The tyrant dies and his rule is over, the martyr dies and his rule begins! – Søren Aabye Kierkegaard (1813-1855)
Junta Militer Myanmar, yang dipelopori oleh partai The State Peace and Development Council’s (SPDC) telah memerintah Myanmar sejak tahun 1962. Selama kurang lebih 50 tahun, Myanmar harus tunduk di bawah kuasa militer dan belajar untuk mengunci mulutnya. Potensi berupa kekayaan alam dan kekayaan intelektual semuanya terpendam di bawah tumpukan tanah dan darah yang mewarnai masa pemerintahan Junta Militer.
Belum lama ini, tepatnya pada tanggal 30 Maret 2012, angin seolah telah berpindah haluan dalam siklus politik Myanmar. Junta Militer Myanmar dibubarkan oleh pemerintah yang baru saja dilantik, mengikuti perpindahan kuasa dari pemerintahan militer kepada pemerintahan sipil. Penyerahan kuasa dilaksanakan sebagai realisasi dari hasil pemilu yang telah diadakan November 2011 silam. Di lain pihak, mata dunia melihat bahwa meskipun pemerintahan militer di bawah Jenderal Than Shwe (pemimpin rezim Junta Militer Myanmar selama 2 dekade) sudah dibubarkan, jalan yang harus ditempuh oleh rakyat Myanmar untuk mendapatkan demokrasi masih sangatlah panjang. Kecurangan masih mewarnai pemilu pertama dalam 20 tahun terakhir, dan diprediksi akan terus mewarnai sistem pemerintahan Myanmar dalam beberapa tahun yang akan datang.[1]
“Please, use your liberty to promote ours”[2] adalah seruan dari seorang tokoh humanis pemimpin gerakan liberalisasi Myanmar, Aung San Suu Kyi. Dengan berbekalkan pengaruh anti kekerasan dari Gandhi melawan penjajahan Inggris, Daw Suu (panggilan umum untuk Aung San Suu Kyi yang sama artinya dengan Ibu Suu) menyelaraskan tema perjuangannya melawan tirani Junta Militer Myanmar. Perjalanannya membawa kebebasan kembali ke tanah Myanmar didukung oleh sebuah partai lokal di Myanmar, National League for Democracy (NLD). Sebagaimana tertulis pada nama partai tersebut, perjuangan pembebasan Myanmar bertujuan untuk menerapkan bentuk pemerintahan demokrasi.
Perjuangan Daw Suu bermula dari perjalanannya dari Oxford, tempat dia membina keluarganya bersama Dr. Michael Aris (suami Aung San Suu Kyi), ke Myanmar, tempat di mana ia dilahirkan. Perjalanan ini diawali dengan berita mendadak bahwa ibunya, Ma Khin Kyi, terserang penyakit stroke yang cukup parah pada tahun 1988.[3] Pada kesempatan inilah, dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kekejaman dari Junta Militer Myanmar di dalam memerintah Myanmar dengan tangan besi. Melihat kepahitan yang disebarkan oleh pemerintahan Junta Militer Myanmar, Suu Kyi terpanggil untuk mendedikasikan dirinya bagi kebebasan bangsa Myanmar. Pada tahun 1989, Aung San Suu Kyi berjanji kepada tanah airnya untuk melanjutkan perjuangan ayah dan ibunya bagi Myanmar.[4]
Mengapa melanjutkan? Karena ayahnya, Aung San, adalah seorang pahlawan nasional yang pernah membawa Myanmar menjadi suatu negara yang bebas dari kolonialisme pemerintahan Inggris. Sayangnya, hasil kerja keras ayahnya direbut oleh pemerintahan militer secara paksa pada tahun yang sama; di mana Aung San ditembak mati oleh saingan politiknya.[5] Di lain pihak, ibunya mendapatkan kepercayaan untuk menjadi duta besar bagi Myanmar di India dan Nepal pada tahun 1960. Di tahun-tahun inilah Suu Kyi mendapatkan kesempatan besar untuk belajar mengenai budaya dan sejarah India yang nantinya menjadi salah satu pengaruh di dalam warna perjuangannya melawan tekanan Junta Militer Myanmar.[6]
