“Tetapi perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak, asal ia bertekun dalam iman dan kasih dan pengudusan dengan segala kesederhanaan.” 1 Timotius 2:11-15
Peran perempuan dalam keluarga sering dipandang sebelah mata oleh masyarakat atau kurang dipahami dengan tepat dari sudut kacamata kebenaran Alkitab. Ketika berbicara secara spesifik tentang peran seorang wanita dalam keluarga, maka melahirkan, merawat dan membesarkan anak dapat dikatakan menjadi beban utama para ibu. Hal ini telah ditetapkan Allah sebagai bagian dari kebaikan ciptaan. Namun, sejak dosa masuk ke dalam dunia, hukuman Allah menjadikan tugas wanita dalam keluarga diwarnai dengan kesulitan dan kesakitan yang mendalam, baik itu dari dalam maupun dari luar. Kebudayaan yang berdosa mengarahkan wanita untuk menganggap rendah panggilan awal yang Allah berikan dalam melahirkan dan membesarkan anak dalam keluarga. Melalui pembahasan Alkitab dari 1 Timotius 2:11-15, Allah menyatakan bahwa anugerah keselamatan-Nya dikerjakan-Nya melalui ketekunan wanita menjalankan perannya dalam melahirkan dan membesarkan anak meskipun bertentangan dengan pemikiran masyarakat yang berdosa. Kiranya tulisan ini dapat mengarahkan kita kembali kepada rencana Allah yang indah bagi para ibu.
Persoalan Masyarakat dan Cara Pandang Wanita
Dunia saat ini diperhadapkan dengan persoalan masyarakat yang tidak terlepas dari pandangan wanita terhadap kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Statistik menunjukkan tren populasi yang semakin menua (aging population) yang telah membawa dampak sosial serius seperti berkurangnya penduduk dengan usia kerja produktif dibandingkan dengan penduduk pensiun[1]. Hal ini dapat menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi, meningkatkan harga dan kebutuhan tenaga medis khususnya untuk populasi yang lebih tua. Negara-negara di Eropa diproyeksikan akan menghadapi penurunan demografis yang nyata, yakni berkurang sebanyak 27.3 juta jiwa pada tahun 2100[2]. Sedangkan, negara di Asia seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina juga tengah diperhadapkan dengan penurunan populasi yang nyata[3]
Berdasarkan studi, salah satu penyebab dari isu penuaan populasi adalah penurunan jumlah anak yang dikandung per wanita yang disebut sebagai tingkat kesuburan (fertility rate)[4]. Fertility rate secara global menurun dari 4,86 pada tahun 1950 pasca perang dunia II menjadi 2,32 pada tahun 2021[5]. Studi menyatakan bahwa salah satu alasan utama dibalik penurunan tersebut adalah pemberdayaan perempuan melalui meningkatnya akses terhadap pendidikan dan keterlibatan perempuan dalam pasar tenaga kerja[6]. Wanita yang menempuh pendidikan lebih lama cenderung memiliki kesempatan berkarya di luar kehidupan domestik sehingga ‘harga tidak langsung’ yang harus dibayar untuk memiliki anak menjadi tinggi.
Pola pikir tersebut telah mempengaruhi cara wanita memandang peran dirinya dalam masyarakat dan keluarga. Semakin banyak wanita yang memilih untuk melahirkan sedikit anak untuk mencapai produktivitas kerja dikarenakan sulitnya membesarkan anak baik dari segi fisik, mental, waktu maupun finansial. Namun, tanpa disadari keputusan pribadi seorang wanita dalam melahirkan anak dapat memiliki dampak sampingan (side effect) yang berbahaya bagi masyarakat negara dan global.

Gambar 1. Tingkat Kesuburan: Jumlah Anak per Wanita. (Sumber: Our World in Data[7])
Rencana Keselamatan Allah bagi Wanita
Dikontraskan dengan kebudayaan dunia berdosa, rancangan Allah bagi wanita dalam melahirkan anak merupakan bagian dari anugerah keselamatan-Nya. Pembahasan dari surat 1 Timotius 2:11-15 menyatakan prinsip kebenaran Allah yang bertentangan dengan prinsip dunia. Ketika surat 1 Timotius ditulis oleh Rasul Paulus, Timotius tengah menghadapi berbagai persoalan gereja di Efesus, salah satunya tentang serangan pengajaran sesat yang dipengaruhi oleh kebudayaan para wanita di Efesus. Gaya hidup para wanita ‘progresif’ pada kebudayaan Greco-Roman zaman tersebut cenderung menolak nilai-nilai keluarga yang bersifat tradisional[8]. Mereka menolak konsep keluarga yang stabil, enggan untuk menikah (4:3), mengandung, melahirkan anak, dan mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga[9]. Para wanita, terutama dari kelas menengah, lebih sering mendominasi pertemuan sosial dengan pakaian yang berlebihan dan melupakan pekerjaan rumah tangga[10]. Hal ini mempengaruhi beberapa wanita kaya dan membawa persoalan pada gereja. Maka dari itu, Paulus memberi teguran tentang apa yang seharusnya dilakukan para wanita kristen agar tidak menyerupai gaya hidup wanita sekuler pada zaman itu.
