Serigala di Antara Kita

Belakangan ini, masyarakat Indonesia sedang terkaget-kaget tentang kasus kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan dalam sebuah institusi kepolisian. Pada saat ini juga, investigasi terhadap pelaku dan jaringan kejahatan sedang berlangsung dan ditayangkan di hadapan publik melalui televisi dan media sosial. Presiden juga sudah memberikan perintah bahwa kejahatan ini perlu diungkapkan seterbuka mungkin agar masyarakat masih mempunyai kepercayaan kepada institusi kepolisian di Indonesia. Tidak disangka bahwa di dalam institusi yang “berwibawa” justru terjadi berbagai macam tindakan kriminal. Ada yang mengatakan bahwa pelaku itu mempunyai gejala “narsistik-psikopat”. Banyak perdebatan dan spekulasi tentang apa yang telah terbukti dilakukan, yang disembunyikan, dan yang masih belum diketahui oleh publik, seperti fenomena gunung es yang hanya diketahui ujung puncaknya dan sisa bagian yang lain tenggelam di bagian bawah. Apa pun itu hasilnya, mari kita berdoa agar masyarakat Indonesia masih mempunyai kepercayaan terhadap pemerintah dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

Dalam artikel ini, kita akan mencoba untuk memahami bagaimana fenomena kejahatan itu terjadi di dalam sebuah institusi sosial. Saya ingin mengundang para pembaca untuk melihat bahwa fenomena kejahatan tersebut bukanlah sesuatu yang terjadi di luar sana, tetapi juga di dalam kehidupan orang Kristen, khususnya di dalam gereja. Artikel ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah sebuah penelusuran sosiologis tentang bagaimana hubungan kekuasaan terbentuk dalam sebuah organisasi. Kedua, sebuah pemaknaan terhadap konsep “narsisisme”. Ketiga, kita akan menelusuri kehidupan dua orang raja dalam Alkitab yang menggambarkan pola seperti demikian, dan bagaimana Allah bekerja di dalam melakukan intervensi.

Apabila kita mempelajari tentang kekuasaan, mau tidak mau, kita akan bertemu dengan organisasi dan institusi masyarakat. Orang-orang yang berkuasa biasanya menduduki posisi kunci atau jabatan tinggi di dalam sebuah organisasi. Organisasi adalah sebuah kelompok formal yang melakukan pembagian tugas. Institusi adalah sebuah organisasi raksasa yang mengatasi organisasi-organisasi yang lebih kecil. Di dalam kehidupan bermasyarakat, kita perlu menyadari bahwa makin tinggi posisi dan jabatan, maka makin besar pula tanggung jawab yang perlu dipikul oleh seorang individu. Demikian juga, makin tinggi posisi dan jabatannya, maka makin besar kekuasaan yang didelegasikan kepadanya untuk melakukan keputusan-keputusan penting, serta makin besar juga risiko bahaya yang akan digunakan olehnya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.

Jangan terlalu heran kalau di dalam sebuah institusi kepolisian dan militer, institusi pendidikan seperti perguruan tinggi, institusi kesehatan seperti rumah sakit, atau institusi keagamaan seperti gereja, di situ manusia akan melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia. Makin “agung” sebuah institusi, maka makin besar pula potensi untuk melakukan sebuah kesalahan, terlebih lagi di antara para pemimpin yang menduduki jabatan penting. Kekerasan fisik, verbal, dan seksual justru dapat ditemukan dalam sarang-sarang tertentu yang berpusat pada institusi yang banyak hubungannya dengan “menjaga dan melindungi manusia”. Serigala tidak selalu mengambil pakaian yang berbulu serigala, tetapi berbulu domba, berseragam, berjubah agama, berpakaian putih, dan mereka ini mempunyai daya tarik karisma yang sangat mengagumkan.

