Kehausan manusia akan teknologi yang semakin hari semakin canggih sangatlah terlihat dalam berbagai karya hasil manusia yang dapat kita jumpai. Mulai dari hal-hal yang masih bersifat ide atau mungkin fiktif seperti yang banyak kita jumpai dalam film-film hingga karya yang sudah menunjukkan hasil tetapi masih dalam proses pengembangan atau mungkin bukti hasil konkretnya sudah terlihat. Semua hal ini terus digarap dan diteliti dalam berbagai bidang studi. Salah satu studi yang sangat menarik untuk dibahas adalah mengenai Artificial Intelligence (AI) dalam bidang Information Technology (IT). Suatu studi yang sangat diharapkan oleh banyak orang untuk dapat mengembangkan suatu teknologi yang sangat canggih yang dapat memudahkan hidup manusia. Ide-ide yang begitu spektakuler terus diusahakan agar dapat terjadi. Tetapi suatu pekembangan selalu diikuti bukan hanya dengan sisi positif atau berguna tetapi juga disertai dengan konsekuensi negatif. Salah satu yang menakutkan dari studi ini, di dalam kaitannya dengan AI, adalah tergantikannya peranan manusia oleh mesin seperti yang kita jumpai dalam film “Terminator” atau “The Matrix”. Mungkinkah hal ini terjadi? Bagaimana tanggapan kekristenan mengenai hal ini? Untuk menjawab hal ini, kita perlu sedikit mengerti terlebih dahulu apa itu AI.
Artificial Intelligence (AI)
Pada abad ke-19, para ahli di bidang teknik, matematika, psikologi, ekonomi, dan politik mulai berkumpul untuk merencanakan pembuatan suatu perangkat lunak cerdas yang saat ini sering disebut sebagai Artificial Intelligence atau AI[1]. AI merupakan suatu bidang spesifik pada dunia Teknologi Informasi yang mendalami metode untuk mendesain suatu mesin komputer cerdas untuk memperoleh hasil pekerjaan yang optimal. AI juga dapat dirujuk sebagai komputer yang memiliki pengetahuan yang terdiri atas fakta, pola, dan aturan. Pendekatan yang dilakukan bidang AI beragam seperti menggunakan penalaran deduksi (logika), perhitungan probabilitas, dan statistik. Saat ini, AI dianggap sebagai suatu teknologi yang breakthrough dan dapat diaplikasikan pada banyak bidang spesifik seperti permainan, bisnis, otomotif, politik, psikologi, kedokteran, dan lain-lain. Salah satu AI yang sangat fenomenal adalah Deep Blue, yaitu sebuah AI yang berhasil memenangkan permainan catur dengan mengalahkan grandmaster catur Garry Kasparov pada tahun 1997. AI tersebut dapat mengevaluasi 200 juta posisi per detik dan memprediksi gerakan lawan hingga 6 sampai 8 langkah ke depan[3]. Selain catur, AI untuk permainan papan terus bermunculan seperti Checker, Othello, dan Go. Setidaknya ada empat pendekatan yang dipakai para ilmuwan, dalam menjelaskan mengenai AI ini.
1. Bertindak seperti Manusia
Pernahkah Saudara menggunakan Siri atau Google Now? Kedua aplikasi yang ada pada banyak smartphone tersebut berusaha menirukan seorang asisten pribadi. Beberapa tugas kecil, seperti mengatur jadwal pertemuan, membaca/membalas pesan, mencari restoran terdekat, dan membaca perkiraan cuaca dapat dilakukan cukup dengan berbicara saja. Sebuah mesin, atau agen pintar, dapat melakukan hal-hal yang dapat dilakukan oleh kita sehari-hari. Agen tersebut dapat mendengar, berpikir, dan berbicara layaknya seperti manusia ke manusia. Selain itu, agen tersebut juga harus mengerti cara mengenal pola yang ada. Ketika kita berbicara dengan agen itu, kita berbicara seperti layaknya pada seseorang yang kita kenal. Saat ini, pembicaraan dilakukan layaknya seperti kita menggunakan program chatting: mesin yang ada berusaha menangkap kata-kata yang kita ketik atau bicarakan. Di masa depan, para ahli berangan-angan bahwa pembicaraan tersebut juga mencakup aspek visual (memimikkan penglihatan manusia dan pengenalan akan gambar) dan aspek kinetik (memimikkan pergerakan manusia).
