Di pagi nan dingin dan sedikit lembab, Winni, seorang pemudi, terbangun dari tidurnya karena mendengar suara dering handphone. Ia segera menjangkaunya dan memposisikan dirinya untuk duduk di atas tempat tidur. Dengan sedikit ragu ia menjawab calling tanpa identitas itu.
“Hallo. Selamat pagi.”
“Hallo juga.”
Tanpa harus menyebutkan nama, suara Winna segera dikenali oleh Winni. Mereka berdua adalah teman lama namun sudah lama sekali tidak berkomunikasi karena keduanya memutuskan untuk tinggal di tempat yang berlainan. Winni tinggal di Jakarta sementara Winna di Hongkong, dan terakhir kali mereka bertemu adalah dua tahun yang lalu. Winna melayani sebagai misionaris di Hongkong dan Winni melayani di sebuah gereja di Jakarta.
Keduanya kemudian terlibat dalam sebuah percakapan di udara sekitar 30 menit. Mereka membicarakan mulai dari kondisi fisik (kesehatan), pelayanan (penginjilan), hubungan pribadi dengan Tuhan, teman hidup, studi, keluarga, dan terakhir mereka saling menguatkan satu sama lain dengan firman Tuhan. Lalu, keduanya sepakat untuk saling mendoakan.
Keduanya merasakan sukacita ketika berbicara satu dengan yang lain, dan istilah yang mereka pakai untuk itu adalah “nyambung”. Mengapa? Karena bagi mereka, cukup sulit untuk menemukan teman yang bisa berbagi terutama mengenai aplikasi Firman dalam hidup selain teman-teman gereja yang cukup dekat dan pembina persekutuan pemuda mereka. Mereka melihat bagaimana Allah bekerja dalam hidup mereka dan mereka saling membangun iman satu sama lain walaupun terpisah oleh jarak.
Dengan berakhirnya percakapan itu, segera Winni bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Di kampus ia bertemu dengan teman-teman yang lain, yang kebanyakan berumur dua kali lipat darinya, dan tentu saja sekitar 90% berlainan iman dengan Winni. Mereka juga terlibat dalam suatu percakapan selama 15 menit, namun apakah yang mereka bicarakan? Mereka membahas bahan kuliah yang cukup sulit untuk dimengerti (Nuclear Magnetic Resonance), bahkan Winni pun mengalami sedikit kesulitan sehingga ia harus menghabiskan cukup banyak waktu untuk memahami mata kuliah tersebut. Ia sempat terpesona dengan karya para ilmuwan yang menghasilkan teori yang pada akhirnya dia harus mempelajarinya dari mereka yang hidup di zaman, waktu, dan tempat yang berbeda. Ia kemudian teringat kepada “Pribadi Agung” di balik semuanya itu yang mengaruniakan ilmu pengetahuan.
Hari itu Winni mengikuti tiga mata kuliah, mulai dari pagi sampai sekitar jam tiga sore. Selain dengan teman-temannya, ia juga berinteraksi dengan dosen melalui beberapa pertanyaan mengenai mata kuliah hari itu. Namun ada sedikit kegelisahan di hatinya. Ia teringat akan Firman dan diskusi dengan pembina serta teman KTB-nya sehari sebelumnya mengenai bagaimana meninggikan Kristus di dalam setiap relasi. Ia mencoba untuk membandingkan macam-macam relasi hari itu: relasi dengan teman seiman, relasi dengan teman kuliah, relasi dengan dosen, dan relasi dengan mata kuliah yang dia pelajari hari itu. Sesampainya di tempat kos, ia merenung dan berlutut berdoa di hadapan Tuhan memohon ampun apabila hari itu ia tidak memuliakan Kristus dalam relasinya dan memohon anugerah-Nya supaya diberi kemampuan untuk berelasi dengan benar.
Pergumulan Winni seharusnya menjadi pergumulan kita semua. Relasinya dengan Winna baik-baik saja. Namun karena jarak yang jauh, relasi mereka hanya bisa dilakukan melalui telepon, yang pada akhirnya menjadikan Winni kurang merasakan kehadiran pribadi Winna. Relasi Winni dengan teman-teman dan dosen di kampusnya tidak dipisahkan oleh jarak, tetapi terasa kering. Apa yang sedang terjadi? Lalu bagaimana seharusnya kita berelasi? Apa dasar relasi kita? Bagaimana seharusnya kita berelasi dengan orang lain di gereja kita?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita melihat satu bagian Alkitab yang menjelaskan siapa itu gereja.
Simon Peter answered, “You are the Christ, the Son of the living God.” Jesus replied, “… upon this rock I will build My church….” (Mat. 16:16-18).
Di atas dasar inilah Gereja dibangun, yakni di atas pengakuan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang hidup. Gereja yang merupakan invisible Church di dalam visible church, yang mencakup semua umat Allah dari segala bangsa dan segala waktu, termasuk yang sudah meninggal pada masa lampau dari antara segala suku bangsa, dan juga orang-orang percaya di masa yang akan datang yang saat ini belum dilahirkan. Di dalam gereja yang kelihatan terdapat orang-orang yang sungguh-sungguh percaya, yang menjadi milik Kristus. Orang-orang ini adalah mereka yang telah dipilih sesuai dengan kehendak Allah Bapa dan dikuduskan oleh Roh Kudus untuk taat kepada Kristus yang telah membersihkan mereka dengan darah-Nya (1Ptr. 1:2).
