Zaman ini dirasakan sebagai zaman yang begitu kompleks karena banyaknya ideologi yang ada pada zaman ini. Ideologi-ideologi ini berperang satu dengan lainnya untuk mendapatkan “darah segar” yang dianggap dapat menghidupi keberlangsungan ideologi mereka. Namun, perebutan ini kerap kali memicu perseteruan yang berujung tindakan anarkis. Salah satu isu yang kita bisa rasakan di Indonesia adalah radikalisme agama. Terorisme yang kita hadapi beberapa bulan terakhir, ujaran kebencian, dan tindakan bullying di media sosial adalah aplikasi dari perseteruan ideologi tersebut. Untuk menghadapi isu radikalisme ini, salah satu ideologi yang diangkat adalah pluralisme. Ideologi ini mengajak setiap orang untuk mengakui segala perbedaan sebagai sebuah keberadaan yang seharusnya tidak dipertentangkan atau diperdebatkan. Jikalau radikalisme agama memaksakan keseragaman di bawah satu ideologi, pluralisme menginginkan kedamaian dengan menghargai setiap perbedaan. Namun, pada faktanya pluralisme yang murni hampir tidak ada, karena perhargaan yang diberikan kepada kelompok yang lain sering kali menuntut upaya-upaya kompromistis, dengan melunturkan prinsip-prinsip dasar dalam sebuah ideologi. Kalaupun mereka ingin mempertahankan ideologi pluralisme tersebut, pada ujungnya mereka harus mengakui adanya satu kebenaran yang mendasari seluruh kebenaran yang lain. Hal ini akhirnya akan membuktikan ketidakrasionalan pemikiran tersebut. Pada artikel ini kita akan membahas mengenai pluralisme dan bagaimana kekristenan seharusnya menjawab tantangan tersebut.
Pluralisme di dalam Sejarah
Ide mengenai pluralisme sudah ada sejak dari zaman kuno. Setidaknya di dalam filsafat Yunani, beberapa filsuf seperti Empedokles dan Aristoteles pernah mencetuskan ide tersebut. Empedokles menyatakan bahwa alam semesta ini terbentuk dari 4 elemen, yaitu: api, air, udara, dan tanah. Cara berpikir Empedokles dalam zaman itu bisa dikatakan sebagai pluralis karena kebanyakan pemikiran sebelumnya hanya berpegang kepada satu elemen pembentuk keberadaan. Sedangkan Aristoteles mengembangkan ide pluralisme ini di dalam pemikiran yang lebih esensial. Ide pemikiran mengenai pluralisme menjadi salah satu topik perdebatan di dalam arus pemikiran filsafat dari zaman ke zaman. Mereka menyebutnya sebagai “the one-and-many problem”. Sehingga, di setiap zaman ide pemikiran pluralisme ini akan muncul di dalam berbagai bentuknya.
Pluralisme bisa dikatakan sebagai pemikiran yang akan selalu ada di setiap zaman walaupun dalam bentuk dan ide pemikiran yang berbeda. Hal ini karena pluralisme didasari oleh suatu fakta bahwa kita hidup di tengah dunia yang penuh dengan keanekaragaman. Melalui pancaindra saja kita dapat melihat bahwa alam semesta ini begitu unik. Kita bisa melihat berbagai macam binatang, tetapi di dalam keragaman jenis tersebut, kita bisa tetap mengetahui bahwa mereka masih dalam satu jenis makhluk hidup yaitu binatang. Di dalam level yang lebih spesifik, kita dapat melihat berbagai jenis binatang “anjing”, tetapi kita tetap mengetahui di tengah keragaman ini bahwa semuanya termasuk di dalam jenis sebagai “anjing”. Bahkan, manusia pun memiliki perbedaan atau keragaman yang begitu kompleks. Bentuk keragaman seperti ini bisa dikatakan sebagai keragaman yang sudah natural. Hal ini merupakan fakta yang tidak mungkin kita hindari. Kita harus menerima fakta ini sebagai karya dan hikmat Tuhan di dalam ciptaan-Nya. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika preferensi manusia berdosa ingin dianggap sebagai bagian keanekaragaman natural. Inilah isu atau permasalahan di dalam ide pluralisme yang sedang kita hadapi pada zaman ini.
