Creation of Man

Manusia… Sebagai orang Kristen, kita akan langsung membayangkan istilah-istilah seperti peta dan teladan Allah, makhluk ciptaan tertinggi, wakil atau duta Allah di dunia ini, dan lain sebagainya. Manusia… Alkitab mengatakan bahwa dia dibentuk Allah dari debu tanah. Allah mengambil debu tanah, dibentuk-Nyalah kepala, mata, hidung, mulut, telinga, badan, kaki, dan tangan… dibentuk-Nya manusia dengan tangan-Nya sendiri. Lalu Ia menghembuskan nafas-Nya ke dalamnya dan jadilah seorang manusia – makhluk yang hidup. Manusia dipenuhi dengan kemuliaan Sang Pencipta, dijadikan wakil Allah di dunia, suara Allah, tangan Allah, dan duta Allah. Di mana pun dia berada, kemuliaan Allah selalu terpancarkan melaluinya sehingga ketika setiap makhluk melihatnya, kemuliaan Allah terlihat jelas melalui keberadaan dirinya – bukan kemuliaan dia tetapi Allah.

Berbeda dengan segala ciptaan yang ada, manusia diciptakan spesial adanya. Terkagumkah Anda akan ciptaan Allah ini? Seluruh alam semesta dan isinya diciptakan Allah “hanyalah” dengan firman-Nya. Ketika Allah berfirman “Jadilah…” maka “Jadilah…” Tak ada bentukan dari tangan Allah. Tak ada hembusan dari nafas Allah. Semuanya menjadi ada (come into existence) hanya berdasarkan “Berfirmanlah Allah…” Binatang memang hidup, bergerak, berkembang biak, tetapi binatang bukanlah gambar Allah. Binatang tidak memiliki kepribadian yang ditandai dengan adanya akal, emosi, dan kehendak. Binatang tidak bisa menjadi wakil Allah di dunia. Binatang hanyalah makhluk hidup yang diciptakan Allah untuk dikelola oleh manusia dan dipersembahkan kepada Allah.

Bagaimana dengan penciptaan malaikat? Alkitab tidak pernah menyatakannya secara jelas. Yang kita tahu adalah bahwa malaikat hanya memiliki roh tanpa tubuh materi. Malaikat diciptakan untuk melayani Allah dan sebagai pembawa atau penyampai berita kepada manusia. Malaikat adalah makhluk yang berpribadi, mempunyai akal, kehendak, dan emosi, tetapi malaikat tidak diberi anugerah untuk hidup dengan tubuh bermateri.

Bagaimana? Sudahkah Anda mengagumi ciptaan istimewa Allah yang disebut manusia itu? Begitu agungnya ciptaan Allah yang satu ini hingga Daud pun mengeluarkan nyanyian:

Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! (Mzm. 8:4-10)

Betapa bernilai dan mulianya manusia itu, itulah Engkau dan Saya… Apakah yang sudah kita lakukan dengan keberadaan diri kita ini? Sudahkah kita memancarkan kemuliaan Allah? Sudahkah kita menjadi duta Allah yang terpercaya? Sudahkah hidup kita menyatakan Allah? Sudahkah hidup kita menyatakan kebenaran? Sudahkah hidup kita menyaksikan cinta kasih Allah, kebaikan Allah, dan seluruh kesucian Allah? Kita diciptakan untuk itu semua – betapa amazing-nya kita diciptakan…

Mungkin kita berkata, “Aaahhh mana mungkin… Kita kan hanya manusia biasa…” Iya, benar sekali, kita hanyalah manusia hina yang berasal dari debu tanah. Tetapi.. sekaligus mulia adanya karena diberikan nafas Allah. Kita diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah, sebagai peta dan teladan Allah yang diberikan kemampuan untuk mewakili Allah dan menyatakan kemuliaan kebesaran Allah. Mari kita tidak menjadi sombong karenanya, tetapi juga tidak minder. Jadilah manusia di hadapan Sang Pencipta!

Meaning of Creation
Mulia di dalam keberadaan, hal ini tidak terlalu sulit untuk kita mengerti, tetapi mulia dan bernilai dalam kehidupan, bagaimanakah itu? Tidak sombong dan sekaligus tidak minder? Bagaimana bisa meletakkan nilai diri pada tempat yang seharusnya? Sering kali kita ingin menjadikan diri kita bernilai melalui lifestyle yang sedang in atau trend di dalam dunia. Kita merasa diri kita bernilai ketika kita tidak ketinggalan zaman, kita up to date. Kita mencari aktualisasi dari nilai jati diri kita melalui pengakuan dan penerimaan zaman. Ketika kita diterima baik, kita merasa diri bernilai; ketika kita ditolak atau ditertawakan, kita merasa kita loser. Akhirnya, nilai keberadaan kita sebagai peta dan teladan Allah, yang kita agung-agungkan itu, hanyalah suatu ide belaka. Sedangkan fakta realitasnya, kita hanyalah objek permainan dunia di mana kita berada. Kita bagaikan daun busuk yang sedang mengapung di permukaan laut yang sedang diombang-ambingkan dan dibawa ke mana arus air mengalir, tanpa bisa menentukan arah keberadaannya. Manusia hidup sebagai peta dan teladan Allah, suatu ilusi?

Manusia mencari nilai hidupnya di dunia ini. Nilai hidup ini sebenarnya sudah diberikan Allah pada saat Ia menciptakan kita. Nilai itu tidak perlu dicari. Nilai itu bukan di luar diri manusia. Nilai itu ada pada diri manusia itu ketika manusia menghidupi kemanusiaannya, ketika manusia menghidupi hidupnya sebagai ciptaan yang takluk kepada Sang Pencipta, ketika manusia taat kepada seluruh perintah Allah yang diberikan kepadanya, dan ketika manusia menyatakan dalam keseluruhan hidupnya kehendak Allah di dunia ini. Itulah makna dari keberadaan dirinya sebagai ciptaan dan di situlah nilai keberadaan manusia, tidak lebih dan tidak kurang. Seluruh ciptaan hadir dalam konteks merespons firman Allah. Allah berfirman, lalu ciptaan itu hadir sebagai respons terhadap firman-Nya. Demikian juga manusia, hadir untuk merespons firman-Nya sebagai pribadi. Inilah makna dari seluruh ciptaan (the meaning of creation). Kejatuhan manusia di Kejadian 3 justru melanggar hal ini, manusia yang seharusnya taat kepada perintah Allah, taat menjalankan apa yang Allah kehendaki, justru meragukan dan mencurigai Allah, serta melakukan apa yang dilarang oleh Allah – tidak merespons firman-Nya dengan benar. Manusia menyangkali makna keberadaannya dan kehilangan nilai hidupnya. Jadi, di manakah nilai hidup kita? Di dalam mengembalikan makna keberadaan kita sebagai manusia, hidup kita kembali bernilai. Hidup kita yang sudah ditebus seharusnya dipenuhi dengan ketaatan kepada firman Tuhan, kegigihan menjalankan kehendak Tuhan, dan keseriusan menyatakan Tuhan dalam segala aspek kehidupan kita.

Warisan kecurigaan terhadap Allah masih terus hadir dalam benak kita. Kita curiga Allah kurang “becus” merancang hidup kita, kita curiga Allah tidak membela kita dan memberikan yang terbaik bagi kita, kita curiga Allah kurang bijaksana menentukan masa depan kita, dan sebagainya. Kita kemudian mencoba mengambil alih kendali hidup ini, tidak lagi taat kepada kehendak Allah, mencari jalan sendiri, menentukan masa depan kita sendiri yang kita pikir jauh lebih baik daripada merespons dan mengikuti apa yang Allah mau. Alkitab mengatakan, di luar Allah hidup kita sia-sia adanya dan menuju kebinasaan.

Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Dialah Pencipta kita. Dia tidak pernah salah menciptakan kita. Dia tidak pernah salah menyusun struktur tubuh kita. Dia tidak pernah salah menyusun masa depan hidup kita. Dia tidak pernah salah memberikan arti nilai hidup kita. Maka marilah kita kembali kepada yang asli, yang sesungguhnya, menyatakan bahwa Dia Pencipta kita dan kita adalah ciptaan yang bergantung mutlak kepada-Nya. Selalu tunduk kepada firman-Nya, tak pernah meragukan perintah-Nya, tak pernah mempertanyakan alasan-Nya, hidup hanya belajar tunduk, tunduk, dan tunduk kepada firman-Nya. Di situlah kita menemukan jati diri kita dan arti nilai hidup kita yang sesungguhnya. Inilah keagungan seorang manusia – menyatakan dan memuliakan Allah selama-lamanya. Soli Deo Gloria.

dr. Diana Samara
Pembina FIRES