“Those of us who decided to work for democracy in Myanmar made our choice in the conviction that the danger of standing up for basic human rights in a repressive society was preferable to the safety of a quiescent life in servitude”[7]
Aung San Suu Kyi adalah ujung tombak perjuangan demokrasi di Myanmar, akan tetapi ia bukanlah satu-satunya yang berjuang bagi rakyat Myanmar. Tokoh lain yang paling berperan penting adalah Dr. Michael Aris, suami Aung San Suu Kyi. Walaupun Dr. Aris jarang disorot media, namun perjuangan Aung San Suu Kyi tidak akan pernah mencapai titik di mana sekarang ia berpijak tanpa dukungan dari suaminya. Salah satu buah perjuangannya yang paling kelihatan adalah dinobatkannya Aung San Suu Kyi sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian oleh Norwegian Nobel Comittee pada tahun 1991; saat itu Suu Kyi masih berada di bawah tahanan rumah, sehingga penerimaan hadiah nobel tersebut harus diwakilkan oleh suami dan anak-anaknya.[8] Hal ini diupayakan Dr. Aris supaya spotlight dunia mengarah kepada Suu Kyi, sehingga perhatian dunia internasional terhadap masalah yang ada di Myanmar dapat ditingkatkan; dan jaminan keselamatan Suu dapat ditingkatkan di tengah maraknya penculikan tokoh-tokoh pejuang demokrasi di Myanmar.
Merelakan kepergian istrinya adalah suatu hal yang sulit, namun yang terberat bagi seorang pria adalah untuk merelakan statusnya sebagai kepala keluarga dinyatakan dalam bentuk yang sama sekali berbeda dengan apa yang menjadi impian banyak orang. Bagi seorang ayah, adalah hal yang lumrah jika dia mengendalikan alur dari rumah tangganya. Namun, impian keluarga harmonis harus dihapus dari benaknya ketika Suu Kyi memutuskan untuk melanjutkan perjuangan demokrasi di Myanmar. Kedua, adalah hal yang lumrah jika dia berharap untuk disambut oleh istri dan anak-anaknya sesampainya ia di rumah setelah lelah bekerja, terlebih di saat-saat paling berat di dalam hidupnya. Namun, hal ini juga harus dihapus dari serangkaian episode akhir hidup Dr. Aris hingga kematian datang menjemputnya. Dr. Aris harus melewati empat tahun terakhir di dalam hidupnya bersama dengan kanker prostat yang terus menggerogoti tubuhnya, tanpa sekalipun melihat wajah istrinya secara langsung. Inilah kepahitan yang harus dikecap oleh Dr. Aris dan Suu Kyi demi memenangkan kebebasan bagi rakyat Myanmar.
Puncak kritis di dalam perjuangan Suu Kyi dan Dr. Aris dimulai pada tahun 1995, di mana penyakit kanker yang diderita Dr. Aris mulai menunjukkan taringnya. Sejak tahun itu, seluruh visa yang diajukan oleh Dr. Aris ditolak oleh pemerintah Myanmar. Penolakan dilakukan dengan alasan tidak cukupnya fasilitas untuk menjaga kondisi kesehatan dari Dr. Aris. Di tahun yang sama, Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah. Pembebasan ini memang disengaja oleh pemerintah Myanmar untuk mendorong Suu Kyi segera keluar dari Myanmar dan kembali pulang ke sisi suaminya – dan tidak akan pernah diizinkan lagi masuk ke Myanmar. Mengetahui hal ini, Dr. Aris harus melawan keinginannya sendiri dengan menolak niat kepulangan Suu Kyi, supaya Suu Kyi tetap bisa memperjuangkan nasib rakyat Myanmar. Keputusan ini dibayar dengan mahal, terutama di detik-detik terakhir menjelang kematian Dr. Aris. Kejadian ini sangat sulit diterima oleh Alex dan Kim. Mereka yang pernah berjuang bersama dengan ayahnya untuk mendapatkan hadiah Nobel bagi ibu mereka, harus melihat “penolakan” sang ibu untuk pulang ke Oxford di saat-saat paling kritis dari ayah mereka.
Perjuangan dan pengorbanan Suu Kyi dan keluarganya telah memukau mata dunia internasional. Tidak satu pun topi yang tidak terangkat ketika menyaksikan apa yang telah terjadi di Myanmar dibandingkan dengan harga yang harus dibayar oleh sekelompok pejuang kemanusiaan. Mereka telah menunjukkan keteguhan hati, ketabahan, dan perjuangan, bahkan bila itu berarti merelakan hak-hak yang paling mendasar direnggut dari hidup mereka. Ketika Suu Kyi melihat nilai kebebasan di dalam hidup seorang manusia itu patut diperjuangkan, ia rela menempa dan memeras seluruh hidupnya untuk membeli kebebasan tersebut; sekalipun kebebasan yang ia perjuangkan sebenarnya tidak bersangkut paut secara langsung dengan hidup nyamannya di Oxford. Satu hal yang Suu Kyi sadari, apa yang ia perjuangkan pasti akan meremukkan tubuhnya tapi sekaligus “tubuh” kemanusiaan yang lebih besar akan dilestarikan melaluinya. Bagi Suu Kyi, ini adalah peperangan dengan harga dan imbalan yang pantas, dan oleh karenanya patut diperjuangkan. Tidak heran bila dunia internasional menyebut Suu Kyi sebagai “The Steel Orchid”; kegigihannya di bawah tekanan tangan besi Junta Militer Myanmar justru membentuk dan memperkokoh keanggunannya sebagai pejuang wanita yang mencintai bangsa dan negaranya.
We have faith in the power to change what needs to be changed but we are under no illusion that the transition from dictatorship to liberal democracy will be easy, or that democratic government will mean the end of all our problems.[9]
Perjuangan Aung San Suu Kyi memang menggetarkan dunia; namun demokrasi yang diidam-idamkan oleh rakyat Myanmar harus diperjuangkan di dalam perang yang tidak mudah, bahkan cenderung tidak ada harapan. Apakah ia tahu dengan pasti bahwa perjuangannya akan membuahkan hasil? Tidak! Karena hasil pemilu pertama pun hanya dianggap angin lewat oleh Junta Militer Myanmar, sedangkan pemilu yang baru saja dilakukan di April lalu, dinilai sebagai pemilu yang jauh dari kata adil dan terbuka.[10]
Selain minimnya harapan untuk menang dalam perlawanan terhadap kuasa militer, nilai demokrasi yang ada di benak sebagian besar rakyat Myanmar masih sangat naif. Untuk mendirikan suatu negara yang baik dan benar dibutuhkan infrastruktur yang rapi, arah pemerintahan yang jelas, sumber daya manusia yang tangguh dan bertanggung jawab, serta sumber daya alam yang cukup. Dari keseluruhan ini, yang paling berpengaruh adalah kualitas manusia; karena hanya manusialah satu-satunya komponen yang berpribadi, sehingga memiliki potensi untuk memberikan arah perkembangan (atau kehancuran), menyusun infrastruktur yang rapi (atau malah merusak), dan mengolah alam (atau menghancurkannya). Akan tetapi, apakah manusia tahu ke mana kebebasan itu harus dibawa? Sering kali kebebasan itu justru menjadi pintu masuk barbarianisme yang jauh lebih menakutkan daripada pemerintah diktator militer.
