Problem of Evil: Sebuah Refleksi mengenai COVID-19

Introduksi

Dalam konteks dunia yang sudah jatuh dalam dosa, penderitaan adalah satu hal yang lumrah dan terus-menerus terjadi. Apalagi di tengah situasi pandemi di mana muncul kesulitan besar di berbagai bidang (kesehatan, sosial, ekonomi, politik, pendidikan), pertanyaan-pertanyaan berikut mulai bermunculan. Mengapa bencana pandemi ini bisa terjadi? Di manakah Tuhan di tengah-tengah situasi sulit seperti ini? Kenapa Tuhan bisa membiarkan hal semacam ini? Dalam sejarah, argumen ini kemudian dikembangkan dan dikenal sebagai problem of evil. Secara singkat, argumen ini mempertanyakan kesinambungan tiga premis berikut:[1] (i) Allah Mahabaik, (ii) Allah Mahakuasa, (iii) Adanya realitas kejahatan dan penderitaan di bumi ini. Dalam dunia yang ada kejahatan dan penderitaan, berarti Allah adalah Allah yang Mahakuasa namun dia tidak Mahabaik sehingga kejahatan bisa terjadi dalam dunia. Atau kemungkinan kedua, Allah adalah Mahabaik, namun Allah tidak punya cukup kuasa untuk mencegah terjadinya kejahatan. Kalau memang Allah Mahabaik dan Mahakuasa, seharusnya tidak ada kejahatan dalam dunia ini. Nanti dalam sejarah perkembangannya, variasi premis dan argumen bisa mendapatkan tambahan dan penekanan tertentu.

Dimensi

Sebelum membahas lebih detail, penulis ingin memberikan catatan terkait fokus dan cakupan dari artikel ini. Secara filsafat dan theologis, perdebatan dan diskusi mengenai problem of evil telah terjadi begitu lama. Salah satu catatan paling awal mengenai problem of evil berasal dari Epikurus di tahun 300 SM. Hal ini terkadang disebut sebagai “Epicurean Paradox”.[2] Sayangnya, tidak ada teks historis yang masih tersisa sampai saat ini. Sosok lebih kontemporer yang kembali mendengungkan argumen ini adalah David Hume di sekitar tahun 1770-an. David Hume menuliskan argumen ini dalam karyanya yang berjudul Dialogues Concerning Natural Religion.[3]

Pembahasan mengenai problem of evil tidak harus selalu ditanggapi dari sudut pandang filsafat atau kajian theologis. Ada tempat untuk berempati kepada pihak-pihak yang mengalami penderitaan, ataupun juga menanggapi dari aspek emosional (berusaha merasakan kesulitan yang dirasakan pihak yang menderita). Salah satu contoh yang baik adalah respons awal teman-teman Ayub ketika mereka baru saja datang dan melihat Ayub yang sedang begitu menderita. Mereka serentak “hanya” duduk diam bersama Ayub selama tujuh hari tujuh malam, tidak ada tindakan, tidak ada perkataan. Hanya getaran detik demi detik yang mereka jalani secara “khidmat” dengan pihak yang sedang menderita begitu rupa.

Dalam Buletin PILLAR sendiri, sudah ada beberapa artikel yang mengulas mengenai problem of evil. Beberapa argumen seperti (i) kemungkinan dunia yang terbaik, (ii) implikasi kehendak bebas, (iii) Allah sebagai penyebab tidak langsung, sudah dibahas dengan baik. Dalam artikel ini, penulis lebih banyak membagikan pengalaman pribadi dan pelayanan penulis, baik dari sisi kesulitan intelektual maupun pastoral. Dalam perjalanan hidup penulis, ada beberapa kalangan teman atheis dan free thinker yang pernah menanyakan hal ini. Penulis juga pernah memiliki kenalan/teman/kerabat yang mendapatkan musibah berat atau kehilangan orang yang dicintai sehingga mereka menggumulkan secara eksistensial mengenai topik ini. Penjelasan dalam artikel ini tidak dimaksudkan untuk bersifat sangat komprehensif dan akademis, namun penjelasan sederhana ini semoga bisa menjadi berkat bagi para pembaca Buletin PILLAR.

Refleksi

Tiga Premis

Dalam salah satu wawancara penjelasan singkat, Ravi Zacharias pernah ditanya tanggapannya mengenai problem of evil.[4] Ia justru balik bertanya kenapa kita hanya berhenti di tiga premis pertama? Mengapa dari begitu banyak karakter dan atribut Allah, hanya aspek Mahabaik dan Mahakuasa yang ditekankan? Mengapa kita tidak merenungkan juga bahwa Allah adalah Allah yang bijaksana dan juga panjang sabar? Dari kejahatan, penderitaan, dan berbagai kesulitan yang ada, sangatlah mungkin bahwa kita belum menyelami segala pekerjaan Allah dari awal sampai akhir. Allah yang kita kenal melalui Alkitab tidak bisa direduksi sedemikian kecil hanya menjadi dua atribut saja. Pengenalan kita akan Allah yang sejati akan sangat membentuk pemikiran dan sikap kita dalam berespons terhadap kejahatan dan penderitaan.

Allah yang Tersalib

Ketika ada kejahatan dan penderitaan, reaksi yang lumrah adalah adanya keinginan untuk segera menyelesaikan dan membereskan kejahatan dan penderitaan tersebut. Jika ada oknum/pihak yang jahat, kita ingin segera menghukum dan membereskan kejahatan tersebut. Bagi penulis, perenungan mengenai Allah yang tersalib adalah suatu aspek indah dalam merenungkan kesulitan problem of evil. Dalam kekristenan, ada aspek perenungan bahwa Allah adalah Allah yang mau turut menderita. Ketika kita berada di momen-momen paling kelam dalam hidup, kita dapat mengingat Allah yang sudah berinkarnasi dan menderita begitu rupa bagi kita. Allah yang Mahabaik dan Mahakuasa itu rela membatasi diri-Nya dan turut menderita dalam dunia yang Ia ciptakan. Dalam segala hal Ia dicobai sama seperti kita, hanya saja Ia tidak berbuat dosa.

Problem of Goodness

Poin perenungan ini saya kerap dengar dari Pdt. Billy Kristanto dalam berbagai sesi khotbah dan tanya jawabnya. Khusus bagi orang Kristen, seharusnya kita tidak terlalu kaget mengenai problem of evil. Dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, adalah wajar ada berbagai kejahatan, kesulitan, dan penderitaan. Justru yang seharusnya menjadi perenungan orang Kristen adalah problem of goodness. Mengapa dalam dunia yang sudah jatuh ini masih ada kebaikan dan penopangan Tuhan yang masih kita rasakan hari demi hari? Yohanes Calvin dalam buku yang ditulis oleh Herman Selderhuis (John Calvin: A Pilgrim’s Life) sedikit banyak memiliki perenungan seperti demikian. Di tengah-tengah zaman di mana terjadi berbagai perang, pengungsian, dan kemiskinan, Calvin memang memiliki pembawaan dan perspektif yang agak pesimistis. Namun yang lebih mengherankan, ternyata Calvin juga cukup banyak membahas mengenai keindahan dan kebaikan dalam hidup ini. Ia juga kerap menjelaskan dan menghayati kenikmatan yang Tuhan berikan melalui makanan dan minuman yang masih kita rasakan setiap harinya.

Menasihati Allah

Ketika kita bertanya dan memikirkan problem of evil, penulis pribadi mengamati ada tendensi dalam diri kita untuk menasihati Allah. “Dunia ini tidak seharusnya rusak dan berantakan seperti ini. Mengapa Allah yang baik dan berkuasa koq membiarkan hal-hal seperti ini terjadi? Kalau saya jadi Allah, hal buruk ini pasti saya akan cegah dan tangani!” Sebagai orang Kristen, kita lupa kalau kita adalah manusia yang begitu terbatas. Ayat-ayat dalam Roma 11:33-36 begitu mengena bagi saya: O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!

 

Kaitan dengan COVID-19

Poin refleksi terakhir adalah spesifik terkait konteks COVID-19 saat ini. Tidak perlu dijabarkan lagi dampak negatif dan kerugian yang diakibatkan oleh pandemi ini. Artikel-artikel Buletin PILLAR sendiri telah sedikit banyak membahas mengenai COVID-19 dalam dua tiga bulan terakhir. Sebagai orang Kristen, tentu sangatlah wajar untuk merenungkan dan menggumulkan maksud Tuhan dalam pandemi ini. Bagi kebanyakan kita yang mungkin harus “terkurung” di dalam rumah dalam situasi pandemi ini, seolah-olah rumah kita sendiri menjadi pengalaman “pengasingan”. Suatu kondisi yang terkungkung sambil menunggu-nunggu di tengah ketidakpastian.[5]