Di dalam ilmu sosial-humaniora, individu dan oknum ini mengalami sebuah permasalahan mental yang disebut sebagai “narsisisme”. Narsisisme bukanlah sebuah keinginan untuk mengekspresikan diri dengan sebuah foto selfie saja. Akan tetapi, narsisisme adalah ketidakmampuan (ketidakmauan) untuk berempati. Dalam ilmu psikologi, individu tersebut sedang mengalami “kesakitan mental”. Secara spiritual, individu tersebut sedang mengambil sikap hati untuk sengaja tidak mengasihi orang lain dan melakukan pemberontakan terhadap Tuhan, yakni mereka sedang menuhankan diri sendiri. Pada umumnya, ada beberapa karakteristik yang dimiliki oleh individu tersebut: 1) ide mereka selalu “benar”; 2) tidak mampu untuk memahami perasaan orang lain, ingin mengasihani diri (self-pity), dan mencari perhatian secara berlebihan; 3) ketika berkonflik, mereka tidak pernah bersalah; 4) tidak ada hubungan pertemanan yang dekat; 5) membenarkan setiap argumentasi dan keputusan yang diambil; 6) tidak ada ketulusan dalam mengaku salah dan meminta maaf (no vulnerability); dan 7) tidak ada perubahan yang sungguh dan konsisten. Pada umumnya, setiap diri manusia berdosa selalu mempunyai kecenderungan untuk memenuhi beberapa poin tersebut. Akan tetapi, bagi mereka yang mengambil sikap hati untuk menjadi “narsistik”, pola-pola tersebut akan “mengeras” dan menjadi jalan hidup yang lebih permanen.

Secara statistik, laki-laki yang mengalami “narsisisme keras” (narcissistic personality disorder), yakni sebuah gejala narsistik yang hampir mustahil disembuhkan, mencapai sekitar 7% dan perempuan mengalami sekitar 3%. Bila kita mengikuti angka tersebut, hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dua kali lipat berpotensi untuk menjadi “narsistik” dibandingkan perempuan. Laki-laki sebagai seorang pemimpin mempunyai tendensi untuk menuhankan diri dan merendahkan yang lain bila tidak tunduk kepada Allah. Secara umum, narsisisme keras memiliki persentase sebesar 5,5%. Jadi kalau ada 100 orang dalam sebuah acara pesta, kemungkinan ada sekitar 5-6 orang yang egois dan ingin tampil superior.

Lalu bagaimana jika kita mengaitkan ini dengan institusi sosial? Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ball & Puls pada tahun 2015, ditemukan bahwa dalam institusi militer atau kepolisian yang “memegang senjata”, gejala narsisisme keras mencapai 20%. Berdasarkan data yang telah ditunjukkan ini, saya kira para pembaca sudah mulai memahami mengapa berbagai macam kekerasan dan tindakan korupsi terjadi di dalam lembaga kepolisian. Akan tetapi, kita perlu cermat dan berhati-hati bahwa institusi bersenjata bukanlah lembaga yang “paling parah” sebagai sarang narsisisme. Menurut penelitian yang sama, ditemukan bahwa narsisisme keras juga terjadi di dalam institusi agama, yakni di dalam gereja. Berdasarkan survei terhadap 1.385 rohaniwan (clergy) di gereja Presbyterian (Reformed) di Kanada, ditemukan bahwa 30% di antaranya mengalami “narsisisme keras”. Persentase tersebut menunjukkan bahwa di dalam institusi gereja justru terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan institusi militer dan kepolisian.

Bukankah itu juga menjadi alasan mengapa Reformasi menjadi sebuah kritik terhadap korupsi yang terjadi dalam Gereja Katolik Roma selama berabad-abad pada masa kegelapan (dark ages)? Bukankah itu juga menjadi alasan mengapa berbagai gereja Protestan juga melakukan tindakan korupsi dalam bentuk keuangan, menyuarakan Injil Kemakmuran (prosperity gospel), dan berpartisipasi dalam kompetisi dan gosip tidak sehat di antara pemimpin gereja dan jemaat? Bukankah ini juga menjadi alasan mengapa dua raja dalam Kitab Suci yang mengaku “percaya Tuhan” sanggup melakukan kejahatan luar biasa terhadap umat Allah sendiri, yaitu Raja Saul dan Daud?

Saul dan Daud adalah individu-individu yang mengawali sebuah perjalanan dengan baik. Keduanya adalah pribadi yang sama-sama rendah hati. Akan tetapi, ketika mereka sudah mendapatkan akses terhadap kekuasaan, hati mereka berubah. Saul mencoba untuk membunuh Daud dan Yonatan, anaknya sendiri (1Sam. 19:1-17), demi mempertahankan takhtanya. Dia membunuh para imam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bayi, dan binatang di suatu kota demi melampiaskan iri hatinya kepada Daud (1Sam. 22:18). Daud juga melakukan perzinahan, memikirkan skenario pembunuhan seperti seorang psikopat untuk menutupi dosanya, dan dia hampir saja tidak menyadari kejahatannya sendiri sampai Natan menegur Daud, “Engkaulah orang itu!” (2Sam. 11:1-12:13). Seandainya Daud tidak ditegur Tuhan dan mengaku dosanya, Daud akan menjadi sama dengan Saul, musuh yang pernah mengejar nyawanya. Jika Daud yang “mengejar isi hati Tuhan” sebagai hamba Allah saja bisa melakukan kejahatan sedemikian besar, apalagi kita?