Tanpa arah yang jelas, kebebasan manusia hanya akan mempercepat laju keberdosaan manusia. Natur dosa manusia akan mendorong manusia melakukan apa pun kecuali apa yang benar di mata Tuhan. Semakin bebas manusia semakin bebas pula ia melakukan kejahatannya di hadapan Tuhan. Jangan heran bila dosa-dosa yang paling menjijikkan seperti perkawinan sah antar sesama jenis, aborsi yang legal, prostitusi, dan perjudian yang mendapat izin dari pemerintah – bahkan menjadi salah satu sumber pendapatan legal dari negara, dan toleransi terhadap perdagangan narkotika terjadi bukan di negara-negara tirani namun justru di negara-negara yang mempraktikkan demokrasi. Banyak dari negara yang mengklaim dirinya menegakkan demokrasi, memiliki pemimpin yang mengobral suara rakyat demi mendapatkan kuasa atas rakyat. Di saat inilah kompromi besar-besaran dilakukan, di saat inilah mayoritas menjadi kuasa yang absolut, dan di saat inilah dosa menjadi hal yang sangat umum dan legal.
Melalui persamaan derajat yang ditawarkan, demokrasi memang lebih menghargai manusia sebagai mahluk yang hidup dan berpribadi. Namun, di sisi lain demokrasi juga merelativisasi seluruh otoritas kecuali suara mayoritas yang diklaim sebagai suara seluruh rakyat. Akibatnya, mayoritas yang sering kali diisi oleh kaum yang lemah dan kurang berpendidikan menjadi penentu arah otoritas; mau dibawa ke mana arah suatu bangsa bila si pengendali kemudi tidak cukup pengetahuan dalam menyetir? Plato menyimpulkan bahwa demokrasi hanya dapat bekerja bila seluruh rakyat adalah kaum yang terpelajar yang dididik secara intensif di dalam filsafat dan kebudayaan.[11] Jawaban Plato ini pun belum menyelesaikan permasalahan yang paling utama: DOSA! Akibat dosa, seluruh tindakan manusia hanya diikuti oleh kesia-siaan; karena tidak ada yang berarti di dalam dunia ini kecuali Allah berkenan padanya.[12] Jadi, adakah sebenarnya harapan bagi “a brighter future”? Ataukah ini hanya utopia humanisme yang tidak ada ujungnya kecuali kesia-siaan dan kematian?!
Di sini Gereja dibangkitkan oleh Tuhan untuk membawa dan memproklamasikan kebenaran yang Tuhan telah berikan. Kebenaran yang hanya dapat dimengerti bila relasi seorang manusia dengan Allah yang hidup telah diperbarui, yang telah dibenarkan di dalam Kristus, dan diberikan bibit iman yang ditanam di tanah yang gembur. Hanya kebenaran ini yang membebaskan manusia dari kuk kematian, dan memberikan kuk yang menghidupkan. Dan hanya kebenaran ini yang membebaskan manusia untuk melakukan apa yang memang seharusnya ia lakukan, tanpa harus dibebani lagi oleh tuntutan palsu dari dunia ini. Inilah ikatan yang membebaskan! Kepada ikatan inilah Gereja harus mengikatkan umat pilihan Allah yang masih tersesat; karena manusia memang dicipta untuk terikat pada Tuhan supaya ia bisa dengan bebas menyatakan keindahan Kemuliaan Allah.
