Pandemic and the Gospel

Sudah lima bulan lamanya, sejak laporan kematian pertama pada 11 Januari 2020, COVID-19 menjadi wabah yang menakutkan bagi dunia. Jutaan kasus dan ratusan ribu kematian telah terjadi sampai hari ini (dan angka ini pun akan terus bertambah). Seperti wabah-wabah yang pernah terjadi sebelumnya, faktor utama penyebaran COVID-19 adalah interaksi antarsesama manusia. Oleh sebab itu, usaha untuk menekan penyebaran pandemi ini adalah meminimalkan ruang interaksi antarmanusia. Penutupan dan pembatasan akses di beberapa lokasi telah ramai dilakukan, membuat tidak sedikit orang kehilangan pekerjaannya (pikirkan supir taksi, pengemudi transportasi, pedagang kaki lima, tukang parkir, bahkan pengusaha besar sekalipun). Kebijakan pembatasan jarak fisik ini juga berdampak pada kehidupan psikis dan spiritual: membuat pertemuan ibadah secara fisik (bodily fellowship) dihentikan dan membuat manusia terisolasi, terpisah dari persekutuan dengan kerabat dan sanak saudara, yang membuat banyak orang dihantui kebosanan, kesepian, atau bahkan depresi.

Berkaitan dengan sikap terhadap sesama di tengah wabah ini, sebagian orang berpendapat bahwa cara terbaik untuk mengasihi sesama adalah dengan cara pasif: berdiam diri di tempat masing-masing (yang diwakili dengan hashtag terkenal #dirumahaja) karena tindakan tersebut akan meminimalkan kontak antarpribadi dan akhirnya penyebaran penyakit. Sebagian lainnya menganggap bahwa cara terbaik untuk mengasihi sesama adalah dengan secara aktif berinisiatif dan terjun untuk menyelesaikan kesulitan yang dialami sesama, meskipun tindakan tersebut akan merepotkan atau menimbulkan kerugian. Orang yang melakukan tindakan pasif sering dianggap penakut, pemalas, dan egois. Orang yang bertindak aktif sering dianggap gegabah, keras kepala, pemberontak, dan tidak memiliki hikmat. Di posisi manakah Anda saat ini dan bagaimanakah respons kita seharusnya sebagai orang Kristen?

Bila kita melihat sejarah, relasi antara gereja dan wabah dan pandemi lebih merupakan teman lama (old friends) daripada orang asing (strangers). Faktanya, wabah dan pandemi justru menjadi salah satu katalis utama pertumbuhan gereja pada masa-masa awal. Rodney Stark, dalam bukunya yang berjudul The Rise of Christianity[1], menyelidiki bahwa salah satu faktor penting yang membuat gerakan Yesus yang tidak terkenal dan marginal menjadi agama yang dominan di dunia adalah respons orang-orang Kristen dalam menghadapi wabah. Secara singkat, kita akan melihat wabah-wabah yang pernah terjadi dalam sejarah dan bagaimana gereja Tuhan berespons “in the way of Christ”.[2][3]

Wabah Antonie (165-180 Masehi)

Wabah yang mematikan seperempat penduduk Kekaisaran Romawi ini membawa penyebaran kekristenan. Orang-orang Kristen merawat orang yang sakit dan memberikan pemahaman spiritual bahwa wabah bukanlah pekerjaan dari dewa yang marah dan berubah-ubah, melainkan produk dari ciptaan yang rusak akibat pemberontakan melawan Allah Pengasih.

Black Death (Abad ke-14 dan Seterusnya)

Hanya dalam waktu lima tahun, wabah ini mematikan setengah dari jumlah penduduk, khususnya di daerah perkotaan. Wabah terus berulang pada abad-abad berikutnya, termasuk wabah yang melanda Wittenberg pada 1527. Banyak yang melarikan diri, namun Luther dan istrinya yang sedang mengandung, Katharina, tetap merawat orang sakit dengan mengutip Matius 25:41-46 sebagai pedoman mereka:

“Kita harus menghormati perkataan Kristus, ‘Aku sakit dan kamu tidak mengunjungi aku.’ Menurut perikop ini kita terikat satu sama lain sedemikian rupa sehingga tidak ada yang dapat meninggalkan yang lain dalam kesusahannya, tetapi berkewajiban untuk membantu dan menolong sesama seperti dirinya sendiri.”[4]