Demikian Gereja ada karena karya Allah Tritunggal. Allah Tritunggal adalah Allah yang saling berelasi satu dengan yang lain. Hal ini terlihat sejak awal, dimulai dari penciptaan (Kej. 1:1-3) dan terus ditegaskan sampai ke dalam Perjanjian Baru. Allah Anak tanpa menghilangkan sifat ke-Allahan-Nya melaksanakan kehendak Allah Bapa secara mutlak melalui setiap Firman yang telah diberikan kepada-Nya. Relasi yang benar adalah relasi yang didasarkan kepada relasi Allah Tritunggal. Relasi harus terjadi antar pribadi dengan pribadi dan bukan bersifat impersonal. Bukan pula seperti postmodern yang mendefinisikan bahwa relasi adalah kebetulan tanpa adanya Tuhan. Tetapi relasi sedemikian juga sangat dekat dengan kehidupan kita sebagai orang percaya. Kita mengatakan kita sedang berelasi dengan teman, kerabat, pacar, dosen, guru, dan lain-lain tetapi hanya mau lewat facebook, handphone, email, atau komunikasi semacamnya. Apakah kita dapat dikatakan sedang berelasi? Tentu tidak! Mengapa? Karena di sini kita melihat adanya medium yang bersifat impersonal, yang tidak akan pernah mungkin mewakili ataupun menggantikan seorang pribadi yang kepadanya kita seharusnya berelasi.
Namun, berelasi tidak hanya bicara soal medium. Meskipun ada pertemuan antara pribadi dengan pribadi (muka dengan muka) belum tentu orang itu berelasi. Kalau demikian, apa artinya seseorang berbicara satu dengan yang lain? Apakah itu hanya sekadar basa-basi yang menjadi hiasan bibir untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka sedang berelasi? Kuncinya adalah apa yang menjadi fokus relasi jika bukan meninggikan Kristus? Atau dengan kata lain, relasi kita harus berlandaskan kepada Allah yang menginterperetasi relasi. Jika tidak, relasi kita sesungguhnya hanyalah seperti sebuah peribahasa “Bagai kuku dengan isi” yang berarti masing-masing saling bergantung hanya untuk mutual survival.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa manusia memiliki keinginan untuk berelasi satu dengan yang lain? Karena manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah Tritunggal yang berelasi. John Frame memakai istilah derivative dan dependent untuk menyatakan sifat dari ciptaan (manusia khususnya). Kepribadian manusia adalah turunan karena dicipta menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27) sehingga manusia dapat merefleksikan karakter Allah (kasih, kesetiaan, komitmen, kekudusan, dan kebenaran) pada saat ia berelasi, yang kemudian menjadikan relasi itu benar dan berada pada posisi yang seharusnya. Manusia bergantung kepada pribadi Allah yang adalah sumber hidup manusia dan yang mendefinisikan seluruh hidup manusia dengan kebenaran-Nya yang absolut.
Kebergantungan manusia tidak berarti manusia kehilangan kebebasannya. John Calvin mengatakan bahwa dependensi pada truth melahirkan kesalehan. Allah yang adalah objective truth/absolute truth memberikan kebenaran-Nya kepada manusia melalui seluruh wahyu yang dinyatakan di dalam Alkitab. Alkitab menyatakan, bagaimana Ia sendiri yang adalah Allah yang mahahadir hadir di dalam ruang dan waktu dengan tinggal di suatu tempat tertentu (semak duri yang menyala, Gunung Sinai, Tabernakel/Kemah Suci, Bait Allah, dan Gereja sebagai bait suci Roh Kudus). Ia membatasi diri-Nya dengan cara rela berelasi dengan manusia yang dicipta-Nya untuk menunjukkan cinta-Nya. Cinta ini adalah pengikat relasi.
Kita, orang percaya sebagai His Church, harus menyadari keberadaan kita saat berelasi dengan sesama tubuh yang diikat oleh kasih Kristus. Dengan demikian, tidak ada kemungkinan bahwa satu anggota tubuh merasa dirinya lebih penting dari anggota tubuh yang lain, lantas mengganggap rendah anggota tubuh yang lain itu. Di dalam keberbedaan fungsi dan peranan anggota tubuh, mereka merupakan satu tubuh dengan Kristus sebagai Kepala Gereja (Ef. 5:24). Mereka adalah orang-orang yang berada di dalam kerajaan Allah, yang terdiri dari semua orang Kristen di seluruh dunia dan segala zaman, yang mengakui Kristus sebagai Tuhan dan yang menyimpan rahasia seluruh Kerajaan Allah serta menantikan Kerajaan Allah terjadi secara sepenuhnya.
Jika Allah Tritunggal menjadi dasar relasi kita, maka relasi kita bersifat pribadi dengan pribadi. Relasi yang benar ini membuat kita semakin mengenal Allah Tritunggal, bertemu dengan kebenaran, dan membawa kita untuk mengenal diri kita. Sudahkah kita menghadirkan Allah di dalam setiap relasi kita?
Kristiani Natalia
Pemudi GRII Pusat
Endnotes:
[1] Frame, John M. Apologetika bagi kemuliaan Allah. 2000. Momentum.
[2] Poythress, Vern S. God Centred Biblical Interpretation. 1999. P&R Publishing.
[3] Tong, Stephen. Kerajaan Allah, Gereja, dan Pelayanan. 2001. Momentum.
[4] Tong, Stephen. Allah Tritunggal. 1990. LRII.
[5] http://en.wikipedia.org/wiki/Cell_(biology) diakses pada tanggal 1 Oktober 2009