Selamat hari Imlek semuanya! Xin Nian Kuai Le!
Sebagai orang Tionghoa Indonesia, kita merayakan Imlek sebagai sebuah selebrasi keluarga besar. Di momen seperti itu, setiap anggota keluarga berkumpul untuk berjumpa dengan sepupu, om dan tante, kakek dan nenek. Di situ, kita makan-makan bersama dan mendengarkan kabar satu dengan yang lain. Bagi anak-anak dan remaja, mereka mendapatkan angpau dari para om dan tante, dan hari ini menjadi sebuah kesempatan di mana perjumpaan dengan sesama sepupu menjadi momen yang menyenangkan.
Mengenai ini, sebetulnya pertemuan dengan keluarga besar adalah hal positif yang dimiliki oleh keluarga Asia. Dalam kehidupan keluarga Barat, pada umumnya perayaan Thanksgiving menjadi sebuah “Imlek” bagi keluarga inti. Di sini, sebuah perjumpaan dengan keluarga besar bisa menjadi momen yang dikenang. Satu tahun demi satu tahun berlalu, jumlah perjumpaan dengan kakek nenek menjadi makin sedikit. Perkembangan tubuh di antara sepupu yang masih remaja menjadi sesuatu yang mengagetkan karena kita melihat adanya perubahan pada anak-anak.
Walau demikian, perayaan Imlek juga bukan menjadi sesuatu yang disenangi oleh setiap orang. Apabila terjadi konflik di dalam keluarga Asia, biasanya masalah akan “dikuburkan”. Pertemuan keluarga besar saat Imlek akan menjadi sebuah “sapa-senyum-pulang”; masing-masing akan mencoba untuk menampilkan wajah yang terbaik, tetapi sulit untuk terbuka dari hati ke hati. Rasa tidak suka yang disimpan ketika duduk bersama di meja makan menjadi suatu “drama keluarga” yang kurang menyenangkan, khususnya bagi orang dewasa.
Ada hal positif dan negatif yang dihidupi oleh orang yang berasal dari keluarga Asia. Positifnya adalah pertemuan-pertemuan seperti ini bisa menguatkan ikatan relasi, dan sikap bakti kepada orang tua dan kakek nenek mampu membangun hubungan yang sehat. Sebaliknya, aspek negatifnya terletak pada sikap pasif-agresif, konflik yang tidak terbuka, dan harga muka yang lebih mahal daripada harga tanah. Sangat sulit bagi orang dari keluarga Asia untuk berbicara dari hati ke hati, melepaskan wajahnya yang mahal, dan mengucapkan kata, “Aku bersalah, aku minta maaf, aku memaafkanmu.” Hal ini terjadi karena budaya Confucian dan Imperialisme Tiongkok yang menitikberatkan prinsip harmoni tanpa konflik, dan kepatuhan pada yang di atas. Jarang sekali, bahkan tidak pernah, seorang kaisar Tiongkok melepaskan posisinya untuk menjadi setara dengan rakyat jelata atau meminta maaf kepada orang di bawahnya.
Jadi, apa yang perlu kita lakukan sebagai orang Kristen? Pertama-tama, kita perlu ingat bahwa sebagai pengikut Yesus, kita sudah diadopsi sebagai bagian dari keluarga Allah. Allah adalah Bapa kita, Yesus Kristus adalah saudara sulung kita. Kita sudah diterima sehingga segala dosa kita dari masa lalu, sekarang, dan masa depan sudah ditebus. Kita bisa berkata “maaf” karena pengampunan dari Tuhan sudah diberikan di kayu salib. Bagi orang Tionghoa, berkata “maaf” adalah risiko besar sebab ada suatu rasa “aku sedang kalah”, dan takut kalau hal terburuk terjadi, “sudah minta maaf, tetapi tetap tidak dimaafkan”. Sebagai orang Kristen, saling memaafkan adalah hal yang indah oleh sebab adanya jaminan bahwa relasi lebih penting daripada wajah. Yang lebih tua bisa meminta maaf dan memaafkan yang lebih muda, dan juga sebaliknya. Andaikan tidak dimaafkan sekalipun oleh orang lain, kita sudah utuh dalam pengampunan Allah. Pada akhirnya, kita semua adalah manusia berdosa yang sudah dikasihi Allah, untuk apa kita harus takut kalau wajah kita tercoreng dengan berbuka hati dan saling memaafkan?
Kedua, kita mempunyai Tuhan yang turun dari takhta sorga sampai ke palungan dan salib untuk mati bagi kita. Kalau ada manusia yang melihat wajah Tuhan, aturannya adalah manusia itu sudah pasti mati. Musa, “kaisar Israel” atau pemimpin tertinggi saja (da ren 大人), tidak boleh menatap wajah Allah, apalagi rakyat jelata yang kecil-kecil ini (xiao ren 小人). Akan tetapi, di kayu salib adalah Tuhan yang memberi wajah-Nya ditampar dan diludahi oleh manusia berdosa, yaitu kita-kita ini. Tuhan melepaskan “ego”-Nya yang Maha Mulia, menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertahankan, demi mengasihi manusia yang berdosa—manusia yang tua dan muda, manusia Tionghoa dan non-Tionghoa, manusia seperti engkau dan saya. Sebesar-besarnya manusia (da ren大人), tidak ada yang lebih tinggi daripada langit (tian 天), dan sekarang Raja langit (tian wang天王) itu menjelma menjadi manusia yang mati bagi yang berdosa.
Yang mampu dan mau merendahkan diri akan ditinggikan, sebab yang melangkah untuk merendah sudah memiliki kemuliaan yang tertinggi. Sebagai orang Asia, kita memiliki kesulitan yang sangat besar untuk “merendah” karena kebudayaan yang menempatkan kita dalam sebuah struktur hierarkis. Yang pertama akan masuk, yang terakhir akan ditinggal. Namun, contoh yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, Raja atas segala raja, adalah teladan Injil yang memberi pengharapan bagi orang Asia. Yang terakhir akan menjadi pertama, dan pertama menjadi terakhir. Semuanya ini terjadi karena relasi yang lahir dari karya penebusan adalah relasi yang membuat kita menjadi manusia. Anugerah membuat semua orang berharga di mata Tuhan, baik yang muda maupun tua, baik yang besar maupun kecil. Inilah jalan kehidupan yang sesungguhnya. Bagi orang Tionghoa, “Jalan” (Dao 道) adalah prinsip tertinggi untuk memperoleh hidup yang baik. Di dalam kekristenan, dinyatakan bahwa “Jalan” atau Firman itu telah menjadi daging, hidup di antara kita, penuh dengan anugerah dan kebenaran. “Jalan Anugerah” yang dinyatakan melalui Tuhan Yesus mendorong kita untuk bisa mengasihi tanpa harus menunggu agar kita diterima atau dihormati. Dengan demikian, ketika banyak orang menutupi wajahnya sendiri karena takut menjadi malu, wajah Allah dapat bersinar di dalam keluarga Asia.
Dengan demikian, kasih Tuhan mengharapkan agar relasi antara orang tua dan anak bisa menjadi akur, antara sesama saudara bisa saling memaafkan, sehingga hubungan antara keluarga inti menjadi hangat. “Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya” (Mal. 4:6a). Dan, agar seluruh isi keluarga bisa bersama-sama melayani Tuhan di dalam kasih satu dengan yang lain. “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yos. 24:15).
Kiranya perayaan Imlek ini bisa menjadi sarana bagi kita untuk bersaksi tentang kasih Tuhan Yesus. Salam hangat!
Kevin Nobel
Redaksi Editorial PILLAR
Pengasuh Rubrik Isu Terkini