Pengantar
“Wanita itu adalah seorang yang sangat cantik. Tidak pernah kulihat makhluk yang lebih cantik dari dia, seumur hidupku!” Jika kamu mencoba membayangkan wanita itu, sosok seperti apa yang akan muncul di benakmu? Sesosok tubuh langsing, berkulit putih bersih (atau kecoklatan?), hidung mancung, sorot mata yang jernih dan ramah, bibir yang tipis kemerahan, anatomi tubuh seperti dewi Yunani? Seperti apa kelihatannya wanita yang paling cantik yang pernah lahir jika kamu membayangkannya?
Jawaban yang muncul akan sangat beragam, tergantung siapa yang menjawab. Jika kamu seorang bule (atau kamu sering mengkonsumsi media populer) mungkin sosok seperti Claudia Schiffer-lah yang akan muncul. Jika kamu seorang Dayak, kamu mungkin bergidik jijik melihat daun telinga Claudia yang tidak panjang keleweran seperti milik nenek kamu di hutan Borneo sana. Jika kamu berasal dari ras yang paling banyak jumlahnya di planet ini, mungkin sosok seperti Gong Li-lah yang menjadi idaman kamu.
Jawaban yang sama beragamnya akan muncul pula jika kamu bertanya tentang keindahan sebuah lukisan, patung, musik, puisi, landscape, dan objek seni lainnya. Jadi, apakah indah itu? Adakah kriteria mutlak bagi keindahan? Dapatkah seorang wanita tertentu dinobatkan sebagai mahluk paling cantik sejagat? Jika suatu ketika kamu kagum melihat sebuah lukisan, dan kali berikutnya kamu muak melihat lukisan yang sama, dapatkah lukisan itu dikatakan “indah?” Keindahan itu bersifat subjektif atau objektif? Dapatkah kita mengalami perasaan/pengalaman “keindahan” tanpa objek? Jika kita mengingat-ingat sebuah lagu, dan kita menikmati lagu itu “di dalam kepala”, dapatkah hal ini disebut “menikmati keindahan?” Kita seringkali ‘takjub’ dengan hasil karya para perupa modern, “Sebenarnya, benda apa ini?” Saya pribadi sulit melihat perbedaan antara lukisan modern dengan corat-coret keponakan saya yang masih TK.
Bagaimana pandangan Alkitab atas konsep ini? Konsep keindahan seperti apa yang Tuhan inginkan untuk kita pegang dan terapkan dalam hidup kita?
Metodologi
Dalam merumuskan dan mendeskripsikan konsep keindahan yang benar dan kontekstual (yaitu mampu mengarahkan zaman kembali kepada kebenaran Tuhan), kita harus mampu menggali keluar kebenaran yang sudah diwahyukan Allah lewat sejarah keselamatan dan Alkitab, lalu melakukan kontekstualisasi terhadap perkembangan konsep keindahan yang sudah terjadi sepanjang abad.
Pertama-tama kita akan membahas perkembangan konsep keindahan yang ada. Ini perlu untuk dapat memahami pergumulan hati manusia sepanjang zaman tentang konsep keindahan ini. Tentu saja kita memahami hal ini dalam kerangka pikir adanya general revelation dan ‘sisa kebaikan’ pada hidup manusia.
Pekerjaan menggali keluar pandangan Alkitabiah mengenai keindahan bukanlah hal yang sederhana. Tidak ada cukup tempat dalam makalah yang pendek ini untuk membicarakan keseluruhan pandangan Alkitab mengenai keindahan. Saya hanya akan mencoba untuk menelusuri pemakaian kata “Beauty”, “Beautiful”, dan “Art(istic)” dalam Alkitab (NIV). Mengingat orang Ibrani tidak mengenal konsep “Beauty” secara abstrak[1] seperti pengertian bangsa Yunani, penelusuran ketiga kata ini saja tidak akan meliputi keseluruhan konsep keindahan dalam Alkitab. Konsep keindahan Ibrani meliputi penggunaan kata Goodness, Glory, Grandeur, Majestic, Dignity, Splendour, Pleasant, dan ‘To be Treasured’.[2]
Sejarah Konsep Keindahan
Dari Plato sampai Thomas Aquinas
Konsep teoritis tentang keindahan mungkin pertama kali muncul di masa Yunani kuno. Sampai Abad Pertengahan ada beberapa persamaan dalam kriteria keindahan mereka. Yang indah itu haruslah:[3]
1. Seimbang, teratur, proposional: Plato, Phytagoras, Thomas Aquinas.
2. Dapat dijadikan sarana untuk membawa penikmatnya menuju kontemplasi, melepaskan diri dari keterkungkungan subjek, untuk mencapai keindahan yang ada ‘di seberang sana’: Plato, Plotinus, Agustinus.
3. Menentramkan jiwa, mengingatkan pada logos, keteraturan dan simetri: Stoa/Epikurus.
4. Sesuatu yang terjadi dalam diri si subjek pada pengalamannya berinteraksi dengan objek keindahan: Aristoteles, Thomas Aquinas.
Plato memiliki konsep bahwa realita materi yang dapat kita indera secara empirik adalah imitasi (mimesis) dari keindahan sempurna yang hanya ada di alam idea. Jika alam semesta beserta segala keindahannya hanyalah tiruan (tak sempurna) dari kesempurnaan alam idea, maka keindahan yang dihasilkan oleh kesenian adalah tiruan (tak sempurna) dari tiruan (tak sempurna) atau mimesis memeseos. Kesenian yang baik (yang indah) adalah kesenian yang dapat mengimitasi (copying) keindahan alam dengan semirip mungkin. Tidak ada tempat bagi subjektivisme dalam seni rupa. Inilah yang menyebabkan kesenian Yunani sangat bersifat naturalistik. Mereka membuat patung dewa-dewi mereka dengan proporsi anatomi yang sempurna. Bahkan mereka mengusahakan untuk membuat patung yang lebih indah dari manusia kebanyakan, mereka membuat sosok anatomi manusia ideal. Hingga kini, mungkin pandangan keindahan seperti inilah yang paling populer. Tanpa pengertian seni yang memadai, hampir semua orang akan lebih menyukai seni rupa naturalistik ketimbang kubistik (yang lebih mirip corat-coret saja).
Aristoteles, walaupun masih menganggap kesenian sebagai imitasi alam, berpendapat behwa kesenian memiliki nilai penting dalam hidup manusia. Melalui kesenian, khususnya drama-drama tragedi yang dikembangkannya, jiwa manusia dapat disucikan/dibersihkan (Katharsis). Drama-drama Aristoteles memiliki ciri-ciri audiens dibawa melewati alur cerita yang disusun secara logis dan teratur menuju suatu akhir cerita yang mengejutkan, di mana segala sesuatunya menjadi jelas, segala misteri terpecahkan, dan ada hubungan antara semua adegan-adegan terpisah yang mulanya tak terlihat berkaitan. Saat ending ini tercapai, manusia seolah-olah mengalami suatu pencerahan/pembersihan jiwa. Berbeda dengan Plato, sedikit banyak Aristoteles mengembangkan konsep keindahan yang melibatkan pengalaman si subjek. Hal ini akan dikembangkan lebih jauh oleh Thomas Aquinas.
Thomas Aquinas merangkum semua gagasan tentang keindahan yang ada sebelumnya. Sumbangan orisinil Thomas Aquinas adalah pada peranannya mengarahkan perhatian kesenian dan pengalaman keindahan pada peranan rasa si subjek dalam proses penciptaan karya seni. Beberapa rumusan Thomas Aquinas mengenai keindahan adalah:
§ Keindahan berkaitan dengan pengetahuan dan yang indah itu haruslah menyenangkan si pengamat.
§ Keindahan haruslah mencakup tiga kualitas: integritas, proporsi yang benar, dan kecemerlangan.
§ Keindahan itu sangat berkaitan juga dengan aspek rasional. Keindahan dialami jika si subjek mengarahkan dirinya lewat kontemplasi atau lewat pengetahuan empiris. Itu sebabnya Thomas Aquinas berpendapat bahwa indera-indera yang paling berhubungan dengan pengetahuan-lah yang paling berperan dalam pengalaman keindahan. Maka indera yang paling penting dalam estetika adalah mata dan telinga, dan seni yang paling penting adalah yang melibatkan kedua indera ini, seperti seni rupa, musik, puisi, atau opera.
Pandangan Thomas Aquinas ini menjadi salah satu titik balik dalam perkembangan kesenian. Jika sebelumnya orang kurang menekankan peranan subjek dalam penciptaan seni, kini peran subjek mulai diperhatikan. Dalam seni lukis, jika sebelumnya wajah-wajah manusia dan malaikat dilukiskan seragam dan tanpa ekspresi, kini mulai dilukis secara personal dan diberi ekspresi yang diambil dari model yang berpose di depan si pelukis.[4]
Dari da Vinci sampai Schwarzkogler
Setelah abad pertengahan, ada kecenderungan perkembangan kesenian dan konsep keindahan dari yang konkret (seperti Monalisa) menuju kesenian yang semakin abstrak (misalnya Who’s Afraid of Red, Yellow and Blue III).[5] Hal ini sesuai hirarki kesenian menurut Hegel dan Schopenhauer, yang bergerak dari ekspresi yang konkret ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi. Makin tinggi suatu kesenian dalam hirarki itu, makin sedikit kandungan materi/bentuk-nya.
Pada masa awal Renaissance, Marsilio Ficino,[6] seorang anggota Akademi yang mempelajari filsafat Plato di Italia, mengajukan pandangannya bahwa penciptaan karya seni harus diawali dengan “konsentrasi yang mengarah pada inti batin” si seniman; ini mirip dengan metode rekoleksi Plato ditambah dengan dualisme mirip rasionalisme, yang belum muncul saat itu. Penyelidikan mengenai asas-asas keindahan yang harus dipenuhi suatu karya seni baik pada proses maupun produknya akhirnya melahirkan pandangan-pandangan seperti Alberti, Michelangelo, Raphael, da Vinci, dan Dürer. Leonardo da Vinci melakukan studi mengenai hukum-hukum perspektif dan anatomi manusia; ia berpendapat hukum-hukum ini harus dikuasai sepenuhnya agar si seniman dapat menghasilkan karya seni tingkat tinggi. Mereka mempunyai pandangan: makin taat seorang seniman kepada hukum-hukum ini, semakin bebas dia menghasilkan karyanya. Masa ini menghasilkan karya seni yang mengagumkan, mereka membuatnya dengan penuh ketelitian, hingga hal-hal yang paling detil sekalipun. Ekspresi subjektif diungkapkan melalui karya-karya yang sangat realistis, namun bukan sekedar copy dari alam.
Masa ini diikuti oleh dominasi rasionalisme-empirisme pada kebudayaan Eropa. Kesenian cenderung menjadi kering terhadap ekspresi emosional si seniman, karya-karya yang indah itu nyaris matematis murni. Hal ini memicu pemberontakan terhadap tradisi rasionalisme, pendulum cenderung berayun ke ekstrim lain yang sangat menekankan subjektifitas emosi. Albert Camus pernah mengatakan bahwa pemberontakan adalah kreatif. Menjadi kreatif berarti memberontak terhadap belenggu status quo dengan mencari alternatif. Pemberontakan ini terutama melanda konsep keindahan yang dibangun oleh Thomas Aquinas, da Vinci, Michelangelo, dan rekan-rekannya. Yang indah itu tidak harus proporsional dan natural. “Tidak ada seorang pun seniman yang dapat menerima kenyataan,” kata Nietzsche.[7] Lebih spesifik lagi, Van Gogh[8] berpendapat bahwa “Dunia adalah hasil lukisan Tuhan yang gagal.” Seniman adalah seorang yang berkreasi melalui bidang seni dengan logika tersendiri yang berbeda dengan logika bidang-bidang yang lain.[9] Pandangan yang berkembang di akhir abad ke-19 ini telah menggeser fokus keindahan secara radikal. Orang tidak lagi mengejar proporsi dan perspektif yang benar dalam berseni, tetapi berani melanggar patokan-patokan yang sebelumnya dianggap tabu demi mengekspresikan sebebas mungkin impresi keindahan yang ada dalam diri mereka. Seni adalah ekspresi dari impresi, demikian kata mereka yang akhirnya melahirkan aliran impresionisme dan ekspresionisme.
Dalam abad ke-20 pandangan ini berkembang lebih lanjut dan melahirkan gerakan Simbolisme/Jugendstil, Fauvisme/Surealisme, Kubisme dan seni Abstrak. Tema-tema yang mendasari gerakan ini adalah pembebasan ekspresi keindahan dari belenggu penampakan empiris, bentuk, rasionalisme, dan norma-norma yang berlaku umum. Jika ekspresionisme masih berangkat dari pengamatan, Simbolisme menganggap hasil karya seni hanya sebagai ‘alasan’/simbol untuk menggambarkan inti ilham sang seniman. Karena itu jelas karya seni tidak harus ‘mirip dengan aslinya’ dengan mematuhi hukum-hukum perspektif dan proporsi. Hal ini dilanjutkan oleh gerakan Fauvisme yang dengan sengaja mendistorsi perspektif warna. Karena pengaruh psikologi Freud, orang mulai memperhatikan dan mengeksplorasi dunia sub-concious yang dianggap dapat membebaskan manusia dari belenggu rasionalisme. Ini dipakai oleh Ensor, Schwitters, Tanguy, dan Dali untuk melahirkan aliran Surealisme yang mengeksploitasi keindahan dari dunia sub-concious. Tema pembebasan ini juga berkembang untuk mengungkapkan impresi lewat pencarian bentuk-bentuk dasar realitas. Ini melahirkan gerakan Kubisme yang dipelopori oleh Picasso, Braque, dan Cézanne. Mereka mewujudkannya dalam lukisan yang memakai bentuk-bentuk yang nyaris geometris untuk menggambarkan manusia, dan warna-warna yang dipakai adalah warna-warna dasar yang saling berdampingan. Berbagai sudut perspektif dilukiskan sekaligus. Ini melahirkan lukisan yang berkesan ‘jelek’ seperti corat-coret yang kekanak-kanakan. Usaha untuk melepaskan diri dari keterbatasan ekspresi ini dilakukan secara ekstrim oleh aliran Abstrak. Mereka mencoba untuk melahirkan karya seni yang tidak berbentuk, tanpa obyek luar, absolut, dan non-representatif, walaupun karya-karya mereka tetap saja tak dapat melepaskan diri dari bentuk. Walaupun sudah berusaha untuk melepaskan diri dari realitas luar, lukisan-lukisan abstrak masih mengingatkan kita pada bentuk-bentuk yang paling primitif. Dalam musik ini diwakili oleh perkembangan musik-musik atonal dari Schönberg.
Excess negatif dari kecenderungan pemberontakan ini adalah mereka melahirkan pemberontakan demi pemberontakan itu sendiri. Ini menjadi nyata dalam gerakan Dadaisme dan Neo-Dadaisme yang lahir pada abad ke-20. Mereka cenderung bersikap nihilistik, dan seringkali malah destruktif. Hal ini diperparah oleh sikap masyarakat yang cenderung semakin permisif, toleran, dan hampir-hampir dapat menerima penyimpangan apapun juga. Seniman Neo-dadais menjadi menderita karena tak ada lagi yang dapat diprotes. Tidak ada lagi pelanggaran norma yang dianggap serius, maka mereka mulai mengarahkan kesenian mereka pada tubuh mereka sendiri. Kesenian berkembang ke arah masokisme yang sadistis. Barbara Rose menulis:
Gambaran-gambaran masokisme, mutilasi diri, dan perusakan diri bertimbun, selagi seniman yang dirampas kesempatannya untuk protes, menjadikan dirinya korban. Perasaan impotensi sang seniman itu sebagian berasal dari perasaannya bahwa masyarakat tidak lagi memberinya kemungkinan untuk bertindak dengan bertanggung jawab.[10]
Contoh yang paling ekstrim adalah seniman Jerman, Rudolf Schwarzkogler, yang menyayat kemaluannya sedikit demi sedikit sampai akhirnya ia tewas kehabisan darah. Proses ini difoto dan dipamerkan dalam Documentia 5 di Jerman Barat. Praktek-praktek seperti ini sudah begitu marak sehingga sudah merupakan repetisi yang secara tragis membosankan.
Hingga kini usaha untuk menikmati dan menciptakan keindahan sudah melahirkan hal-hal yang buruk seperti ini. Ke mana lagi perjalanan sejarah keindahan ini akan membawa kita selanjutnya? Bagaimana pendapat Tuhan? Seperti apakah konsep keindahan menurut Alkitab?
Konsep Alkitabiah
Survey Alkitab
Ada lebih dari seratus ayat referensi hanya untuk kata “Beauty”, “Beautiful”, dan “Art(istic)” saja. Maka saya akan melakukan pengelompokan ayat-ayat yang membicarakan konsep yang sama dan melakukan eksegese kecil-kecilan pada beberapa ayat yang representatif saja. Tentu saja tugas pengelompokan ayat-ayat ini sudah melibatkan penafsiran, jadi sebenarnya ‘data-data’ dalam bab ini tidak bersifat objektif murni. Karena itu saya juga akan memberikan argumentasi untuk pengelompokan ayat yang dipakai.
1. Keagungan Tuhan
Daud dalam Mazmurnya menyebut Taurat, Titah, dan Takut akan Tuhan itu lebih indah dari emas (Mzm. 19:10-11). Para penulis Perjanjian Lama juga memakai akar kata yang sama untuk menyebutkan keagungan, perasaan gentar, dan takjub akan kehadiran Tuhan.
2. Kecantikan Wanita
Kecantikan fisik seorang wanita mendapat banyak tempat pada konsep keindahan dalam Alkitab dan budaya Israel. Ada 42 dari sekitar 100 ayat yang ditelusuri memakai kata “Beauty”, “Beautiful”, dan “Art(istic)” untuk menyebutkan kecantikan seorang wanita. Kecantikan feminin seringkali digambarkan dengan melakukan analogi terhadap keindahan alam, hal ini sangat kental mewarnai puisi-puisi dalam Kidung Agung.
3. Keindahan Alam Ciptaan Tuhan
Meliputi perasaan keindahan yang muncul saat memandang kecantikan seekor rusa (Kej. 49:21), Tanah Perjanjian (Yer. 3:19), atau Rasi Bintang (Ayb. 38:31). Bahkan perasaan puas dalam diri Tuhan saat melihat ciptaan-Nya mula-mula (mis. Kej. 1:10, 12).
4. Keindahan Seni Buatan Manusia
Termasuk dalam bagian ini adalah ungkapan kekaguman pada kemegahan arsitektur[11] (bangsa lain, mis. Yeh. 27:4), fashion (Kej. 41:42), musik (Yeh. 33:32), dan peralatan ibadah dalam Tabernacle.
5. Keindahan Abstrak
Hanya muncul sekali dalam Perjanjian Baru, ketika Yesus memuji tindakan wanita yang mengurapi kepalanya dengan minyak Narwastu. Sebuah tindakan (yang tentu saja formless) disebut “beautiful”.
Inti Keindahan
Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, orang Ibrani memiliki Allah YHWH yang transenden atas manusia dan ciptaan. Konsep keindahan dan kesenian yang dihasilkannya sangat berbeda dengan kesenian-kesenian budaya kafir yang bersifat antroposentris. Von Rad berpendapat bahwa puncak pengalaman keindahan orang Ibrani adalah di dalam lingkup religius.[12] Pengalaman keindahan mereka bersumber dari realisasi kekaguman, kegentaran, dan rasa cinta yang mendalam pada YHWH. Perasaan keindahan itu terjadi ketika mereka menyadari kehadiran YHWH, kebijaksanaan-Nya dan pekerjaan-pekerjaan-Nya yang ajaib. Clowney menulis:[13]
The wonder of aesthetic experience echoes the awe found in the presence of God, who is not only One but Three, not only Judge but Saviour, not Only Lord but Saviour.
Transendensi Allah, misteri Ilahi yang menggentarkan inilah yang menjadi inti dan sumber pengalaman dan pengungkapan keindahan orang Ibrani. Lebih lanjut, Von Rad menyimpulkan empat ciri konsep keindahan Ibrani, yaitu:
1. Keindahan itu tidak pernah menjadi sesuatu yang absolut, yang ada pada dirinya sendiri. Keindahan selalu berupa sesuatu yang tak henti-hentinya dilimpahkan ke dalam dunia oleh Tuhan.
2. Maka, keindahan berkaitan langsung dengan iman.
3. Proses menikmati keindahan Tuhan ini terutama berbentuk Mazmur dan terutama Nubuatan (prophecy).
Prophecy is perception in faith, and faith perceived.
4. Israel juga menikmati keagungan Ilahi dalam ketidakhadiran dan sisi misterius YHWH. Bukan hanya pengetahuan orang Israel tentang Allah yang menyebabkannya mengalami keindahan, tetapi juga hal-hal misterius yang tak diketahuinya tentang Allah, yang membuatnya tunduk dengan gentar pada kedahsyatan transendensi YHWH.
Dominasi Theosentrisme dalam budaya Ibrani membuat semua produk kesenian Ibrani bersifat Theosentris. Menikmati Tuhan dalam segala kelimpahan dan kemuliaan-Nya adalah cita-cita tertinggi, keinginan terbesar dari setiap orang Ibrani yang takut akan Tuhan. Kesenian mereka adalah wujud ekspresi pengalaman keindahan yang dialami bersama YHWH. Ekstase inilah sumber ekspresi seni Ibrani. Hal ini paling banyak diekspresikan lewat media bahasa, sastra, dan musik.
Kesenian Ibrani dan Medianya
Sejarah mencatat, bangsa Israel tidak menghasilkan seni rupa yang tinggi. Tidak ada arsitektur megah seperti yang dapat dijumpai pada reruntuhan kota-kota peninggalan bangsa Sumeria, Mesir, Yunani, atau Romawi. Tidak ada artefak-artefak indah seperti yang dapat ditemukan di piramida-piramida Mesir atau di istana kaisar-kaisar Cina. Ada dua alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama adalah karena selama berabad-abad bangsa Ibrani salah menafsirkan hukum kedua dari Taurat:
Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan ketiga, dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.
Mereka menafsirkan hukum ini sebagai larangan bagi mereka untuk membuat patung atau rupa apapun yang menyerupai bentuk ciptaan Tuhan. Padahal yang Tuhan maksudkan adalah mereka tidak boleh membuat patung atau wujud apapun untuk disembah. Hal ini dijelaskan pada kalimat “Aku … adalah Allah yang cemburu ….”[14] Lagipula Allah sendiri di waktu-waktu kemudian memerintahkan Musa untuk membuat tutup perdamaian pada Tabut Perjanjian yang dilengkapi dengan sepasang patung Kerub yang terbuat dari emas. Ini menunjukkan bahwa YHWH tidak pernah melarang orang Israel untuk membuat patung, asalkan patung itu tidak dijadikan berhala. Salah tafsir ini sudah terjadi secara berabad-abad dan telah menjauhkan seni rupa tinggi dari kebudayaan Israel (kecuali pada masa Bezaleel dan Aholiab, Tuhan mengurapi mereka khusus untuk membuat artefak-artefak religius bagi keperluan ibadah di Tabernacle).
Alasan kedua adalah karena bahasa/sastra yaitu media yang bersifat audible memiliki keunggulan dalam mengakomodasi ekspresi keindahan bangsa Ibrani, sebagai bangsa yang mengikat janji dengan Allah YHWH, yang tidak terdapat pada bangsa-bangsa lain. Walau kurang menonjol dalam bidang seni rupa, bangsa Ibrani sangat unggul dalam bidang sastra. Alkitab PL adalah karya sastra yang tak ada bandingannya, bahkan sampai saat ini.
Bangsa Ibrani menuangkan ekspresi keindahannya dalam media-media audible/bahasa seperti musik (Kel. 15, 1 Sam. 18:6-7, 10), puisi (Ayub, Mazmur, Kidung Agung, kitab nabi-nabi), dan narasi (Sebagian besar PL terdiri dari narasi kelas tinggi). Kelihatannya media-media seperti ini lebih mampu untuk mengakomodasi ekspresi keindahan personal secara akurat. Ini berkaitan langsung dengan sifat-sifat alamiah media audio-visual.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pendengaran adalah pengalaman yang paling meresap dalam hidup kita.[15] Indera pendengaran kita bersifat pasif; tak seperti penglihatan, kita tidak dapat memilih secara aktif hal-hal yang ingin kita dengar. Karena tak memiliki ‘kelopak telinga’, kita tak dapat tidak, pasti mendengar apa-apa yang ada di sekeliling kita; kita hanya dapat memilah-milah informasi terdengar ini di dalam. Suara juga tak dapat diraba dan pada zaman pra-modern tak dapat disimpan. Pengalaman bunyi bersifat unik, personal, dan eksistensial; tidak pernah ada pengalaman bunyi yang dapat diulang lagi sekehendak pendengar. Hal ini membuat pengalaman bunyi lebih aman terhadap godaan untuk disembah (melalui rangsang berulang-ulang yang dilakukan atas pilihan pendengar).[16] Tuhan Yesus berbicara tentang “mencongkel biji mata” untuk meminimalkan godaan dan tak pernah berbicara tentang “menulikan telinga” untuk menghindari cobaan. Rasul Paulus berbicara tentang “Iman yang timbul dari pendengaran.”
Media audio juga dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran dengan lebih akurat (ikon-ikon visual bersifat lebih ambigu, memberikan banyak ruang bagi penafsiran yang beragam). Dalam bidang bahasa, hal ini dapat dilihat dalam perkembangan bahasa purba yang mengarah pada simbol-simbol yang lebih literal. Sejarah mencatat perkembangan bahasa dari ikon-ikon visual hieroglif Mesir menuju abjad-abjad semitik yang lebih literal. Selain itu, media bahasa memiliki daya penetrasi yang lebih kuat pada peradaban purba; karena ada media penyimpananan (bahasa, tulisan, papirus) media audio dapat melintasi waktu. Semua hal ini membuat peran media bahasa/audio sangat besar dalam era Reformasi Gereja. Protestanisme di awal kemunculannya sangat alergi dengan ikon, dan sangat menekankan penggunaan media bahasa. Tuhan kita mewahyukan diri-Nya dalam media bahasa literal, Ia memperdengarkan suara-Nya pada bangsa Israel, Nabi-nabi dan Rasul tetapi tidak pernah menampakkan wujud-Nya.
Seniman Sebagai Citra Allah
Setelah mengetahui konsep keindahan yang telah Allah komunikasikan kepada manusia melalui Alkitab dan sejarah bangsa Israel, kita akan menyelidiki seni seperti apa yang Tuhan kehendaki dilakukan oleh seniman-seniman yang takut akan Tuhan. Ekspresi kesenian orang Israel diawali dengan pengalaman keindahan dalam menikmati Tuhan. Mengenai hal ini, Jonathan Edwards pernah mengatakan, “Beauty of the divine nature does primarily consist in God’s holiness … the beauty of His moral attributes.”[17] Inti dari keindahan itu ada dalam kekudusan Tuhan sendiri, sehingga konsep keindahan yang benar hanya dapat diketahui dengan mengenal Allah dan kekudusan-Nya. Allah telah menciptakan seluruh realita tempat kita hidup dan mengalami segala kelimpahan-Nya, termasuk pengalaman keindahan. Karena itu, wajar saja jika kita mencoba untuk meneladani prinsip-prinsip moral dan etika Allah dalam menciptakan alam semesta. Ini dapat kita lakukan karena Allah menciptakan kita sebagai imago Dei yang mewakili-Nya dalam dunia ciptaan ini. Tentu saja kita juga harus mengingat perbedaan kualitatif yang ada antara kita dan Allah sehingga kita tidak membuat asumsi yang salah dalam menerapkan prinsip-prinsip menciptakan karya seni. Pertama-tama kita harus ingat bahwa Allah menciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo), sedangkan kita menciptakan dari sesuatu yang ada sebelumnya. Bahan-bahan baku penciptaan ini dapat berupa bahan-bahan fisik, seperti material untuk membuat lukisan, patung, atau arsitektur, atau berupa software yaitu ide-ide yang telah ada terlebih dahulu dan segala kemampuan mencipta (atau mengkomposisi) yang Tuhan berikan pada kita. Beethoven tidak menciptakan musiknya dari ketiadaan; ia menciptakan Symphony No. 9-nya dengan sistem tangga nada dan hukum-hukum harmoni yang telah diciptakan terlebih dahulu oleh sederet jenius di belakangnya. Setiap kita selalu standing on a giant’s shoulder. Selain itu, seorang Beethoven dapat mencipta karena Tuhan telah menciptakan alam semesta dengan segala hukum-hukum fisika dan fisiologis yang memungkinkan manusia mengalami keindahan dalam harmoni sebuah komposisi. Harold M. Best pernah mengajukan sebuah hipotesis yang bagus sekali yang diturunkan dari asumsi bahwa Tuhan ingin kita meneladani-Nya juga dalam jejak penciptaan-Nya, tentu saja sebatas kemampuan seorang manusia. Hipotesisnya berbunyi:[18]
1. Tuhan adalah I AM THAT I AM yang tidak menciptakan untuk membuktikan diri-Nya. Ia self-sufficient sehingga Ia bertindak dalam kebebasan dan bijaksana pilihan-Nya sendiri. Kita sebagai ciptaan Tuhan seharusnya juga tidak menciptakan untuk membuktikan diri karena kita sesungguhnya sudah memiliki jati diri yang stabil dan tak tergantung pada sesuatu yang tak tetap seperti pencapaian dalam seni. Kita diciptakan sebagai citra Allah. Kita diciptakan dengan identitas dan eksistensi yang sepenuhnya bergantung kepada sesuatu yang kekal dan tetap, yaitu Allah Sang Pencipta Mutlak. Allah menciptakan untuk mengungkapkan/menyatakan diri-Nya; kita menciptakan untuk menyatakan respon kita atas kasih Allah.
2. Allah tidak pernah menciptakan dua kristal salju yang identik. Ia juga memenuhi dunia dengan flora-fauna yang sangat beragam. Berarti seni non-representasionalistis, seperti seni abstrak yang tidak menggambarkan apapun juga di alam adalah sah. Tetapi memang hal ini tak dapat dilakukan secara sempurna, sekeras-kerasnya sang seniman mencoba untuk tidak menggambarkan apapun, tetap saja ia melakukan representasi dalam seninya, karena memang manusia tidak dapat melakukan creatio ex nihilo.
3. Ciptaan Allah penuh dengan representasi. Seorang anak mirip dengan orang tuanya. Sebuah keluarga biasanya memiliki kesamaan-kesamaan bawaan tertentu. Dan dalam skala besar, mahluk yang satu spesies memiliki ciri-ciri khas tertentu, demikian juga dengan unsur-unsur kimia. Jadi seni representasi adalah sah juga; orang boleh-boleh saja menghasilkan karya seni yang menggambarkan sesuatu secara sangat realistis selama ia tidak kehilangan sentuhan subjektifnya.
4. Seperti dikatakan dalam poin ke-2, Tuhan tidak pernah melakukan penggandaan identik. Tiap karya seni pasti memiliki ciri personal yang khas. Jadi hasil karya yang identik-replikatif seperti peng-copy-an karya seni orang lain tak dapat dikatakan sebuah karya seni. Saat kita memainkan sebuah komposisi musik, pastilah kita memberikan satu sentuhan pribadi pada musik yang terdengar. Usaha untuk meniru sepersis mungkin gaya permainan dan sentuhan pribadi orang lain dalam seni tak dapat dikatakan sebagai seni lagi. Ia hanya seorang tukang main musik, bukan musisi.
5. Ciptaan Tuhan membeberkan variasi maha ragam, tetapi tetap mencerminkan satu style penciptaan yang khusus. Kita dapat saja membubuhkan (biasanya secara tak sadar) suatu gaya pribadi dalam menciptakan aneka ragam karya seni.
6. Ciptaan Tuhan menyatukan Keindahan dan Fungsi. Ini mengakhiri perdebatan antara “yang indah” dan yang “fungsional”. Pandangan l’art pour l’art yang telah mengebiri segi fungsional dari suatu karya seni dan memandang rendah karya seni yang memiliki suatu fungsi tidak dapat dibenarkan. Juga pandangan kaum pragmatis yang kurang mempedulikan faktor estetis tidak sesuai dengan etika penciptaan Tuhan. Tuhan menciptakan tubuh manusia yang sangat-sangat estetis tetapi sekaligus sangat fungsional. Tak ada desain buatan manusia yang melampaui keindahan tangan manusia, tetapi juga tak ada desain buatan manusia yang melebihi keserbagunaan, kekuatan, keandalan, dan efisiensi tangan manusia. Desain ajaib Tuhan ini dapat dipakai untuk menghasilkan lukisan yang indah, musik yang menakjubkan, tetapi juga sekaligus dapat dipakai untuk mengangkat beban berat atau melakukan operasi bedah saraf yang menuntut tingkat presisi tinggi.
7. Alam ciptaan tidak mencerminkan adanya hirarki keindahan. Tuhan menciptakan kecoak dengan sangat indah (walaupun banyak yang jijik) – tidak kalah indah dibandingkan dengan sekuntum anggrek. Bahkan kadang-kadang faeces manusia pun dapat mengambil rupa yang sangat artistik. Tuhan menciptakan galaksi maha besar seindah Ia menciptakan sel-sel mikroba.
Saya pribadi mengusulkan bahwa daya kreasi kita seharusnya dipakai untuk mengekspresikan rasa takjub dan syukur kita atas segala pekerjaan Allah yang besar dan melimpah dengan anugerah. Seorang seniman Kristen seharusnya tidak menciptakan sesuatu demi mencipta itu sendiri, tidak melakukan pemberontakan atas pola lama demi pemberontakan itu sendiri, tidak memuja keindahan alam, keindahan karya seni, maupun kejeniusan seniman demi hal-hal itu sendiri, tetapi hendaknya itu dilakukan sebagai respon kita atas anugerah Allah yang tak layak kita terima, dan sebagai respon penyembahan kita atas kemahadahsyatan Allah.
Apresiasi keindahan bersumber dari ketakjuban kita atas keindahan Tuhan, kesadaran kita akan kemahaagungan dan kebesaran kasih-Nya, sedangkan kreasi seni adalah ekspresi atas ketakjuban, kegentaran, dan cinta kita pada Tuhan.
Kesimpulan
§ Persepsi kita tentang keindahan, yang akan sangat mempengaruhi hidup kita, sangat ditentukan oleh konsep keindahan yang kita pegang. Konsep keindahan ini sangat menentukan bentuk dan perkembangan karya seni yang dihasilkan.
§ Sepanjang sejarah, konsep tentang keindahan berubah sesuai dengan perkembangan dunia filsafat pada masanya. Perkembangan filsafat sangat menentukan konsep keindahan pada suatu zaman, dan akhirnya sangat menentukan ciri karya seni pada zaman tersebut.
§ Perkembangan konsep keindahan, yang diikuti juga oleh hasil karya seninya, bergerak dari sesuatu yang konkret menuju hasil karya seni yang semakin abstrak (non-representatif). Ini sesuai dengan konsep Hegel yang bercita-cita mencapai Roh Absolut .
§ Perkembangan kesenian ke arah yang semakin abstrak ini akhirnya jatuh pada konsep keindahan yang absurd. Kreativitas didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memberontak terhadap tatanan baku yang sudah ada. Pemberontakan demi pemberontakan itu sendiri berakar dari keinginan manusia untuk menjadi “seperti Allah” dan re-creating the creation. Ketidakpuasan manusia akan ciptaan mungkin bersumber juga dari ketidakmengertian manusia akan kenyataan kejatuhan manusia yang telah menyeret seluruh ciptaan. Dunia yang seperti “lukisan Tuhan yang gagal” menurut pengamatan Van Gogh adalah dunia setelah kejatuhan manusia. Usaha manusia untuk menciptakan kembali dunia yang lebih baik dalam kanvas, tanpa dibarengi pengertian bahwa hanya Tuhan sendiri yang dapat menebus ciptaan dari kejatuhannya, akhirnya harus berakhir tragis dengan munculnya aliran-aliran yang bersifat nihilis dan self-destructive seperti Dadaisme dan Neo-Dadaisme.
§ Konsep keindahan Ibrani ternyata sangat berbeda dengan konsep keindahan yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa kafir. Orang-orang Ibrani memang tidak mengenal konsep keindahan secara abstrak seperti bangsa Yunani. Keindahan bagi orang Ibrani adalah cerminan perasaan keindahannya bersama Tuhan. Pengalaman keindahan orang Ibrani yang tertinggi ada pada lingkup pengalaman religiusnya.
§ Karena media sastra lebih akurat dalam mengekspresikan pengalaman religius bangsa Ibrani, dan adanya bahaya media visual yang ambigu untuk menimbulkan penyembahan berhala, media visual kurang berkembang dalam sejarah budaya Ibrani.
§ Kesenian Kristen yang baik haruslah mempertimbangkan kebenaran-kebenaran Tuhan dalam menciptakan keseniannya. Jika kita melihat proses penciptaan alam semesta, kita akan melihat solusi dari berbagai dilema yang dialami oleh para filsuf sepanjang zaman. Misalnya, Tuhan tidak mencipta untuk membuktikan diri, tapi menyatakan diri. Tuhan tidak pernah membuat ciptaan yang identik, jadi seni non-representatif itu sah, tetapi sekedar meniru karya orang lain tidak sah. Ciptaan penuh dengan representasi, yaitu hal-hal yang memiliki kemiripan, misalnya ayah-anak, sehingga seni representatif yang konservatif itu tidak dapat dikatakan kurang kreatif. Ciptaan yang beragam itu tetap mencerminkan satu style yang unik dari Tuhan, jadi subjektifitas dalam seni penting juga. Tuhan tidak pernah memisahkan fungsi dari estetika; Ia menciptakan tubuh manusia superior baik secara fungsional maupun estetis. Terakhir, Tuhan tidak membuat hirarki seni; semua ciptaan sama-sama diciptakan dengan ketelitian tinggi. Dari lalat sampai gajah, dari atom sampai galaksi Tuhan ciptakan dengan nilai estetis dan fungsional yang tinggi.
Ev. Yadi S. Lima
Pembina Pemuda GRII Pondok Indah
Daftar Pustaka
1. Bromiley, Geoffrey W. ed., International StAndard Bible Encyclopedia Vol.1
(Michigan: Eerdmans, 1979).
2. Camus, Albert, Seni dan Pemberontakan (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1998).
3. Carson, D. A. & John D. Woodbridge, ed., God and Culture, (Michigan: Eerdmans, 1993).
4. Sherlock, Charles, The Doctrine of Humanity (Illinois: IVP, 1996).
5. Sutrisno, FX. Mudji & Prof. Dr. Christ Verhaak, S. J., Estetika Filsafat Keindahan(Yogyakarta: Kanisius, 1993).
6. Heie, H. & D. L. Wolfe, ed., Reality of Christian Learning (Minnesota: Christian University Press, 1987)
7. Von Rad, Gerhard, OT Theology Vol.1 (London: SCM Press, 1975).
[1] Gerhard Von Rad, OT Theology Vol.1 (London: SCM Press, 1975) 365.
[2] R. K. Harrison in International StAndard Bible Encyclopedia Vol.1, Geoffrey W. Bromiley, ed., (Michigan: Eerdmans, 1979) 444-445.
[3] Dr. FX. Mudji Sutrisno, S. J. & Prof. Dr. Christ Verhaak, S. J., Estetika Filsafat Keindahan
(Yogyakarta: Kanisius, 1993) 34.
[4] Dr. FX. Mudji Sutrisno, S. J. & Prof. Dr. Christ Verhaak, S. J., Estetika Filsafat Keindahan
(Yogyakarta: Kanisius, 1993) 40.
[5] Sebuah karya abstrak Barnett Newman seharga US$ 3,1 Juta, di Amsterdam’s Stedelijk Museum. Lukisan modern ini hanyalah sebidang kanvas raksasa yang dicat merah terang dengan garis batas biru tipis pada pinggiran sebelah kirinya.
[6] Dr. FX. Mudji Sutrisno, S. J. & Prof. Dr. Christ Verhaak, S. J., Estetika Filsafat Keindahan
(Yogyakarta: Kanisius, 1993) 43.
[7] Albert Camus, dll., Seni dan Pemberontakan (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1998) 1.
[8] Ibid xv.
[9] Ibid.
[10] Sebuah artikel yang ditulis Barbara Rose dalam: Albert Camus, dll., Seni dan Pemberontakan (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1998) 115-116.
[11] Sayang sekali, bangsa Israel tidak mengembangkan seni arsitektur. Salomo sampai harus mengimpor tenaga ahli dari Raja Hiram untuk membangun bait suci (2 Taw. 2:7).
[12] Gerhard Von Rad, OT Theology Vol.1 (London: SCM Press, 1975) 366.
[13] Edmund P. Clowney, “Living Art: Christian Experience and The Arts”, in God and Culture, D. A. Carson & John D. Woodbridge (Michigan: Eerdmans, 1993) 250.
[14]Penyembahan berhala selalu dikaitkan dengan perzinahan, Tuhan mengakomodasi sikap-Nya atas penyembahan berhala dengan istilah “cemburu” yang dipakai untuk menunjukkan kemarahan dan sakit hati seorang suami yang istrinya menyeleweng.
[15] Charles Sherlock, The Doctrine of Humanity (Illinois: IVP, 1996) 223
[16] Repetisi rangsang atas pilihan pelihat dilakukan misalnya dengan memfokuskan perhatian pada suatu obyek visual, seperti patung (berhala). Pada zaman pra-modern, suara tak dapat direkam dan dimainkan kembali, sehingga kita tak dapat terus-menerus mengulang suara yang identik. Musik yang dimainkan berulang-ulang pun tidak pernah terdengar persis sama, sehingga memang media audio relatif lebih ‘aman’ dari potensi menjadi media penyembahan berhala.
[17] Edmund P. Clowney, “Living Art: Christian Experience and the Arts” in God and Culture, D. A. Carson, ed.,
[18]Harold M. Best, “God as Creator” in Reality of Christian Learning: H. Heie & D. L. Wolfe, ed., (Minnesota: Christian University Press, 1987) 247.