Dalam sebuah film yang sangat terkenal, The Prince of Egypt, kita dapat menyaksikan sebuah animasi mengenai perjalanan orang Israel keluar dari Mesir. Dari film itu, muncul sebuah lagu yang banyak dinyanyikan oleh banyak orang, yaitu When You Believe (Ketika Engkau Percaya). Film ini memberikan sebuah kisah tentang kehidupan seorang balita Musa yang bertumbuh menjadi pangeran Mesir, menjadi seorang buronan, seorang gembala biasa yang telah kehilangan semua ilmunya, dan akhirnya menjadi hamba Tuhan yang memanggil umat Allah keluar dari tanah perbudakan.
Selama 430 tahun, ada suatu bangsa yang lama telah ditempatkan sebagai budak. Sejak lahir, orang Israel tidak mengenal siapa dirinya atau siapa Tuhannya. Mereka setara dengan binatang, yaitu sebagai makhluk yang lebih rendah daripada derajat seorang manusia. Bagi seorang Musa yang cukup beruntung telah dilarikan sampai tiba di pangkuan putri Firaun, ya mungkin dia akan hidup sebagai seorang pangeran Mesir. Sebaliknya, bagi mereka yang berasal dari kalangan budak-budak Israel, selamanya mereka akan bekerja seperti semut-semut yang dipakai untuk membangun sebuah kerajaan raksasa.
Singkat cerita, Tuhan mengirim Musa untuk menghadapi Firaun. Firaun ini kemungkinan besar adalah “saudara angkat” yang bersamanya Musa pernah bertumbuh dewasa. Melalui Musa, Tuhan mengirimkan sepuluh tulah. Masing-masing tulah berkaitan dengan dewa-dewa Mesir yang sedang dikalahkan. Dewa di Sungai Nil tidak berdaya terhadap kekuasaan Allah yang mengubah air menjadi darah. Dewa matahari menjadi gelap ketika seluruh Mesir diselimuti dengan kegelapan, yang bahkan gelapnya pun dapat “disentuh secara fisik” oleh kulit jari. Mungkin sekali, pada suatu peradaban raksasa, hanya kali inilah Tuhan begitu kuat dalam “pepet” suatu kerajaan.
Akan tetapi, di tulah terakhir, Tuhan sedang menunjukkan suatu pesan yang sangat penting. Pada tulah-tulah sebelumnya tidak ada satu pun yang membahayakan orang Israel. Namun, pada tulah terakhir, ada potensi bahaya yang mengancam baik orang Mesir maupun Israel. Malaikat Tuhan (Tuhan sendiri) datang ke Mesir dan menghabisi setiap anak sulung yang dinding pintunya tidak ditandai oleh darah. Seandainya ada orang Israel yang tidak menandai pintu dengan darah, maka akan terjadi juga kematian anak sulung di rumah itu. Dengan kata lain, tulah terakhir bukan serta-merta sebuah hukuman bagi Firaun dan anaknya yang akan menjadi dewa di Mesir, tetapi juga sebuah penghakiman atas seluruh umat manusia yang berdosa.
Darah adalah tanda penebusan. Penebusan adalah tanda bahwa sebetulnya setiap manusia berdosa layak untuk dimatikan, entah itu orang Mesir atau Israel, orang non-Kristen ataupun orang Kristen. Apakah ada orang Mesir yang baik, etika, dan bermoral? Ada. Apabila kita mempelajari lebih cermat, ada orang-orang Mesir yang bermurah hati dalam memberikan barang-barang emas kepada para budak Israel.
Sebaliknya, apakah ada orang Israel yang jahat dan lupa akan Allah? Ada juga. Itulah sebabnya, meskipun mereka sudah “ditebus dengan darah” melalui seaworld, dan tiba di padang gurun, mereka masih complain bahwa mereka tidak bisa menikmati all you can eat buffet atau mukbang (makan super banyak) seperti dahulu ketika mereka ada di Mesir.
