Pernahkah kita ditolak orang meskipun motivasi hati kita baik? Barangkali pengalaman seperti ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, malah sering sekali ada kepahitan mendalam yang muncul setelah perbuatan baik itu ditepis. Ada yang menyebut hal itu sebagai sebuah penolakan, ada juga yang menyebut hal itu sebagai intoleransi, diskriminasi, dan lain sebagainya.
Ketika kita mencoba untuk berbuat baik namun ditolak oleh kelompok lain, sebetulnya itu sudah biasa. Orang yang menerima pertolongan takut terlihat sedang ditolong; itulah sebabnya mereka mencoba untuk menolak pertolongan. Jangan kira yang menerima pertolongan akan merasa senang, malah di dalam banyak hal, intoleransi terhadap pertolongan orang lain adalah bentuk ketakutan—ketakutan untuk mengakui diri tidak berdaya. Hospitalitas dipandang sebagai bentuk penyerangan, bukan bentuk keterbukaan. Orang yang takut terbuka adalah orang yang paling sendirian sebab tidak ada damai di dalam hatinya.
Akan tetapi, jangan lupa bahwa kadang penolakan yang lebih besar bukanlah sesuatu yang berasal dari “kelompok di luar sana”. Jikalau penolakan itu berasal dari pihak luar, mungkin saja kita sebagai orang Kristen bisa merasa “lebih mendapatkan afirmasi”, merasa ada peran sebagai warga negara Kerajaan Allah. Kadang kala, kita bisa merasa lebih “termuliakan” saat perbuatan baik kita ditolak. Pada satu sisi, memang benar intoleransi terhadap orang Kristen bisa menjadi blessing agar kita makin berani berbagi. Di sisi lain, bila kita tidak berhati-hati, itu justru menjadi kepahitan yang dipoles dengan kebanggaan religius.
Saya kira pengabaian adalah sesuatu yang lebih pahit daripada intoleransi. Ketika ada intoleransi, setidaknya kelompok antagonis di luar sana merasa “kita eksis”. Kita ada, hadir, dan juga mengganggu sebagai sang liyan (the stranger). Pengabaian adalah sikap “merasa tidak terganggu” sebab “engkau tidak hadir, engkau tidak nyata, engkau tidak ada”. Sayangnya, hal-hal seperti ini cukup banyak terjadi di dalam gereja sendiri. Kita merasa tidak terganggu ketika lupa menyapa, berjabat tangan, dan mengenal nama orang lain—dan itu adalah sesuatu yang lebih mengerikan. Hospitalitas yang ditolak adalah hal yang sudah lumrah terjadi bagi kita, tidak ada yang perlu dibanggakan. Namun, hospitalitas yang sepantasnya kita bagikan kepada sesama saudara seiman, jika itu diabaikan, itu adalah penolakan yang sangat dingin, halus, dan menyakitkan. Bagaimana kita dapat memberi kasih kepada orang di luar rumah ketika kita menahannya di dalam rumah sendiri?
Kita dapat membayangkan apa rasanya jadi bayi manusia Yesus ketika lahir di Betlehem. Bukankah semua orang sedang menanti-nantikan Mesias Juruselamat? Namun, ketika Tuhan Yesus turun ke dunia, Dia justru diabaikan. Hadiah sorgawi yang diberikan oleh Allah Bapa kepada dunia, Sang Juruselamat, justru diabaikan. Bayangkan kalau Yesus perlu mencari tempat tinggal door-to-door, dan tidak ada satu pintu di Betlehem yang menerima-Nya. Bukankah Yusuf dan Maria adalah sama-sama saudara orang Yahudi? Bukankah dalam Kitab Musa dinyatakan bahwa kita harus membuka hati dan memberikan pertolongan kepada sesama—apalagi ketika ada seorang wanita hamil yang perlu melahirkan? Di manakah hati orang-orang percaya pada saat itu ketika sedang ditawarkan hadiah dari Tuhan?
Pada akhirnya, Tuhan Yesus lahir di palungan. Tuhan yang Maha Tinggi menurunkan derajat-Nya menjadi manusia saja sudah menjadi kerendahan hati yang luar biasa besar, bahkan sesuatu yang hina. Dan, Tuhan seperti ini menurunkan diri-Nya sampai lahir di tempat binatang. Napas pertama bayi Yesus adalah bau-bau kotoran binatang. Hospitalitas yang Tuhan tawarkan malah dipinggirkan dan ditaruh pada tempat yang sangat tidak sepantasnya. Malah, gembala-gembala dan orang kafir yang memandang kepada bintang justru menjadi orang-orang yang mendatangi Sang Juruselamat. Bahkan, dari momen pertama Tuhan Yesus dilahirkan, nyawa-Nya sudah menjadi most wanted, yaitu buronan nasional sampai harus bermigrasi ke negeri “kafir”, yaitu Mesir.