Dalam perjuangannya membebaskan Myanmar dari kuasa Junta Militer Myanmar, Aung San Suu Kyi sangat dipengaruhi oleh optimisme humanis yang berakar pada the good will of men. Dan untuk perjuangan ini Suu Kyi rela melepaskan segala yang ia anggap berharga untuk menukarkannya dengan kebebasan yang ia percaya dapat membawa perdamaian dan kemanusiaan kembali ke tanah Myanmar. Realitasnya, Alkitab menyatakan bahwa tidak ada satu orang pun yang baik, semuanya telah kehilangan kemuliaan Allah dan berbuat dosa.[13] Dunia ini terus mencari peristirahatan di dalam pergumulannya dengan dosa, namun mereka telah buta di dalam kesesatan mereka yang berdosa! Dunia tidak akan pernah mencapai peristirahatan yang mereka nantikan, kecuali mendapat kebebasan dari naturnya yang berdosa.[14]
Kebebasan itu telah sampai di tangan kita, orang-orang yang telah mengenal Kristus dan kebenaran firman Tuhan. Kunci menuju kebebasan itu telah dititipkan kepada kita, dan setiap hari kita bertemu dengan mereka yang jauh di dalam hati yang terdalam mengerang kesakitan di dalam belenggu tirani dosa. Maukah kita dipakai Tuhan untuk membawa kebebasan itu kepada dunia yang sebenarnya menangis di dalam penolakan mereka terhadap kebenaran firman Tuhan? Maukah kita yang telah diselamatkan dari dosa oleh kematian dan kebangkitan Kristus, bahkan saat kita masih menjadi seteru Allah, ikut ambil bagian di dalam penderitaan Kristus?
Tawaran untuk berjuang sebagai seorang martir memang terlalu berharga untuk hati kita yang lemah dan hidup kita yang bodoh. Namun iman yang hidup yang Tuhan tanamkan di dalam hati bodoh kita, itulah yang mempertumbuhkan kita dan memberikan roh keberanian di dalam hidup yang sementara ini untuk melakukan pekerjaan baik yang Tuhan sudah siapkan bagi setiap kita, orang yang percaya pada-Nya. Apakah kita, yang setiap hari (atau minggu) berdoa supaya Tuhan mau menguatkan dan memakai kita, mau terus tinggal di dalam hidup yang penuh dengan keputusasaan ketika harapan itu sebenarnya sudah dibukakan di depan mata kita?!
Kiranya Tuhan mengampuni dosa dan ketidakpercayaan kita, berbelaskasihan untuk sekali lagi membangunkan kita dari impian kosong yang sia-sia, dan memakai hidup ini untuk berjalan di dalam realitas pimpinan Tuhan untuk membebaskan dunia dari cengkeraman dosa. Dan dengan iman yang bersauh pada pimpinan Tuhan yang selalu setia kepada janji-Nya kita boleh menyatakan, melalui hidup dan pernyataan iman yang keluar dari mulut kita, suatu proklamasi yang dinantikan oleh mereka yang terhilang, “Let us use our liberty to promote others’!” Sola Gratia – Soli Deo Gloria.
Stephen D. Prasetya
Pemuda FIRES
Endnotes
[1] Inaw@y. “Suu Kyi: Pemilu Myanmar Tidak Bebas dan Adil”. Website Online. Tersedia http://www.theindonesianway.com/suu-kyi-pemilu-myanmar-tidak-bebas-dan-adil/. 2012.
[2] Aung San, Suu Kyi. Please Use Your Liberty to Promote Ours. Di dalam “International Herald Tribune”. 4 February 1997.
[3] “The Nobel Peace Prize 1991”. Nobelprize.org. 17 Jun 2012.http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/peace/laureates/1991/.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Flintoff, Corey. Aung San Suu Kyi Remains Influential in Myanmar. Website Online, tersedia http://www.npr.org/templates/story/story.php?storyId=14865943. 2007.
[7] Aung San Suu Kyi, op cit.
[8] Nobelprize.org, op cit.
[9] Aung San Suu Kyi, op cit.
[10] Inaw@y, op cit.
[11] Bramann, John K. Plato: The Failure of Democracy. Website online, tersedia : http://faculty.frostburg.edu/phil/forum/PlatoRep.htm. 2012.
[12] Bandingkan 1 Petrus 1:24-25; Semua yang tidak diperkenan oleh Allah melalui firmanNya akan sirna, dan hanya Allah dan FirmanNya yang akan kekal sampai selama-lamanya.
[13] Mazmur 14:3 dan Roma 3:23.
[14] Diadopsi dari salah satu bagian Book I dari The Confession of Saint Augustine of Hippo.