Buletin PILLAR
  • Transkrip
  • Alkitab & Theologi
  • Iman Kristen & Pekerjaan
  • Kehidupan Kristen
  • Renungan
  • Isu Terkini
  • Seni & Budaya
  • 3P
  • Seputar GRII
  • Resensi
Isu Terkini

Gereja Milik Siapa?

14 November 2025 | Kevin Nobel 30 min read

Bila Allah adalah Bapa, maka gereja adalah ibu bagi umat percaya. Ketika kita menjalankan kehidupan bergereja, kita akan bertemu dengan orang-orang lain, serta sebuah tata kehidupan berkomunitas dan berorganisasi. Kehidupan gereja tidak dapat hanya sekadar sebuah kumpulan orang yang berkumpul dan berdoa bersama. Di saat yang sama, sebuah gereja juga bukan hanya sebuah organisasi yang bersifat kaku dan dingin. Jantung dari kehidupan gereja adalah adanya kumpulan orang percaya yang berdoa, memberitakan dan mendengarkan firman, serta menerima sakramen. Akan tetapi, sebuah gereja juga memerlukan sistem pemerintahan yang mengatur dan meregulasikan kehidupan bermasyarakat bagi umat Allah. Berkomunitas dan cara memimpin sebuah sistem pemerintahan gereja adalah penting sebab itu merefleksikan bagaimana para penggembala menggembalakan domba-domba milik Allah.  

Dalam artikel ini, saya akan memaparkan sebuah analisis sosiologis dan teologis mengenai sistem pemerintahan gereja serta pentingnya kehidupan berkomunitas di dalamnya. Saya akan mengawali analisis dengan sebuah lensa sosiologis terlebih dahulu, khususnya yang mengacu kepada tipe ideal dan otoritas dari Max Weber. Kemudian, saya akan menarik analisis tersebut ke dalam sistem pemerintahan gereja: episkopal-hierarkis, kongregasional, dan presbiterian (tua-tua). Terakhir, saya akan menjelaskan bagaimana peran jemaat awam dan pendidikan iman Kristiani menjadi tulang punggung dalam mengatur kehidupan bergereja dan keberlangsungan budaya gereja pada generasi yang akan mendatang.

Otoritas Tradisional: Sistem Pemerintahan Episkopal

Max Weber, bapak sosiologi modern, yang dikenal dengan bukunya Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, adalah seorang tokoh yang menjelaskan bagaimana “kepribadian” (personality) dari sebuah nilai kebudayaan (otoritas) dapat mendorong seseorang untuk berbagian dalam kapitalisme. Buku ternama ini dalam ranah sosiologi tampaknya memang menarik banyak perhatian kaum Kristen dan kelompok sekuler. Etika Protestan yang diangkatnya berawal dari pemikiran Luther mengenai panggilan (beruf) dan predestinasi ganda Calvin yang mendorong kelompok Kristen untuk bekerja keras di ranah sekuler demi mengekspresikan imannya (walaupun ada juga banyak hal yang tidak sejalan dengan ajaran Reformed yang menjelaskan bahwa perbuatan manusia belum tentu bisa mencerminkan iman keselamatan). Akan tetapi, ada satu hal yang menarik dari Weber yaitu ketika dia menjelaskan sistem kepemimpinan dalam sebuah masyarakat tradisional dan modern, di mana sistem administrasi modern dan parlementer sebetulnya adalah “percikan” dari sistem presbiter dari gereja Reformed.

Di tengah masyarakat yang sedang berubah pada masa itu, Weber melihat bahwa terjadi pergeseran sistem otoritas yang berlaku dalam masyarakat. Berawal dari kehidupan masyarakat agrikultur dan feodal, kepemimpinan politik yang diwakili oleh raja dan anak-anaknya, serta kepemimpinan religius oleh gereja Katolik yang dipimpin oleh paus dan hierarki di atasnya. Kehidupan masyarakat tradisional yang diwarnai dengan kasta berlapis menjadi corak Eropa Barat pada masa Abad Pertengahan (dan abad kegelapan). Selama seribu tahun, masyarakat yang menganut sistem tradisional tidak mengalami perubahan yang signifikan. Setiap orang sepertinya sudah mengetahui apa yang terjadi dan akan meneruskan kebiasaan yang lama tanpa mengalami sebuah perubahan ataupun membawa masuk sebuah inovasi baru ke dalamnya. Sedikit catatan, masyarakat tradisional seperti ini tidak hanya terjadi di Eropa Barat, tetapi juga berlaku di masyarakat Tiongkok, Jepang, Korea, di mana masyarakat itu menganut sistem pemerintahan kekaisaran, di mana penerus estafet kekuasaan diwariskan melalui ikatan darah.

Dalam konteks masyarakat tradisional seperti ini, gereja akan menganut sistem pemerintahan episkopal-hierarkis. Kata “episkopal” sendiri berasal dari kata Yunani episkopos yang berarti “keuskupan” yang dekat dengan sifat hierarkis. Dalam konteks masyarakat Eropa Barat, Gereja Katolik Roma merupakan contoh dari sistem tradisional yang cukup ketat. Tokoh karismatik seperti paus dan hukum kanonis gereja merupakan bentuk dari sistem hukum tertulis (legal-rasional). Akan tetapi, tradisi gereja yang berpusat pada uskup Roma menjadi salah satu corak dari bentuk otoritas tradisional dan monarkial. Uskup Roma atau paus Katolik Roma menjadi bagian dan penerus sistem tradisional yang dimaksud oleh Weber. Di sini, para kardinal, uskup agung, uskup, imam, dan biarawan diposisikan secara berlapis untuk menduduki posisi sosial secara hierarkis, di mana arahan atasan akan diikuti secara beruntut. Yang bawah mengikuti yang atas, dan yang lebih tinggi mengikuti atasannya lagi, dan seterusnya. Dalam sistem episkopal dan hierarkis seperti demikian, cakupan administratif dan kestabilan organisatoris dapat diregulasikan dengan sangat kuat.

