Setelah terjadinya Holocaust yang memakan sekitar 12 juta manusia (6,5 juta orang Yahudi dan 5,5 juta lainnya), muncul sebuah pertanyaan apakah akan terjadi “Holocaust” atau genosida kedua dan ketiga? Harapan masyarakat pada masa itu adalah “semoga jangan terjadi lagi”. Berawal dari Perang Dunia Pertama, Kedua, dan Holocaust yang dicetuskan oleh Hitler, maka masyarakat Barat mencetuskan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948. Trauma terhadap kejahatan kemanusiaan yang dihasilkan oleh suatu peradaban yang sangat maju membuat mereka mengeluarkan “surat pernyataan” itu. Walau demikian, setelah redanya Perang Dunia, hal itu dilanjutkan dengan Perang Dingin antara liberalisme blok Barat dan komunisme blok Timur yang memakan lebih banyak jiwa manusia. Berarti, “Holocaust versi 2.0” masih dapat terjadi dengan sangat mungkin.
Kalau kita mempelajari sejarah Tiongkok, kematian yang disebabkan oleh komunisme di bawah kepemimpinan Mao menelan sekitar 40 juta manusia oleh karena terjadinya kelaparan pada saat dilakukan The Great Cultural Leap (大跃进). Peristiwa Holodomor, yaitu sebuah kelaparan yang direkayasa oleh komunis Rusia terhadap Ukraina memakan sekitar 5 juta manusia. Rusia di bawah kepemimpinan Joseph Stalin juga mematikan sekitar 20 juta manusia. Berdasarkan statistik kematian ini, sebetulnya selain nyamuk yang mematikan banyak manusia, manusia sendirilah yang juga menyebabkan kematian terhadap ras spesiesnya sendiri. Menurut Franz Magnis Suseno, selain ideologi Nazi Jerman yang menganggap ras Aryan superior, komunisme juga menjadi ideologi yang sangat berbahaya. Ideologi-ideologi ini menolak keberadaan Tuhan sebagaimana dalam tulisan Karl Marx: “agama adalah candu”. “Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.”
Itulah sebabnya Erich Fromm menyatakan dalam bukunya The Sane Society, “Pada abad ke-19, Tuhan telah mati. Pada abad ke-20, manusia telah membunuh dirinya sendiri.” Dan sepertinya analisis oleh Fromm tepat sasaran. Kita bisa melihat tragedi itu dalam sejarah. Dan mungkin saja, di antara kita bisa merasa bahwa hal itu adalah sesuatu yang jauh di sana. “Itu kan urusan Barat dan Rusia, tidak ada urusannya dengan kita.” Mohon maaf, justru di situlah kita salah. Indonesia juga merupakan negara yang melakukan “Holocaust”.
Sejak kemerdekaan Indonesia, konflik antarkelompok sudah mulai terjadi. Bagaikan perang antara kelompok sekte di “Hogwarts”, Sudra-Kerakyatan bersama Brahma-Agama dan Ksatria-Nasionalis bergerak untuk mengusir kolonial Belanda. Namun, pada akhirnya mereka masih bertarung satu dengan yang lain. Kemerdekaan tidak membawa kepada persatuan. Orde Lama dikuasai oleh Sudra-Kerakyatan di mana nantinya presiden Sukarno menjadi dekat dengan Blok Timur (komunis) dan trauma terhadap Barat menyebabkan dia menjadi salah satu tokoh yang bersifat anti-demokrasi. Sukarno adalah penyusun Pancasila dan proklamator yang luar biasa, tetapi sebagai manusia yang terbatas, dia pun dapat digiring oleh kekuatan politik internasional. Indonesia menjadi papan catur perang ideologi. Meski mengaku non-blok, namun dengan besarnya Partai Komunis Indonesia yang pada tahun 1950 hanya sekitar belasan ribu telah bertumbuh menjadi beberapa juta bersama simpatisan di tahun 1960 di bawah pimpinan D. N. Aidit, Sukarno menyusun istilah “NASAKOM” (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) untuk membenarkan tiga kelompok tersebut sebagai podium untuk memperkuat posisi politisnya.
Hilangnya demokrasi menandakan bahwa seorang pemimpin hanya dapat digantikan jika dia memilih penerus atau dikudeta. Belum lagi inflasi pada saat itu adalah 600%. Membeli nasi goreng seharga 10 ribu rupiah telah menjadi 60 ribu rupiah. Rakyat kelaparan, dan protes terhadap Presiden Sukarno menjadi makin kuat. Pada tahun 1965, di malam 30 September, terjadilah pembunuhan terhadap 6 jenderal yang dilakukan oleh para elite PKI. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa D. N. Aidit yang melakukannya dan mendapatkan dukungan dari Blok Timur (komunis). Sebaliknya, kekuatan Ksatria-Militer mengambil kesempatan itu untuk melawan balik dengan dukungan Blok Barat (liberal), menangkap para elite PKI, dan terjadi pembantaian massal sebanyak 2 juta nyawa. Kaum petani, buruh, Muslim abangan, orang Tionghoa, penganut nilai kepercayaan lokal, dan lainnya cenderung dipandang sebagai simpatisan dari partai merah ini.
