Kemajuan negara bisa saja menjadi sebuah hal yang kita kerjakan dan nikmati. Akan tetapi, kita tidak boleh lengah. Kehancuran menanti di titik puncak itu. Ketika suatu bangsa sudah terlalu menikmati kehidupan yang nyaman, hidup akan menjadi membosankan dan tidak berarti.
Sebentar lagi, pada 14 Februari 2024, Indonesia akan masuk ke dalam masa pemilihan calon presiden, calon wakil presiden, dan juga pemilihan anggota legislatif. Seperti yang sudah kita ketahui, pemilihan para pemimpin negara akan menentukan perjalanan nasib bangsa Indonesia selama 5-10 tahun ke depan. Tidak hanya kita sedang memilih tokoh, tetapi juga memilih masa depan yang akan dinakhodai oleh pemimpin-pemimpin tersebut. Ini bukan berurusan dengan beberapa orang yang nantinya akan menduduki posisi penting di kursi pemerintahan, tetapi juga bersangkutan dengan nyawa 274 juta jiwa masyarakat Indonesia. Dalam artikel ini, saya tidak akan mengarahkan para pembaca untuk memilih pasangan calon presiden dan wakilnya secara politik praktis, tetapi memaparkan permasalahan sosial, pergerakan arus politik, serta prinsip-prinsip yang perlu dipikirkan oleh orang Kristen dalam memilih pemimpin.
Pertama-tama, kita perlu mensyukuri terlebih dahulu bahwa Indonesia sudah menjadi negara demokratis. Saya menggarisbawahi “sudah menjadi” sebab dahulunya Indonesia bukanlah negara demokratis seperti sekarang. Dua puluh tahun Orde Lama di bawah pimpinan Sukarno dan 32 tahun Orde Baru di bawah pimpinan Suharto merupakan sebuah masa pemerintahan otoriter. Selama 52 tahun, Indonesia berada pada masa pemerintahan yang kurang ideal. Ada beberapa sebab yang melatarbelakangi. Pertama, pada saat itu, masyarakat Indonesia belum cukup terdidik dan matang untuk memilih pemimpinnya sendiri. Kedua, terlalu banyak kepentingan politik aliran dan partai berbasis kelompok identitas yang tidak kompak dalam mengarahkan kapal kabinet pemerintahan sehingga dibutuhkan pemimpin strong men atau ayam jago untuk memberi kestabilan. Ketiga, seluruh situasi global sedang berada pada masa Perang Dingin yang memerlukan pemimpin keras untuk menjaga kedaulatan negara. Ketika tidak ada demokrasi, maka hanya ada dua cara untuk mewariskan takhta kekuasaan kepada penerus: yang pertama adalah menunjuk ahli waris dan yang kedua adalah melakukan kudeta. Hal itulah yang terjadi pada tahun 1965-1966 dan 1998 yang berakibat pada tumpahnya banyak darah dalam peristiwa G30S, kerusuhan 1998, dan konflik di Ambon.
Demokrasi yang baru berjalan sejak tahun 2004, yaitu sekitar 20 tahun silam sejak terpilihnya SBY, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia baru saja menikmati demokrasi. Itu pun dalam tingkat kematangan politik yang masih prematur. Baru-baru saja belakangan ini bangsa kita mulai memasuki suatu tahap demokrasi yang relatif lebih matang, tetapi itu pun sudah dipenuhi dengan masalah politik identitas. Pada pemilihan presiden tahun 2019, sebetulnya itu sudah berada dalam kondisi “gawat”. Sebagian besar non-Muslim memilih pasangan yang satu, dan kelompok garis keras kepada yang lain. Ibaratnya, Indonesia sudah masuk ke dalam “perang saudara” (civil war) dengan menggunakan demokrasi sebagai arena pertarungan. Saya dapat membayangkan kondisi Indonesia pada saat itu seperti di Amerika Serikat di mana budaya politik yang bernuansa “kami melawan mereka” sudah menjadi permasalahan yang sangat serius. Perkembangan media sosial yang membentuk monolog melalui hubungan tatap layar justru membuat kita sulit untuk berempati dan memahami orang lain.