Akan tetapi, apabila terjadi “kesesatan ajaran” atau korupsi yang masuk pada jajaran di tingkat atas, maka itu akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar. Jika terdapat paus yang kurang baik, atau kumpulan para kardinal dan jajaran di bawahnya tidak mencerminkan karakter rohani yang semestinya, itu akan menyebarkan dampak negatif yang berlangsung sangat lama dan masif ke bawahnya. Jika ada satu paus yang mengaku “tidak mungkin salah” dan menduduki kekuasaan yang tidak dapat dipertanyakan (papal supremacy), dan proses pemilihan paus dalam conclave mengalami perpecahan, maka itu bisa menimbulkan kubu-kubu di dalam gereja. Pada suatu masa, terdapat tiga paus sekaligus dalam Eropa Barat yang disebut juga sebagai The Great Western Schism (hal ini perlu dibedakan dengan The Great Schism ketika gereja Barat berpisah dari gereja Timur). Hal ini sudah dikritik baik oleh gereja Timur maupun oleh Paus Gregory Agung, dan kemudian dikritik oleh Reformasi Protestan, yang menyatakan bahwa tokoh yang terlalu dominan dalam memimpin gereja justru bisa memecahkan gereja.

Kekhawatiran ini pernah diangkat oleh Paus Gregory Agung yang menjelaskan bahwa “jika ada satu uskup yang klaim dirinya satu-satunya yang universal, maka dia adalah anti-Kristus”. Konsekuensi dari pernyataan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Joseph Ratzinger (Paus Benediktus ke-16) yang juga menjelaskan adanya sebuah kecemasan besar di masyarakat Eropa Barat pada abad ke-15 (sebelum Reformasi) ketika munculnya tiga paus di saat yang sama selama beberapa dekade. Hal itu nantinya diselesaikan dalam konsili Constance (1415), tetapi itu juga menjadi sebuah konsili yang membakar Jan Hus, yang nantinya menjadi dasar bagi munculnya Reformasi Protestan. Ketika kekuatan hierarki menjadi terlalu kuat sampai bersifat anti-kritik, maka kritik dari individu-individu yang mencoba untuk memperbaiki gereja akan dipandang sebagai ancaman. Tidak hanya reformator ekstra-Katolik (di luar Katolik) Protestan seperti Luther dan Calvin, tetapi reformator intra-Katolik (dalam Katolik) seperti Ignatius Loyola, Theresa Avila, dan Yohanes Salib juga dipenjara oleh sistem kekuasaan yang berlaku terlalu keras dari atas. Dalam konteks gereja di Inggris, kelompok Puritan, Methodist, dan Baptist juga mengalami tekanan yang serupa oleh gereja Anglikan yang menitikberatkan kekuasaan dari “atas ke bawah” (top-down).

Otoritas Karismatik: Sistem Pemerintahan Kongregasional

Berlanjut dari situ, tampaknya Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Luther pada tahun 1517 menjadi momen yang mengubah otoritas tradisional dari gereja Katolik. Perlu diakui, “berkat” Luther, Gereja Katolik Roma secara internal harus menerima kritik dan melakukan perbaikan organisatoris. Melalui konsili Trente (1545-1563), yaitu sebuah konsili terlama dan juga menjadi konsili yang mengakui banyak poin-poin dari para reformator Protestan (Luther dan Calvin), sekaligus juga menolak sebagian, Gereja Katolik Roma juga mulai memperbaiki gereja. Hanya saja, keputusan untuk melakukan ekskomunikasi terhadap Luther juga menjadi sebuah momen yang memisahkan gereja Barat menjadi gereja di bawah paus Roma dan gereja di bawah tokoh-tokoh reformator.

Sekarang kita berlanjut kepada tokoh-tokoh reformator yang menjadi halaman sejarah bagi kaum Protestan. Di kalangan Lutheran, Martin Luther, Martin Chemnitz, Johann Gerhard, dan Philip Melanchthon menjadi tokoh-tokoh karismatik yang meneruskan gerakan Reformasi di Jerman. Sebaliknya, dari kalangan Reformed, Ulrich Zwingli, Heinrich Bullinger, John Calvin, Theodore Beza, dan John Knox menjadi penerus dari gerakan Reformasi asal Swiss dan Jenewa. Perhatikan bahwa Protestanisme berasal dari kalangan kerakyatan atau kasta “plebeian” (commoners) yang mengkritik kalangan bangsawan hierarkis atau kasta “patrician” (elites) yang mewakili struktur episkopal-hierarkis Katolik Roma. Biasanya, sebuah gerakan kerakyatan akan diwakili oleh seorang tokoh karismatik yang memiliki karisma berorasi seperti Luther, kecerdasan organisatoris dan menulis seperti Calvin, dan mereka tidak berasal dari kaum bangsawan atau rohaniwan. Luther adalah seorang imam, anak dari seorang rakyat biasa. Calvin berasal dari keluarga bangsawan, tetapi bukan seorang imam. Namun, kualitas dan kapasitas yang dimiliki oleh tokoh-tokoh ini adalah hal yang mampu mengubah sebuah masyarakat dari masa tidurnya selama ribuan tahun.

Weber menjelaskan bahwa tokoh-tokoh karismatik seperti demikian memang memiliki kemampuan unggul untuk menjadi tokoh masyarakat. Perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan “karismatik” bukanlah sistem Teologi Karismatik yang mendorong mukjizat dalam ibadah. Akan tetapi, yang dimaksud dengan “karismatik” dalam analisis ini adalah tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar dan sistem pemerintahan yang berpusat pada figur individu. Otoritas karismatik berlaku baik dalam ranah religius maupun non-religius. Tokoh-tokoh politik sekuler yang bersifat karismatik dapat dikenal melalui sosok seperti Sukarno, Adolf Hitler, Napoleon Bonaparte, Lee Kuan Yew, dan lain sebagainya. Yang perlu digarisbawahi dalam otoritas karismatik adalah terpusatnya perhatian sebuah kelompok sosial pada sosok pemimpin tertentu, yang mampu memimpin sebuah gerakan melalui daya orasi yang sangat mahir.

Dalam sebuah sistem tradisional, seorang raja bisa saja mempunyai seorang anak, tetapi sang pangeran belum tentu memiliki kemampuan yang sama dengan ayahnya. Malah sebaliknya, sang pangeran bisa saja menjadi tokoh yang korup dan memanfaatkan hubungan nepotisme seperti itu untuk bersikap jahat. Pada akhirnya, akan muncul seorang pemimpin dari kalangan rakyat biasa, entah itu dari kelas bawah yang merasakan penderitaan atau kelas menengah yang lebih terdidik, untuk melakukan sebuah gerakan perubahan terhadap pemerintahan yang kurang baik. Dalam hal kehidupan gerejawi, Luther dan Calvin yang telah merasakan kegagalan dari sistem pemerintahan gereja di Eropa Barat, menjadi pelopor untuk memperbaikinya. 

Hanya saja, salah satu kelemahan dari otoritas yang berpusat pada tokoh karismatik adalah potensi untuk melakukan pengkultusan atau pemberhalaan pada satu figur tokoh. Mengingat bahwa para jemaat yang lama hidup dalam sistem tradisional-hierarkis tidak betul-betul dididik dengan baik dan diajarkan untuk sekadar patuh dan taat secara buta, munculnya seorang sosok karismatik bisa saja menjadi sebuah pengharapan mesianik bagi mereka. Dalam masyarakat Indonesia, kita bisa menemukan ini pada sosok Sukarno dan Hatta yang memimpin kemerdekaan dari sistem pemerintahan kolonial Belanda yang memanfaatkan sistem feodalisme untuk menguasai masyarakat Nusantara. Dalam kehidupan bergereja, kita juga akan sering menemukan sosok-sosok hebat yang menggerakkan sebuah perubahan. Tanpa tokoh karismatik, maka gereja akan menjadi sebuah organisasi yang “biasa-biasa” saja atau menjadi sebuah “museum” yang akan dilupakan. Dalam Alkitab, Tuhan memang membangkitkan tokoh-tokoh karismatik seperti Musa, Yosua, Simson, Daud, dan lain sebagainya.

Dalam konteks dunia Protestan, memang tokoh-tokoh seperti Martin Luther dan John Calvin, George Whitefield dan Charles Spurgeon, John dan Charles Wesley, Billy Graham, John Sung dan Andrew Gih menjadi pahlawan rohani yang memimpin sebuah kehidupan berbangsa. Hanya saja, dalam analisis sosial, tokoh karismatik tidak mampu menjalankan hidup dengan lama. Bila proses regenerasi tidak dijalankan dengan baik, maka ketika tokoh karismatik itu wafat, berhentilah seluruh gerakan yang diawalinya. Dalam gerakan Reformasi, Luther menegaskan bahwa dia juga enggan membangun sebuah gereja Lutheran (pengikutnya yang mencetuskan istilah itu). “Aku tidak disalibkan untukmu, melainkan hanya Yesus Kristus” (bdk. 1Kor. 1:13). Demikian pula dengan John Calvin yang tidak menginginkan sebuah kuburan mewah, bahkan dia meminta agar namanya dihapus dari batu nisan; sampai hari ini belum ada konfirmasi pasti di mana posisi kuburannya. Apabila kita mempelajari tokoh-tokoh karismatik yang sungguh-sungguh setia kepada Tuhan, mereka akan mengambil sikap Yohanes Pembaptis: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30).

Kelemahan Otoritas Karismatik

Apa yang terjadi jika tokoh-tokoh karismatik seperti ini menjadi tinggi hati, bahkan dia mampu bermain peran sebagai seorang mesias? Ya kalau itu adalah seorang sosok karismatik dalam dunia politik sekuler, itu pun sudah sangat besar pengaruhnya. Bagaimana jika dalam sebuah gereja ada seorang sosok yang mampu berkhotbah dengan luar biasa, melakukan hal-hal supranatural, menyembuhkan orang dan membangkitkan orang mati, dan menjadi sosok karismatik yang raksasa? 

Permasalahannya terletak pada beberapa titik. Jika memang benar dia adalah sosok karismatik yang baik dan tulus sekalipun, besar kemungkinan dia tidak ada pengganti yang memiliki kuasa dan karisma yang sama. Di masa-masa kejayaan dan masa-masa mendekati kematiannya, akan muncul tokoh-tokoh pengganti atau juga tokoh yang ingin merebut kekuasaan. Dengan mengatasnamakan tokoh karismatik sebelumnya, mengaku dia yang paling bisa menyelamatkan dan meneruskan visi misi, dari situlah dia dapat memenangkan simpati jemaat yang sedang merasa cemas dan kehilangan. Sebagaimana Suharto dan Aidit sama-sama memakai nama “Sukarno” untuk membenarkan tindakannya, demikian juga mereka sebetulnya sedang menggeser Sukarno dari takhtanya sambil menjadi “pendukungnya yang paling setia”.

Tokoh karismatik seperti ini biasanya juga rentan untuk melakukan banyak kesalahan. Nasihat-nasihat dari orang terdekat yang tidak terpengaruh oleh nuansa karismatik miliknya justru menjadi harta karun yang terbaik. Nabi Musa yang membelah Laut Merah membutuhkan nasihat dari Yitro dan para tua-tua yang menjadi hakim atas umat Israel (Kel. 18:13-27) dan dia tetap berdosa sehingga tidak diizinkan masuk ke tanah perjanjian (Bil. 20:7-12). Imam Eli ditegur oleh Samuel yang masih kecil (1Sam. 3:17-18). Daud yang adalah raja agung ditegur keras oleh Natan karena dosanya membunuh Uria dan mencuri istrinya (2Sam. 12:1-15), padahal seorang raja harus senantiasa belajar dari kitab para imam agar tidak tinggi hati terhadap saudaranya (Ul. 17:18-20). Sayangnya, jika pemimpin karismatik ini hanya ingin mendengarkan apa yang dia sukai, yaitu yang selaras dengan keinginannya, maka orang-orang yang berada di sekitar pemimpin tersebut dapat membisikkan informasi palsu tetapi menyenangkan perasaan dan telinganya, sehingga dia menjadi “boneka” bagi bodyguard dan loyalist yang mengelilinginya.

Pada umumnya tokoh-tokoh seperti ini juga yang paling berbahaya. Di satu sisi, mereka sudah membuktikan kemampuan mereka yang sangat luar biasa, tetapi di saat yang sama, merekalah yang juga bisa melakukan kerusakan (abuse) terhadap jemaatnya. Jemaat yang bermanfaat akan dipandang sebagai “anak tuhan”, sedangkan jemaat yang tidak dapat dikendalikan atau dimusuhi akan dianggap “anak setan”. Malah kadang sosok karismatik yang sedemikian “rohani” dan mampu memengaruhi banyak orang justru sering merendahkan orang lain, lawan bicara, dan rekan kerja yang dianggap sebagai pesaing, dan sering mengalami kejatuhan dalam dosa-dosa yang fatal. Dan yang lebih bermasalah adalah banyak domba yang menyukai sosok serigala. Ketika domba tidak mengenal gembalanya, karisma predator dari serigala tampaknya lebih terasa sebagai pelindung dibandingkan penggembala yang mengasihi domba. 

Selama tokoh karismatik ini berkuasa, rentan sekali ajaran sesat dimunculkan dari mulut bibirnya untuk menyesatkan para pengikutnya. Dalam sejarah gereja, ajaran sesat yang berbahaya bukanlah sesuatu yang berasal dari luar, melainkan dari dalam—dan dipelopori oleh tokoh karismatik. Arius yang mengajarkan “Yesus adalah ciptaan” adalah seorang uskup karismatik asal Alexandria (Mesir) yang ajarannya menyebar luas. Nestorius, yang mengajarkan adanya “dua manusia Yesus”, satu tubuh dan satu roh, adalah seorang Partiarkat (ketua para uskup Timur) asal Konstantinopel. Permasalahan seperti ini terus berlangsung sampai sekarang, di mana kita sering menemukan tokoh-tokoh terkenal yang membawa ajaran sesat kepada jemaat gereja.

“Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” (Matius 7:15-20)

Ajaran sesat dan sikap yang tidak berbuah baik di sini ditujukan kepada individu yang menduduki posisi yang tinggi dalam sebuah gereja. Posisi sebagai guru, pendeta, dan penatua adalah beberapa posisi yang sedang ditegur oleh Tuhan Yesus. Ketika Tuhan Yesus menyatakan orang-orang yang tidak masuk ke dalam Kerajaan Sorga, Dia sedang mengarahkan teguran ini kepada tokoh-tokoh rohani, bahkan kepada mereka yang mampu melakukan mukjizat, meramal atau “bernubuat” mengenai masa depan, dan mengusir setan, yaitu pengalaman religius tertinggi, yang dimiliki oleh sosok karismatik. Bagi Allah, sosok karismatik atau tidak bukanlah penting, tetapi sikap hati yang menentukan.

“Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Matius 7:22-23)

Membangun Pemerintahan Gereja Presbiter

“Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barang siapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:8-12)

Selain Tuhan Yesus yang adalah Raja, Imam, dan Nabi yang sempurna, tidak ada seorang pun yang dapat menjadi tokoh berkarisma tanpa dosa. Itulah sebabnya Alkitab membukakan sebuah kebenaran yang sangat jelas: sehebat-hebatnya manusia rohani dan agung yang diangkat Tuhan, dia hanyalah manusia biasa, berdosa, dan debu tanah. Dosa-dosa tokoh rohani tercatat oleh Allah sehingga tidak ada seorang pun yang dapat sombong. Apabila Yesus Kristus menjadi Kepala gereja, dan Dia memegang kedaulatan penuh atas gereja, maka tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan posisi-Nya. Jika Kristus berdaulat atas gereja-Nya, maka tidak ada seorang manusia yang dapat menyamakan dirinya dengan Kristus. “Dia harus makin besar, kita harus makin kecil”. John Calvin menyebut bahwa hati manusia memiliki kecenderungan untuk memberhalakan segala sesuatu, termasuk pemimpin manusia dalam sebuah gereja, sehingga prinsip kedaulatan Kristus sebagai Kepala gereja seharusnya menjauhkan pengkultusan yang dapat merusak nama Tuhan.

Makin kita mencoba untuk meninggikan diri, termasuk terhadap seorang sosok karismatik, maka hal itu akan sangat rentan untuk direndahkan. Entah itu Iblis berinvestasi dan memanfaatkan proses pengkultusan dan pemberhalaan sebagai sarana untuk menghancurkan kerohaniannya, dan akhirnya dia akan jatuh dan mengecewakan para pengikutnya, atau ketika sosok tersebut mengambil sebuah langkah yang sengaja atau tidak sengaja melawan Tuhan, itu sendiri dengan meninggikan diri sebagaimana pernah Musa lakukan dalam merebut otoritas dan kemuliaan Tuhan (usurping): “Ketika Musa dan Harun telah mengumpulkan jemaah itu di depan bukit batu itu, berkatalah ia kepada mereka: ‘Dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?’” (Bil. 20:10).

Jika Musa, Daud, imam Eli, dan tokoh-tokoh raja, imam, dan nabi lainnya rentan untuk jatuh, maka siapakah kita? Jika para rasul, seperti Petrus dan Paulus, juga bisa jatuh dalam dosa, apalagi dengan kita? Maka dari itu, dengan sistem pemerintahan gereja manakah yang tepat? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mempelajari sejarah sistem presbiter yang dipandang mewakili sistem pemerintahan Gereja Mula-mula, yang nantinya dipakai oleh John Calvin dan John Knox dalam membangun sistem pemerintahan gereja dalam tradisi Reformed. Dalam Didache (70-100), yaitu sebuah dokumen ajaran dari para rasul sebelum terangkumnya kitab-kitab Perjanjian Baru, termuat sebuah kutipan yang berbunyi: 

“Karena itu, angkatlah bagi kalian uskup-uskup dan diaken-diaken yang layak bagi Tuhan, orang-orang yang lemah lembut, tidak cinta uang, jujur, dan teruji; sebab mereka juga melayani kalian dalam pelayanan para nabi dan para pengajar.” (Appoint therefore for yourselves bishops and deacons worthy of the Lord, men who are meek and not lovers of money, and truthful and proven; for they also serve you in the ministry of the prophets and teachers.) (Didache, Bab 15)

Kata “uskup” (episkopos) dan “tua-tua” (presbiteros) bersifat sinonim pada waktu itu. Dua-duanya dapat diartikan sebagai “penilik” (overseer). Apabila ditarik dalam konteks hari ini, itu dapat dikatakan bahwa seorang penatua (presbiteros) atau diaken memiliki tanggung jawab dan posisi yang sama pentingnya dengan seorang pendeta (episkopos). Dengan kata lain, istilah “hamba Tuhan” tidak hanya berlaku untuk mereka yang menjabat secara religius seperti berkhotbah atau membawa sakramen, tetapi penatua awam dan diaken awam juga dituntut untuk mengajar, berkhotbah, melayani dan menggembalakan, menginjili, serta menjalankan tanggung jawab yang sama dengan seorang pendeta dan vikaris-guru. Dalam 1 Timotius 3 yang ditulis pada rentang tahun-tahun yang sama dengan Didache, di situ Kitab Suci menjelaskan syarat-syarat penting bagi terpilihnya seorang penatua dan diaken. Di antaranya adalah bisa mengajar, menggembalakan, memberi tumpangan, tidak cinta uang, mampu membangun keluarga yang baik, teruji, mempunyai nama yang baik (tidak bercacat) baik di dalam gereja maupun di tengah masyarakat.

Berdasarkan ini, John Calvin juga menjelaskan bagaimana sebuah gereja akan dipimpin oleh beberapa posisi di bawah para rasul: Pendeta, Penatua, Guru, dan Diaken. Saya akan mengutip beberapa bagian dari Institutes.

Gereja didirikan oleh para nabi (prophets) dan para rasul (apostles), yaitu individu-individu yang dipilih langsung oleh Tuhan dalam Perjanjian Lama dan oleh Tuhan Yesus dalam Perjanjian Baru:

“Karena itu para Rasul diutus untuk membawa kembali dunia yang memberontak kepada ketaatan yang sejati kepada Allah, dan untuk menegakkan Kerajaan-Nya di mana-mana melalui pemberitaan Injil; atau, jika Anda mau, mereka itu seperti para arsitek pertama Gereja, yang meletakkan dasar-dasarnya di seluruh dunia.” (The Apostles, therefore, were sent forth to bring back the world from its revolt to the true obedience of God, and everywhere establish his kingdom by the preaching of the Gospel; or, if you choose, they were like the first architects of the Church, to lay its foundations throughout the world.) (Institutes, Buku ke-4, Bab 3, Paragraf 4)

“Dengan para Nabi, ia tidak bermaksud semua penafsir kehendak Ilahi, tetapi mereka yang unggul karena pewahyuan khusus; tidak ada lagi yang demikian sekarang, atau jika ada, mereka tidak begitu tampak.” (By Prophets, he means not all interpreters of the divine will, but those who excelled by special revelation; none such now exist, or they are less manifest.) (Institutes, Buku ke-4, Bab 3, Paragraf 4)

“Berikutnya adalah para Gembala dan Pengajar, yang tanpanya Gereja tidak pernah dapat berdiri, dan antara keduanya, menurut pendapat saya, terdapat perbedaan berikut: para pengajar tidak memimpin dalam hal disiplin, atau pelaksanaan sakramen, atau teguran, atau nasihat, melainkan hanya dalam penafsiran Kitab Suci, supaya ajaran yang murni dan sehat dapat dipelihara di antara orang percaya. Namun semua tugas ini tercakup di dalam jabatan kegembalaan.” (Next come Pastors and Teachers, with whom the Church never can dispense, and between whom, I think, there is this difference, that teachers preside not over discipline, or the administration of the sacraments, or admonitions, or exhortations, but the interpretation of Scripture only, in order that pure and sound doctrine may be maintained among believers. But all these are embraced in the pastoral office.) (Institutes, Buku ke-4, Bab 3, Paragraf 4)

“Dengan memberikan sebutan Uskup, Penatua, dan Gembala secara tanpa pembedaan kepada mereka yang memerintah jemaat, aku melakukannya berdasarkan otoritas Kitab Suci, yang menggunakan kata-kata itu sebagai sinonim. Kepada semua yang menjalankan pelayanan firman, Kitab Suci memberikan sebutan uskup.” (In giving the name of Bishops, Presbyters, and Pstors, indiscriminately to those who govern churches, I have done it on the authority of Scripture, which uses the words as synonymous. To all who discharge the ministry of the word it gives the name of bishops.) (Institutes, Buku ke-4, Bab 3, Paragraf 8)

“Pelayanan kepada orang miskin dipercayakan kepada para Diaken. Kitab Suci secara khusus memberikan sebutan diaken kepada mereka yang ditetapkan Gereja untuk membagikan sedekah dan merawat orang miskin, menjadikan mereka seolah-olah bendahara umum bagi perbendaharaan kaum miskin. Asal-usul, penetapan, dan jabatan mereka dijelaskan oleh Lukas (Kis. 6:3). Ketika timbul sungut-sungut di antara orang-orang Yunani karena dalam pelayanan kepada orang miskin para janda mereka diabaikan, para rasul—dengan alasan bahwa mereka tidak mampu memikul kedua tugas sekaligus, yaitu memberitakan firman dan melayani meja—meminta jemaat untuk memilih tujuh orang yang dikenal baik, kepada siapa jabatan itu dapat diserahkan. Diaken seperti yang dimiliki Gereja Apostolik, patut juga kita ikuti teladannya.” (The care of the poor was committed to Deacons. Scripture specially gives the name of deacons to those whom the Church appoints to dispense alms, and take care of the poor, constituting them as it were stewards of the public treasury of the poor. Their origin, institution, and office, is described by Luke (Acts 6:3). When a murmuring arose among the Greeks, because in the administration of the poor their widows were neglected, the apostles, excusing themselves that they were unable to discharge both offices, to preach the word and serve tables, requested the multitude to elect seven men of good report, to whom the office might be committed. Such deacons as the Apostolic Church had, it becomes us to have after her example.) (Institutes, Buku ke-4, Bab 3, Paragraf 9)

Apabila diperhatikan tampaknya sifat penggembalaan cenderung melekat pada empat jabatan gerejawi dalam sistem presbiterial: Pendeta, Penatua, Guru, dan Diaken. Hal itu dikarenakan bahwa memang gereja adalah sebuah komunitas umat percaya yang menggembalakan domba-domba milik Allah. Sebagaimana raja menggembalakan umat Allah melalui kekuatan legal dan politik, demikianlah para penatua menjadi penilik dan pelindung bagi gereja. Imam menggembalakan umat Allah melalui ibadah dan ajaran, demikian juga dengan para pendeta yang memimpin pelayanan firman dan sakramen. Nabi menggembalakan umat Allah melalui ajaran dan teguran, maka para guru memegang ajaran gereja dan mendidik umat dengan benar. Para diaken seperti orang Lewi yang membantu tata ibadah dan penjaga pintu yang menolong orang miskin yang tiba di depan pintu kota. 

Terdapat pemisahan kekuasaan antara berbagai jabatan gerejawi sebagaimana adanya pemisahan kekuasaan antara raja, imam, dan nabi. Hanya Tuhan Yesus yang adalah Raja, Imam, dan Nabi sekaligus—sebuah jabatan yang dimiliki oleh Tuhan dan Kepala atas gereja. Dengan begitu, para pemimpin gereja adalah pelayan Kristus, mereka adalah Yohanes Pembaptis yang menyiapkan jalan bagi Tuhan dan menyiapkan sebuah perjamuan, di mana Kristus menjadi suami atas umat-Nya, yaitu mempelai perempuan, dalam perjanjian yang kekal.

Tokoh-tokoh yang menjadi pejabat gereja adalah perwakilan dari jemaat. Berbeda dengan sistem episkopal-hierarkis di mana jemaat hanya “tunduk dan taat”—termasuk untuk berdiam dan menerima kerusakan (abuse) dalam gereja dengan buta—dan sistem kongregasional di mana jemaat bisa menyuarakan pendapat sebebas mungkin lalu tiba-tiba akan muncul seorang tokoh karismatik yang menjadi populer. Sistem presbiter yang diwariskan dalam tradisi Reformed mencoba untuk menghindari kedua ekstrem tersebut. Sistem pemisahan kekuasaan dalam tradisi Reformed inilah yang nantinya menjadi inspirasi bagi terbentuknya sistem senat di Amerika, sistem parlementer di Inggris, negara Republikan di Prancis dan Indonesia (trias politica), yang memuat unsur demokrasi dan aristokrasi dalam pemilihan perwalian rakyat. 

Tentunya, sistem demokrasi dan perwalian tidak selalu sempurna, tetapi sistem ini memuat unsur check and balance, transparansi, dan sifat pertanggungjawaban dan akuntabilitas dua arah yang saling menjaga dan mengoreksi. Jemaat taat kepada yang dia pilih “di atas” sekaligus menuntut pertanggungjawaban. Yang dipilih menjadi pejabat taat menjalankan firman Allah dan memberikan pertanggungjawaban kepada “rekan yang setara” dan kepada umat “di bawah” yang telah percaya kepadanya. Oleh karena itu, tanpa adanya sebuah komunitas yang baik, akan sulit untuk membangun sebuah pemerintahan gereja yang kokoh. Di dalamnya, dibutuhkan budaya gereja yang sehat yang dibentuk atas dasar firman, doa, dan pemuridan.

Membangun Komunitas Reformed

Apabila para rasul menyerahkan pemilihan diaken kepada jemaat (Kis. 6:3) dan demikian juga kepada para pendeta (episkopos) dan penatua (presbiteros) (Didache, Bab 15), maka itu menunjukkan bahwa para murid Yesus yang secara langsung pernah hidup bersama-Nya juga memercayakan para umat untuk bisa membangun gereja milik Allah. Gereja adalah milik Kristus dan juga milik umat-Nya, dan bukan milik segelintir individu, termasuk para rasul itu sendiri. Dengan demikian, para jemaat turut bertanggung jawab untuk bersikap proaktif mengenal, memilih, menegur, menuntut pertanggungjawaban, menolong, dan mendoakan mereka untuk menjalankan prinsip Kitab Suci dalam kehidupan gereja. Dari jemaat kepada para pemimpin gereja, sistem demokrasi berlaku. Di antara pemimpin gereja, sistem aristokrasi berjalan. Akan tetapi, dari bawah sampai kepada atas, budaya doa dan menjalankan firman Allah adalah jantung dari segalanya.

Hal itu menunjukkan bahwa jemaat sendiri harus mempelajari dan merenungkan Kitab Suci, menjadikan itu sebagai bagian dari kehidupan individu dan berkomunitas dalam gereja. John Calvin menyebut “Alkitab sebagai sekolah dari Roh Kudus” (For scripture is the school of the Holy Spirit, Institutes, Buku Ke-3, Bab 21, Paragraf 3). Dengan kata lain, untuk memahami bagaimana Roh Kudus memimpin gereja, maka jemaatnya harus belajar dari Roh Kudus, yaitu melalui firman Tuhan. Berdasarkan Kitab Suci sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan gerejawi (sola Scriptura), umat percaya dapat menguji apakah ajaran yang disampaikan benar atau salah, penggembalaan yang dipimpin oleh gereja sudah tepat atau belum. Apabila kita tidak memiliki budaya belajar Kitab Suci yang baik, maka kita akan sulit membangun sebuah komunitas yang berpegang pada kebenaran. Dan bila kita tidak memiliki komunitas yang sehat, maka kita akan sulit untuk menemukan calon pemimpin gereja yang baik untuk menjadi wakil dalam menggembalakan umat Allah. Hal yang sama juga terjadi, jika komunitas gereja tidak berpusat pada firman Allah, maka kelompok tersebut akan berpusat pada suara manusia, dan itu akan menyebabkan perpecahan dalam gereja. Firman Allah menyatukan kita, tetapi kuasa genggam manusia akan memisahkan kita.

“Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Andai kata semuanya adalah satu anggota, di manakah tubuh? Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh. Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: ‘Aku tidak membutuhkan engkau.’ Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: ‘Aku tidak membutuhkan engkau.’ Malahan justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan. (1 Korintus 12:18-22)

Oleh sebab itu, tolak ukur utama dalam membangun sebuah gereja yang baik terletak pada pemuridan, yaitu komunitas gereja yang menitikberatkan pada pendidikan yang menggembalakan. Pada dasarnya, tradisi Reformed memiliki kekayaan dalam pendidikan anak dan remaja. Sistem pemerintahan presbiter hanya bisa dijalankan bila jemaat di dalamnya terdidik dalam suara firman Allah. Sebagaimana Tuhan Yesus memuridkan para murid yang menjadi rasul dalam sebuah kelompok kecil, demikian juga pendidikan gerejawi harus dipusatkan pada komunitas jemaat yang mendalami dan menjalankan firman Tuhan, dalam membangun relasi kepada sesama dan iman kepada Tuhan. 

Pemuridan tidak hanya terjadi dalam sebuah “komunitas sel” (komsel) atau organic small group bagi orang dewasa, tetapi itu bermula dari Sekolah Minggu, sekolah Kristen, dan juga dari komunitas kebersamaan dalam mengadakan doa dan renungan firman Allah. Dengan kata lain, tidak hanya pendeta, penatua, dan diaken yang sebetulnya memegang posisi jabatan gereja yang mulia. Tidak hanya dosen Sekolah Tinggi Teologi atau para vikaris yang berkhotbah di mimbar yang dianggap penting dalam pertumbuhan gerejawi. Akan tetapi, para guru Sekolah Minggu, guru agama Kristen, dan guru musik yang mendidik anak-anak, yaitu domba-domba kecil milik Tuhan Yesus, dan pembina remaja yang menemani para remaja yang sedang pubertas dan mengalami krisis identitas, yang juga dipandang penting—sebab anak-anak kecil inilah yang nantinya mewarisi masa depan gereja. Kita tidak pernah tahu siapa di antara anak-anak kecil ini yang akan dibangkitkan Tuhan menjadi tokoh rohani yang memimpin gereja, khususnya ketika masa-masa yang sulit itu tiba.

Gereja yang sombong akan berfokus pada “orang-orang besar” dan proyek-proyek raksasa, tetapi melupakan anak kecil dan pemuda yang kepadanya Tuhan berkata, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka” (Mrk. 10:14-16). Akan tetapi, gereja yang rendah hati dan bertumbuh, meskipun tidak memiliki uang dan fasilitas yang megah, di situ Tuhan akan hadir dan bekerja. Apa gunanya kita mendapatkan banyak emas dan perak tetapi kita tidak bisa berdoa, “Demi nama Yesus Kristus, berjalanlah!” (Kis. 3:6). Itu bukan lagi sebuah gereja, melainkan sebuah organisasi bisnis dan politik, yang di sana Tuhan Yesus berkata: “Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun” (Mat. 21:13). Jika kita tidak berhati-hati, jangan-jangan jika Yesus tiba-tiba hadir di depan pintu gereja, kitalah yang hamba-hamba sombong itu yang menyalibkan-Nya untuk kedua kali (Mrk. 12:1-9). 

“Karena itu apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar telah dicangkokkan di antaranya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh getah, janganlah kamu bermegah terhadap cabang-cabang itu! Jikalau kamu bermegah, ingatlah, bahwa bukan kamu yang menopang akar itu, melainkan akar itu yang menopang kamu. Mungkin kamu akan berkata: ada cabang-cabang yang dipatahkan, supaya aku dicangkokkan di antaranya sebagai tunas. Baiklah! Mereka dipatahkan karena ketidakpercayaan mereka, dan kamu tegak tercacak karena iman. Janganlah kamu sombong, tetapi takutlah! Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu.” (Roma 11:17-21)

Bila hal itu terjadi, maka gereja secara tidak sadar sedang membunuh dirinya sendiri, sebab gereja seperti ini sedang memisahkan dirinya dari Kristus yang adalah pokok anggur yang hidup. Tanpa Kristus, gereja tidaklah lain dari sebuah organisasi manusia; atau bahkan, sebuah organisasi yang lebih jahat, sebab mereka yang sudah mencicipi anugerah Tuhan dan menolak untuk menjalankannya sedang berada pada posisi yang lebih gelap daripada mereka yang belum percaya kepada Yesus. Sekali lagi, yang membunuh Yesus bukanlah orang kafir yang ateistis atau politeistis, melainkan orang-orang-Nya sendiri, yang karena kesombongannya telah dibuang oleh Tuhan. 

Jika Tuhan tidak segan melepaskan orang Yahudi, umat perjanjian mula-mula, maka itu seharusnya membuat kita rendah hati, merasa takut dan gentar, untuk memelihara kebun anggur yang telah dipercayakan oleh Sang Tuan kepada kita. Kita bukan pemilik gereja, kita hanya pelayan-pelayan-Nya. Yang merasa memiliki gereja, dia sedang menggantikan Allah itu sendiri, dan Tuhan tidak akan segan-segan mencabut otoritas atau merendahkannya sehingga dia dipandang sebagai hamba yang tidak setia. Para jemaat dan rekan sepelayanan turut akan merasakan hal itu, yaitu ketika yang mengaku “pelayan Tuhan” tidak lagi mencerminkan karakter kerendahan hati dan sukacita Kristus, melainkan kepentingan, kepahitan, kekecewaan, dan suara dari dirinya sendiri untuk “naik ke atas” seperti ambisi malaikat Allah yang jatuh dari sorga. “Otoritas” dalam makna seperti ini hanyalah sebuah jabatan struktural dalam sebuah organisasi gereja.

Pelayan Tuhan adalah mereka yang setia melayani dalam hal-hal yang tidak menguntungkan: pelayanan kedukaan yang tidak menambah jumlah jemaat karena adanya yang wafat, pelayanan kepada anak-anak kecil yang belum tentu mengingat siapa yang melayani mereka, dan juga pelayanan kepada orang sakit, orang yang dipenjara, orang miskin, dan mereka yang belum tentu berbagian dalam posisi penting baik di dalam gereja maupun di luar gereja. Barangkali, pelayan-pelayan sejati seperti ini tidak dikenal oleh banyak orang atau berada dalam sebuah gereja yang terpencil. Dia memberi diri untuk disentuh dan berbagian dalam jemaat; dia menjadi “kecil” dan aktif turun ke bawah sebagaimana Kristus berinkarnasi menjadi manusia dan hamba. Itulah otoritas yang sejati sebab dia sedang bersatu dan merefleksikan karakter Tuhan Yesus itu sendiri.

Ketika Tuhan Yesus membangun gereja-Nya, Dia tidak melakukan dengan membangun sebuah kekaisaran Kristendom atau sebuah gerakan revolusi sosial-militer terhadap Kekaisaran Romawi. Barangkali, kita mempunyai sebuah bayangan bahwa sebuah gereja harus memiliki aset-aset dan arsenal layaknya sebuah monarki Inggris yang menguasai hampir setengah dari bumi sampai dijuluki “kerajaan di mana matahari tidak pernah terbenam” (the empire where the sun never sets), ataupun sebuah gerakan revolusi yang mampu menghancurkan tatanan lama demi membangun tatanan yang baru seperti yang dilakukan oleh Bar Kokhba, Napoleon, Lenin, Stalin, Hitler, dan Mao Zedong. Atau kalau pemimpin revolusi terlalu keras, orang akan lari ke tokoh selebriti yang mampu menjadi artis dalam Christian Got Talent. Sejauh yang bisa kita pelajari tentang sejarah Gereja Mula-mula, tampaknya kekristenan tidak diwarnai dengan hal seperti itu. Malah sebaliknya, gereja-gereja yang pernah mengadopsi cara duniawi justru nantinya akan menjadi gereja yang kosong dan tidak bermakna.

Mungkin saja, itulah yang kita butuhkan dalam komunitas gereja Reformed hari ini. Bukan fasilitas-fasilitas yang sudah lengkap, bukan budaya jemaat yang “seru dan welcoming”, dan bukan backing dari kekuatan politik, militer, konglomerat, atau artis masyarakat. Ya memang, itu yang diinginkan oleh manusia, tetapi apa yang dipandang bijak oleh manusia justru adalah sebuah kebodohan bagi Tuhan (1Kor. 1:25). Apa yang bisa dan pernah jadi besar, nantinya menjadi museum dan artefak yang ditelan dalam ombak sejarah. Gereja bukanlah dunia, jangan membawa semangat dunia masuk ke dalam gereja. Seharusnya gerejalah yang membawa budaya Kitab Suci kepada dunia. Kerajaan Allah tidak mengalahkan dunia dengan peperangan, senjata, kekayaan, ataupun suara manusia, tetapi dengan palungan, salib, dan kubur kosong. Itulah identitas sebuah gereja yang sejati.

Christianity begins with a humble beginning…

Bagi Tuhan, Kerajaan Allah atau gereja dimulai dengan hal-hal kecil. Dengan seorang anak yang memberi lima roti dan dua ikan, dengan seorang nelayan yang pengangguran di laut, pemungut cukai yang merasa kosong, seorang manusia yang membantu Yesus mengangkat salib yang berat, dan juga orang-orang yang dipandang kurang penting dalam masyarakat tetapi ditebus oleh Sang Juruselamat. Yang kita butuhkan adalah sebuah komunitas gereja yang saling mendoakan dan membangun pemerintahan gereja yang peka kepada suara Tuhan dan umat-Nya.

Bila itu adalah apa yang terjadi di Gereja Mula-mula ketika kekristenan mengalami persekusi yang berat, maka gereja yang dipelihara Allah adalah gereja yang setia untuk mengikut Tuhan Yesus dan berdiri bersama para pengikut-Nya. Sebab barang siapa mengasihi Tuhan, akan mengasihi tubuh-Nya, dan yang melayani umat-Nya, dia juga sedang melayani Kristus yang adalah Kepala Gereja. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40).  

“Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh,—yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota—menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.” (Efesus 4:11-16)

Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat

Tag: Episkopal-hierarkis, gereja, komunitas, Kongregasional, otoritas, Presbiterian, Sistem Pemerintahan

Langganan nawala Buletin PILLAR

Berlangganan untuk mendapatkan e-mail ketika edisi PILLAR terbaru telah meluncur serta renungan harian bagi Anda.

Periksa kotak masuk (inbox) atau folder spam Anda untuk mengonfirmasi langganan Anda. Terima kasih.

logo grii
Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia

Membawa pemuda untuk menghidupkan signifikansi gerakan Reformed Injili di dalam segala bidang; berperan sebagai wadah edukasi & informasi yang menjawab kebutuhan pemuda.

Temukan Kami di

  facebook   instagram

  • Home
  • GRII
  • Tentang PILLAR
  • Hubungi kami
  • PDF
  • Donasi

© 2010 - 2025 GRII