Di dalam sejarah pernah terjadi beberapa gerakan yang berkaitan dengan isu pluralisme tersebut. Salah satu peristiwa yang kita sering kali dengar adalah Holocaust. Sebuah peristiwa yang menggemparkan dunia karena pernah terjadi di dalam sejarah, sebuah pembantaian terhadap sebuah ras yaitu orang Yahudi. Diperkirakan sekitar enam juta orang Yahudi di Eropa dibantai di dalam kurun waktu Perang Dunia II. Tindakan ini dilakukan oleh kelompok yang dikenal sebagai Nazi, yang dipimpin oleh Adolf Hitler. Bahkan, jikalau ditambahkan dengan jumlah orang dari kelompok lain selain kelompok Yahudi, korban Holocaust bisa mencapai sekitar 17 juta manusia. Peristiwa yang begitu sadis ini didasari oleh ideologi dari kelompok Nazi yang merasa bahwa bangsa Yahudi adalah tandingan dari ras Arya di dalam menguasai dunia. Dengan ideologi ini, mereka memandang bahwa ras Arya adalah ras yang lebih superior dari ras lainnya sehingga mereka merasa layak untuk menguasai dunia ini. Hal ini berimplikasi pada cara pandang terhadap ras lain yang dianggap lebih rendah.
Peristiwa lain yang berkaitan dengan pluralisme adalah perjuangan dari seorang Martin Luther King, Jr. Bertolak belakang dengan Holocaust yang merasa diri superior, King justru memperjuangkan kelompok kulit hitam yang sering kali dianggap lebih inferior dari orang kulit putih, sehingga diskriminasi kerap kali terjadi. Salah satu pidato yang terkenal dari Martin Luther King, Jr. adalah pidato yang berjudul “I Have a Dream”. Di dalam beberapa kalimat terakhir pidatonya, King mengatakan,
“Let freedom ring from the snow-capped Rockies of Colorado. Let freedom ring from the curvaceous slopes of California. But not only that; let freedom ring from the Stone Mountain of Georgia. Let freedom ring from Lookout Mountain of Tennessee. Let freedom ring from every hill and molehill of Mississippi. From every mountainside, let freedom ring. And when this happens, when we allow freedom to ring, when we let it ring from every village and every hamlet, from every state and every city, we will be able to speed up that day when all of God’s children, black men and white men, Jews and Gentiles, Protestants and Catholics, will be able to join hands and sing in the words of the old Negro spiritual, ‘Free at last! Free at last! Thank God Almighty, we are free at last!’”
Di dalam kalimat-kalimat ini kita dapat merasakan sebuah perjuangan yang menginginkan pengakuan yang sama bagi setiap ras sebagai manusia yang sederajat. Menariknya, di dalam setiap perjuangan terhadap diskriminasi tersebut, tema yang diangkat adalah “Freedom” dan “Human Rights”. Semangat pluralisme yang memperjuangkan kebebasan dan hak asasi manusia pada masa-masa ini bisa adalah perjuangan yang berkaitan dengan hak serta kewajiban dari seorang manusia secara naturnya. Sehingga kita bisa mengatakan bahwa perjuangan dari Martin Luther King, Jr. adalah perjuangan yang mulia. Perjuangan yang ingin mengembalikan derajat manusia sebagai manusia. Perjuangan ini tentu saja bertolak belakang dengan Hitler yang ingin menjadikan kelompoknya sebagai manusia yang dianggap lebih tinggi atau superior. Maka tidak heran jika gerakan yang dilakukan oleh Hitler pada akhirnya harus digugurkan oleh sejarah, tetapi perjuangan dari Martin Luther King, Jr. menjadi perjuangan yang dikenang dan menginspirasikan banyak kalangan. Namun, perjuangan ini menjadi tercemar atau rusak ketika sejarah memasuki era postmodern. Zaman di mana perjuangan pluralisme merebak di banyak tempat, tetapi manusia semakin tidak dijadikan sebagai manusia.