Ada sebuah tes yang dibuat oleh Alan Turing, seorang matematikawan Inggris, untuk menguji keahlian mesin dalam meniru manusia. Tes Turing, atau yang juga dikenal dengan Imitation Game, menempatkan seseorang yang ditugaskan untuk berbicara dengan sebuah mesin. Seorang pengamat pembicaraan tersebut kemudian menentukan, pihak manakah yang adalah mesin dan manakah orang. Tentunya, untuk menjadi seperti manusia, mesin tidak hanya meniru kepintaran manusia. Mesin yang pintar juga berusaha meniru kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Dalam mengetik, misalnya, tidak jarang kita melakukan kesalahan dalam menulis kata-kata, seperti salah ketik (typo) atau salah penggunaan tata bahasa (grammar). Mesin yang berhasil dalam The Imitation Game ini tentunya harus berhasil juga dalam meniru kesalahan-kesalahan tersebut dalam tingkat tertentu. Ini pendekatan “bertindak seperti manusia” dalam AI.
2. Berpikir seperti manusia
Selain bertindak seperti manusia, para ilmuwan juga membayangkan sebuah agen pintar yang dapat menirukan cara berpikir manusia. Norvig dan Russell mengatakan, kita mengenali cara kita berpikir melalui tiga hal: introspeksi, eksperimen-eksperimen psikologis, dan pemeriksaan (scanning) otak. Sebuah agen pintar berusaha menirukan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Di satu sisi, cara kerja agen itu mungkin mirip dengan cara kerja neuron atau sel-sel saraf otak. Di sisi lain, agen tersebut juga menerima umpan balik dari luar, lalu menjadikannya hal yang dipelajari untuk memperbaiki penilaian.
Facebook, media sosial yang sudah dekat dengan kita sehari-hari, menerapkan fitur auto-tag. Dengan mengenali kemiripan foto-foto yang diunggah, Facebook dapat mengenali identitas seseorang dari wajahnya, lalu menempatkan tag pada muka orang tersebut di foto. Prinsip yang digunakan untuk mengenali wajah merupakan buah pemikiran dari perspektif ini.
3. Berpikir Rasional
Kedua perspektif sebelumnya berusaha menirukan manusia; manusialah yang menjadi titik fokus dari pengembangan agen pintar. Walaupun demikian, kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam menirukan manusia, seperti kompleksnya otak manusia, menjadi penyebab bergesernya perspektif dari manusia ke prinsip-prinsip logika.
Sebuah agen pintar juga dapat dibangun dengan pendekatan prinsip-prinsip logika. Prinsip-prinsip logika, seperti silogisme, yang pertama kali diutarakan oleh Aristoteles, menjadi prinsip dasar dari agen yang dibangun dengan cara ini, melalui inferensi atau penelusuran logis dari pernyataan-pernyataan yang ada.
Cukup sulit untuk menemukan sebuah agen yang dibangun menggunakan prinsip ini, karena perkembangan inteligensia buatan sekarang ini lebih condong ke pendekatan AI sebagai agen rasional, yang akan dibahas selanjutnya. Salah satu contoh yang paling mendekati perspektif ini adalah Prolog (PROgramming in LOGics), bahasa pemrograman yang menggunakan ekspresi logika untuk mengatur tata bahasanya, yang juga disebut syntax. Tentunya, bahasa ini berbeda dengan bahasa pemrograman yang umumnya digunakan (C, Pascal, dan turunannya), karena mereka menggunakan pendekatan imperatif/prosedural, atau perintah-perintah yang dilakukan secara berurutan.