Namun, masa-masa itu sudah berlalu, dan kita masuk pula ke pemilihan presiden yang tergolong masih “kurang memuaskan”. Setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden mempunyai kesalahan dan rekam jejak yang kurang memuaskan. Pada golongan brahma-keagamaan, penggunaan politik identitas dan populisme menjadi nuansa yang sangat kental untuk menggerakkan religious manifesto secara revolusioner. Pada golongan ksatria-militer dan perwakilan generasi Z yang liberal, dorongan untuk menguatkan oligarki dan liberalisme nantinya akan menjadi motor yang memajukan negara sekaligus menyebabkan kesenjangan ekonomi dan menimbulkan gaya hidup yang individualis. Pada golongan sudra-kerakyatan yang digiring oleh kekuatan partai, kepemimpinan tidak lagi diwakilkan oleh amanah rakyat kepada presiden, melainkan oleh pemimpin partai yang menjadi pusat kekuasaan. Situasi ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab pada masa-masa sebelumnya memang sudah pernah terjadi di Orde Lama (sudra-kerakyatan), Orde Baru (ksatria-militer), dan Orde Reformasi (brahma-keagamaan) yang sekarang adalah sebuah kelanjutan dari siklus sejarah yang pernah terjadi–dan yang akan terjadi.
Jadi, situasi yang kita temui bukanlah win-win situation, dan bukan pula win-lose situation, melainkan lose-lose situation. Seolah-olah kita tidak diberikan pilihan lain selain memilih yang “kurang baik”. Apabila kita harus memilih, memang betul bahwa yang “kurang jahat” adalah pilihan yang lebih tepat. Namun, memilih yang “kurang jahat” tetap adalah sebuah “kejahatan”. Oleh karena itu, kita perlu memikirkan apa yang akan terjadi setelah terpilihnya salah satu pemimpin tersebut. Apakah demokrasi dan kehidupan masyarakat yang bersatu terancam? Apakah ada kelompok yang memanfaatkan demokrasi untuk menghancurkan demokrasi itu sendiri agar dia secara permanen dapat mempertahankan posisi status quo? Apakah ada kelompok yang kalau berkuasa akan menggeser keberadaan kelompok lawan atau lainnya? Tentu saja, demokrasi bukanlah sarana yang paling ideal, tetapi dia dapat menjadi sarana untuk mencegah yang terburuk untuk naik, dan menjaga agar tidak terjadi permasalahan yang lebih besar seperti terjadinya perang sipil, kudeta politik, dan revolusi yang berdarah. Kita tidak mau kembali kepada tahun 1965-1966 atau 1998 yang menjadi catatan gelap dalam sejarah Indonesia.
Selanjutnya, saya juga ingin berargumen bahwa bagi orang Kristen, siapa pun pemimpin yang berkuasa sebetulnya tidak akan terlalu berpengaruh terhadap keberlangsungan umat Allah. Saya percaya Tuhan sudah menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin berikutnya. Dia adalah Tuhan yang berdaulat, Dia sudah mem-predestinasi-kan siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden. Di mata Tuhan, pemimpin negara bagaikan sebuah bidak catur yang sudah dikalkulasikan akan maju dan mundur, naik dan turun, sesuai dengan rancangan-Nya. Hidup matinya seorang raja adalah suatu hal yang ditentukan oleh Allah sendiri, dan raja terburuk sekalipun tidak bisa lolos dari Raja segala raja.
“Tuanku meninggikan diri terhadap Yang Berkuasa di sorga: perkakas dari Bait-Nya dibawa orang kepada tuanku, lalu tuanku serta para pembesar tuanku, para isteri dan para gundik tuanku telah minum anggur dari perkakas itu; tuanku telah memuji-muji dewa-dewa dari perak dan emas, dari tembaga, besi, kayu dan batu, yang tidak dapat melihat atau mendengar atau mengetahui, dan tidak tuanku muliakan Allah, yang menggenggam nafas tuanku dan menentukan segala jalan tuanku.” (Daniel 5:23)
Dari langkah pertama sampai akhir, sampai kepada pemilihan presiden 50-100 tahun berikutnya, Dia sudah tahu. Dan ketika Allah menentukan sebuah situasi yang “kurang nyaman” bagi suatu bangsa, itu pun untuk kebaikan umat-Nya. Menurut John Calvin, ketika Allah memberikan seorang pemimpin yang jahat, itu adalah sebuah hukuman bagi masyarakat yang jahat. Sebab orang jahat tidak akan mau memilih yang baik; kebaikan itu membongkar kejahatan mereka. Yesus ditolak, tetapi Barabas sang penjahat itu yang dipilih oleh para Farisi dan orang Israel. Namun, di tengah situasi seperti itulah, gereja justru dapat mengalami pertumbuhan yang cukup besar.
Menurut saya pribadi, sejujurnya gereja di Indonesia sudah berada dalam kondisi “cukup nyaman” selama 5-10 tahun belakangan ini. Tentu, ada masalah politik identitas, populisme Islam, dan berbagai macam bumbu konflik yang membuat umat Allah terasa dalam kondisi “terpepet”. Tetapi, ketahuilah bahwa dalam kondisi itu pun, kelompok mayoritas dari Islam moderat tetap mengayomi orang Kristen. Jadi sebetulnya tidak ada hal yang terlalu menantang. Dengan datangnya situasi politik yang “kurang nyaman” pada tahun 2024 ini, di situlah gereja sebagai sebuah ekklesia (assembly), yaitu persekutuan umat Allah, di Indonesia perlu memikirkan masa depan untuk bangsa negara ini (bukan untuk nasib gereja sendiri). Pertanyaan yang perlu kita angkat bukanlah tentang “siapa pemimpin yang akan kita pilih?”, melainkan “seandainya yang terpilih adalah dia, lalu apa yang perlu kita lakukan?”
Di tengah lose-lose situation, kita sudah dimenangkan. Ketika golongan dari politik aliran sibuk-sibuk memikirkan bagaimana mereka akan menang atas lawan politiknya, dan lupa untuk memikirkan nasib bangsa secara menyeluruh, gereja seharusnya memikirkan masa depan bangsa dan negara. Ketika sudra-kerakyatan memikirkan pemimpin yang dapat membawa “kebebasan”, brahma-keagamaan memikirkan pemimpin yang dapat membawa “umat” kepada zaman keemasan religius, dan ksatria-militer memikirkan pemimpin yang dapat membawa negeri kepada kedaulatan dan kemajuan, gereja seharusnya memikirkan bagaimana nasib seluruh bangsa dapat kembali untuk takut kepada Allah. Setiap politik aliran menjanjikan sebuah “lembu emas” atau “berhala” yang katanya dapat membawa pengikutnya lepas dari keterpurukan. Umat Allah ditempatkan Tuhan untuk berkata, “Tidak, bukan lembu emas, tetapi Allah sejati yang mengantar kita keluar dari Mesir.”
Setiap berhala akan menghasilkan perbudakan. Di Mesir sudah diperbudak, janji-janji politik yang utopis juga menghasilkan perbudakan yang baru. Ke depannya, urgensi untuk memunculkan Indonesia unggul di masa bonus demografi adalah hal yang menjadi salah satu agenda terbesar. Dan saya kira, hal itulah yang sedang menjadi hype terbaru. Indonesia bisa saja menjadi negara ke-4 atau ke-5 terkuat secara ekonomi di tingkat global pada tahun 2045. Sekali dalam sejarah sebuah peradaban, negeri ini bisa mencapai titik puncak. Ya, dapat dikatakan bahwa itu adalah the golden age of Indonesia. Akan tetapi, apakah para pemimpin kita sudah mengetahui kelemahan dan bahaya yang menanti? Tahukah mereka bahwa setelah sebuah peradaban mencapai titik tertinggi, tepat dari situlah peradaban itu akan mulai hancur? Sejarah sudah menunjukkan pada masa Babel, Persia, Yunani, Romawi, dan negara-negara Barat, dan sekarang di Asia Timur–justru karena sudah mencapai titik paling maju, dia mulai jatuh.
Kemajuan negara bisa saja menjadi sebuah hal yang kita kerjakan dan nikmati. Akan tetapi, kita tidak boleh lengah. Kehancuran menanti di titik puncak itu. Ketika suatu bangsa sudah terlalu menikmati kehidupan yang nyaman, hidup akan menjadi membosankan dan tidak berarti. Masyarakat menjadi makin individualistis, hedonis, anomik, dan tidak lagi mempunyai tujuan. Iman kepada Allah dan agama yang benar akan ditinggalkan, dan masing-masing orang akan memenuhi keinginannya sendiri. Ikatan kovenan antara sesama manusia akan luntur, pernikahan dan keluarga akan runtuh. Dan dari situ, suatu peradaban akan secara perlahan dan tidak sadar akan “bunuh diri”. Hal itu sudah kita saksikan di Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang; demikian juga dengan negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat. Indonesia akan berjalan menuju ke sana, dan wabah epidemi individualisme menjadi fakta yang lebih mengerikan daripada pandemi COVID-19. Apa yang sudah pemerintah lakukan? Apa yang sudah dipikirkan oleh paslon-paslon yang berdebat di televisi tentang hal ini?
Apa yang sudah gereja siapkan dan lakukan dalam mengantisipasi hari-hari itu? Saya kira ketika para gladiator politik bertarung dan para penonton menyaksikan melalui televisi dan sosial media, belum tentu mereka melihat hari-hari gelap yang akan tiba di kota dunia ini. Oleh karena itu, sudah menjadi peran bagi gereja untuk bergerak sebagai komunitas umat percaya untuk merajut ikatan kovenan yang makin luntur di tahun-tahun yang akan mendatang.
Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat