It Is Not Well with My Soul: Christian Reflection on Mental Health

Pada bulan Maret 2016 yang lalu, dunia dikejutkan dengan sebuah laporan dari Human Rights Watch mengenai perlakuan terhadap pengidap gangguan mental atau penyakit kejiwaan di Indonesia yang memprihatinkan (Sharma, 2016). Di dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa sekitar 19 juta dari 250 juta penduduk Indonesia mengidap gangguan mental; 18.800 orang di antaranya hidup di dalam kondisi dipasung. Pasung merupakan suatu praktik di mana kaki seseorang, yang didiagnosis atau dicurigai mengidap gangguan mental, diikatkan kepada meja dengan menggunakan rantai. Penderita yang dipasung bukan saja tidak bisa bergerak dengan leluasa, mereka juga tidak bisa membersihkan dirinya sendiri sehingga lebih rawan terkena infeksi. Human Rights Watch menyimpulkan bahwa praktik yang tidak manusiawi ini tidak hanya berhubungan dengan minimnya fasilitas dan pelayanan umum bagi penderita gangguan mental, terutama di perdesaan, namun juga disebabkan oleh “keyakinan takhayul” yang dipegang oleh banyak orang Indonesia, di mana gangguan mental seperti skizofrenia dan depresi dihubungkan dengan kutuk, ilmu hitam, ataupun roh jahat. Faktor-faktor ini menyebabkan stigma yang sangat kuat, dan akhirnya mendorong pengidap gangguan mental ke dalam isolasi secara fisik dan sosial (ibid.). Ketika diperhadapkan dengan masalah sosial yang pelik ini, menjadi suatu pertanyaan bagaimana gereja dan orang Kristen seharusnya berespons dan menjadi terang.

Apabila kita melihat di dalam kalangan Injili, masalah gangguan mental menjadi sebuah isu yang kompleks. Di satu pihak, kita melihat sekelompok orang Injili yang menerima keberadaan gangguan mental dan menganjurkan jemaatnya untuk menerima obat dari psikiater dan konseling dari pendeta. Di pihak yang lain, gangguan mental menjadi suatu hal yang tabu untuk dibicarakan dan jemaat yang mengidap penyakit tersebut harus menyembunyikan kondisi yang ia miliki dari gereja (cf. Johnson & Jones, 2000, hal. 12-13). Bahkan zaman di mana iman Kristen mulai dapat diintegrasikan dengan ilmu alam secara komprehensif, sebagai contoh melalui karya Vern Poythress Redeeming Science, para theolog Injili tetap menemukan kesulitan, tantangan, dan perbedaan dalam menghadapi ilmu psikologi dan psikiatri.[1]

Eric Johnson dan Stanton Jones (2000) menjabarkan setidaknya ada empat pandangan berbeda dalam kalangan Injili (Johnson kemudian menambahkan pandangan kelima di dalam edisi kedua dari buku Psychology & Christianity yang diterbitkan pada tahun 2009) mengenai bagaimana seharusnya iman Kristen berespons terhadap ilmu psikologi. Pandangan-pandangan ini berbeda dalam tiga hal: (1) Apakah Alkitab relevan bagi teori dan praktik psikologi dan konseling, serta seberapa jauh pengajaran Alkitab seharusnya membentuk ilmu psikologi; (2) Seberapa jauh pemeluk suatu pandangan mengkritik para psikolog non-Kristen dan karya mereka; (3) Apakah kekristenan memiliki pandangan akan natur manusia yang unik dan berbeda, yang seharusnya memengaruhi pembentukan teori dan riset psikologi serta praktik konseling (ibid.).

Di tengah-tengah segala polemik yang ada, melalui artikel ini, penulis mengajak pembaca untuk memulai suatu perenungan mengenai iman Kristen dan gangguan mental. Melihat kompleksitas dari isu ini, seperti apa yang telah dijelaskan di atas, artikel ini mungkin tidak dapat memberikan suatu konklusi yang konkret secara detail. Namun, kiranya artikel ini bisa menjadi suatu ajakan bagi para pembaca untuk memikirkan lebih lanjut bagaimana seharusnya gereja dapat merawat dan mengayomi penderita gangguan mental di tengah-tengah lingkungan kita. Kita akan memulai perenungan ini dengan membahas pandangan akan gangguan mental di dalam Theologi Reformed, secara khusus di dalam tradisi biblical counseling sebagai representatif yang cukup dikenal di dalam gereja-gereja Reformed konservatif.

Gangguan mental di dalam Theologi Reformed
Jay E. Adams, melalui buku Competent to Counsel (1970), mempertanyakan diagnosis gangguan mental. Adams mengatakan, “Alkitab dengan terus terang berbicara mengenai masalah yang bersifat organik dan masalah yang berasal dari sikap dan perilaku yang berdosa; namun di mana, di dalam semua firman Tuhan, terdapat suatu jejak bagi sumber masalah ketiga yang kira-kira mendekati konsep modern dari “penyakit mental”?” (hal. 29, terjemahan penulis). Karenanya, secara singkat, Adams berpendapat bahwa para pengidap “penyakit mental” sebenarnya merupakan orang-orang yang memiliki masalah pribadi yang berhubungan dengan dosa dan belum terselesaikan. Mereka menggunakan “penyakit mental” sebagai kamuflase untuk menyembunyikan perilaku yang menyimpang (ibid.).

Adams mengajukan sebuah solusi untuk menyelesaikan “penyakit mental” dan masalah “kejiwaan”, yakni dengan melalui nouthetic counseling, atau yang kini lebih sering dikenal sebagai biblical counseling. Adams mengambil istilah nouthetic dari kata Yunani nouthetountes (ibid.), yang biasanya diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia sebagai “menasihati” (Kol. 1:28) atau “menegur” (Kol. 3:16). Adams melihat nouthetic counseling sebagai jalan yang diajarkan oleh Alkitab, sebagai respons dari solusi-solusi “duniawi” yang ditawarkan melalui psikologi dan psikiatri. Adams menjelaskan bahwa terdapat tiga elemen dasar yang menjadi fondasi dari nouthetic counseling, yakni: (1) asumsi dasar bahwa orang yang akan dikonseling memiliki masalah di dalam hidupnya dan perlu menjalani perubahan kepribadian dan perilaku melalui konfrontasi, (2) konfrontasi dijalankan secara verbal, yakni melalui diskusi dan pertemuan secara personal, dan (3) harus didasarkan dengan motivasi untuk memuliakan Tuhan dan bagi kebaikan orang yang dikonseling (ibid.).

Melanjutkan interaksi antara Theologi Reformed dan gangguan mental, Elahe Hessamfar (2015) menulis tesis mengenai interpretasi theologi dari penyakit mental, terutama skizofrenia. Hessamfar menawarkan suatu interpretasi bahwa skizofrenia bukan merupakan suatu penyakit, seperti apa yang dimengerti melalui ilmu psikiatri, melainkan “sepadan dengan dosa – sebuah gangguan dari jiwa – sebuah gangguan di dalam relasi fundamental manusia kepada eksistensi” (hal. 242, terjemahan penulis). Di sini kita melihat suatu kemiripan pandangan Hessamfar dengan apa yang telah dijabarkan oleh Adams beberapa puluh tahun sebelumnya. Sebagai suatu solusi, Hessamfar mendorong gereja untuk pertama-tama menyadari tanggung jawab dalam merawat jiwa-jiwa yang menderita gangguan mental (hal. 312). Kemudian, Hessamfar mengusulkan suatu model perawatan yang diberi nama Healing Together, di mana dalam suatu komunitas gereja, jemaat memiliki hubungan yang bersifat memelihara bersama dengan penderita gangguan mental. Dengan bersandar kepada kekuatan Roh Kudus, dan masuk ke dalam kehidupan penderita, bahkan di dalam kondisi ketika mereka sedang mengalami gejala skizofrenia, Hessamfar meyakini bahwa para penderita akan mengalami suatu penyembuhan dari penderitaan mereka (hal. 310).

Perlu diperhatikan bahwa Hessamfar banyak mengutip dari hasil karya para pendukung gerakan anti-psikiatri sebagai dasar dalam kritikannya terhadap ilmu psikiatri. Hal ini menyebabkan kurangnya interaksi langsung dengan sumber-sumber yang diakui di dalam ilmu psikiatri, seperti artikel ilmiah dan buku referensi. Salah satu kesulitan yang lain di dalam penjabaran Adams dan Hessamfar yakni mereka hanya menyebutkan contoh kasus, komentar, testimoni, dan opini sebagai bukti hasil dari solusi yang mereka usulkan. Diperlukan suatu metode pengukuran hasil yang lebih objektif dan sistematis, mengingat mereka berhadapan dengan salah satu spesialisasi dalam dunia kedokteran, di mana bukti dari hasil riset menjadi dasar dari pengetahuan yang digunakan.

Doktrin manusia dan gangguan mental
Selain melihat pandangan beberapa theolog Reformed terhadap gangguan mental seperti yang didiskusikan di atas, kita akan juga mencoba untuk menemukan petunjuk melalui doktrin manusia menurut Theologi Reformed, dan aplikasi doktrin tersebut di dalam pengertian akan gangguan mental. Namun sebelumnya, kita perlu mendiskusikan masalah terminologi dalam konteks di Indonesia yang dapat memberikan pengertian mengapa doktrin manusia menjadi salah satu kunci yang penting.

Pada umumnya, masyarakat Indonesia mengenal istilah “penyakit jiwa”. Istilah ini cukup mudah dimengerti dan diartikan sebagai penyakit yang memengaruhi jiwa manusia. Penyakit jiwa biasanya dibandingkan dengan penyakit fisik. Istilah “gangguan mental” muncul di dalam konteks kesehatan di Indonesia untuk lebih mendekati istilah mental disorder yang lebih dikenal di negara-negara Barat. Namun, di dalam bahasa Indonesia, kata “mental” sendiri tetap memiliki konotasi yang berhubungan dengan jiwa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mengartikan kata “mental” sebagai adjektiva untuk menjelaskan hal yang “bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga”. Kata “batin” sendiri diartikan sebagai “sesuatu yang menyangkut jiwa” (ibid.). Konteks bahasa inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa gangguan mental di Indonesia sering hanya dihubungkan dengan masalah spiritual dan gaib.

Di sisi lain, dalam ilmu psikiatri, gangguan mental merupakan suatu penyakit yang dikaitkan dengan ketidakseimbangan kimia (chemical imbalance) di dalam otak. Contohnya, penyakit skizofrenia dihubungkan dengan hiperaktivitas reseptor dopamin di salah satu bagian otak, yang menyebabkan terjadinya halusinasi dan delusi (Wells, et. al., 2015). Secara sekilas, pandangan ini seperti bersifat “reduksionis”, yakni pribadi dan pikiran manusia direduksi menjadi aktivitas kimia di dalam otak belaka. David Semple dan Roger Smyth (2013), dua psikiater Inggris, berpendapat berbeda. Mereka berpendapat bahwa seharusnya spesialisasi psikiatri menjadi spesialisasi dalam dunia kedokteran yang paling bersifat “manusia” dengan bertekun untuk mengerti pribadi manusia secara keseluruhan (whole person) di dalam masa sehat dan sakit (ibid.). Perawatan penderita gangguan mental bukan hanya dengan menggunakan obat, namun juga melalui konseling, dukungan sosial, rehabilitasi, dan lain-lain.