4. Bertindak Rasional
Sebuah agen dipandang juga sebagai agen yang dapat melakukan interpretasi berdasarkan prinsip-prinsip yang ia miliki. Rasio dalam hal ini didasarkan pada cara agen/AI melakukan pengenalan terhadap lingkungan sekitarnya, melakukan interpretasi, dan melakukan aksi-aksi yang logis. Secara sederhana, AI adalah sesuatu yang melihat kondisi, lalu bertindak.
Perkembangan AI kini cenderung menggunakan perspektif/model ini, karena dianggap lebih umum (dapat mencakup perspektif-perspektif yang disebutkan sebelumnya). Peniruan cara kerja otak manusia dipandang sebagai syarat utama untuk membangun rasionalitas, sementara inferensi logis tidak selalu menjadi satu-satunya dasar tindakan rasional (refleks, misalnya, tidak sepenuhnya didasarkan pada inferensi logis yang dilakukan otak). Oleh karena itu, pendekatan ini memungkinkan pengambilan keputusan oleh agen, walaupun data yang ada tidak lengkap. Selain itu, pendekatan ini juga lebih dekat dan terbuka dengan perkembangan ilmu pengetahuan secara umum. Kelakuan manusia dianggap lebih cocok untuk situasi tertentu, sementara standar rasionalitas jelas didefinisikan dan bersifat lebih umum. Salah satu aplikasi AI yang merupakan buah dari produk ini adalah PredPol. PredPol adalah sistem prediksi kejahatan yang telah diterapkan oleh beberapa badan polisi di Amerika Serikat. Melalui sistem ini, polisi dapat melakukan prediksi waktu dan tempat kejadian kriminal yang akan terjadi. Dengan mempelajari data rekam kejahatan yang terjadi selama puluhan tahun, sistem ini dapat melakukan prediksi dengan keakuratan ~80%. Tidak heran, tingkat kejahatan pada kota-kota yang menerapkan sistem ini menurun dari ~10% hingga 30%.
Isu dan Perkembangan AI
Di dalam perkembangan bidang AI, muncul isu mengenai Artificial General Intelligence (AGI) dan Artificial Super Intelligence (ASI). Kedua istilah ini merupakan suatu hipotesis oleh para ahli mengenai teknologi AI di masa depan. Istilah AGImenyatakan AI yang memiliki kemampuan dan kecerdasan seperti layaknya manusia. Sedangkan ASI menyatakan AI yang memiliki kemampuan dan kecerdasan di atas manusia. Isu mengenai ASI telah ditakuti oleh beberapa peneliti karena mereka memprediksi bahwa AI dapat menggantikan peran manusia di dunia. Salah satu ilustrasi nyata akan hal ini ditunjukkan pada film sains fiksi “Terminator”. Film tersebut menceritakan kisah mengenai sistem komputer bernama SkyNet. SkyNet dibangun dengan teknologi ASIyang memiliki keinginan untuk membunuh manusia dan mengusai dunia. Sistem tersebut memiliki kemampuan untuk mempelajari hal baru dan menggunakan pengetahuan yang didapatnya untuk mengembangkan robot pemusnah manusia. Terdapat sebuah film sains fiksi lain bernama “Transcendence” yang menceritakan manusia yang dapat menciptakan sebuah mesin cerdas yang dapat berpikir dan melakukan pekerjaan melebihi kemampuan manusia seperti meregenerasi sel tubuh secara instan, menemukan metode untuk memutuskan pilihan pada perdagangan saham dengan tepat, dan membangun tubuh buatan dengan menggunakan nanoteknologi. Hingga saat ini, imajinasi kedua film tersebut masih berupa khayalan dan belum tercapai. Sehingga muncul suatu pertanyaan, “apakah mungkin hal tersebut terjadi?”. ASImasih sangat jauh untuk dicapai dan memerlukan banyak penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi hipotesis tersebut. Hingga saat ini, penelitian AI masih pada tahap penyempurnaan Weak AI, AI yang digunakan untuk mengerjakan suatu pekerjaan spesifik. Keberhasilan Weak AI masih belum sempurna karena hanya dapat bekerja pada ruang lingkup yang sangat terbatas. Sebagai contoh Google Self-Driving Car, sebuah AI untuk mengemudi mobil tanpa awak. AI tersebut masih memiliki kesulitan untuk mengemudikan mobil pada kondisi jalan tanpa rambu lalu lintas yang jelas dan tidak dapat mendeteksi lubang pada jalan[2].
