Manusia adalah makhluk yang berbahasa. Apabila kita mempelajari sejarah manusia, ada satu hal yang dimiliki oleh Homo sapiens yang tidak dipunyai spesies lainnya: kemampuan untuk berbahasa. Binatang memang bisa berkomunikasi antara satu dengan yang lain melalui bunyi dan gerak-gerik tubuh, tetapi mereka tidak mampu membangun kata-kata, tata bahasa, penulisan, dan pencatatan akan sejarahnya sendiri. Manusia bukanlah seperti itu. Kita dicipta menurut peta teladan Allah yang mempunyai kesadaran akan diri, bahasa, dan sejarah. Kita bukanlah spesies yang terikat dalam arus sejarah tanpa memiliki kesadaran, melainkan kita mampu untuk menyadari keberadaan kita, di waktu tertentu, dan menceritakan ulang kehidupan melalui sarana bahasa.
Tuhan adalah Allah yang berfirman dengan kata-kata. Manusia yang dicipta menurut “DNA” Allah juga turut berbicara. Allah menuliskan sepuluh perintah Allah dengan jari-jari-Nya sendiri, demikian juga manusia bisa menuliskan surat, hukum, novel, artikel, dan berbagai macam tulisan. Melalui bahasa dan tulisan, manusia dimampukan untuk menyampaikan suatu pesan dan makna kepada orang lain. Pesan itu tidak berhenti pada zaman itu saja, tetapi dapat disimpan dan dibaca kembali oleh generasi berikutnya. Alkitab adalah contoh dari karya Roh Allah yang membimbing jari-jari penulis Alkitab untuk menuliskan suatu pesan kekal yang berlaku kepada setiap zaman.
Dalam artikel ini, saya ingin menjelaskan peran bahasa dalam menggerakkan Sumpah Pemuda dan Reformasi. Bahasa adalah hal yang memberikan pembaharuan terhadap iman Kristen dan persatuan Indonesia. Sebagai manusia yang berbahasa, kita perlu peka untuk memperhatikan bagaimana “sekadar berkata-kata” dapat menjadi ombak tsunami yang mengubah wajah masyarakat dan menggetarkan sejarah dunia.
Bahasa adalah hal yang memberikan pembaharuan terhadap iman Kristen dan persatuan Indonesia. Sebagai manusia yang berbahasa, kita perlu peka untuk memperhatikan bagaimana “sekadar berkata-kata” dapat menjadi ombak tsunami yang mengubah wajah masyarakat dan menggetarkan sejarah dunia.
Mari kita mulai dengan Sumpah Pemuda terlebih dahulu. Sumpah Pemuda terjadi pada tahun 1928, 28-30 Oktober, ketika para pemuda Indonesia berkumpul dan menyerukan persatuan Indonesia. Pada saat itu, belum ada kemerdekaan atau negara Indonesia berdaulat. Hampir setiap kelompok menggunakan politik identitas untuk menyuarakan keinginannya untuk merdeka, tetapi belum adanya keinginan untuk bersatu. Kelompok Jawa ingin merdeka, kelompok Islam ingin merdeka, kelompok Kristiani juga demikian, dan seterusnya. Permasalahannya adalah keinginan untuk lepas dari penjajah tidak selalu sama dengan kerelaan untuk bersatu—itulah sebabnya kelompok dan golongan identitas ini gagal untuk menang dari kekuatan penjajah.
Kemerdekaan Indonesia masih perlu menunggu 17 tahun sampai tahun 1945 untuk mencapai titik Proklamasi. Selama 17 tahun, bahasa Indonesia yang pertama kali dijadikan bahasa nasional dalam peristiwa Sumpah Pemuda mulai menjadi lingua franca, yaitu sarana komunikasi sehari-hari. Dari sini, entah itu orang Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, atau ragam agama lain bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Orang yang berasal dari suku Jawa, Manado, Batak, Sunda, Papua, Tionghoa, Betawi, dan lainnya bisa berkomunikasi di dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi sebuah “bahasa baru” yang menyatukan masyarakat di Nusantara sebelum lahirnya Indonesia sebagai negara-bangsa yang berdaulat. Di India, upaya untuk menyatukan seluruh bangsa menjadi satu sangat tidak mudah. “Bahasa India” belum tentu menjadi bahasa pemersatu bagi tiap suku dan kasta di sana. Jadi bayangkan, Indonesia bisa bersatu seperti sekarang adalah sebuah mujizat yang Tuhan berikan bagi tanah air dan rakyat Indonesia. Kita patut bangga dengan bahasa Indonesia yang mampu menyatukan Sabang sampai Merauke yang memiliki keluasan London sampai Istanbul-Turki, sekian ribu pulau dan suku dan bahasa, menjadi satu. Peran bahasa sebagai kekuatan pemersatu inilah yang disebut sebagai “komunitas imajiner” (imagined community) menurut Benedict Anderson.