Pluralisme Zaman Ini
Selain perjuangan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) yang menuntut hak untuk perkawinan sesama jenis dan juga hak untuk tidak mengalami diskriminasi, baru saja WHO mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa transgender tidak lagi dianggap sebagai gangguan mental. Tentu saja hal ini menimbulkan kontroversi. Kelompok yang konvensional menganggap pernyataan ini sebagai sebuah kemerosotan moral, tetapi kelompok yang kontemporer akan menganggap hal ini sebagai sebuah kemajuan di dalam menghargai hak asasi manusia. Namun, benarkah perjuangan seperti ini adalah perjuangan yang semakin menjadikan manusia sebagai manusia? Atas nama hak asasi manusia, mereka memperjuangkan hal yang dianggap memanusiakan mereka, tetapi justru mereka sedang melakukan dehumanisasi. Inilah fakta dari mayoritas perjuangan pluralisme pada zaman ini.
Kemerosotan bisa terjadi karena pengaruh semangat zaman postmodern. Semangat zaman postmodern adalah semangat yang ingin memberontak terhadap cara zaman modern yang cenderung menyamaratakan atau menyeragamkan banyak hal. Pada zaman modern, penindasan terhadap minoritas sering kali terjadi. Demi kesamarataan, sering kali minoritas harus tunduk atau mengalah terhadap mayoritas. Semakin lama, hal ini menjadikan kaum minoritas merasa tertindas dan muncul keinginan untuk memberontak. Oleh karena itu, ketika semangat postmodern merebak, semangat dari kaum minoritas bangkit untuk menyatakan kebebasannya. Di satu sisi, hal ini baik bagi kaum minoritas yang memang diperlakukan tidak adil. Di sisi lain, kebahayaan bisa muncul ketika kelompok yang bermotifkan kejahatan atau keberdosaan menuntut perlakuan yang sama. Perjuangan kaum LGBT, feminis, dan lain-lain, adalah bentuk dari perjuangan pluralisme yang menyimpang. Inilah kebobrokan pluralisme yang kita hadapi pada zaman ini.
Pemuda dan Pluralisme
Semangat pluralisme zaman ini sangat memengaruhi bahkan digemari oleh kaum muda saat ini. Pemuda sering kali memiliki jiwa yang kritis terhadap hal-hal yang lama atau konvensional dengan semangat ingin membuat terobosan. Sehingga tidaklah mengherankan jikalau pluralisme zaman ini didukung oleh banyak anak muda. Namun, semangat pluralisme yang postmodern ini justru sangat merusak bagi anak muda saat ini karena semangat ini mendidik mereka untuk membuang tradisi dan membangun kehidupannya di dalam arogansinya yang naif. Akibatnya, kesalahan yang pernah terjadi di dalam sejarah terulang kembali. Para pemuda menjadi kelompok yang begitu bodoh karena keengganannya mempelajari sejarah, usaha mereka untuk menerobos sejarah dengan hal-hal yang mereka anggap baru. Dengan semangat pluralisme mereka mengadopsi atau mengakomodasi berbagai prinsip, tetapi pada akhirnya mereka harus kehilangan atau bahkan mengompromikan prinsip yang menjadi identitas mereka.
Ironisnya, pola kehidupan pemuda yang seperti ini tidak hanya terjadi di luar gereja, tetapi juga terjadi di dalam gereja. Demi merangkul pemuda dari berbagai kalangan, pelayanan pemuda sering kali mengadopsi cara atau metode dari dunia ini. Penggunaan musik kontemporer atau lighting ala diskotek di dalam ibadah, hingga acara-acara gereja yang dirangkai sedemikian rupa demi penjangkauan hati pemuda zaman ini. Prinsip-prinsip pelayanan yang sudah digumulkan dan diperjuangkan di dalam sejarah dianggap kuno dan dibuang. Ini adalah efek dari masuknya pluralisme postmodern ke dalam gereja. Akibatnya, pelayanan pemuda sering kali mengalami pasang surut dan tidak memiliki arah yang jelas. Pelayanan pemuda menjadi kehilangan identitasnya sebagai pemuda Kristen.