Ketika orang Mesir melihat Allah orang Israel mampu menghardik dengan tangan-Nya yang keras, mau tidak mau, mereka melepaskan para budak. Akan tetapi, mengapa orang Israel bisa jadi lebih keras hati daripada orang Mesir dalam mencobai Tuhan?
Orang Israel bukan tidak percaya bahwa Allah mampu melakukan segala sesuatu dalam mengirim makanan dan minuman. Justru karena mereka telah melihat Tuhan mampu melakukan sepuluh tulah, in all His wonders, maka “marilah kita eksploitasi Allah pencipta langit dan bumi yang satu ini. Kita lihat, kita push, kira-kira Dia yang mampu membelah laut bisa melakukan apa lagi? Kalau Firaun bisa kasih daging-daging dan bawang-bawang, dan Firaun kalah sama TUHAN, masakan Tuhan tidak bisa memberikan daging-daging, rempah-rempah, dan kenikmatan yang lebih besar?”
Jadi sebetulnya, kalau dilihat secara objektif, orang Israel tidak lebih baik daripada orang Mesir. Kebetulan saja orang Israel adalah budak; seandainya mereka bukan, bisa jadi mereka menjadi suatu bangsa yang lebih keras, paling keras bahkan, dalam melakukan kejahatan. Dan jangan kira bahwa orang Israel adalah “bangsa yang jahat” di luar sana. Mereka adalah representasi dari umat Allah, yaitu diri kita, orang-orang Kristen yang lupa akan Allah, sengaja tidak mau disadarkan oleh-Nya, suatu umat yang tegar tengkuk.
Tulah terakhir bukanlah sebuah “keajaiban semata”. Akan tetapi, itu adalah hari perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Tulah-tulah lain bagaikan sebuah “parade mujizat”. Tulah terakhir adalah pertaruhan nyawa. Ketika darah domba itu dicurahkan dan nyawa kita lolos dari maut, itu bukan karena kita lebih baik daripada orang lain. Jikalau Tuhan tidak menyatakan anugerah-Nya mengenai jalan keselamatan, kita semua seharusnya sudah binasa. Anak-anak domba yang dikorbankan menandakan bahwa sebetulnya setiap manusia sepantasnya menjadi budak dosa dan tetap diikat dalam nasib maut. Akan tetapi, Allah telah bermurah hati dan memberikan kita Paskah sebagai tanda bahwa kita ditebus dari perbudakan dosa. Allah hadir dan melalui dosa kita. Itulah mengapa disebut sebagai Passover.
Pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi Paskah ketika Allah menyelamatkan kita dengan tangan-Nya yang kuat. Perbudakan dari Mesir hanyalah sebuah analogi kecil tentang perbudakan dari kuasa Iblis dan dosa. Kali ini, bukan lagi darah binatang yang dialirkan, melainkan darah Tuhan Allah sendiri untuk menebus dosa-dosa kita. Ketika darah Tuhan Yesus dicurahkan, dan ditandai pada pintu hati kita, itu bukan karena kita adalah bangsa yang lebih unggul, suatu umat agama yang lebih baik dan rohani. Hanya dari situ, kita dibebaskan untuk menjadi suatu umat yang bebas. Mesir adalah masa lalu kita dalam dosa. Darah Allah dicurahkan untuk membebaskan kita menjadi umat yang beribadah kepada-Nya di padang gurun, suatu tempat yang penuh penderitaan, memikul salib. Rasa lapar dan haus akan tiba yang akan mengantar kita kepada kematian, yaitu kematian akan diri yang berdosa untuk dibangkitkan menjadi diri yang baru. Manusia baru itulah yang akan masuk ke tanah perjanjian, yaitu ke dalam Kerajaan Allah yang menanti di ujung perjalanan iman.
Menjelang Paskah yang akan datang, di manakah kita dalam perjalanan iman ini? Mari kita doakan keluarga dan teman-teman yang belum percaya di “Mesir”, yang sudah percaya di “padang gurun”, untuk senantiasa berjalan bersama-sama menuju Kota Allah.
Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat