Cinta Tuhan

Bagi orang Farisi, mengasihi Allah harus ditandai dengan ketaatan lahiriah kepada seluruh hukum Taurat. Ini adalah tujuan akhir dari hidup keagamaan orang Farisi. Maka, tidak heran jika orang Farisi sangat bangga ketika mereka bisa memenuhi semua checklist Taurat Tuhan. Seolah-olah mereka telah mencapai garis akhir dari tuntutan hukum Taurat. Itu adalah tanda keberhasilan sebagai umat Tuhan menurut mereka. Dengan berlaku demikian, mereka mengklaim telah mencintai Tuhan dengan kehidupan keagamaan yang sedemikian.

Tetapi Tuhan Yesus membongkar konsep keagamaan yang salah dari orang Farisi. Hukum Taurat bukanlah akhir dari kehidupan beragama orang Israel. Tetapi justru hukum Taurat menjadi awal kehidupan yang baru. Misalnya, ketika baru lulus sekolah, bukan berarti kita sudah bebas dari tuntutan belajar. Setelah lulus, kita harus memulai kehidupan baru, yaitu bekerja. Pada waktu bekerja pun, kita dituntut untuk belajar ke tingkatan yang baru dan lebih kompleks. Kehidupan pembelajaran tidak akan pernah berhenti selama kita hidup. Dalam hal ini, kita harus belajar dari Pdt. Dr. Stephen Tong. Beliau sudah berumur 80 tahun, sudah akong, tetapi tidak pernah berhenti belajar. Contoh lainnya, ketika kita baru memasuki kehidupan pernikahan. Tentu adalah hal yang mustahil jika kita tidak mengerjakan apa-apa lagi. Justru setelah menikah, kehidupan pernikahan yang sesungguhnya baru saja dimulai. Ada penyesuaian diri dengan kondisi dan lingkungan baru di dalam pernikahan.

Jika orang Farisi melihat hukum Taurat sebagai titik akhir dari ketaatan kepada Tuhan, kekristenan tidaklah demikian. Kekristenan bukan berbicara titik akhir, tetapi justru menancapkan titik awal atas kehidupan yang baru. Kehidupan baru di dalam Kristus yang terus bertumbuh sampai seluruh makhluk takluk kepada Kristus. Sehingga tidak ada lagi yang namanya akhir, tetapi justru selalu ada awal yang baru. Jika para rasul berpikir bahwa setelah Kristus bangkit tugas mereka sudah selesai, tidak mungkin muncul yang namanya kekristenan hingga saat ini, karena tidak ada satu pun yang memperjuangkan berita Injil Yesus Kristus. Tidak ada yang pergi memberitakan Injil. Maka, tentu tidak ada yang menjadi orang Kristen lagi.

Dalam konteks cinta kepada Tuhan, maka bukan ketika kita sudah cinta Tuhan, maka sudah cukup. Tidak sampai di situ saja. Tetapi cinta kepada Tuhan harus terus bertumbuh dan berkembang. Kalau kita tidak sanggup bertumbuh di dalam pengenalan kepada Allah, kita telah gagal menjadi orang Kristen. Cinta itu harusnya terus menggairahkan. Hal ini ditandai dengan keseluruhan aspek hidup kita, hati, jiwa, dan akal budi yang terus difokuskan kepada kehendak Allah. Hal paling sederhana yang bisa kita nilai dari kehidupan pribadi kita adalah saat doa pribadi kita. Waktu kita berdoa, apa yang menjadi cetusan hati kita? Hanya sekadar kata-kata yang diucapkan oleh mulut, atau ada pertumbuhan dan gairah di dalam kita berdoa? Mari kita renungkan sekali lagi kehidupan kekristenan kita. Pelihara baik-baik iman kita, sehingga kita dapat menjadi orang Kristen yang adalah korban hidup bagi kemuliaan Tuhan. Amin.

Susan Doelia

Pemudi FIRES