitu mendalam bagi Bradford. Tetapi ia sadar bahwa ia harus terus maju karena ada visi yang jelas dari Tuhan untuk membangun koloni yang baru. Tidak berhenti sampai di situ, kapal mereka terhantam oleh badai sehingga arah perjalanan mereka makin menjauh dari tujuan awal. Bersyukur mereka masih dapat lolos dari terjangan badai itu dan mendarat di Massachusetts (masachuseits).
Tetapi kabar buruknya adalah Massachusetts berada di luar kekuasaan Virginia Company, sehingga status hukum mereka menjadi tidak jelas. Oleh karena itulah, mereka membuat perjanjian di atas kapal Mayflower, yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Mayflower (Mayflower Compact). Tujuannya adalah agar mereka mempunyai dasar hukum untuk pemerintahan selanjutnya. Adapun dua poin penting dari perjanjian yang disepakati tersebut: (1) mereka akan mengelola koloni itu demi kemuliaan Allah; dan (2) mereka akan mengelola koloni itu demi kemajuan kekristenan. Mereka setuju memberlakukan undang-undang bagi kebaikan masyarakat umum dan berjanji memegang solidaritas kelompok, dan menjauhkan kepentingan diri sendiri. Mereka berkomitmen bahwa pemerintah pun harus tunduk di hadapan Tuhan.
Pertemuan dengan Suku Lokal
Mereka kemudian mengukuhkan tanah baru ini sebagai New England, yang kita kenal saat ini sebagai negara Amerika Serikat. Tetapi di Dunia Baru ini, ada saja kesulitan dan penderitaan yang mereka alami. Beberapa penyakit seperti demam dan disentri mulai menghantui orang-orang di koloni, hingga beberapa di antara mereka meninggal. Ditambah lagi mereka juga harus berhadapan dengan suku lokal di daerah tersebut. Beberapa pertemuan yang diadakan selalu menemui jalan buntu sehingga jalan perang antara kedua belah pihak menjadi tidak terelakkan lagi. Beberapa orang menjadi korban dari perang yang sia-sia ini. Para koloni sangat menyesal mengapa kejadian seperti ini harus terjadi. Bukan sekadar korban yang berjatuhan, penginjilan kepada suku lokal pun menjadi terhambat.
Sebagai gubernur pertama bagi Koloni Plymouth di New England ini, William Bradford mengupayakan berbagai cara agar dapat berdamai dengan suku lokal ini. Ia sadar peperangan seperti ini harus segera dihentikan. Jika tidak, perjalanan mereka ke Dunia Baru ini menjadi sia-sia. Adapun perwakilan dari suku lokal yang bernama Squanto terus berkomunikasi dengan Bradford di dalam mengupayakan titik temu antara kedua belah pihak. Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya suku lokal dan Koloni Plymouth mencapai kesepakatan bersama. Adapun William Bradford sebagai pemimpin Koloni Plymouth dan pemimpin dari suku lokal bernama Massasoit sepakat untuk saling bekerja sama dan mengusahakan perdamaian.
Lahirnya Thanksgiving Day
Kesepakatan ini kemudian membuahkan hasil. Pada tahun 1621, mereka membuat sebuah perayaan besar atas perdamaian ini, sekaligus atas hasil panen pertama. Tidak ada lagi yang namanya saling berebut makanan, melainkan saling berbagi satu sama lain. Para suku lokal memberi makanan berupa hasil buruan dan Koloni Plymouth menyediakan makanan dari hasil panen. Perayaan juga dilakukan sekaligus sebagai ucapan syukur kepada Tuhan atas pemeliharaan-Nya dalam memampukan para koloni melewati berbagai kesulitan yang ada. Mulai dari kelaparan di saat musim dingin, sakit penyakit, hingga proses panjang menuju perdamaian dengan suku lokal. Tradisi ini terus dijalankan setiap kali ada panen besar dan saat ini dikenal sebagai Thanksgiving Day, yang dirayakan dan dijadikan hari libur nasional di Amerika Serikat.