Kadang kala, Tuhan sendiri menjadi Sang Liyan Terbesar (The Ultimate Stranger) di dalam kehidupan manusia, tetapi khususnya di dalam kehidupan orang percaya. Ketika kita sudah terbiasa dengan anugerah, kita menjadi orang yang mudah melupakan Tuhan. Dan ketika kita melupakan Tuhan, Natal hanyalah sebuah selebrasi, hiburan, dan perayaan kultural yang datang dan pergi setiap tahun.
“Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yohanes 1:10-11)
Natal adalah harinya Tuhan datang ke dunia, mengambil tubuh seorang bayi manusia, dan turut merasakan hidup seperti kita. Seharusnya, Tuhan tidak datang ke dunia. Bisa saja, Dia menonton dunia seperti sebuah bola kristal dan bumi bagaikan salah satu debu di dalamnya. Seharusnya, Tuhan tidak masuk ke dalam rahim Maria dan mengambil tubuh manusia. Tuhan bisa datang seperti superman yang tidak tersentuh oleh macam luka dan penderitaan. Akan tetapi, entah bagaimana di semesta alam, ada Tuhan yang memiliki hati seperti demikian yang rela turun dan meninggalkan keistimewaan sorga untuk hidup bersama manusia yang tidak mengenal-Nya. Itulah hadiah Natal yang Maha Indah. Ada loh Tuhan seperti itu, Tuhan mana lagi yang bisa kita temukan seperti demikian?
Kadang kala, Tuhan sendiri menjadi Sang Liyan Terbesar (The Ultimate Stranger) di dalam kehidupan manusia, tetapi khususnya di dalam kehidupan orang percaya. Ketika kita sudah terbiasa dengan anugerah, kita menjadi orang yang mudah melupakan Tuhan. Dan ketika kita melupakan Tuhan, Natal hanyalah sebuah selebrasi, hiburan, dan perayaan kultural yang datang dan pergi setiap tahun.
Natal bukanlah tentang hadiah kado yang diberikan oleh Santa Claus yang turun dari atap rumah, lalu memberikan hadiah kepada anak-anak baik. Natal adalah tentang Tuhan yang memberi diri-Nya menjadi hadiah hidup kepada domba-domba terhilang. Betapa heran dan indahnya ada Tuhan yang tetap memberi diri untuk menjadi domba-domba tersesat. Kita merasa bahwa kita sudah tahu Natal, sudah tahu tentang Yesus lahir di palungan, tetapi apa arti semua itu jika kita tidak sadar bahwa Tuhan sedang mencari kita dan Tuhan ingin hadir di dalam hati kita?
“Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.” (Yohanes 1:12)
“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Matius 5:9)
Ketika kita menerima Tuhan Yesus, kita menjadi anak-anak Allah. Menjadi anak Allah adalah untuk membawa damai sebab diri kita sudah didamaikan dengan Allah. Kita bukan lagi menjadi musuh Allah, menjadi orang asing yang melupakan Allah, tetapi menjadi anak-anak-Nya. Kita memberi diri untuk dikasihi Tuhan dan menerima Sang Kado Natal, yaitu Tuhan Yesus sendiri yang menebus dan mengasihi kita. Kitalah orang-orang yang membutuhkan kasih itu. Hati kita adalah palungan binatang yang kotor, dan Tuhan datang untuk hadir bersama kita. Kita menjadi milik Tuhan, dan Tuhan menjadi milik kita.
Jikalau Tuhan yang sudah kita tolak dan lupakan masih mencari kita seperti itu, apa yang menjadi alasan bagi kita untuk menahan kasih itu? Betul, kita akan terus mengalami kepahitan, perbuatan baik dan kasih kita bisa diabaikan, ditolak, dan dibenci, tetapi kasih yang membawa damai adalah sesuatu yang sangat berkuasa saat jalan itu sangat sulit untuk dilewati. Itulah Natal, awal mula kelahiran Allah dalam menempuh jalan salib. Demikian sampai hari ini, ketika kita mengingat kembali tentang berbagai pergolakan dunia, kita perlu menghadirkan kenangan Natal itu senantiasa, supaya diingatkan kembali bahwa di tengah kegelapan, harapan damai selalu menanti untuk membawa kehidupan yang baru.
Kevin Nobel
Redaksi Editorial PILLAR
Pengasuh Rubrik Isu Terkini