Pertama, Paulus mengingatkan tentang awal mula penciptaan sebagai landasan perilaku wanita Kristen. Allah menciptakan laki-laki terlebih dahulu sebelum wanita dan menetapkan ordo pria sebagai pemimpin dan wanita sebagai penolong (1 Tim 2:13, Kej 2:18). Sehingga, Paulus menekankan larangan bagi wanita untuk menempati tempat sebagai pengajar atau pemimpin dalam gereja (1 Tim 2:11-12). Peringatan ini perlu dibaca secara tepat pada konteks gereja saat itu dimana beberapa wanita bukan hanya mengambil tepat laki-laki sebagai pemimpin, tapi mereka mengajarkan pengajaran sesat dengan keinginan mendominasi publik dan ketidakhormatan kepada pria[11]. Kekacauan yang dibuat oleh mereka perlu diluruskan dengan mengingatkan kembali peran wanita sebagai pembelajar yang mendengar dengan patuh di dalam gereja.
Kedua, teguran Paulus juga berlandaskan pada kisah kejatuhan manusia yang dimulai oleh perempuan dan hukuman dosa yang Allah tetapkan bagi wanita. Hawa digoda oleh iblis dan jatuh kedalam dosa terlebih dahulu sebelum Adam (1 Tim 2:14, Kej 3). Paulus seakan-akan ingin menggambarkan kondisi wanita di Efesus yang terlebih dulu digoda untuk membawa gaya hidup sekuler yang berdosa dan mengacaukan gereja, seperti kisah kejatuhan di Kitab Kejadian.
Ketiga, Paulus membawa argumennya dengan mengingatkan kembali akan hukuman dosa yang Allah berikan bagi wanita, yakni tentang kesusahaan dalam mengandung dan melahirkan anak (Kej 3:16). Kesakitan pada saat melahirkan anak (dan mungkin termasuk dalam membesarkan anak dan menjalankan tanggung jawab rumah tangga[12]) tetap dialami oleh wanita Kristen meskipun sudah diselamatkan secara spiritual oleh penebusan Kristus.
“Yet she will be saved through childbearing—if they continue in faith and love and holiness, with self-control.” (1 Tim 2:15)
Namun, Paulus menutup rangkaian teguran kepada para wanita bukan dengan pesan keputusasaan, namun mengingatkan akan anugerah keselamatan yang Allah berikan kepada perempuan di tengah kesulitan yang harus dilalui karena hukuman dosa. Kata ‘saved through’ disini bukan berarti bahwa perbuatan wanita menjadi cara dia mendapatkan keselamatan dari Allah, karena tidak ada perbuatan manusia yang cukup suci untuk mendapatkan perkenanan Allah selain daripada pengorbanan Kristus[13]. Namun, kata ‘saved through’ disini adalah kata yang sama digunakan di 1 Kor 3:15, dimana ayat ini memiliki arti meski wanita harus melalui rasa sakit yang hebat saat melahirkan (dan membesarkan) anak yang terasa seperti penghakiman Allah, wanita tetap mendapatkan keselamatan dari Allah[14]. Penghiburan ini merupakan janji Allah bagi wanita ditengah hukuman dosa yang harus dipikulnya.
Penutup
Kita melihat bahwa ketekunan menjalankan peran sebagai seorang ibu yang melahirkan anak dan menjalankan tugas rumah tangga dengan iman, kasih, kekudusan, dan penguasaan diri merupakan cara wanita Kristen ‘mengerjakan keselamatan’ yang Allah berikan[15]. Allah menghargai ketaatan wanita dalam menjalankan perannya dalam rumah tangga yang terkesan tradisional, dikerjakan secara diam-diam, tidak terlihat secara publik, dan seringkali bertentangan atau ‘countercultural’ dengan kebudayaan yang telah jatuh kedalam dosa. Kiranya pengharapan dari Allah menguatkan para ibu untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak bagi kemuliaan Allah.
Filia Christy
Pemudi GRII Pusat
Catatan tambahan editorial:
Dalam konteks saat ini, dimensi pergumulan mengenai melahirkan dan membesarkan anak menjadi sangat beragam. Ada pasangan yang sungguh-sungguh bergumul karena memang belum dikaruniai anak. Di sisi lain, ada berbagai pandangan seperti childfree, pengejaran karir, himpitan finansial di kota besar, dan hak asasi manusia (untuk tidak melahirkan anak) yang menjadi tantangan tersendiri dalam zaman ini. Dalam artikel-artikel ke depan, semoga semakin banyak penulis yang bisa membahas tema ini dari berbagai dimensi (theologis, pastoral, hidup bergereja, sosial, dll), juga mengupas tokoh-tokoh Alkitab yang bergumul mengenai melahirkan anak (Sarah, Ribka, Rahel, Hanna).
[1] Pablo Alvarez, “What does the global decline of the fertility rate look like?” (World Economic Forum, 2022), https://www.weforum.org/agenda/2022/06/global-decline-of-fertility-rates-visualised.
[2] Camille Bello, “In data: The EU faces a major demographic decline with 27.3 million fewer people by 2100” (Euro News, 2023), https://www.euronews.com/next/2023/04/04/china-sees-first-population-decline-in-six-decades-where-does-the-eu-stand.
[3] Euronews, “The countries where population is declining” (Euro News, 2023), https://www.euronews.com/2023/01/17/the-countries-where-population-is-declining.
[4] Alvarez, 2022.
[5] Max Roser, “Fertility Rate” (Our World in Data, 2017), https://ourworldindata.org/fertility-rate.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Philip Towner, “The Letters to Timothy and Titus”, The New International Commentary on the New Testament (Michigan: Eerdmans, 2006).
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] John Calvin, “Commentary on Timothy, Titus, and Philemon” (Christian Classics Ethereal Library).
[13] John Piper, “How Are Women Saved Through Childbearing?” (Desiringgod.org, 2017), https://www.desiringgod.org/labs/how-are-women-saved-through-childbearing.
[14] Ibid.
[15] Towner, 2006