Seandainya Daud tidak ditegur Tuhan dan mengaku dosanya, Daud akan menjadi sama dengan Saul, musuh yang pernah mengejar nyawanya. Jika Daud yang “mengejar isi hati Tuhan” sebagai hamba Allah saja bisa melakukan kejahatan sedemikian besar, apalagi kita?

Izinkan saya mengutip perkataan dari Zygmunt Bauman, seorang Yahudi agnostik. “Monster-monster” ini bermula sebagai manusia yang “baik-baik saja”. Seandainya kejahatan di dunia disebabkan oleh para monster, dunia akan lebih baik. Sebab jumlah monster tidaklah banyak dibandingkan manusia biasa; jumlah “narsistik keras” memiliki persentase yang kecil. Yang menjadi permasalahan adalah manusia-manusia biasa inilah yang dapat menjadi monster serigala. Ketika manusia menduduki posisi sosial tertentu, maka hati manusia bisa berubah. Dia tidak lagi melihat dirinya sebagai manusia, melainkan sebagai “yang mengatasi manusia”. Jadi pertanyaan yang perlu kita pikirkan bukanlah, “Siapakah yang menjadi monster serigala?” tetapi, “mengapa manusia biasa seperti engkau dan saya bisa melakukan kejahatan yang demikian besar?” Untuk menyalahkan orang lain hanyalah sebuah alasan (excuse) untuk menutupi realitas sesungguhnya dalam diri. Saya kira, perkataan dari sosiolog dan filsuf ini adalah sebuah refleksi dari keberdosaan manusia (total depravity).

Sekarang, mari kita merefleksikan hidup sebagai orang Kristen yang melayani. Kita perlu bertanya dan berpikir berkali-kali, “Sebetulnya untuk apa aku melakukan semuanya ini?” Apakah untuk “membeli” jabatan di gereja, status sebagai manusia yang lebih holy? Jika untuk diri sendiri, maka kita pasti menjadi sombong, menganggap sesama sebagai “objek yang lebih rendah”, tidak pernah mau diampuni ataupun mengampuni. Menurut perkataan Pdt. Stephen Tong, “Makin melayani, makin memalsukan Kristus, makin menyerupai setan.” Hal ini dikarenakan semangat melayani tersebut dikuasai oleh semangat Luciferian, yaitu keinginan untuk menjadi tuhan, yang pada akhirnya menjadi serigala. Sebaliknya, semangat inkarnasi Kristus dicontohkan oleh Tuhan Yesus sendiri, yang adalah TUHAN Allah Pencipta, turun berinkarnasi menjadi manusia berdaging, dan mati di kayu salib sebagai anak domba yang dibawa ke dalam pembantaian (Yes. 53:7).

“[Y]ang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp. 2:6-8) Kesadaran bahwa kita berdosa dan tidak lebih baik daripada orang lain adalah anugerah Tuhan. Tanpa anugerah Tuhan, kita akan selalu merasa lebih benar dan lebih baik, dan nantinya membuat kita menjadi serigala berbulu domba. Anugerah Tuhan kepada Daud adalah berupa teguran keras yang menghasilkan kerendahan hati. Pada saat ini, kita membutuhkan orang-orang seperti Daud yang terbuka untuk menerima teguran dan menjadi manusia yang memberi diri diampuni. Gereja membutuhkan orang Kristen yang menjadi lemah lembut seperti Kristus, rela membukakan diri untuk dilukai dan mengampuni, dan yang melayani untuk membawa orang kepada-Nya, bukan kepada diri sendiri. Mari kita berdoa agar institusi agama seperti gereja dapat dipelihara oleh Tuhan, dan terdapat jiwa-jiwa di dalamnya yang memang sungguh-sungguh mengasihi dan mau melayani dengan hati yang tulus, yakni untuk menjadi domba, dan bukan serigala.