Sekarang, mari kita melihat kembali ke Eropa Barat. Luas Holy Roman Empire yang diduduki oleh gereja Latin juga sangatlah luas. Dapat dikatakan luasnya tidak berbeda jauh dari Kerajaan Majapahit di Indonesia. Kekaisaran Romawi menjadi zaman keemasan (golden age) bagi masyarakat Eropa Barat pada zaman itu sampai hari ini, seperti Kerajaan Majapahit menjadi zaman keemasan bagi masyarakat Indonesia—sebuah nostalgia yang terus-menerus membentuk mental masyarakat kita. Kerajaan Romawi dan gereja Barat (Katolik Roma) selama ribuan tahun dipersatukan oleh bahasa Latin. Alkitab yang ditulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani diterjemahkan ke dalam suatu bahasa “raksasa” Latin, bahasa internasional seperti bahasa Inggris yang kita gunakan saat ini. Agustinus sebagai Bapa Gereja di Barat, yang menjadi inspirasi besar bagi Thomas Aquinas dari Katolik Roma, dan Luther dan Calvin dari golongan Reformasi, adalah ahli bahasa Latin.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, penggunaan bahasa Latin hanya digunakan oleh kaum elite di dalam hierarki gereja Latin di Barat. Bahasa elitis ini dilarang untuk digunakan oleh kaum awam. Alkitab ditulis dalam bahasa Latin menjadi sebuah “bahasa alien” yang tidak dimengerti oleh masyarakat akar rumput. Orang biasa akhirnya membentuk bahasanya sendiri: bahasa Jerman, Spanyol, Italia, Inggris, Prancis, dan lain sebagainya sebagai “bahasa adat” di masing-masing provinsi Eropa Barat. Selama seribu tahun (sekitar 500-1500 setelah Masehi), orang Kristen tidak mempunyai akses untuk membaca Alkitab, memahami Alkitab dalam bahasa sendiri, dan sulit mendengarkan khotbah. Bahasa Latin menjadi sebuah bahasa yang terlalu tinggi untuk dipahami oleh orang awam yang banyak buta huruf pada saat itu.
Ketika Reformasi terjadi, Wycliffe menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris, Luther menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman, dan didukung pula oleh mesin cetak Gutenberg yang menyebarluaskan Alkitab ke berbagai provinsi. Masyarakat lokal Inggris membaca Alkitab berbahasa Inggris, masyarakat lokal Jerman membaca Alkitab berbahasa Jerman, dan mulailah kecintaan membaca terwujud, kebangunan rohani terjadi, dan semangat nasionalisme terbangun. Mulai dari kegiatan membaca, di situlah perkembangan pengetahuan, pengurangan buta huruf, dan pengenalan akan Allah terjadi. Umat Yahudi yang demikian cerdas berpijak dari kegiatan literasi selama berabad-abad, yaitu adanya pendalaman literasi akan Kitab Suci sejak usia lima tahun. Demikian juga, perkembangan awal modernisme bukanlah sesuatu yang muncul karena filsafat dan sains, tetapi adanya literasi akan Alkitab yang menjadi bacaan setiap orang.
Satu sisi, memang literasi linguistik adalah hal yang penting. Akan tetapi, literasi rohani juga terbentuk ketika kita membaca Alkitab. Saat membaca Alkitab sebetulnya kita sedang membaca surat dari Allah sendiri. Kita mendengar kata-kata dari napas dan mulut Allah yang berfirman kepada kita secara personal. Tidak lagi kita hanya mendengarkan sebuah interpretasi manusia melalui sebuah khotbah, tidak lagi kita mengenal suara Allah melalui buku-buku religius yang adalah tulisan manusia, tetapi kita langsung berhadapan dengan suara Allah. Membaca Alkitab setiap hari adalah sebuah momen untuk berkomunikasi langsung dengan Tuhan. Roh Kudus yang menapaskan setiap huruf di dalam Kitab Suci, Roh Kudus juga yang bersuara kepada kita melalui firman Allah yang hidup. Alangkah bahagianya jika kita bisa membaca Alkitab bukan karena “terpaksa” atau menjalankan sebuah rutinitas religius. Membaca Alkitab adalah kegiatan meditasi rohani, perenungan, dan sebuah dialog kebatinan dengan Allah.
Jikalau bahasa Indonesia dapat melahirkan kemerdekaan dan persatuan Indonesia, dan kecintaan akan membaca Alkitab dapat membangkitkan Reformasi, membangun kehidupan rohani, dan kemajuan intelektual di Eropa Barat, maka janganlah kita meremehkan kegiatan membaca Alkitab. Terlebih lagi, kita sudah mendapatkan akses Alkitab dalam bahasa Indonesia, bahasa kita sehari-hari yang dekat dengan lidah dan telinga kita. Janganlah meremehkan kemampuan berbahasa. Tuhan memberi bahasa kepada manusia untuk membaca dan menceritakan isi firman kepada orang lain. Alkitab diberikan dalam bentuk buku supaya kita turut membaca dan mendengarkan firman Allah yang kekal. Maka tunggu apa lagi? Tole lege, tole lege, ambil dan bacalah. Siapa tahu ada pesan dari Tuhan untuk kita pada hari ini.
Kevin Nobel Kurniawan