“Di hadapan Allah Tritunggal dan jemaat-Nya mengambil engkau, … serta berjanji akan mengasihimu, mendampingimu, dan melindungimu dalam keadaan kelimpahan maupun kekurangan, sehat maupun sakit dan berjanji tetap setia padamu dalam keadaan apa pun sampai kematian memisahkan kita.”
Momen pemberkatan nikah selalu terasa spesial bagi siapa pun yang menyaksikannya. Bagaimana tidak berkesan! Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sebelumnya tidak pernah saling kenal, sekarang berani memberi diri diikat oleh satu janji komitmen seumur hidup, menyatakan komitmen untuk tetap setia kepada pasangannya sampai maut memisahkan. Baik di saat senang maupun susah, baik di saat kekurangan maupun kelimpahan, tetap menjalin hidup bersama sebagai suami istri. Bukankah ini sebuah langkah iman yang besar? Siapa yang dapat menjamin orang yang kita kenal saat ini akan tetap sama hingga sepuluh tahun mendatang? Pada akhirnya kita tetap melangkah ke depan, mengucapkan janji nikah di hadapan Allah Tritunggal, pendeta, keluarga, hingga jemaat yang menghadiri kebaktian pemberkatan nikah pada saat itu. Alasannya tentu saja kita semua pasti tahu, bahwa kasihlah yang mendorong kita untuk melangkah ke dunia pernikahan.
Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan dan kesulitan tetap terjadi di dalam dunia pernikahan. Abad ke-21 menunjukkan tingkat perceraian yang terus naik dari tahun ke tahun.1 Penyebab perceraian ini pun bervariasi, mulai dari perselingkuhan, masalah keuangan, hingga hubungan yang sudah tidak harmonis lagi. Ditambah lagi dunia entertainment yang kerap kali mendengungkan aksi perceraian yang seakan tidak pernah selesai. Hingga pada satu titik kita mulai merasa perceraian adalah hal yang “normal”. Ada saja pemberitaan yang dipublikasikan, mulai dari perselisihan hak asuh anak hingga pemisahan harta yang berbelit.
Isu yang beredar mengenai kasus perceraian mengakibatkan sebagian orang merasa waswas ketika ingin masuk ke dunia pernikahan. Termasuk orang Kristen sekali pun, ada perasaan khawatir jika sewaktu-waktu bercerai. Seolah-olah kita sudah membayangkan betapa sulitnya mengurus pembagian harta ketika terjadi perceraian. Maka muncullah yang namanya perjanjian pranikah atau prenuptial agreement, yang berisikan kesepakatan antara kedua calon mempelai mengenai hak dan tanggung jawab keduanya. Perjanjian ini tentu saja berbeda dengan janji nikah yang disebutkan di awal artikel ini. Isi perjanjian ini lebih banyak mengatur persoalan yang muncul ketika suami dan istri bercerai. Ketika perceraian terpaksa harus terjadi, minimal kedua pihak dapat merujuk kembali ke perjanjian ini sehingga prosesnya dapat berjalan lebih cepat.
Artikel singkat ini membahas apakah perjanjian semacam ini sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak. Walaupun menggunakan istilah yang sama, “perjanjian”, tetapi apakah semangat dan konsep dibaliknya sesuai dengan maksud Allah? Terakhir, penulis akan membandingkan dengan surat Paulus di Efesus 5 yang juga menjelaskan makna sejati dari relasi suami istri di dalam pernikahan. Harapannya adalah kita sebagai orang Kristen tidak sekadar mengikuti tren yang ada, tetapi sungguh menjalankan hidup pernikahan yang suci, sesuai dengan kehendak Tuhan.
Marriage as a Covenantal Relationship: God and Israel
Sebelum membahas lebih detail mengenai apa itu perjanjian pranikah, kita perlu mengerti apa yang Allah tetapkan mengenai pernikahan. Alkitab tidak hanya melihat pernikahan sebagai fase hidup manusia saja, melainkan berbicara tentang perjanjian atau kovenan yang Allah mau nyatakan kepada manusia. Di dalam bahasa Indonesia, ada kesulitan untuk mengerti kata “perjanjian” seperti yang Alkitab maksud. Kata “perjanjian” di Alkitab perlu kita mengerti sebagai kovenan (covenant), bukan sekadar persetujuan (agreement) atau kontrak (contract). Jika kontrak itu hanya berupa perjanjian yang berisikan tanggung jawab kedua belah pihak dan sanksi jika salah satu pihak melanggar, pengertian kovenan jauh melebihi itu. Istilah kovenan di Perjanjian Lama merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang mana mereka harus berjalan di samping darah domba atau kambing. Adanya darah ini dimaksudkan bahwa jika ada salah satu pihak yang melanggar janji, sanksinya berupa nyawa si pelanggar janji itu.
Coba bayangkan Allah memakai kovenan ini untuk mengikat perjanjian dengan umat-Nya, yaitu bangsa Israel. Allah yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi rela mengikatkan diri-Nya pada sebuah kovenan. Allah seolah-olah “berkewajiban” taat dan setia pada kovenan yang Ia buat. Seakan-akan Allah mempertaruhkan diri-Nya sebagai Allah yang setia dan memelihara janji-Nya kepada bangsa Israel. Janji kedatangan Mesias yang akan menghadirkan keselamatan bagi banyak bangsa. Tuntutan kesetiaan ini tidak hanya berlaku bagi Allah saja, tetapi juga bagi pihak bangsa Israel. Mereka harus menyatakan kesetiaan kepada kovenan melalui ketaatan, kekudusan hidup, dan penyembahan hanya kepada Allah yang sejati.
Prinsip kovenan inilah yang menjadi dasar dari ikatan pernikahan. Kejadian 2:18-25 menjelaskan bagaimana Allah yang terlebih dahulu menyatukan Adam dan Hawa di dalam satu ikatan pernikahan. Dikatakan bahwa mereka tidak lagi dua, tetapi menjadi satu daging. Sekilas kalau kita hanya membaca ayat ini saja, terkesan tidak ada kaitannya dengan konsep kovenan yang dibahas sebelumnya. Tetapi nantinya, para nabi di Perjanjian Lama, seperti Hosea dan Maleakhi, menganalogikan relasi kovenan antara Allah dan Israel di dalam bentuk relasi pernikahan. Seperti Allah yang rela membangun relasi perjanjian dengan bangsa Israel, begitu pula seorang laki-laki rela mengikatkan dirinya kepada satu perempuan sebagai satu daging. Begitu juga dengan bangsa Israel yang hanya taat kepada Allah yang sejati, maka seorang istri hanya taat kepada satu suami. Ada relasi yang khusus antara Allah dan Israel, begitu juga antara suami dan istri menjalin relasi pernikahan yang kudus.
Marriage as a Covenantal Relationship: Ephesians 5:22-33
Relasi kovenan antara Allah dan umat-Nya mencapai klimaksnya ketika Yesus Kristus berinkarnasi ke dunia. Relasi kovenan yang diperluas bukan hanya kepada Israel sebagai satu bangsa, melainkan kepada umat pilihan-Nya, yaitu Israel yang sejati yang terdiri dari berbagai suku dan bangsa. Kematian dan kebangkitan Kristus menjadi penggenapan janji keselamatan bagi Israel sejati, yaitu Gereja-Nya. Inilah yang Paulus pakai sebagai dasar ikatan pernikahan antara suami dan istri. Paulus menjabarkan relasi kovenan yang makin konkret di dalam relasi pernikahan. Relasi kovenan antara Kristus dan jemaat, itulah yang harusnya menjadi prinsip utama bagi setiap pernikahan Kristen. Suami harus mengasihi istri sama seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya. Kasih yang rela mati di kayu salib demi adanya pengampunan dan pendamaian. Kasih yang sama dihidupi oleh seorang suami yang rela mengorbankan diri demi kebaikan istrinya. Inilah tanggung jawab suami sebagai tanda kesetiaan kepada kovenan pernikahan. Begitu juga dengan istri yang rela taat kepada suami yang adalah kepala keluarga, seperti Gereja yang taat dan tunduk kepada Kristus yang adalah Kepala Gereja.
Bagi Paulus, pernikahan bukan sekadar berbicara tentang relasi suami dan istri, melainkan relasi yang jauh lebih besar antara Kristus dan jemaat-Nya. Pernikahan di dunia ini hanyalah cicipan dari pernikahan yang sejati itu. Sebuah anugerah yang besar jika kita diberikan kesempatan untuk menikah, karena di saat itulah Tuhan memakai pernikahan kita untuk merefleksikan pernikahan yang sejati antara Kristus dan Gereja-Nya. Maka tidak heran saat pemberkatan nikah, kedua mempelai mengucapkan janji suci untuk setia sampai maut memisahkan. Itu bukan sekadar jalinan kata-kata indah, melainkan komitmen untuk menghadirkan pernikahan sejati itu, Kristus dan Gereja-Nya.
Prenuptial Agreement
Lalu bagaimana dengan perjanjian pranikah? Jika Alkitab saja mendeklarasikan pernikahan sebagai relasi perjanjian atau kovenan, terkesan ada ruang bagi perjanjian pranikah yang lebih konkret. Tunggu dahulu, kita perlu berhati-hati dalam mendefinisikan apa itu perjanjian. Seperti yang disebutkan di awal artikel ini, perjanjian ada yang bersifat kovenan dan bersifat kontrak. Ini penting supaya pernikahan yang kita hidupi memang atas dasar kovenan dari Allah dan bukan buatan manusia.
Di awal artikel ini, penulis sudah membahas secara singkat apa itu perjanjian pranikah. Sepintas kalau kita lihat, perjanjian pranikah ini cukup membantu ketika skenario terburuk terjadi. Ketika perceraian terjadi, ada banyak hal yang mesti dibereskan. Mulai dari hak asuh anak, pemisahan harta, hingga proses perceraian itu sendiri yang memakan waktu dan tenaga. Hal-hal tersebut dapat dipermudah jika sedari awal sudah jelas dengan adanya perjanjian secara tertulis. Tetapi kembali ke prinsip awal tentang pernikahan, Allah menetapkan pernikahan sebagai janji komitmen antara satu laki-laki dan satu perempuan menjadi satu daging. Mereka tidak lagi dua, tetapi menjadi satu. Allah sendiri menginisiasi terbentuknya institusi pernikahan, bukan oleh keinginan Adam. Jadi, bagaimana mungkin kita dapat memikirkan ada kemungkinan, walaupun kecil, terjadinya perceraian? Padahal Allah sendiri menghendaki adanya kesatuan seumur hidup sampai maut memisahkan. Allah bahkan menarik relasi pernikahan kepada relasi antara Allah dan umat-Nya. Relasi yang eksklusif antara suami dan istri adalah relasi yang merefleksikan pula relasi antara Allah dan bangsa Israel, dan Kristus dan Gereja-Nya.
Paulus bahkan mengembangkan lebih lanjut konsep relasi kovenan ini di antara Kristus dan jemaat-Nya. Sebagai orang Kristen, kita tidak berpikir soal pernikahan di dunia saja, melainkan harus merefleksikan kepada pernikahan yang sejati. Kristus sebagai mempelai laki-laki sedang menunggu kedatangan mempelai perempuan yang adalah Gereja-Nya. Kemudian Paulus menerjemahkan konsep ini di dalam hak dan kewajiban suami istri. Seorang suami harus mengasihi istri seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya. Begitu pula istri harus tunduk kepada suami seperti jemaat taat kepada Kristus.
Ketika kedua mempelai sama-sama mengerti konsep ini, maka keduanya akan rela mengerjakan bagiannya tanpa perlu disuruh atau diikat oleh janji yang tertulis. Keduanya sadar mau menjalankan tanggung jawab masing-masing di hadapan Tuhan. Pernikahan yang baik adalah ketika kedua mempelai dengan rela mengasihi pasangannya tanpa embel-embel, syarat, atau perjanjian tertulis apa pun.2 Perjanjian pranikah memberi kesan bahwa ada syarat tertentu yang harus dipenuhi, baru saya mau mengasihi kamu. Ini tentu berbeda sekali dengan prinsip Alkitab yang mengajarkan kasih tanpa syarat. Jika kita sungguh-sungguh mau menikahi pasangan kita, nyatakanlah kasih yang berasal dari Kristus. Kasih yang mau memberi diri bagi pasangan seumur hidup. Bandingkan dengan perjanjian pranikah yang berisikan antisipasi jika bercerai, pisah harta, atau pembagian tanggung jawab. Bagaimana kita sebagai orang Kristen dapat menghidupi kasih yang seumur hidup itu jika sedari awal sudah waswas akan bercerai?
Kesimpulan
Jadi, kembali kepada pertanyaan dari artikel ini, “Apakah perjanjian pranikah sesuai dengan konsep pernikahan yang Allah nyatakan?” Jika kita sungguh-sungguh mau konsisten dengan apa yang Alkitab katakan, kita perlu mempertimbangkannya kembali. Apalagi jika kita memakai perceraian sebagai dasar pembenaran adanya perjanjian pranikah ini. Bukankah hal ini terkesan kontradiktif dengan tujuan pernikahan itu sendiri? Kita mengucapkan janji nikah untuk setia sampai maut memisahkan, tetapi justru membuat perjanjian untuk mengantisipasi adanya perceraian. Itu berarti kita tidak sungguh-sungguh menghidupi makna pernikahan Kristen. Janji yang kita ucapkan menjadi tidak sepenuh hati karena kita masih membayangkan ada kemungkinan bisa cerai. Kita mempersiapkan pintu belakang bagi pernikahan kita, yang siap-siap dipakai ketika kondisi tidak lagi mendukung.
Ini baru sebagian kecil dari berbagai macam argumen untuk membenarkan adanya perjanjian pranikah, mulai dari persoalan pembagian harta, perlindungan kekayaan, hingga hak asuh anak. Ada juga yang berargumen bahwa Alkitab tidak memberikan larangan secara eksplisit mengenai perjanjian ini. Tetapi seperti yang Rasul Paulus katakan, bahwa segala sesuatu memang diperbolehkan, tetapi bukan berarti segala sesuatu berguna. Sebagai orang Kristen yang dewasa rohaninya, kita tidak perlu terjebak di dalam persoalan boleh atau tidak boleh. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah: apakah itu berguna atau tidak, apakah itu sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak. Jangan sampai perjanjian pranikah menjadi fokus hidup pernikahan kita hingga kita lupa bahwa Alkitab telah menyingkapkan makna pernikahan sejati yang dapat kita hidupi saat ini. Kita bahkan diberikan anugerah oleh Tuhan untuk menghadirkan pernikahan yang memancarkan relasi kudus antara Kristus dan jemaat-Nya. “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan antara Kristus dan jemaat. Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya” (Ef. 5:32-33).
Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES
Endnotes:
- Pada tahun 2020, tingkat perceraian di Indonesia naik sebesar 6,4% (https://lokadata.id/artikel/perceraian-di-indonesia-terus-meningkat). Diakses pada tanggal 19 Juli 2021.
- Hal ini dibicarakan dalam konteks pernikahan dengan yang seiman.