Salah satu hal yang saat ini sedang diteliti pada bidang AI adalah pemrosesan gambar dan suara (Image and Sound Processing). Pemrosesan gambar dan suara yang dilakukan mesin sangat berbeda dengan manusia karena bersifat tidak natural. Sebaliknya, manusia secara natural dapat dengan mudah membedakan gambar wajah manusia yang satu dengan yang lain. Namun, hal tersebut sangat sulit bagi mesin karena harus mencari pola untuk setiap wajah manusia. Mesin harus belajar struktur wajah manusia secara detil dan mencari kesamaan antara gambar satu dengan lainnya hingga sampai suatu saat dapat mendeteksi wajah manusia dengan tepat. Apalagi jika kita akan membangun suatu mesin komputer yang dapat mengenali perasaan manusia, hal tersebut menjadi sangat sulit untuk dibuat karena perasaan manusia tidak dapat dengan mudah diparameterkan menjadi suatu model matematis. Lalu bagaimana kekristenan memandang Artificial Intelligence ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu mengerti kaitan antara kita sebagai gambar dan rupa Allah dikaitkan dengan teknologi.
Manusia dan Teknologi
Teknologi merupakan salah satu manifestasi dari respons manusia terhadap wahyu umum Allah. Dan sebagai gambar dan rupa Allah, sudah menjadi suatu konsekuensi logis bagi manusia untuk selalu meresponi setiap wahyu umum yang tertanam dalam setiap ciptaan bahkan termasuk diri manusia itu sendiri. Teknologi hadir di tengah-tengah manusia sebagai bagian dari perkembangan budaya manusia atau hasil dari proses penaklukan manusia akan dunia ciptaan ini, sebagaimana yang dimandatkan oleh Allah. Semakin advanced teknologi dalam suatu peradaban, semakin tinggi anggapan akan budaya pada peradaban itu. Karena itu tidak mengherankan kalau teknologi sering kali dijadikan sebagai alat ukur kemajuan suatu bangsa. Maka di sini kita bisa melihat bahwa teknologi sangat berkaitan erat dengan manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa teknologi merupakan bagian dari diri manusia dalam menjalankan panggilannya sebagai gambar dan rupa Allah, menggarap dunia ciptaan berdasarkan hikmat yang berasal dari Tuhan saja dan mengembalikan semuanya untuk kemuliaan nama Tuhan.
Keberadaan teknologi adalah sebagai perpanjangan tangan manusia yang dipakai untuk menaklukkan lautan luas hingga molekul air, gunung-gunung hingga batu-batuan, serta batasan jarak dan waktu antar benua. Theolog Richard Pratt, dalam bukunya, Designed for Dignity, mengatakan bahwa Tuhan ingin gambar-Nya dapat tersebar di seluruh dunia ciptaan-Nya ini. Oleh karena itu, orang-orang yang bekerja dalam pengembangan teknologi, khususnya ilmuwan dan insinyur (engineer), memegang tanggung jawab sebagai ujung tombak dari panggilan umum manusia yang suci ini. Melalui perkembangan teknologi dan sains, manusia mulai mengembangkan mesin komputer yang memiliki keunikan seperti otak manusia untuk meningkatkan efektivitas pekerjaan dan meringankan beban manusia. Komputer dapat membantu pekerjaan seperti mengalkulasi persamaan matematika, menjadwalkan penggunaan mesin di pabrik, hingga sebagai tempat penyimpanan data-data kependudukan suatu negara. Hal ini menjadi salah satu anugerah yang perlu kita syukuri karena hal tersebut membuka kesempatan manusia untuk mengerjakan pekerjaan yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan tanpa komputer karena pekerjaan-pekerjaan tersebut terlalu kompleks bila dikerjakan secara manual tanpa adanya tools untuk men-support manusia.