“Seseorang yang tidak akan membantu orang lain sampai ia dapat melakukannya tanpa merisikokan keselamatan dan kepunyaannya sendiri, tidak akan pernah dapat membantu orang lain.”[4]

The Plague of Cyprian (249-262 Masehi)

Wabah Cyprian (249-262 M) adalah pandemi mematikan yang pada keadaan terparah menyebabkan lebih dari 5.000 kematian per hari di Roma. Sementara wabah ini sangat melemahkan Kekaisaran Romawi, sikap orang-orang Kristen terhadap wabah ini justru menimbulkan kekaguman dan kesan yang mendalam terhadap masyarakat Romawi.

Dionysius, seorang uskup dari Alexandria menulis tentang respons orang-orang non-Kristen terhadap wabah sebagai berikut:

“Pada permulaan penyakit (wabah) ini, mereka mendorong para penderita pergi dari orang-orang terdekat, melemparkan para penderita itu ke jalan sebelum mereka mati dan memperlakukan mayat-mayat yang tidak dikubur seperti kotoran, dan dengan demikian berharap untuk mencegah penyebaran dan penularan penyakit (wabah) tersebut.”

“Tetapi dengan para penyembah berhala, segalanya tampak sebaliknya. Mereka meninggalkan orang-orang yang mulai sakit, dan melarikan diri dari teman-teman tersayang mereka. Mereka menghindari partisipasi atau persekutuan dengan kematian.” (Eusebius, Eccl. Hist. 7.22.7-10)

Jika respons orang-orang non-Kristen terhadap wabah adalah melindungi dan memelihara diri sendiri (self-protection and self-preservation) dan menghindari penderita wabah dengan berbagai cara dan dalam keadaan apa pun, respons orang-orang Kristen adalah tepat berseberangan. Dionysius menulis:

“Sebagian besar orang-orang Kristen menunjukkan kasih dan kesetiaan yang tidak terbatas, tidak pernah menyayangkan diri dan hanya memikirkan satu sama lain. Tanpa menghiraukan bahaya, mereka merawat orang sakit, memperhatikan setiap kebutuhan mereka, melayani mereka di dalam Kristus, dan bersama mereka meninggalkan kehidupan ini dengan bahagia; karena mereka terinfeksi penyakit itu melalui penularan dari orang yang mereka tolong, membawa ke dalam diri mereka sendiri penyakit tetangga mereka dan dengan senang hati menerima kesakitan mereka. Banyak di antara orang Kristen, yang karena merawat dan menyembuhkan orang lain, mengalami kematian karena tertular dan mati untuk orang yang mereka tolong.”

Apa yang dilakukan oleh orang-orang Kristen ini dikonfirmasi melalui komplain Kaisar Julian kepada kaum Helenis untuk menandingi kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen. “Adalah hal yang memalukan bahwa orang-orang jahat dari Galilea itu menolong bukan hanya kelompok mereka, tetapi juga kelompok kami.” Menurut Rodney Stark dalam The Rise of Christianity, “Karena semua itu, Julian mendesak imam-imam kafir untuk menandingi respons orang-orang Kristen ini, namun hanya sedikit atau bahkan tidak ada respons sama sekali karena tidak ada landasan doktrinal atau tradisi yang dapat mereka bangun.” Stark menambahkan, di tengah banyaknya kematian, orang-orang Kristen mengklaim bahwa mereka memiliki jawaban dan jawaban itu adalah: pengampunan dosa melalui Yesus Kristus dan harapan akan kehidupan yang akan datang setelah kematian[5] dan semua ini dirangkum dalam berita utama kekristenan, yaitu Injil.

The Gospel of Hope

“Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia.” (1Tes. 5:9)

Berjaga-jaga atau tidur—hidup atau mati, kita akan hidup bersama Allah. Bagaimana mungkin? Kita adalah orang berdosa. Tidak ada satu hari pun yang kita lewati tanpa melanggar kekudusan-Nya dan mencapai standar kasih-Nya. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Jawabannya adalah karena Yesus Kristus. Kematian Yesus Kristus membuat kita tidak lagi ditimpa murka. Dosa, kesalahan, dan hukuman yang harus kita tanggung telah ditimpakan kepada Juruselamat kita, Yesus Kristus, di atas kayu salib. Hanya di atas dasar inilah kita dibebaskan dari status bersalah dan hukuman. Kita aman di dalam belas kasihan dan kebaikan Ilahi. Masa depan kita dijamin oleh berita Injil ini, bahwa ketika kita mati dan meninggalkan dunia ini, kita akan hidup bersama-sama dengan Allah.

Berita Injil menimbulkan pengharapan karena menjamin hari depan. Objek dari pengharapan adalah masa depan, tetapi pengalaman dari pengharapan adalah saat ini. Pengharapan adalah kekuatan. Pengharapan menjaga orang supaya tidak bunuh diri. Pengharapan membuat orang bangun dari tempat tidur dan bekerja. Pengharapan memberi arti di dalam kehidupan saat ini. Pengharapan yang ditimbulkan dari berita Injil seharusnya mendorong orang Kristen untuk mengasihi, mengambil risiko, dan berkorban di tengah pandemi, bukan justru makin serakah dan egois. Mengapa? Karena risiko terbesar dari semua tindakan kasih adalah kematian, tetapi Injil telah membuat kematian tidak lagi memiliki sengat (1Kor. 15:55-58), sebab setelah kematian, kita akan hidup bersama-sama dengan Allah (Flp. 1:21-23).

The Gospel of Love

“Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa.” (1Tim. 1:15)

“Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran.” (1Ptr. 2:24)

Berita Injil menceritakan inisiatif Allah untuk menyelamatkan manusia dengan memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk menempati posisi manusia dan menanggung murka Allah sehingga manusia dapat diampuni. Inilah yang disebut Yohanes sebagai kasih yang begitu besar, keluar dari Allah sendiri yang adalah kasih, selalu melibatkan pengorbanan dari pihak Allah, dan membawa kehidupan kepada objek kasih-Nya (1Yoh. 4:9-10; Yoh. 3:16). Oleh sebab itulah Yohanes mengatakan kasih bersumber dari Allah, bahwa kasih adalah tanda seseorang sudah lahir baru, dan bukti bahwa seseorang mengenal Allah (1Yoh. 4:7-8).

Yohanes melanjutkan pembahasannya dengan implikasi dari kasih Allah ini kepada kehidupan dengan sesama. Ia mengatakan bahwa kasih tidak mengandung ketakutan. Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan dan barang siapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. Mengapa kita tidak takut? Yohanes mengatakan karena ketakutan mengandung hukuman, sedangkan kita, di dalam Kristus, telah dibebaskan dari hukuman, sehingga kita dapat mengasihi dengan bebas. Kasih kepada sesama kita lebih merupakan suatu ucapan syukur dan luapan sukacita karena Allah telah mengasihi kita terlebih dahulu. Dan Ia juga menginginkan, sama seperti diri-Nya, supaya kasih kita lahir dari motivasi yang murni, dikerjakan dengan cara Allah (memberi diri dan berkorban), dan bertujuan untuk membawa kehidupan kepada orang lain.

Dalam pandemi ini, Allah menginginkan kita mematikan perasaan mengasihani diri dan ketakutan, serta memberikan diri untuk perbuatan baik di tengah-tengah bahaya. Orang-orang Kristen digerakkan oleh kebutuhan bukan kenyamanan, oleh kasih bukan keamanan. Demikianlah teladan Juruselamat kita yang mengorbankan diri-Nya mati di atas kayu salib. Kita adalah murid dan Guru kita mengatakan bahwa seorang murid tidak lebih daripada gurunya. Kita adalah hamba dan Tuan kita mengatakan bahwa seorang hamba tidak lebih daripada tuannya. Jika Yesus memberi diri-Nya supaya orang lain beroleh hidup, bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang lain dari ini, jika kita sungguh adalah murid dan hamba-Nya, jika kita sungguh sudah dipersatukan dengan-Nya?

The Gospel of Judgment

Dalam perspektif Kristen, alasan bagi seluruh kesengsaraan dan kematian fisik adalah dosa (Kej. 3:1-19; Rm. 5:12). Semua bencana (termasuk wabah) tidak hanya dianggap sebagai gejala alam, tetapi sebagai hasil penghakiman Allah atas dosa. Seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan dan di bawah perbudakan, bukan karena kehendaknya sendiri, tetapi karena kehendak Allah yang menaklukkannya (Rm. 8:20-22). Tentu saja, ayat-ayat ini ditulis dalam konteks pengharapan bahwa tidak ada lagi penghukuman bagi anak-anak Allah (Rm. 8:1, 21; Why. 21:4). Tetapi sekarang, mereka tidak luput dari penghakiman. Mereka tetap akan dihempas tsunami, diserang teroris, dan, virus corona.

Pertanyaannya adalah, mengapa Allah melakukan semua kesengsaraan fisik ini? Adam dan Hawa menentang Allah dan lebih memercayai hikmat sendiri daripada Allah. Tindakan ini adalah kejahatan moral dan spiritual. Dosa pertama kali adalah soal jiwa (hati) daripada tubuh (fisik). Tetapi mengapa Allah menjatuhkan hukuman secara fisik? Mengapa tidak memberi kesengsaraan kepada jiwa manusia, sebagaimana halnya dosa berawal?

Alasannya adalah karena kita telah dibutakan oleh dosa, kita tidak dapat melihat betapa menjijikkannya dosa di hadapan Allah. Siapa yang akan cemas dan tidak dapat tidur, karena ia sadar dalam satu hari telah mengerdilkan Allah melalui penentangan dan pengabaiannya akan Allah? Siapa yang akan meratap dan mengeluh karena ia telah lebih memercayai dirinya sendiri daripada Allah? Tidak ada! Benar, tidak ada! Tetapi, oh, betapa pekanya kita akan penderitaan badaniah kita! Betapa kita marah kalau Allah menyentuh tubuh kita! Seperti Yunus, kita lebih marah karena pohon jarak daripada keselamatan jiwa! Biarlah virus corona menyadarkan kita dari ketertiduran rohani kita. Biarlah penderitaan badaniah ini menjadi sangkakala yang memberitahukan kita bahwa dunia ini sedang berjalan dengan salah. Penyakit dan kecacatan di dunia ini adalah perumpamaan, gambaran, dan papan penunjuk jalan untuk sesuatu yang lebih besar: penghakiman jiwa, keterpisahan selama-lamanya dari kehadiran Allah yang penuh kasih, ketika Kristus datang kembali. Kita perlu diberikan sedikit rasa dan cicipan penghakiman Allah, sebab tanpanya kita tidak akan memalingkan diri kita kepada Kristus melalui berita Injil.

Konklusi

Inilah konteks kita: dunia yang berada di bawah penghakiman Allah dan dunia haus cinta kasih karena manusia makin egois dan mementingkan diri sendiri. Tentu saja melalui perkembangan ilmu kedokteran serta teknologi dan informasi, perlu penyesuaian terhadap panggilan kita di tengah pandemi pada saat ini. Kita perlu memikirkan langkah-langkah praktis apa yang perlu dilakukan. Tetapi motivasi, tujuan, cara, dan beritanya tetaplah sama. Motivasi kita adalah kasih akan Allah dan sesama. Tujuan kita adalah membawa kehidupan bagi orang lain, dan caranya adalah pengorbanan diri (sacrificial love). Berita kita adalah Injil—penghakiman Allah, cinta kasih-Nya yang memberikan pengampunan, serta pengharapan yang pasti bahwa kita akan bertemu dengan Dia kelak. Semua telah tersedia, sekarang siapakah yang akan pergi dan memberitakannya? Akankah kita mengatakan kepada Allah seperti respons Yesaya, “Ini aku, utuslah aku”?

Marthin Rynaldo

Pemuda MRII Bogor

Referensi:

[1] Stark, Rodney. 1997. The Rise of Christianity: How the Obscure, Marginal Jesus Movement Became the Dominant Religious Force in the Western World in a Few Centuries. HarperSanFrancisco: US.

[2] Scrivener, Glenn. https://www.thegospelcoalition.org/article/4-lessons-church-history/. Diakses pada 18 April 2020.

[3] Lyman Stone. https://foreignpolicy.com/2020/03/13/christianity-epidemics-2000-years-should-i-still-go-to-church-coronavirus/. Diakses pada 18 April 2020.

[4] Luther, Martin. Luther’s Works, Vol. 43: Devotional Writings II, ed. Jaroslav Jan Pelikan, Hilton C. Oswald, and Helmut T. Lehmann, vol. 43 (Philadelphia: Fortress Press, 1999), 119–38.

[5] Tiga poin mengenai kasih diadaptasi dari buku: Piper, John. 2020. Coronavirus and Christ. Crossway Books: US.