Latar Belakang Sejarah
Pada abad kedua, kekaisaran Romawi berjaya pada masa pemerintahan para kaisar yang disebut sebagai “five good emperors” atau “lima kaisar baik”. Pada masa itu, kekaisaran Romawi mengalami perkembangan yang pesat terutama di bidang politik dan militer. Perluasan wilayah kekuasaan Romawi pun mencapai puncaknya, sampai-sampai kejayaan Romawi dipercaya akan berlangsung selamanya.
Meskipun kaisar-kaisar tersebut disebut “kaisar baik”, penganiayaan terhadap kekristenan, yang sudah mulai dari abad pertama, terus berlangsung di bawah kekuasaan mereka. Sejak Kaisar Octavianus naik takhta, para kaisar menganggap diri mereka adalah dewa yang harus dipuja dan disembah. Orang-orang Kristen tentu saja menolak untuk menyembah kaisar. Selain itu, menjadi Kristen dianggap sebagai hal yang konyol dan melanggar hukum. Tidak jarang orang Kristen ditangkap, disiksa, dan dibunuh karena iman mereka.
Walaupun mengalami banyak penganiayaan, kekristenan terus bertumbuh dalam segala kesulitan yang harus dihadapinya. Meski seluruh kitab Perjanjian Baru sudah ditulis akan tetapi belum terjadi kanonisasi Alkitab. Theologi kekristenan saat itu berada pada masa awal perkembangannya. Tetapi dalam lembaran sejarah inilah muncul seorang yang kemudian dikenal dengan nama Justin Martyr.
Munculnya Justin Martyr
Lahir dengan nama Flavius Justinus, Justin Martyr sesungguhnya bukan berasal dari keluarga Kristen. Setelah menjadi Kristen, dia menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan yang dipercayainya, bahkan sampai akhirnya menjadi martir bagi Kristus. Gereja kemudian menyebutnya dengan nama Justin Martyr, sebagai penghargaan atas keberaniannya menghadapi penganiayaan dan rela mati demi mempertahankan imannya.
Sebagai seorang filsuf, sejak masa mudanya Justin mencari kebenaran yang dianggapnya dapat ditemukan dalam ajaran filsafat. Dalam perjalanannya mencari kebenaran, awalnya dia belajar di bawah seorang guru Stoik. Namun sang guru ternyata tidak dapat mengajarkan kepadanya tentang Tuhan. Kemudian dia belajar di bawah seorang pengikut Aristoteles yang lebih mementingkan uang pembayaran daripada filsafat, Justin segera meninggalkan gurunya ini, dan kemudian belajar di bawah seorang Pythagorian yang menuntun dia untuk mempelajari musik, geometri, dan astronomi terlebih dahulu. Justin tidak rela karena ia ingin menemukan kebenaran dan bukan mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Ia pun lagi-lagi meninggalkan gurunya ini.
Sampai akhirnya dia menemukan filsafat yang berkenan di hatinya di bawah pengajaran seorang Platonis. Justin merasa menemukan kebenaran karena melihat form atau idea dalam Platonisme memberikan petunjuk tentang Tuhan, dan merupakan tujuan dari filsafat Plato. Tetapi sebenarnya perjalanan Justin Martyr mencari kebenaran belum berakhir. Suatu ketika, tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang Kristen yang sudah tua. Orang tua tersebut memperkenalkan kekristenan dan pengajaran nabi-nabi Perjanjian Lama kepadanya. Justin sangat tertarik dan kemudian mencari dan membaca kitab-kitab Perjanjian Lama. Akhirnya dia pun percaya akan kebenaran kitab-kitab tersebut dan menjadi Kristen. Layaknya sebuah perjalanan bagi mereka yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, maka dalam anugerah Tuhan mereka akan menemukannya dalam firman Tuhan.
Justin adalah seorang apologet yang membela kekristenan dari semua tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang pada zamannya. Sebagaimana diungkapkan dalam bukunya yaitu First Apology dan Second Apology yang ditujukan kepada Kaisar Antonius Pius, kedua buku ini merupakan pembelaan iman orang Kristen atas penganiayaan yang dilakukan terhadap mereka.
Sebagai seorang filsuf, ia melihat kekristenan seharusnya setara dengan filsafat lainnya. Karena itu, tidak jarang ia berdiskusi dengan filsuf-filsuf lainnya untuk menegaskan pendiriannya tersebut dan bahkan tetap memakai sebuah jubah yang mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang filsuf.
Pada akhirnya Justin ditangkap dengan tuduhan mengajarkan agama yang dilarang oleh negara. Ketika diadili, dia tetap membela imannya dan mengatakan bahwa keyakinannya kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat bukanlah suatu hal yang patut disalahkan. Di bawah kekuasaan Kaisar Marcus Aurelius, ia dihukum mati bersama beberapa temannya.
Pemikiran Justin
Sebagai seorang filsuf, ia menyatakan argumentasinya bahwa filsuf-filsuf Yunani dipengaruhi dan memakai tulisan nabi-nabi Perjanjian Lama sebagai acuan sehingga ada kemiripan antara pemikiran Plato dan kekristenan. Dia juga mengklaim bahwa tulisan-tulisan Musa lebih tua dan lebih dahulu ada dibandingkan dengan pemikiran Plato.