Tetapi kita pun tidak boleh menyepelekan keberadaan dosa. Perkembangan teknologi yang ada pada saat ini tidak terlepas dari adanya dosa. Sehingga kalau kita dengan kritis melihat dan menganalisis, maka teknologi bukan hanya men-support manusia dalam menjalankan panggilannya, tetapi juga ada teknologi yang men-support manusia dalam mengembangkan keberdosaannya. Respons manusia terhadap wahyu umum Allah yang seharusnya memancarkan kemuliaan Allah dan merupakan anugerah yang Allah berikan bagi kita, tetapi karena adanya dosa yang merusak, manusia tidak hanya memancarkan kemuliaan Allah tetapi ada kalanya murka Allah pun mereka pancarkan melalui karya manusia yang memberontak kepada Allah. Inilah yang Van Til katakan sebagai revelation of grace dan revelation of wrath. Di sini kita harus melihat dan menganalisis dengan baik setiap perkembangan teknologi yang ada. Mana saja yang adalah karya manusia yang dapat dipakai untuk memuliakan Allah, dan mana saja yang jelas-jelas memberontak kepada Allah. Penganalisisan ini bukan memikirkan bagaimana menggunakan teknologi yang ada untuk kemuliaan Allah tetapi kita mulai melihatnya dari asal mula kenapa suatu teknologi itu ada atau dengan kata lain filosofi yang men-drive munculnya teknologi tersebut.
Salah satu gerakan filosofis yang terkait erat dengan teknologi adalah transhumanisme. Secara umum, para transhumanis percaya bahwa mereka bisa mengembangkan kondisi manusia sekarang ini melalui perkembangan teknologi. Orang-orang yang cenderung optimis akan teknologi ini percaya, manusia bisa menghentikan penuaan, mencapai keabadian, meningkatkan kecerdasan dan fungsi-fungsi lainnya, bahkan menjadi posthuman – lebih dari manusia ‘standar’. Tentunya, AI merupakan salah satu bagian penting, karena transhumanis percaya, bahwa melalui AI inilah, orang-orang dapat menciptakan superintelligence – sesuatu yang memiliki kepintaran melebihi manusia biasa.
Suatu gerakan filosofis yang berpikir bahwa suatu hari kelak akan ada sebuah ‘cyborg’ yang bisa bertingkah persis seperti manusia bahkan bisa melebihi manusia atau teknologi yang dapat melebihi batasan tatanan ciptaan adalah suatu cara pandang yang bersifat reduktif. Suatu cara pandang yang menganggap bahwa alam semesta ini bisa dijelaskan secara runutan logika sebab akibat. Sehingga mereka berpikir bahwa segala sesuatu di dalam alam semesta ini bergerak secara mekanis, suatu peristiwa terjadi karena ada beberapa indikator yang memicunya dan untuk memprediksi peristiwa tersebut dapat dilakukan dengan mencari tahu apa yang menjadi indikatornya. Sewaktu indikator ini sudah ditemukan, maka peristiwa ini pun dapat dikontrol dengan cara memanipulasi indikator-indikator tersebut. Inilah mekanisme dalam pemikiran mereka. Tetapi kalau kita kembali kepada Alkitab maka kita menjumpai bahwa Tuhan menciptakan dunia ini dalam dua cara kerja (pembagian yang diberikan oleh seorang theolog bernama Vern S. Poythress) yaitu regularities dan irregularities. Mereka mereduksi seluruh alam semesta hanya ke dalam sisi regularities saja, dan melupakan sisi irregularities atau bisa juga dikatakan sebagai sisi randomness. Mereka berpikir bahwa segala fenomena dapat dijelaskan secara scientific dengan terlebih dahulu melakukan pengujian secara lab atau pengumpulan pengalaman, dari hasil inilah akan ditemukan ‘kebenaran-kebenaran’ yang dapat ‘menyelamatkan’ umat manusia. Ilmu pengetahuan dijadikan sebagai juruselamat yang dapat memberikan jawaban bagi semua permasalahan manusia. Tentu saja filosofi seperti ini sangat bermasalah dan bertentangan dengan kebenaran. Cara pandang ini membawa manusia untuk membangun ‘menara Babel’ mereka dengan menggunakan teknologi, dan teknologi dalam hal ini menjadi ikon dari supremasi kebesaran dan kehebatan manusia yang otonom dan hanyalah menjadi manifestasi pemberontakan manusia terhadap kedaulatan Tuhan.
Di sisi lain, ketika kita mencoba untuk mengkritik gerakan ini, ada dua hal yang harus kita pertimbangkan. Pertama, Tuhan mengizinkan adanya teknologi untuk ditemukan oleh manusia, tetapi tidak semua teknologi diperkenan oleh-Nya dan dapat kita gunakan tanpa sikap yang kritis. Banyak teknologi memiliki manfaat yang sangat baik, mulai dari hal yang sederhana seperti kail, jaring, perahu, bahkan hingga percetakan yang dipakai Tuhan untuk menyebarkan semangat Reformasi. Tuhan menggunakan teknologi seperti ini untuk menyatakan kuasa-Nya di bumi ini. Melalui teknologi seperti buku pulalah, kita dapat menikmati firman Tuhan. Di dalam konteks pengertian ini, jika kita mengambil posisi anti terhadap teknologi, berarti kita menolak berkat-berkat Tuhan atas diri kita. Hal tersebut tidak lain adalah penghinaan terhadap diri Tuhan sendiri. Tetapi kita pun harus mengingat fakta adanya dosa yang merusak manusia dalam mengembangkan tekonologi, sehingga tidak semua teknologi bisa kita gunakan, yang kalau kita gunakan justru dapat merusak diri kita sebagai gambar Allah serta dunia ciptaan ini pun akan mengalami dampak buruknya. Oleh karena itu optimisme yang terlalu naif terhadap perkembangan teknologi hanya akan membutakan manusia dengan harapan kosong yang hanya akan berujung dengan kehancuran atau kerusakan umat manusia salah satu goresan dalam sejarah adalah terjadinya Perang Dunia I dan II.
Kedua, kita tidak akan dapat melebihi batasan dari ciptaan itu sendiri. Kita tetaplah ciptaan, yang telah jatuh berdosa. Kita membutuhkan Juruselamat, dan Juruselamat itu haruslah melebihi ciptaan. Van Til sendiri menyatakan, ketika kita bertheologi, haruslah kita membedakan ciptaan dengan Pencipta. Seorang ciptaan tidak dapat menjadi Pencipta, namun Pencipta dapat berinkarnasi menjadi ciptaan. Pemikiran inilah yang harus menjadi fondasi ketika kita memandang teknologi. Memang Tuhan memberikan kreativitas kepada kita, sehingga kita dapat menemukan berbagai jenis teknologi yang membantu kehidupan kita sehari-hari. Di sisi lain, pemikiran bahwa kita dapat melakukan hal-hal yang hanya dapat dilakukan oleh Pencipta – menjadi abadi, misalnya – adalah sebuah hal yang mustahil. Tuhanlah yang menentukan hidup dan mati, bukan orang sebagai ciptaan. Pemikiran bahwa kita dapat menjadi tuhan dan ‘menyelamatkan’ diri sendiri adalah pemikiran yang terlalu naif dan melawan Tuhan. Hanya melalui Kristuslah, kita dapat selamat dari segala kerusakan yang terjadi di dunia ini.