Melalui diskusi di atas, kita dapat mempertanyakan apakah gangguan mental berhubungan dengan jiwa atau fisik. Sejauh manakah gangguan mental bersifat spiritual, atau gangguan ini hanya bersumber dari tubuh? Dalam mencari jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus terlebih dahulu melihat sifat dari natur manusia menurut Alkitab, yakni unsur-unsur yang membentuk manusia. Suatu perdebatan klasik doktrin Kristen dalam pengertian akan natur manusia ialah apakah manusia bersifat dikotomi atau trikotomi. Kedua pandangan ini memiliki suatu persamaan, yakni keduanya melihat bahwa meskipun Alkitab memandang natur manusia sebagai suatu kesatuan, dan tidak terdapat dualitas di dalamnya, natur manusia tetap memiliki unsur-unsur yang bergerak secara paralel, namun tidak bersatu untuk menjadi suatu organisme yang tunggal (cf. Berkhof, 1996, p. 192). Dikotomi memegang bahwa manusia memiliki dua unsur, yakni roh (soul) dan tubuh (body). Sedangkan trikotomi memegang bahwa manusia memiliki unsur ketiga, yakni jiwa (spirit) (ibid.).[2]

Pada umumnya, para theolog Reformed (contoh: Hodge, Berkhof, Sproul) memegang pandangan dikotomi. Namun, bagi Anthony Hoekema (1994), kita bukan hanya harus menolak trikotomi, kita juga harus menolak penggunaan istilah dikotomi. Istilah dikotomi berasal dari kata Yunani diche dan temnien, yang dapat diartikan menjadi “memotong sesuatu menjadi dua bagian”. Hoekema memilih untuk memakai istilah kesatuan psikosomatik (psychosomatic unity) untuk menekankan pribadi manusia secara keseluruhan (whole person), namun tetap menjelaskan dua sisi manusia (ibid.).

Penekanan akan keseluruhan pribadi manusia membantu kita untuk mengerti relasi antara jiwa (atau roh) dan fisik di dalam gangguan mental. Menurut Edward Welch (1998), aktivitas kimia di dalam otak menjadi representasi dari jiwa manusia. Dan pada saat yang sama, kelemahan tubuh dapat menimbukan respons berdosa dari jiwa. Karena jiwa dan fisik saling bergantung dan berelasi dalam satu kesatuan, kita harus melihat gangguan mental sebagai masalah yang bersifat spiritual dan fisik (ibid.).

Tugas umat Kristen dalam merawat penderita gangguan jiwa
Sebelum kita mencoba untuk mengusulkan beberapa aplikasi praktis dari apa yang telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, mari kita terlebih dahulu merenungkan respons kita secara pribadi terhadap para penderita gangguan mental. Sudah seharusnya kita sebagai orang Kristen, yang dipanggil untuk memerhatikan mereka yang menderita, tidak lagi memiliki stigma terhadap mereka yang berperilaku tidak normal. Alangkah baiknya apabila kita menjaga perkataan kita, sehingga kita tidak mengeluarkan kata-kata yang bersifat menghina dan merendahkan, seperti “gila” maupun “sinting”. Kita juga seharusnya belajar untuk tidak mengucilkan para penderita, melainkan memberikan perhatian dan kasih kepada mereka.

Karena manusia merupakan seorang pribadi yang bersifat memiliki kesatuan psikosomatik di dalam naturnya, kita dapat membedakan antara kelemahan atau masalah otak (fisik; contoh: halusinasi, kebingungan mental, perasaan depresi) dan masalah jiwa yang bersifat dosa (contoh: kemarahan, ketidakpercayaan), dan melihat hubungan antara kelemahan jiwa dan fisik. Welch (1998) mengusulkan bahwa kita dapat membantu dan menguatkan iman para penderita gangguan jiwa agar mereka tidak berdosa ketika mereka bereaksi terhadap kelemahan otak yang mereka alami. Kita juga seharusnya tidak menegur mereka akan kelemahan otak, melainkan menunjukkan kasih dan iba (ibid.).

Hal yang kedua yang dapat kita lakukan yakni memiliki keberadaan di dalam penderitaan (suffering presence) mereka yang memiliki gangguan mental. Ketika kita melihat Ayub 2:11-13, kita menemukan contoh yang dikerjakan oleh teman-teman Ayub untuk menunjukkan keberadaan mereka di dalam penderitaannya: “mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia”, “menangislah mereka dengan suara nyaring”, “mengoyak jubah”, “menaburkan debu di kepala terhadap langit”, “duduk bersama-sama [Ayub] di tanah selama tujuh hari tujuh malam”, dan “tidak mengucapkan sepatah kata kepada [Ayub], karena mereka melihat, bahwa sangat berat penderitaannya”. Keberadaan di dalam penderitaan merupakan suatu pelayanan yang dalam dan berkuasa (Atkinson, 1991). Di sini, keheningan terlihat lebih “fasih” dibandingkan dengan kata-kata, karena tidak ada yang dapat dikatakan (ibid.).

Sebagai penutup, Mark Talbot (2010) memperkenalkan kepada kita akan konsep penderitaan yang sangat mendalam (profound suffering). Para penderita gangguan mental mungkin tidak dapat dengan mudah untuk bernyanyi, “It is well with my soul”. Namun, di sinilah Tuhan akan lebih dipermuliakan bagi mereka; ketika pengharapan atau bahkan iman mereka sudah gagal, Tuhan tetap setia, karena Ia yang satu-satunya setia (ibid.). Marilah kita mengingat perkataan Kristus ketika Ia ditanya oleh murid-murid-Nya siapakah yang berbuat dosa, orang yang buta sejak lahir atau orang tuanya, sehingga orang tersebut dilahirkan buta. Kiranya jawaban dari Tuhan kita juga menjadi pengharapan kita di dalam merawat mereka yang menderita, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yoh. 9:3, penekanan oleh penulis).

Franky
Pemuda GRII Singapura

Endnotes:
[1] Terdapat perbedaan dalam istilah psikologi dan psikiatri. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) memberikan arti psikologi sebagai “ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku; ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa”, sedangkan psikiatri merupakan “ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penyakit jiwa”.
[2] Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai dikotomi dan trikotomi, lihat Tong S. (2007). Manusia: Peta Teladan Allah (Bagian 2). Retrieved May 20, 2016, from https://www.buletinpillar.org/transkrip/manusia-peta-teladan-allah-bagian-2.

Referensi:
1. Adams, J. E. (1970). Competent to Counsel: Introduction to Nouthetic Counseling. Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House.
2. Atkinson, D. J. (1991). The Message of Job: Suffering and Grace. Leicester, England: Inter-Varsity Press.
3. Berkhof, L. (1996). Systematic Theology. Grand Rapids, MI: W.B. Eerdmans Pub.
4. Departemen Pendidikan Nasional (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Retrieved May 15, 2016, from http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php.
5. Hessamfar, E. (2015). In the Fellowship of His Suffering: A Theological Interpretation of Mental Illness – A Focus on “Schizophrenia”. Cambridge, England: Lutterworth Press.
6. Hoekema, A. A. (1994). Created in God’s Image. Grand Rapids, MI: W.B. Eerdmans Pub.
7. Johnson, E. L., & Jones, S. L. (Eds.). (2000). Psychology & Christianity: Four Views (1st ed.). Downers Grove, IL: IVP Academic.
8. Sharma, K. (2016). Living in Hell: Abuses against People with Psychosocial Disabilities in Indonesia. Retrieved May 15, 2016, from https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0316web.pdf.
9. Semple, D., & Smyth, R. (Eds.). (2013). Oxford Handbook of Psychiatry (3rd ed.). Oxford, England: Oxford University Press.
10. Talbot, M. R. (2010). When All Hope Has Died: Meditations on Profound Christian Suffering. In S. Storms & J. Taylor (Eds.), For the Fame of God’s Name: Essays in Honor of John Piper (pp. 70-101). Wheaton, IL: Crossway.
11. Welch, E. T. (1998). Blame It on the Brain?: Distinguishing Chemical Imbalances, Brain Disorders, and Disobedience. Phillipsburg, NJ: P & R Pub.
12. Wells, B. G., DiPiro, J. T., Schwinghammer, T. L., & DiPiro, C. V. (Eds.). (2015). Pharmacotherapy Handbook (9th ed.). New York City, NY: McGraw-Hill Education.