Seandainya PKI melakukan revolusi dan Indonesia menjadi negara komunis, sudah hampir dapat dipastikan pulau Jawa dan Bali yang menganut budaya kasta dan budaya “sudra-kerakyatan” akan menjadi “merah”, Indonesia akan terpecah-pecah, dan revolusi itu akan menjadi perang saudara. Sebaliknya, PKI yang sangat agresif itu kalah, Ksatria-Militer mengambil alih takhta kekuasaan, dan lahirlah Orde Baru. Istilah “komunis” dan “PKI” telah menjadi sebuah hantu, tabu, dan sebuah cap yang mematikan. Siapa dituduh itu, dia akan dipandang sebagai “monster”. Pertanyaannya, di manakah gereja pada saat tragedi “Holocaust Indonesia” sedang terjadi?
Gereja bukanlah salah satu kekuatan ideologis di Indonesia. Gereja tidak mempunyai kepentingan untuk menguasai negara. Dia bukan Sudra-Kerakyatan yang menginginkan revolusi, bukan Ksatria-Militer yang menginginkan kekuatan negara, bahkan bukan Brahma-Agama yang mencoba untuk mengubah negara menjadi negara agama. Gereja adalah sekelompok liyan (stranger) yang menjadi minoritas sekaligus memberi penampungan (refuge) bagi mereka yang nyawanya sedang terancam, seperti yang dilakukan oleh orang Samaria itu. Gereja membuka pintu dan menerima individu yang sedang membutuhkan pertolongan, sambil bergerak untuk mengabarkan Injil di penjara-penjara bagi mereka yang mendapatkan cap sebagai “musuh negara” (enemy of the state). Di tengah momen-momen kegelapan itu, gereja mengalami pertumbuhan yang sangat besar. Pada tahun 1945, jumlah penduduk Indonesia yang beragama Kristiani adalah 3%. Sekarang, penduduk yang beragama Kristiani di Indonesia adalah sekitar 9-10%. Salah satu peristiwa yang membuat gereja bertumbuh di Indonesia (dan di dunia) adalah ketika gereja menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi (refugee).
Salah satu keindahan gereja di Indonesia adalah keterbukaan hati. Di Barat, ketika terjadi Holocaust, yaitu pembantaian terhadap orang Yahudi, gereja cenderung diam, dan bahkan menganggap orang Yahudi sebagai penjahat yang “membunuh Yesus” (Jesus Killer). Itulah sebabnya sampai hari ini banyak orang Yahudi yang sulit percaya Yesus sebagai Mesias, dan gereja-gereja di Barat mengalami penurunan. Sebaliknya di Indonesia, gereja pernah memberanikan diri untuk menerima mereka yang nyawanya terancam. Itu sangat amat bahaya karena gereja pun juga bisa dituduh sebagai “musuh negara” dan “musuh agama”. Namun menariknya, justru karena itulah gereja mengalami pertumbuhan yang pesat. Apakah gereja Indonesia di hari ini masih mempunyai semangat yang serupa dengan hari-hari gelap itu?
Gereja adalah sekelompok liyan (stranger) yang menjadi minoritas sekaligus memberi penampungan (refuge) bagi mereka yang nyawanya sedang terancam, seperti yang dilakukan oleh orang Samaria itu. Gereja membuka pintu dan menerima individu yang sedang membutuhkan pertolongan, sambil bergerak untuk mengabarkan Injil di penjara-penjara bagi mereka yang mendapatkan cap sebagai “musuh negara” (enemy of the state).
Gereja di Indonesia harus makin sadar bahwa keterbukaan hati ini bukan “sekadar” sikap hati. Keterbukaan hati adalah langkah konkret awal yang akan memimpin dan menentukan sikap gereja di masyarakat. Gereja harus sadar bahwa keterbukaan hati tidak mungkin lahir tanpa melek konteks, terlebih lagi sadar bahwa kehadiran Injil di negara ini tidak “netral”. Ini memaksa gereja untuk membawa kembali warna berani yang dahulu membawa pertumbuhan besar di bangsa ini. Melek konteks bukan lagi keadaan “ideal” atau “sebaiknya”, melainkan tanggung jawab.
Pergulatan politik akan terus terjadi, dan kestabilan sosial dapat terganggu. “Hogwarts Indonesia” dengan ragam kepentingan politis-ideologis akan terus mengalami ketegangan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, tetapi kita tetap perlu berwaspada. Seandainya “hal buruk” terjadi sekalipun, itu justru menjadi ruang kesempatan bagi gereja untuk bertumbuh. Di tengah kenyamanan, gereja cenderung ditelan oleh kuasa dunia dengan tawaran-tawaran dan fasilitas-fasilitasnya. Di tengah kegelapan, gereja justru turut mengalami kebangkitan yang signifikan mengikuti jejak Yesus Kristus Juruselamatnya dan dimampukan untuk menjadi garam dan terang. Di hari gelap sejarah bangsa Indonesia ini, siapkah kita merenungkan dan mendoakan sikap hati kita untuk kembali melukis warna berani itu? Warna yang pernah menumbuhkan kita di tengah ancaman hidup dan mati?
Kevin Nobel dan Biya Hannah Hutagalung