Relevansi di Masa Kini
Inilah cerita singkat awal mula dari sejarah Amerika Serikat. Mayoritas dari kita pasti tidak menyangka negara sebesar Amerika dimulai dari hal yang sangat sederhana. Suatu visi yang sederhana tetapi mulia, yaitu menginginkan Kerajaan Allah hadir di bumi. Mereka merindukan adanya kehidupan yang setia kepada kehendak Tuhan dan kebudayaan yang dibangun atas dasar kebenaran firman Tuhan. Inilah yang patut kita teladani di dalam hidup kita di zaman ini. Suatu hidup kekristenan yang bukan hanya memikirkan untung rugi pribadi, melainkan hidup ini dapat menjadi berkat bagi sesama. Hidup yang mau dipakai oleh Tuhan untuk menggenapkan rencana-Nya di bumi bersama umat Tuhan lainnya.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Bradford adalah seorang pengusaha sukses di Belanda. Mungkin saja ia lebih memilih hidup di Belanda yang sudah pasti dan mapan, dibandingkan memulai segala sesuatu dari nol di tempat yang benar-benar belum ada negara ataupun masyarakat yang terbangun. Tetapi dia menggunakan uangnya untuk membiayai koloni ini, mendorong usaha untuk imigrasi, dan membangun relasi yang baik dengan penduduk asli Amerika. Semua ini dilakukan bukan untuk ambisi pribadi, melainkan untuk kehadiran Kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya.
Pada akhirnya Tuhan memakai mereka yang di dalam kesederhanaannya. Tuhan memimpin langkah demi langkah hingga terbentuklah negara Amerika Serikat. Negara yang di dalam perjalanan sejarahnya diberkati Tuhan sebagai negara yang menjunjung tinggi kebenaran dari Allah. Kita mengenal tokoh-tokoh penginjil besar seperti Jonathan Edwards, George Whitefield, dan Billy Graham. Ada pula beberapa presiden Amerika Serikat yang berkontribusi membawa Amerika menjadi negara yang takut akan Tuhan, seperti George Washington dan Abraham Lincoln. Bidang-bidang lainnya seperti pendidikan, pemerintahan, teknologi, dan usaha perdamaian semuanya mulai mendapat perkembangan signifikan dari Amerika. Siapa sangka semua pengaruh ini dimulai dari sekelompok orang dari Plymouth yang jujur dan rendah hati menginginkan kehidupan yang mau taat kepada Tuhan dan setia kepada firman-Nya.
Marilah kita sebagai pemuda/i Kristen menilai hidup bukan sekadar dari ambisi pribadi, bukan pula tentang bagaimana memenuhi tuntutan hidup dunia ini. Karena semua itu hanya membawa kita kepada kesia-siaan belaka dan tidak mencerminkan kehidupan Kristen yang memosisikan Allah sebagai yang berdaulat atas segala sesuatu. Mari pertama-tama kita melihat kepada visi Kerajaan Allah, memperjuangkan apa yang menjadi kehendak Tuhan yang harus kita genapi. Merindukan hidup yang dipakai Tuhan, menggenapi rencana-Nya di dalam konteks hidup kita. Melihat bagaimana zaman ini akan diarahkan dan melihat kepada pimpinan Tuhan di sepanjang sejarah gereja, termasuk di lingkungan gereja lokal kita. Sudahkah kita berdoa dan berbagian di dalam rancangan sejarah keselamatan Tuhan bagi umat-Nya? Bukan hal yang mustahil bahwa Tuhan akan memakai kehidupan kita yang sederhana ini untuk sesuatu yang besar di masa yang akan datang, sama seperti Tuhan memimpin Koloni Plymouth sebagai awal dari era kekristenan yang baru. Mari kita memohon belas kasihan Tuhan agar melakukannya sekali lagi dalam zaman ini melalui kehidupan kita yang sederhana ini.
“Thus out of small beginnings, greater things have been produced by His hand that made all things of nothing, and gives being to all things that are; and, as one small candle may light a thousand, so the light here kindled hath shone unto many…” – William Bradford
Trisfianto Prasetio, Susan Doelia
Pemuda/i FIRES