Tidak ada seorang pun yang suka dengan kehidupan penuh tragedi atau kecelakaan. Bayangkan betapa menyakitkannya ketika ketulusan kita dibalas dengan kejahatan, kesetiaan dibalas dengan pengkhianatan, keramahan dibalas dengan kekejaman, dan kejujuran dibalas dengan dusta. Kehidupan yang seperti ini adalah kehidupan yang begitu malang. Namun di dalam Alkitab tercatat satu kisah yang demikian, yaitu kisah kehidupan Nabi Hosea. Ia harus menghadapi sebuah kenyataan pahit, yaitu ketika janji pernikahan yang telah dibuat harus rusak saat istrinya mengkhianati perjanjian tersebut. Yang lebih ironis, pernikahan ini adalah pernikahan seorang nabi yang telah merendahkan dirinya sedemikian rupa untuk mengambil seorang pelacur menjadi istrinya. Lebih jauh lagi, sebelum mereka menikah, nabi ini telah diberitahukan bahwa kehidupan pernikahannya tidak akan happily ever after, melainkan ia akan mengalami kesengsaraan demi kesengsaraan. Namun, demi menggenapkan perintah Tuhan, dia menjalani pernikahan ini. Ia mengambil Gomer sebagai istrinya dan mengasihinya dengan sepenuh hatinya. Ia tetap mengadakan perjanjian pernikahan dengan Gomer meski tahu Gomer bukanlah seorang perempuan yang setia.
Biasanya suatu perjanjian dibuat agar tidak ada yang dirugikan dari segala pihak. Namun, hal itu tidak terjadi pada perjanjian pernikahan Hosea dan Gomer. Sama halnya seperti perjanjian yang dibuat oleh Tuhan dengan umat manusia. Perjanjian atau covenant yang dibuat Tuhan, sama sekali tidak menguntungkan Tuhan. Bayangkan ada seorang yang sudah kecanduan alkohol berat dan selalu melukai kita saat dia mabuk. Akankah kita percaya dan membuat perjanjian dengannya padahal kita tahu dengan jelas bahwa ia akan mengulangi hal yang sama dan melukai kita berulang kali? Bukankah itu adalah suatu tindakan yang bodoh? Tetapi perjanjian seperti inilah yang dibuat oleh Tuhan dengan umat manusia. Terlebih lagi, inisiatif covenant ini dimulai dari Tuhan sendiri. Padahal Tuhan tidak perlu melakukan hal itu. Tuhan sangat berhak untuk membuang kita. Tuhan berhak penuh menghukum kita, karena kita adalah ciptaan yang sudah rusak, merugikan, dan bahkan tidak berguna oleh karena dosa. Namun kasih Allah yang amat besar telah membuat covenant ini ada bahkan sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Covenant ini kembali diwahyukan secara progresif pada masa Nabi Nuh hingga penggenapannya di dalam diri Kristus.
Pada masa Nabi Hosea, kita juga diingatkan kembali bahwa Allah telah berinisiatif membuat perjanjian tersebut dengan bangsa Israel ketika membebaskan mereka keluar dari tanah Mesir. Tragisnya, Allah yang begitu setia dan tidak pernah berubah inilah yang ditinggalkan oleh bangsa Israel ketika mereka sampai ke Tanah Perjanjian. Bangsa Israel memakai semua anugerah dari Tuhan untuk mengkhianati-Nya. Mereka menyembah Dewa Baal dengan mempersembahkan segala berkat yang mereka terima dari Tuhan YHWH: hasil panen, emas, perak, bahkan anak mereka sendiri pun dipersembahkan kepada Baal. Bangsa Israel saat itu seakan tidak menyadari bahwa semua persembahan itu berasal dari Tuhan. Zaman itu adalah zaman yang begitu kacau dan penuh kekejian di mata Tuhan, tetapi mereka tidak menyadarinya. Ibarat kita yang berada di dalam wilayah yang penuh dengan polusi, tetapi kita tidak sadar sedang menghirup udara yang kotor itu. Ketika kita keluar dari wilayah berpolusi ke wilayah tanpa polusi, baru kita menyadari betapa bodohnya kita selama ini yang telah nyaman berada dalam wilayah penuh polusi tadi.