Kekristenan dan Pluralisme
Alkitab tidak pernah menolak pluralitas yang ada di dalam sejarah. Alkitab juga tidak pernah meniadakan pluralitas. Kita percaya bahwa realitas dunia ini diciptakan dengan kebijaksanaan dari Allah Tritunggal sehingga memiliki prinsip unity in diversity, karena itu keragaman di dalam dunia ini harus ditafsirkan di dalam kaitannya dengan kesatuan. Kita tidak percaya bahwa keragaman itu tidak memiliki aspek harmonis. Setiap perbedaan yang ada merupakan keragaman yang bisa kita lihat secara harmonis. Tidak ada kelompok yang dianggap lebih inferior ataupun superior, semua adalah manusia yang sama martabatnya di hadapan Allah, yaitu sebagai ciptaan. Selain itu, setiap manusia juga adalah manusia berdosa yang layak dihukum Allah di dalam api neraka untuk selama-lamanya. Tidak ada manusia yang cukup baik di hadapan Allah, tidak ada yang superior. Namun, keunikan dari setiap pribadi yang berbeda tetap dipertahankan bahkan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Inilah cara pandang kekristenan terkait dengan pluralisme.
Didasari dengan konsep berpikir seperti ini, maka perjuangan kita dalam melawan diskriminasi adalah perjuangan untuk mengembalikan seluruh umat manusia kepada martabatnya sebagai manusia di hadapan Allah. Ketika ada sekelompok orang yang ditindas, kita harus membelanya. Ketika ada kelompok yang merasa superior dan menindas kelompok lain, kita harus melawan mereka atas dasar kemanusiaan. Dengan demikian, kita diajak untuk memandang setiap manusia sebagai peta dan teladan Allah yang memiliki hak dan martabat yang sama, tanpa memandang ras, suku, atau agamanya. Namun, perjuangan yang mendehumanisasi, walaupun mengatasnamakan hak asasi manusia, juga harus kita tentang. Perjuangan mereka bukanlah perjuangan yang ingin mengembalikan martabat manusia, tetapi hanyalah perjuangan yang ingin keberdosaannya dilegalkan. Ini adalah sebuah kebobrokan dan kemerosotan nilai kemanusiaan.
Berkaitan dengan pelayanan pemuda, kita pun harus menyadari bahwa ada prinsip-prinsip kebenaran yang harus dipertahankan. Segala usaha yang dilakukan demi menjangkau pemuda dari berbagai kalangan adalah usaha yang justru sedang melunturkan prinsip kebenaran. Sebagai pemuda Kristen kita harus memiliki tulang punggung yang kukuh dalam mempertahankan prinsip dasar kebenaran yang Tuhan sudah wariskan dari zaman ke zaman. Tetapi di sisi lain, kita harus menjadi pemuda yang juga memiliki keluasan di dalam menjangkau banyak kalangan tanpa perlu mengompromikan prinsip yang benar.
Semangat pluralisme yang tidak kembali kepada prinsip unity in diversity di dalam Tritunggal, akan menjadi semangat yang justru semakin menghancurkan martabat manusia. Segala bentuk perjuangan pluralisme pada zaman ini yang mendehumanisasi harus kita tentang sebagai gerakan yang justru menghina martabat manusia. Sebagai pemuda Kristen, kita harus membawa semangat pluralisme yang sejati. Semangat yang mengembalikan martabat manusia sebagai peta dan teladan Allah, tetapi di sisi lain pun tetap menghargai setiap perbedaan sebagai anugerah yang Tuhan berikan bagi setiap ciptaan.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES