DEATH or ALIVE

Dunia menjadi heboh dengan berita kematian Osama bin Laden pada awal bulan Mei lalu. Berbagai macam stasiun televisi berlomba-lomba memberitakan berita yang terbaru dan paling lengkap mengenai detail peristiwa tersebut. Namun ada satu pembaca berita yang menarik perhatian banyak orang. Apa yang istimewa di dalam beritanya? Karena dia salah mengucapkan nama “Osama” menjadi “Obama”, Presiden Amerika Serikat saat ini. Banyak orang pun berkomentar mengenai kesalahan yang dia lakukan. Ada yang berspekulasi dia pasti dipecat, dan kalau tidak dipecat pun dia akan merasa sangat malu. Ada juga yang berpikir bahwa dia membaca berita seperti mesin, yang sudah sangat lancar dan spontan serta tidak lagi memikirkan apa yang dia ucapkan.

Berdasarkan kasus sederhana namun penting ini, penulis ingin mengajak para pembaca untuk memikirkan kembali bagaimana kita berbicara, terutama berbicara kepada Tuhan. Apakah mungkin selama hidup kita, kita berbicara kepada Tuhan seperti seorang pembaca berita, yang hanya membacakan kalimat-kalimat yang di depan mata, atau mungkin yang sudah terekam dalam pikiran kita, tanpa memikirkan makna di balik kalimat-kalimat sederhana namun penting tersebut? Artikel ini bukan menyajikan sebuah theologi yang komprehensif mengenai doa, dan secara motivasi ini tidak ditulis untuk menambahkan informasi lain ke dalam otak kita. Tulisan ini akan mengajak kita untuk merefleksikan kembali bagaimana kehidupan doa kita selama ini.

Di dalam kita berdoa, sering kali kita mengucapkan kalimat-kalimat yang bahkan kita sendiri tidak mengerti kalau orang lain bertanya mengapa kita mengucapkan kalimat tersebut. Namun kita cenderung mengutarakannya karena dengan adanya kalimat-kalimat tersebut, doa kita akan lebih indah, lebih berbentuk, lebih Alkitabiah, atau mungkin supaya terdengar lebih “Reformed”. Tapi apakah yang sebenarnya Alkitab katakan tentang hal doa ini? Yesus menyuruh murid-murid-Nya supaya tidak bertele-tele dalam berdoa seperti yang dilakukan orang-orang yang tidak mengenal Allah (Matius 6:7). Mengapa? Karena Bapa di sorga sudah mengetahui apa yang manusia perlukan, bahkan sebelum kita meminta kepada-Nya.

Lalu bagaimana dengan contoh kehidupan doa Yesus sendiri? Kitab Yohanes menggunakan seluruh pasal 17 untuk mencatat doa Yesus. Apakah Tuhan kita ini boros sampai menghabiskan satu pasal hanya untuk doa-Nya? Mengapa tidak berisi perintah-perintah lain untuk menuntun hidup murid-murid-Nya? Di bagian lain, Matius 14 mencatat kisah Yesus memberi makan lima ribu orang. Setelah selesai makan, kita bisa mengasumsikan saat itu sekitar pukul 8-10 malam, Yesus menyuruh murid-murid-Nya menyeberang dahulu, lalu Dia naik ke atas bukit untuk berdoa. Dia baru datang lagi kepada murid-murid-Nya sekitar jam 3 pagi. Mengapakah Yesus berdoa begitu lama, hingga sekitar lima jam? Apa sajakah yang Dia doakan? Yang terakhir ketika Yesus ada di Taman Getsemani sebelum Dia ditangkap dan disalibkan. Yesus menyuruh murid-murid-Nya untuk berjaga-jaga ketika Dia sedang berdoa. Alkitab mencatat Yesus berdoa selama satu jam, dan itu diulanginya sebanyak tiga kali. Apakah Yesus sendiri plin-plan? Bukankah Dia sendiri berdoa bertele-tele?

Pada saat ini kita bisa menyetujui kalau bertele-tele itu bukan masalah waktu, karena Yesus menggunakan waktu yang sangat panjang untuk berdoa. Kalau doa yang panjang disebut bertele-tele, maka Yesus sudah sangat bertele-tele dalam berdoa. Dan kalau Yesus berdoa sampai sedemikian lama, bukankah kita harusnya berdoa lebih lama, karena Yesus adalah Anak Manusia yang tidak berdosa sedangkan kita manusia berdosa? Maka kita pun akan lebih bertele-tele lagi. Tapi bukan itu yang dimaksud dengan bertele-tele.

Doa yang bertele-tele adalah doa yang hanya mempunyai satu pesan tapi menggunakan bermacam-macam kalimat untuk menyampaikan pesan tersebut. Kalimat yang beraneka ragam tersebut bukan kalimat-kalimat yang melihat pesan tunggal tersebut dari berbagai aspek, tapi simply kalimat-kalimat yang sengaja diucapkan supaya doanya terlihat lebih rapi, lebih baik, lebih sopan, dan terdengar lebih hormat kepada Allah, tapi sebenarnya isinya kosong karena diucapkan bukan dengan sikap hati yang benar. Bagaimana bisa mengetahui apakah seseorang sudah mengucapkan kalimat-kalimat doanya dengan sikap hati yang benar atau salah? Penulis akan mengutip beberapa kalimat yang sudah sering sekali diucapkan oleh orang Kristen, dan mencoba untuk memaparkan arti yang Alkitab sodorkan di balik kalimat-kalimat tersebut.

“Allah Bapa yang bertakhta di dalam Kerajaan Sorga”
Kita seringkali memakai kalimat ini untuk memulai doa kita. Dan mungkin dalam setiap doa kita, baik itu doa pribadi maupun ketika kita mewakili orang lain berdoa, kita selalu mengucapkan kalimat ini. Ada sebuah teori, atau mungkin lebih baik dikatakan sebagai panduan, di dalam berdoa yang disebut ACTS – Adoration (pujian), Confession (pengakuan dosa), Thanksgiving (ucapan syukur), Supplication (permintaan). Panduan ini menekankan agar kita mengucapkan kalimat-kalimat pujian kepada Allah, sebelum mengaku dosa dan bahkan meminta, untuk menyatakan betapa besar, mulia, dan agungnya Tuhan kita. Dan kalimat di ataslah yang sering kita pakai atau kita dengar untuk menyatakan pujian kita kepada Tuhan Allah.

Namun di dalam motivasi yang baik tersebut, kalimat ini sudah menjadi terlalu sering diucapkan dan didengar tanpa pernah mendapat makna yang seharusnya. Pernahkah kita memikirkan arti di balik satu per satu kata di dalam kalimat tersebut? Mungkin kita mempunyai pengertian theologis yang mendalam mengenai istilah “Allah Bapa”, namun apakah kita sudah menyadari implikasi dari sebutan tersebut, beserta kata-kata lain yang mengikutinya?

Ketika kita menyebut “Allah”, itu berarti kita “manusia”. Sederhana, tapi juga serius. Kita harus sadar kepada siapa kita berdoa. Kita sering mendengar John Calvin mengawali dan menekankan theologinya di dalam pengenalan akan Allah (knowledge of God) dan pengenalan akan diri (knowledge of self). Biarlah pengetahuan ini tidak menjadi sia-sia di dalam otak kita, tapi bisa kita aplikasikan bahkan dalam hal berdoa. Apakah setiap kali kita berdoa, kita sudah sadar bahwa kita berdoa kepada Allah, dan oleh karena itu, kita sebagai manusia harus bersikap rendah hati bahkan sebelum kita memanggil-Nya dalam doa? Pernahkah kita gemetar ketika kita menyebut nama-Nya mengingat bahwa kita begitu kecil, hina, dan berdosa, sedangkan Allah begitu agung, mulia, dan kudus? Sudahkah kita berhati-hati menyebut nama-Nya mengingat bahwa kita tidak diperbolehkan menyebut nama-Nya dengan sembarangan?

Allah juga bertakhta di dalam Kerajaan Sorga. Kitab Wahyu memberikan deskripsi takhta Allah di sorga dengan sangat jelas. Dari takhta Allah keluarlah kilat dan bunyi guruh yang menderu (Wahyu 4:5). Bahkan ketika Anak Domba mengambil gulungan kitab yang dimeterai dengan tujuh meterai, 24 tua-tua yang mengelilingi takhta itu tersungkur (Wahyu 5:8). Yesaya melihat Tuhan duduk di atas takhta-Nya dan jubah-Nya memenuhi Bait Suci (Yesaya 6:1) dan mengatakan, “Celakalah aku! Karena aku najis bibir dan telah melihat Sang Raja!” Takhta Tuhan tidak digambarkan seperti lapangan bermain anak-anak atau padang rumput yang hijau dengan airnya yang menyegarkan.
Takhta Tuhan dan Kerajaan Sorga digambarkan dengan begitu mengerikan. Yesus mengatakan bahwa hari kedatangan-Nya akan seperti kilat yang memancar dari ujung langit yang satu ke ujung langit yang lain (Lukas 17:24). Siapakah kita manusia? Kita adalah seperti hamba yang datang ke hadapan raja. Hamba itu akan dihukum jikalau dia melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada rajanya. Kita pun harus belajar seperti apa Kerajaan Sorga itu sebenarnya, sehingga kita bisa berdoa dengan lebih gentar dan takut di hadapan Tuhan.

“Kami mohon kehadiran Tuhan di tengah-tengah kami”
Betapa sering kalimat ini juga diucapkan tanpa perenungan yang dalam akan makna di baliknya. Apakah itu kehadiran Tuhan? Seperti apakah wujud nyata dari kehadiran Tuhan? Apakah manusia boleh meminta Tuhan hadir? Ataukah Tuhan sendiri yang berhak memutuskan Dia hendak hadir di mana? Tapi jikalau Tuhan ada di mana-mana, untuk apakah kita memohon kehadiran Tuhan lagi?

Di dalam sejarah Perjanjian Lama, Tuhan sendiri yang menentukan kehadiran-Nya di dalam kehidupan manusia. Tuhan hadir di mana-mana karena Dialah Pencipta alam semesta namun Tuhan juga hadir secara khusus di dalam menyatakan kehendak kekal-Nya. Ini sudah dinyatakan di dalam kitab pertama Perjanjian Lama. Tuhan hadir di Taman Eden untuk mencari Adam yang berdosa dengan bertanya “Di manakah engkau?” Bukan Adam yang meminta kehadiran Tuhan untuk menolongnya keluar dari dosa, tapi Tuhan sendiri yang mau hadir. Dan ketika Tuhan hadir, Adam dan Hawa begitu ketakutan sampai harus bersembunyi karena sadar mereka sedang telanjang. Kehadiran Tuhan menyatakan realitas keberdosaan manusia sehingga manusia harus mau tidak mau gentar berhadapan dengan Tuhan.

Tuhan juga khusus menyatakan kehadiran-Nya di dalam mimpi kepada Yakub ketika dia tidur di Betel; Tuhan hadir dalam penglihatan semak yang terbakar kepada Musa; Tuhan hadir dan bersemayam di dalam Kemah Suci ketika bangsa Israel berjalan mengelilingi padang gurun. Nabi-nabi seperti Daniel tersungkur sampai hampir pingsan ketika dia menyaksikan penglihatan dari Tuhan. Di dalam Perjanjian Baru, peristiwa transfigurasi Yesus membuat wajah-Nya bersinar-sinar dan murid-murid tidak bisa bertahan melihat-Nya. Tuhan hadir ketika Stefanus memberitakan Injil dalam pengadilan dan semua orang yang hadir melihat muka Stefanus bagaikan malaikat. Tuhan hadir dalam hidup Paulus ketika dia sedang dalam perjalanan ke Damsyik dan akhirnya dia mau tidak mau sadar akan dosanya dan bertobat.

Kehadiran Tuhan menyatakan dampak atau perubahan yang radikal. Ketika Tuhan hadir, bangsa Israel menang perang. Ketika Tuhan meninggalkan mereka, bangsa Israel dibawa ke dalam pengasingan. Sudahkah kita serius ketika meminta kehadiran Tuhan? Apa yang kita harapkan ketika kita mengucapkan doa tersebut? Mungkinkah kita berdoa seperti Musa “jikalau Tuhan tidak hadir dan menyertai bangsa Israel, satu langkah pun aku tidak akan bergerak, sekalipun diiringi oleh malaikat”?

Pada akhir zaman, ketika Tuhan Yesus datang untuk yang kedua kalinya, setiap lutut akan bertelut, setiap lidah akan mengaku bahwa Yesuslah Tuhan. Seluruh bumi akan sujud menyembah Sang Anak Allah yang Kudus. Tidak ada satu dosa pun yang akan luput. Tidak ada satu jiwa pun yang tidak akan dihakimi. Sudahkah kita siap menantikan kehadiran Tuhan yang bagaikan api yang menghanguskan? Ketika di dalam ibadah setiap minggu, kita berdoa untuk meminta kehadiran Tuhan, mengapa masih ada yang tidak datang tepat waktu? Masihkah kita berani untuk tidak menghormati Tuhan yang hadir di dalam ibadah? Biarlah kita terus mempersiapkan diri di dalam menanti kehadiran Tuhan di dalam hidup kita, terutama ketika Dia ingin menyatakan kehendak-Nya yang kekal dan agung.

Kiranya melalui perenungan singkat ini, kita semakin bersungguh-sungguh di dalam kita berdoa, baik ketika kita berdoa sendiri maupun mewakili orang banyak untuk menghadap Tuhan. Biarlah kita terus memikirkan dengan serius kalimat-kalimat yang akan kita utarakan. Jangan sampai kita menjadi mesin pembaca berita tanpa benar-benar menghayati doa kita sendiri. Pada akhirnya, mungkin kita tidak berdoa sama sekali atau mungkin kita justru berdosa dalam berdoa. Biarlah tulisan sederhana ini menolong kita sehingga doa kita tidak kaku dan mati, melainkan menjadi doa yang hidup karena relasi kita yang hidup dengan Sumber Segala Kehidupan. Perenungan dan keputusan kembali ke tangan kita masing-masing. Is your prayer dead or alive?

Darwin Kusuma
Pemuda GRII Singapura