Kehidupan bangsa Israel ini adalah kehidupan dari orang-orang yang tidak menghargai atau mensyukuri anugerah Tuhan. Mereka bukannya bersyukur dan memuliakan Tuhan, justru hidup mereka malah mendukakan hati Allah. Hal yang sama perlu kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Sebagai orang percaya, kita telah mendapat begitu banyak anugerah dari Tuhan, tetapi apa yang kita perbuat dengan semuanya itu? Apa yang menjadi respons kita di hadapan Allah? Apakah pernah kita memakai kemampuan kita, waktu kita, tubuh kita untuk menjalankan kehendak Allah? Atau bahkan mungkin kita sering memakai segala anugerah Tuhan itu untuk memuaskan diri kita saja? Jika ya, hal-hal demikian tidaklah menyatakan diri kita sebagai umat Allah. Ketika kita hidup bukan bagi Allah, kita sedang mengingkari identitas kita sebagai umat Allah. Pengingkaran identitas ini serupa dengan zaman Hosea. Kita memakai anugerah dari Tuhan, topangan tangan Tuhan untuk bisa menyembah berhala kita. Kita memakai waktu kita untuk “ilah kenyamanan” kita. Kita membuang kesempatan yang kita miliki karena kemalasan kita. Kita membuang semuanya untuk hal-hal lain selain menyembah Allah. Inilah bentuk-bentuk pengingkaran identitas sebagai umat Allah pada zaman ini. Nabi Hosea dibangkitkan pada kondisi umat Allah yang seperti ini.
Nabi Hosea dibangkitkan pada zaman pemerintahan Raja Yerobeam II. Zaman di mana baik Israel maupun Yehuda bisa menjalani masa ketenangan. Begitu tenangnya, sehingga mereka terlena dan tidak lagi memperhatikan keberadaan Allah yang terus memperhatikan kehidupan mereka. Dalam pemerintahan Raja Yerobeam II, begitu banyak rakyat yang menyembah berhala, menyumpah, membunuh, berdusta, mencuri, dan berzinah. Perbuatan-perbuatan dosa ini saja sudah melanggar setengah dari 10 Hukum Allah yang diberikan kepada umat Israel pada zaman Musa. Kehidupan orang Israel saat itu benar-benar mencerminkan keberdosaan manusia. Begitu rusaknya hidup manusia sehingga tidak menyadari baik belas kasihan maupun anugerah Allah. Manusia berdosa selalu merasa dirinya mempunyai kuasa, kemampuan, dan hak untuk hidup serta hak untuk menentukan hidup.
Pada masa itu, mereka juga diperhadapkan kepada dua pilihan. Pilihan pertama, jika mereka mau posisi mereka tetap aman, mereka harus berkoalisi dengan negara yang superpower saat itu yaitu Asyur. Pilihan kedua, mereka bisa terancam setiap saat Asyur akan memperluas daerah mereka. Asyur adalah suatu kerajaan besar yang memiliki kemampuan berperang tidak tertandingi. Mereka juga mempunyai banyak wilayah kekuasaan. Secara logika, wajar jika berkoalisi dengan Kerajaan Asyur. Secara kasat mata, Kerajaan Israel saat itu memang tidak bisa melihat bahwa dalam 100 tahun mendatang, Asyur akan hancur oleh sebuah kerajaan yang kecil yaitu Babel. Mereka berpikir bahwa yang bisa menyelamatkan mereka adalah yang kelihatan di depan mata; mereka lupa atau bahkan mengabaikan adanya pertolongan yang datang dari Allah yang tidak kelihatan.
Hal ini sama dengan diri kita. Sering kali kita mengatakan bahwa Tuhan Yesus adalah Juruselamat kita, tetapi yang bisa menenangkan kita adalah “Asyur” yang kelihatan, misalnya uang, gelar, karir, keluarga, anak, dan lain-lain. Ada pepatah Jerman yang mengatakan bahwa uang tidak menyelamatkan, tetapi uang menenangkan. Kita merasa perlu pegangan yang terlihat dalam hidup kita ini. Memang Tuhanlah yang menyelamatkan di akhirat nanti, tetapi yang memberikan ketenangan selama di dunia ini bukanlah Tuhan. Secara praktis, kita sebenarnya berpikir bahwa yang kelihatan lebih kuat dan berkuasa daripada Allah yang tidak kelihatan. Karena itulah kita berjuang bekerja atau sekolah sekuat tenaga untuk mendapatkan uang demi mempertahankan hidup kita. Bangsa Israel saat itu juga hanya memikirkan bagaimana bertahan hidup atau mendapatkan kenyamanan hidup. Mereka memilih untuk berasimilasi dengan kebudayaan orang Asyur dan melupakan identitas mereka sebagai umat Allah, dengan alasan untuk bertahan hidup. Hal ini pun terjadi dengan umat Allah pada zaman ini, banyak orang yang memilih untuk berkompromi dengan dunia ini dibanding mempertahankan prinsipnya hidup sebagai orang yang sudah ditebus oleh Allah. Banyak orang yang berpikir bahwa mempertahankan prinsip sebagai orang Kristen tidak dapat menjadikan kita bertahan menghadapi tantangan dunia. Akibatnya, mereka memilih untuk mengikuti arus dunia dan mengabaikan identitas hidupnya sebagai orang Kristen. Inilah ironi yang terus terjadi di sepanjang sejarah umat Allah.
Di tengah kondisi umat Allah yang menyedihkan ini, Hosea diutus Allah untuk menegur umat Israel dan Yehuda. Kehidupannya dengan Gomer dan nama anak-anaknya melukiskan sikap Allah terhadap umat Israel yang telah melacur. Anaknya yang bernama Lo-Ami, yang artinya “bukan umat-Ku”, seolah menggambarkan Allah yang tidak lagi peduli dengan Israel. Seolah Allah hendak melepaskan perjanjian-Nya dengan Israel. Anak Hosea yang terakhir, Lo-Ruhama melukiskan Allah yang tidak lagi menyayangi Israel dan tidak akan lagi mengampuni mereka.
Awalnya memang orang Israel berespons terhadap teguran Hosea. Mereka akhirnya menyembah Allah YHWH dan mempersembahkan korban kepada-Nya. Segala ritual mereka jalankan dengan begitu baik dan setia. Namun, mereka juga tetap rajin serta setia menjalankan ritual mereka kepada Baal. Itulah kecelakaannya. Mereka tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya Allah. Mereka mencari yang kedua. Mereka mencari yang lain. Mereka akhirnya bercabang hati kepada ilah yang lain juga.
Bercabangnya hati Israel digambarkan dalam relasi Hosea dengan Gomer. Seharusnya, dalam relasi suami istri terlukiskan suatu relasi yang intim, eksklusif, tidak berbagi, dan tidak akan mencari ketenangan dari orang lain. Kalau salah satu pihak mencari ketenangan dari orang lain, hal ini dinamakan perselingkuhan atau perzinahan. Inilah gambaran relasi antara Israel dan Allah, mereka berulang kali melacurkan hati mereka kepada ilah lain, padahal mereka sudah diikat dalam perjanjian dengan Allah.
Demikian juga hati kita di hadapan Tuhan Allah. Hati kita begitu licik dan begitu mudah melacur. Hati kita begitu mudah untuk berpaling dari Allah, tetapi di sisi lain kita pun tetap sadar kalau kita tetap memerlukan Allah. Sehingga di satu sisi kita tidak berani untuk bercerai dari Allah, karena kita tahu bahwa tanpa Allah kita tidak bisa mempunyai keselamatan. Tetapi di sisi lain kita tetap memiliki kecenderungan hati untuk menyembah kepada ilah lain yang kita anggap menyenangkan hati kita. Kita tidak rela untuk memberikan hati kita sepenuhnya, secara total kepada Allah. Hati kita terus bercabang, kita hidup menjadi seorang yang munafik.
Inilah sumber kata munafik yang tercermin melalui keluarga Hosea. Gomer yang menikah dengan Hosea tidak dapat memercayakan seluruh hidupnya hanya kepada Hosea saja. Waktu itu merupakan suatu hal yang umum untuk mencari penghasilan dengan cara melacur. Orang tua memberikan anak perempuannya, suami memberikan istrinya ke tempat pelacuran “suci” di kuil-kuil Baal untuk mendapatkan uang. Gomer mendapat kehormatan untuk menikah dengan seorang nabi, namun ia tidak merasa bisa hidup cukup dari Hosea saja. Sikap hati yang sama sering kali muncul di dalam hati orang percaya. Kita merasa Allah tidak dapat mencukupi keinginan hati kita. Maka akhirnya kita “melacurkan” diri dan mencari kepenuhan hati dari tempat lain atau ilah lain. Kita merasa hidup bercabang seperti ini dapat menenangkan hati kita, namun kita tidak bisa merasa tenang menggantungkan hati kita hanya kepada Allah saja. Inilah ironi dari kehidupan umat Allah yang sering kali terjadi, menyembah Allah sambil menyembah ilah, mencari Allah sambil mencari ilah, dan memuji Allah sambil memuja ilah.
Mengapa kita sering merasa Allah tidak cukup? Bukankah kita mengenal Dia sebagai Allah yang setia? Allah yang setia ini telah berjanji, “Aku tidak akan meninggalkan engkau. Sekali-kali aku tidak akan membiarkan engkau.” Tetapi kita tetap sering merasa Allah saja tidak cukup. Kita sering menginginkan yang lain. Ketidakpuasan ini membuat kita tidak pernah merasakan Allah yang berdaulat atas hidup kita. Kita selalu merasa tidak tenang bahkan di hadapan Allah sekalipun. Sebenarnya, kecondongan hati kepada yang lain atau hati yang selalu bergeser ini berasal dari ketidakpercayaan kita kepada Allah.
Kisah relasi Hosea dan Gomer ini menjadi refleksi yang sangat penting bagi kita sebagai umat Allah. Kehidupan Gomer merupakan gambaran yang sangat tepat mengenai kisah hidup kita sebagai umat Allah. Ketika kita bertobat kepada Allah, tidak serta-merta kita rela untuk hidup bagi Allah. Di dalam hati kita masih ada ambisi diri yang berdosa, bahkan kita masih sering menjadikan Allah sarana dalam mencapai keinginan kita. Kita terus memikirkan untung dan rugi dalam mengikut Allah. Karena itulah, jika kita masih berpikir seperti demikian, sesungguhnya kita tidak pernah benar-benar mengikut Tuhan. Pada dasarnya, kita masih belum rela tunduk di bawah otoritas Allah. Kita hanya ingin memperalat Allah. Kita bukan ingin menjadikan Allah otoritas tertinggi dalam hidup kita; kita tidak ingin Allah menjadi Tuhan atas hidup kita.
Dalam Kitab Hosea, Allah telah melukiskan perasaan-Nya secara mendalam. Ia menggambarkan perasaan-Nya yang terkhianati oleh umat-Nya yang melacur seperti pasangan yang dikhianati, seperti orang tua yang dilawan dan ditinggalkan anaknya. Kita bisa membayangkan perasaan seorang suami yang menunggu istri tidak kunjung pulang, dan ia jelas tahu apa yang sedang istrinya lakukan di luar. Atau seperti perasaan seorang ayah sedang melihat foto anaknya yang telah meninggalkan rumah. Dalam Hosea 11:8, Allah seakan berteriak mengatakan, “Hai Israel, tak mungkin engkau Kubiarkan atau Kutinggalkan. Mungkinkah engkau Kumusnahkan? Tak tega hati-Ku melakukan hal itu, karena cinta-Ku terlalu besar bagimu!”
Kitab Hosea menggambarkan hati Allah yang benci terhadap umat-Nya yang terus berkhianat, tetapi di satu sisi tetap sangat mengasihi mereka. Alkitab dengan jelas menggambarkan sejarah kehidupan umat Allah yang jatuh bangun bahkan ditinggalkan Allah. Namun, kita pun dapat melihat Allah yang terus mengasihi anak-anak-Nya yang sudah berkhianat ini. Ia bahkan berinisitatif mengambil suatu tindakan untuk membawa anak-anak-Nya kembali kepada-Nya, salah satunya adalah dengan mengirimkan nabi-nabi-Nya untuk menyatakan teguran sekaligus ajakan untuk kembali kepada Allah.
Maka pada masa ini kita dapat melihat bukan hanya Allah mengutus nabi-nabi-Nya, Ia bahkan mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menebus umat-Nya. Kedatangan Anak Allah ke dunia, tidak ada sedikit pun untuk diri-Nya. Yesus datang untuk menggenapkan kehendak Allah Bapa. Sehingga kita yang bisa percaya kepada-Nya, menjadi umat-Nya yang terpilih, bangsa yang kudus, dan menjadi milik kepunyaan Allah sendiri. Yang dahulu tidak dikasihani, tetapi sekarang telah beroleh belas kasihan. Melalui penebusan Kristus, kita dipanggil kembali untuk setia mengikut Tuhan.
Di dalam pertengahan Kitab Hosea, Allah berfirman, “Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” Yang Allah inginkan bukanlah perbuatan yang terlihat saja, ataupun sekadar pengetahuan tentang-Nya. Tetapi Ia ingin umat-Nya benar-benar mengenal-Nya dan mengenal kasih-Nya. Hidup kita, yang benar-benar mengasihi-Nya dan benar-benar mengenal-Nya, ditandai dengan hidup yang berjalan mengikut Tuhan Allah saja di dalam segala aspek hidup kita.
Saat Tuhan telah memanggil dan kita memutuskan untuk mengikut Dia, kita harus memiliki tekad yang bulat untuk pergi sesuai kehendak-Nya dan tidak ada momen berbalik arah lagi. Otoritas Allah dan kebenaran-Nya menguasai dan memimpin keseluruhan hidup kita. Hidup kita yang berdosa diubahkan oleh kebenaran-Nya. Kalau sudah tahu bahwa sesuatu itu salah, tinggalkan. Kalau sudah tahu mana yang benar, jalankan. Tidak peduli berapa harganya, berapa pengorbanannya, berapa sakitnya, kita jalankan. Inilah kesetiaan kepada Allah. Demikianlah semangat dalam Gerakan Reformed Injili. Semangat seperti ini merupakan warisan perjuangan yang telah diteruskan sejak zaman Gereja Mula-mula. Para rasul berjuang secara total. Mereka berjuang sampai mati, demikian halnya jemaat Gereja Mula-mula. Berikan totalitas hidup bagi Tuhan.
Namun, apa yang mampu menggerakkan kita mempersembahkan hidup yang demikian? Cinta kasih yang sejati dari Allah. Kita yang telah mengenal cinta kasih Tuhan akan didorong untuk hidup oleh cinta kasih Tuhan ini. Ketika cinta kasih Tuhan yang mendorong, maka segala pelayanan, segala kesempatan, dan segala anugerah akan kita kerjakan dan pakai sesuai dengan apa yang Tuhan suka. Gerakan Refomed Injili mengundang semua umat Allah dari berbagai tempat dan waktu untuk mempunyai hati yang total untuk kembali kepada kebenaran Alkitab secara total. Kapan kita mengerjakan apa, apa yang menjadi kehendak Allah, apa yang harus kita kejar, semuanya ini berada dalam tuntutan hidup bagi diri kita. Kasih ini pun akan mendorong diri untuk menyangkal diri dan bertumbuh dalam mengikut Tuhan. Pdt. Stephen Tong pernah berkata, “Memaksa diri untuk rela dan rela untuk memaksa diri.” Maka tidak ada lagi kalimat yang mengatakan, “Saya mau ikut Tuhan, tetapi… saya maunya ini dan itu…”
Beranikah kita membawa seluruh hidup kita, seluruh ilmu yang telah kita pelajari, dan segala anugerah yang telah kita terima untuk dapat menyatakan diri kita sebagai umat Allah? Mari kita merenungkan sampai hari ini, apakah yang membuat hati kita terus melacur? Apakah yang membuat saya tidak percaya kepada Allah sepenuhnya? Apakah yang menghalangi saya hanya bergantung kepada Allah saja? Mari kita bertobat dan terus memandang kepada Allah, agar kita tidak menjadi orang Israel modern yang terus melacur. Sehingga kita tidak hanya mengetahui bagaimana sukses di dunia ini, tetapi menjadi pemuda/i yang dapat sukses menggenapkan kehendak Tuhan. Seperti sebuah lagu yang telah sering kita dengar sejak masa Sekolah Minggu dahulu. Follow Jesus, no turning back. even alone, I still will follow.
I have decided to follow Jesus;
I have decided to follow Jesus;
I have decided to follow Jesus;
No turning back, no turning back.
Tho’ none go with me, I still will follow;
Tho’ none go with me, I still will follow;
Tho’ none go with me, I still will follow;
No turning back, no turning back.
My cross I’ll carry, till I see Jesus;
My cross I’ll carry, till I see Jesus;
My cross I’ll carry, till I see Jesus;
No turning back, no turning back.
The world behind me, the cross before me;
The world behind me, the cross before me;
The world behind me, the cross before me;
No turning back, no turning back.
Thressia Hendrawan
Pemudi FIRES
Referensi:
Khotbah-khotbah di FIRES.
http://thirdmill.org.
https://thebibleproject.com.