Penulis merasa ada banyak aspek perenungan yang bisa kita hayati, secara spesifik dalam kaitannya dengan kejahatan, kesulitan, dan penderitaan. Terkait godaan untuk menjadi penasihat Allah, ini adalah momen di mana kita bisa merendahkan hati dan berusaha merenungkan rencana Allah yang ajaib. Mungkin kita memiliki ide dan rancangan yang kita idamkan. Mungkin kita terlalu angkuh akan hal-hal yang sebelumnya kita andalkan. Melalui pandemi ini, kita disadarkan untuk hanya berpegang pada Allah yang kekal. Seperti pemazmur, ada ruang bagi orang Kristen untuk berseru, menangis, dan menyatakan keluh kesah kita kepada Allah. Allah bukanlah Allah yang dingin dan diam. Justru Ia adalah Allah yang telah berinkarnasi, menderita, dan mati untuk kita. Allah mendengar dan mengerti keluh kesah yang kita utarakan. Lebih jauh lagi, justru dalam momen-momen COVID-19 kita bisa lebih kagum merenungkan akan kebaikan Tuhan yang Ia masih nyatakan, hari demi hari dalam hidup kita. Sungguh bersyukur jika di antara kita masih ada yang bisa bekerja, beraktivitas dengan sehat, dan makan dengan cukup setiap harinya. Sedikit belajar juga dari momen awal teman-teman Ayub, mungkin ini adalah waktunya bagi kita untuk duduk diam dalam keheningan. Melihat begitu banyaknya kesulitan yang terjadi, ada tempatnya untuk duduk dalam kesunyian tanpa tergoda untuk melontarkan kalimat-kalimat tudingan yang terlalu cepat keluar.

Penutup

Demikian sedikit perenungan singkat yang bisa dibagikan oleh penulis. Semoga ini bisa menjadi berkat bagi pembaca Buletin PILLAR. Bagi yang sedang bergumul secara intelektual mengenai hal ini, penulis berdoa kiranya Tuhan menuntun, membuka titik terang, dan memberikan jawaban. Jika ada pembaca yang mengalami momen-momen sulit dalam situasi COVID-19 ini, penulis berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan, dan melalui momen yang sulit dan tidak dapat dimengerti, justru kita bisa bersama-sama makin mengenal Allah. Mengutip kalimat Pdt. Stephen Tong, a man is what he reacts before God, kiranya kita boleh melalui masa COVID-19 ini dengan berespons secara beres di hadapan Tuhan.

My words lie still and lifeless as dust upon the sand,

I can no longer voice one request or one demand,

My cup of tears is empty, I can no longer cry,

My lips have fallen silent, my prayer is but a sigh.

Spirit come and rest Your ear upon my heart,

O come and hear my wordless prayer,

my silent plea and take them far away from me.

Take them from this heart of mine to the Father’s heart divine,

(My Wordless Prayer, Craig Courtney)

Juan Intan Kanggrawan

Redaksi Bahasa PILLAR

Dorongan untuk Pembelajaran Lebih Jauh:

Bagi pembaca Buletin PILLAR yang mau mendalami lebih jauh mengenai topik ini, mungkin buku-buku ini bisa berguna untuk pembelajaran lebih lanjut:

– Stephen Tong. Iman, Penderitaan, dan Hak Asasi Manusia.

– Alvin Plantinga. God, Freedom, and Evil.

– Paul David Tripp. Suffering: Gospel Hope When Life Doesn’t Make Sense.

– Ravi Zacharias & Vince Vitale. Why Suffering?: Finding Meaning and Comfort When Life Doesn’t Make Sense.

– Timothy Keller. Walking with God through Pain and Suffering.

– C. S. Lewis. The Problem of Pain.

– David E. Alexander & Daniel M. Johnson. Calvinism and the Problem of Evil.

Endnotes:

[1] https://plato.stanford.edu/entries/evil.

[2] Is God willing to prevent evil, but not able? Then he is not omnipotent.

Is he able, but not willing? Then he is malevolent.

Is he both able and willing? Then whence cometh evil?

Is he neither able nor willing? Then why call him God?

[3] “Is he [God] willing to prevent evil, but not able? then is he impotent. Is he able, but not willing? then is he malevolent. Is he both able and willing? whence then is evil?”

“[God’s] power we allow [is] infinite: Whatever he wills is executed: But neither man nor any other animal are happy: Therefore he does not will their happiness. His wisdom is infinite: He is never mistaken in choosing the means to any end: But the course of nature tends not to human or animal felicity: Therefore it is not established for that purpose. Through the whole compass of human knowledge, there are no inferences more certain and infallible than these. In what respect, then, do his benevolence and mercy resemble the benevolence and mercy of men?”

[4] Ravi Zacharias - In tribute, we relive his outstanding (full) interview: https://www.youtube.com/watch?v=pTO38KMMLSw&t=1001s.

[5] https://for-the-life-of-the-world-yale-center-for-faith-culture.simplecast.com/episodes/trailer-a-message-from-miroslav-volf-singing-a-song-in-a-strange-land?mc_cid=af843c0d61&mc_eid=14910d34ed.