Manusia vs. AI
Lalu bagaimana kita menanggapi isu mengenai manusia dan AI? Apakah peran manusia dapat digantikan oleh AI? Jawaban dari pertanyaan ini sudah jelas tidak mungkin. Suatu cara pandang yang memercayai bahwa manusia bisa digantikan oleh mesin atau robot dengan menggunakan teknologi AI adalah suatu cara pandang yang bermasalah seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Suatu cara pandang yang mereduksi tatanan alam semesta ini sebagai alam semesta yang bisa dijelaskan mekanisme kerjanya hanya di dalam runutan hukum sebab akibat saja. Selain itu cara pandang ini pun lahir dari hati manusia yang memberontak kepada Allah. Manusia berusaha menjadikan dirinya sebagai pencipta yang bisa menciptakan suatu karya yang melebihi manusia itu sendiri atau dengan kata lain ingin menjadikan diri melebihi Allah dengan menciptakan sesuatu yang melebihi apa yang sudah ada. Apakah hal ini mungkin? Sudah jelas tidak mungkin. Karena hal ini hanyalah delusi pemikiran dan hati manusia yang tidak takluk kepada kedaulatan Allah, sehingga dengan liar menciptakan angan-angan untuk membangun ‘menara Babel’ mereka, yang suatu saat akan Tuhan hancurkan.
Lalu bagaimana kekristenan dapat membawa AI untuk kemuliaan nama Tuhan? Untuk mengerti hal ini kita harus dapat mengerti terlebih dahulu perbedaan manusia dan AI. Hal pertama yang membedakan manusia dan AI adalah AI tidak dapat berpikir dan tidak memiliki keinginan pribadi, berbeda dengan manusia yang diberikan free will. AI bukanlah suatu mesin yang memiliki kehidupan dan hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan manusia sebagai alat bantu. Mari ambil contoh AI yang ada pada sistem autopilot pesawat. Autopilot pesawat dapat membantu pesawat untuk mengarahkan gerakan pesawat di udara dengan bantuan sensor yang terpasang pada pesawat. Hal ini tidak dapat dilakukan tanpa campur tangan manusia dan kita tidak bisa mengatakan bahwa pesawat tersebut berpikir dengan sendirinya dalam mengarahkan gerak pesawat karena program autopilot mengikuti algoritma yang merupakan hasil pemikiran manusia.
Hal kedua yang membedakan manusia dan AI adalah manusia merupakan makhluk yang memiliki kreativitas sedangkan AI tidak. Kreativitas manusia merupakan suatu hal yang kompleks dan masih menjadi pertanyaan besar bagi para peneliti untuk merumuskan teori mengenai kreativitas. Kreativitas bukanlah suatu hal yang sederhana karena untuk setiap bidang ilmu terdapat suatu kreativitas yang berbeda. Sebagai contoh kreativitas di dalam menyusun kata-kata yang indah pada puisi berbeda dengan kreativitas untuk menyusun nada-nada pada sebuah lagu.
Kesimpulan
AI adalah salah satu respons manusia terhadap wahyu umum, karena itu kita harus dengan kritis membedakan mana respons yang memuliakan Tuhan dan mana respons yang memberontak kepada Tuhan. Salah satu metode yang dapat kita lakukan untuk menilai AI adalah dengan mempertimbangkan beberapa aspek yang membentuk teknologi tersebut serta efek dari teknologi tersebut. Beberapa hal atau aspek yang dapat digunakan dalam menimbang benar atau tidaknya suatu teknologi dapat dilihat dari beberapa aspek ini:
Motivasi dan tujuan awal diciptakannya teknologi tersebut.
Dalam menganalisis suatu teknologi kita tidak bisa hanya sekadar melihat teknologi yang sudah ada lalu kita pikirkan bagaimana menggunakan teknologi ini untuk kemuliaan Tuhan, tetapi kita harus dengan kritis melihat dari titik awal teknologi ini ada. Begitu juga dengan AI yang hadir untuk men-support tugas dan tanggung jawab manusia. Selama di dalam batasan ini AI dapat digunakan untuk memuliakan Tuhan. Tetapi di saat AI dimaksudkan untuk menggantikan tugas utama atau esensial dari manusia sebagai gambar dan rupa Allah, maka AI itu sudah menjadi alat yang diciptakan manusia untuk memberontak kepada Allah dengan mengesampingkan tugasnya dalam menggunakan teknologi. Oleh karena itu, kita harus dengan tajam menganalisis maksud dan tujuan dari setiap teknologi.