Pemikiran Justin memang banyak dipengaruhi oleh Platonik dan Stoiksisme. Kedekatannya dengan pemikiran Plato membuat ia melihat jauhnya hubungan antara Tuhan Allah dan dunia ciptaan, sehingga diperlukan sebuah atau seorang perantara. Melalui perantara inilah Tuhan dapat bekerja di dalam dunia. Konsep inilah yang dipakai olehnya untuk melihat Kristus sebagai perantara antara Allah Bapa dengan manusia yang telah berdosa. Kristus, sebagai perantara antara Allah Bapa dan dunia, sudah muncul di dalam Perjanjian Lama. Bahkan sejak dunia diciptakan dengan menyatakan diri-Nya kepada Musa dan para nabi.
Menurut Justin, Logos atau rasio, berasal dari Tuhan. Demikian juga sumber rasio manusia hanyalah berasal dari Tuhan. Ketika Tuhan berfirman, itu adalah Logos. Kristus adalah realisasi dari Logos, firman Tuhan yang dinyatakan kepada dunia. Maka semua yang rasional berasal dari Kristus, dan Kristus adalah rasio itu sendiri. Logos telah diberikan kepada dunia, dan orang Kristen mendapatkan keseluruhan Logos. Sedangkan orang tidak percaya hanya mendapatkan benih dari Logos. Justin kemudian menarik kesimpulannya lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa ada orang yang tidak pernah mengaku percaya, tetapi jika hidupnya berdasarkan rasio dan meskipun memiliki hidup yang salah, sebetulnya ia adalah seorang Kristen tanpa diketahuinya. Orang yang hidup tidak berdasarkan rasio sesungguhnya tidak memiliki Kristus dalam hidupnya, atau dengan kata lain menjadi musuh Kristus.
Pandangan Justin ini tentu saja tidak seluruhnya dapat diterima, tetapi kita melihat rasio yang dinyatakan kepada orang tidak percaya sebagai sebuah anugerah umum yang diberikan Tuhan kepada dunia. Masih ada penyertaan dan kasih Allah kepada dunia ini walaupun dunia telah meninggalkan Allah.
Selain itu dalam tulisan-tulisan Justin, ia banyak membicarakan tentang Kristus sebagai Allah Anak yang berasal dari Allah Bapa. Tetapi hampir tidak pernah ia membicarakan tentang Allah Roh Kudus. Apakah kemudian Justin hanya mengakui Allah Bapa dan Allah Anak dan menolak Allah Roh Kudus? Atau bahkan mengaku bahwa ada dua Tuhan?
Jika kita melihat sejarah gereja pada zaman itu, yang menjadi pergumulan gereja adalah menghadapi pertanyaan tentang keilahian Kristus. Pada masa itu, gereja-gereja menghadapi tantangan dari para pengikut Platonik yang menganggap orang Kristen hanyalah sekadar pengikut manusia biasa, bukan pengikut Tuhan. Ditambah pula dengan kondisi kekristenan yang harus menghadapi bidat-bidat yang muncul akibat penyimpangan dari kepercayaan terhadap keilahian Kristus. Maka tidak heran jika Justin pun lebih banyak mengulas dan membela Kristus serta keilahian-Nya.
Justin adalah seorang filsuf Kristen pertama yang menggabungkan filsafat dan theologi. Dia melihat kekristenan bukan hanya sebuah agama atau kepercayaan, tetapi juga sebuah filsafat hidup dan cara hidup. Kekristenan baginya adalah puncak dari kebenaran dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan.
Refleksi
Dalam hidupnya, Justin menghadapi begitu banyak tantangan, penganiayaan, dan bahkan bidat yang berusaha membelokkan kekristenan yang sesungguhnya. Tetapi ia tidak pernah berhenti untuk membela imannya dan Kristus, ia tidak takut terhadap penganiayaan yang dilakukan oleh orang-orang pada masa itu terhadap mereka yang mengaku percaya pada Kristus. Bahkan ia rela untuk disiksa dan dibunuh dengan menolak mempersembahkan korban bagi dewa-dewa Romawi dan kaisar.
Menarik untuk dicermati bahwa justru di masa yang begitu sulitlah, kekristenan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Makin keras penindasan yang dilakukan terhadap kekristenan, makin banyak orang-orang yang menjadi Kristen dan rela mati bagi iman mereka. Sayangnya, kekristenan mulai terlena ketika mendapatkan keistimewaan bahkan diakui menjadi agama resmi kekaisaran Romawi.
Bagaimana dengan kita orang-orang Kristen masa kini? Kita menghadapi tantangan yang berbeda. Kita sudah mendapat warisan pemikiran-pemikiran yang luar biasa dari Bapa-bapa Gereja yang menjadi dasar dari doktrin gereja kita. Hidup kita telah dilimpahi begitu banyak peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya. Apakah kita akan terlena dengan zaman yang sudah begitu nyaman? Ataukah kita masih terus bisa melihat tantangan di depan mata dan berjuang, bahkan berani mati demi iman kita demi Kristus? Kiranya Tuhan memampukan setiap kita.
Haryono Tafianoto
Pemuda GRII Pusat