Utilitas atau manfaat yang diberikan dari teknologi tersebut.
Segala sesuatu yang dibuat untuk memuliakan Allah secara otomatis pasti menjadi berkat bagi umat manusia. Oleh karena itu sisi utilitas dari AI harus kita analisis dengan baik. Misalnya AI yang dikembangkan untuk menciptakan robot-robot yang dapat menggantikan manusia dalam mengerjakan pekerjaan yang memiliki risiko kecelakaan kerja yang tinggi atau AI yang dapat men-support pekerjaan yang terlalu kompleks dan menyita waktu untuk dikerjakan oleh komputer dalam waktu yang lebih singkat dan hasil lebih akurat. Atau juga AI yang dapat membantu mengurangi pekerjaan manusia yang sifatnya repetitif dan membuka ruang atau kesempatan untuk manusia mengembangkan kreativitasnya. Utilitas-utilitas yang seperti ini adalah utilitas yang baik karena men-support manusia dalam menjalankan tugasnya sebagai gambar Allah.
Risiko atau efek negatif yang mungkin timbul dari teknologi tersebut.
Setiap teknologi selalu akan menimbulkan efek negatif baik karena perancangan teknologi itu yang belum matang atau kurang tepat, maupun bisa juga karena kecenderungan manusia yang menyalahgunakan teknologi itu yang berakar pada keberdosaan manusia. Sebagai contoh adalah teknologi internet yang tujuan awal digunakan untuk mempercepat komunikasi jarak jauh, tetapi akhirnya digunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak baik atau propaganda untuk melakukan tindakan kriminalitas. Maka di dalam konteks ini kita harus melihat efek negatif dari teknologi, salah satunya adalah social cost. Efek apa yang akan diberikan teknologi ini terhadap tatanan sosial. Dan apakah teknologi tersebut tepat untuk dikeluarkan pada saat ini atau harus menunggu waktu yang lebih lama. Sering kali teknologi cepat-cepat dikeluarkan demi mendapatkan keuntungan besar, tetapi tidak mempertimbangkan kesiapan masyarakat dalam menerima teknologi tersebut. Sehingga misuse of technology sering kali terjadi karena timing yang tidak tepat dalam mengeluarkan teknologi tersebut.
Tuhan mengizinkan manusia untuk terus mengembangkan teknologi untuk membantu manusia melakukan panggilannya sebagai wakil Allah di muka bumi. Tetapi fungsi dari teknologi tidak lebih dari tools yang digunakan manusia dalam menjalankan perannya, sedangkan tugas menggarap akan dunia ciptaan ini sebagai wakil Allah tidak mungkin dan tidak pernah bisa tergantikan oleh teknologi. Di dalam dunia dengan teknologi yang sangat canggih pun, manusia tetap tidak pernah bisa lepas dari tanggung jawabnya sebagai gambar dan rupa Allah.
Alvin Natawiguna, Genta Indra Winata, Simon Lukmana
Pemuda GRII Bandung
Referensi:
1. Crevier, Daniel (1993), AI: The Tumultuous Search for Artificial Intelligence, New York, NY: BasicBooks, ISBN 0-465-02997-3.
2. http://www.technologyreview.com/news/530276/hidden-obstacles-for-googles-self-driving-cars/ 14 February 2015 9:35 PM GMT +7
3. McCorduck, Pamela (2004), Machines Who Think (2nd ed.), Natick, MA: A. K. Peters, Ltd., ISBN 1-56881-205-1.Norvig, Peter, dan Russel, Stuart. 2010. Artificial Intelligence A Modern Approach. Prentice Hall: Chicago
5. http://www.predpol.com/results/
6. http://www.forbes.com/sites/ellenhuet/2015/02/11/predpol-predictive-policing/
7. http://en.wikipedia.org/wiki/Outline_of_transhumanism
8. http://wonderfulengineering.com/this-is-what-blind-people-see-with-new-artificial-eyes/