Salah satu konsekuensi dari fakta bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang dicipta menurut peta dan teladan Allah adalah bahwa ia diberikan kemampuan rasio. Dengan rasio, manusia mampu berpikir dan membuat pilihan tidak dengan sembarangan, memilih antara yang baik (bersesuaian dengan Allah) atau yang jahat (menentang Allah), taat atau tidak taat.
Apa itu ‘rasio’? Secara sederhana, rasio adalah sesuatu yang memotivasi kita untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Di sini, apa yang saya maksud dengan istilah ‘rasio’ meliputi dua aspek. Aspek pertama adalah apa yang saya istilahkan dengan ‘rasio hati’. Ini merefleksikan keinginan manusia, “Desire”, atau tendensi-tendensi lainnya, untuk menyukai satu hal lebih daripada yang lain, di luar apa yang dapat dijelaskan dengan logika. Ini juga dapat meliputi worldview atau paradigma. Aspek kedua adalah ‘rasio pikiran’. Ini meliputi proses mengolah informasi lewat metode logika (penalaran), seperti deduksi atau induksi, demi mencapai konklusi atau pilihan tertentu.
Di banyak bagian firman Tuhan sering disebutkan bahwa kita manusia sering bertindak berdasarkan rasio hati lebih dari pada menggunakan rasio pikiran (1 Samuel 19:5, Mazmur 35:19, Mazmur 38:19, Mazmur 69:4, Amsal 3:30, Markus 3:2, Yohanes 15:25). Didasarkan kepada kebencian, ketidaknyamanan kita, atau kesukaan kita akan sesuatu lebih dari yang lain, kita melakukan apa yang ingin kita lakukan. Mari kita membayangkan suatu kasus di mana seseorang, setelah melakukan pelanggaran, dibawa ke dalam pengadilan dan diminta untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Ia tentu saja mengeluarkan alibi yang logis mengenai mengapa ia melakukan hal itu. Ia akan mencoba berasionalisasi untuk tidak mengaku bahwa apa yang dilakukannya itu berdasarkan kebencian terhadap seseorang. Hal ini diilustrasikan dengan baik dalam Markus 3:2 yang mengatakan, “Mereka mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang itu pada hari Sabat, supaya mereka dapat mempersalahkan Dia.” Di sini, orang-orang Farisi mencari-cari alasan yang “valid” untuk menutupi alasan mereka yang sesungguhnya, yaitu kebencian terhadap Yesus. Penyimpangan dalam rasio yang diilustrasikan dengan jelas oleh Alkitab ini adalah konsekuensi dari kejatuhan manusia dalam dosa. Karena dosa, segala aspek dari manusia menjadi rusak. Rasio hati manusia menjadi gelap; penuh kejahatan dan kekejian di mata Tuhan; memiliki worldview melawan Tuhan (Efesus 4:18, Roma 1:28). Demikian juga pikiran mereka menjadi rusak, pikirannya telah menjadi budak keinginan hatinya yang gelap.
Kejatuhan manusia sebagaimana tertulis dalam Kejadian 3 telah memindahkan manusia dari posisi asalnya dan identitas asalnya. Manusia kini menjadi ciptaan yang mau berdiri sendiri, yang mau melepaskan diri dari rencana kekal Tuhan. Melepaskan diri dari Tuhan berarti menjadikan eksistensi mereka tidak berdasar, dan kebebasan mereka menjadi tidak diikat oleh kebenaran (“Sin and Lostness”, oleh Pdt. Dr. Stephen Tong). Karena kebebasan yang tidak diikat oleh kebenaran, maka setiap manusia dengan pola pikir mereka yang sudah tercemar dan lepas dari kebenaran, mulai berpikir tentang pembenaran terhadap pandangan mereka masing-masing. Oleh sebab itu, pengadilan, contohnya, bukan lagi tempat untuk menentukan yang benar dan salah, tetapi sudah berubah menjadi medan pertempuran intelektual, yang menang adalah mereka yang dapat membenarkan keinginan hatinya dengan logika yang meyakinkan. Fenomena seperti ini juga sudah merasuk ke dalam kaum intelektual. Komunitas ilmuwan sering menganggap bahwa ilmu yang mereka pegang adalah sesuatu hasil pemikiran yang objektif, terbukti, dan absolut jika dilihat dari sudut pandang sejarah ilmu pengetahuan. Akan tetapi, sejarah sendiri tidak berkata demikian. Ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh paradigma zaman yang dipegang oleh komunitas intelektual pada zaman tersebut. Maka segala upaya mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak sesuai terhadap paradigma yang berlaku pada zaman itu, akan dipandang salah. Dan sesungguhnya, keinginan hati jugalah yang mendasari alasan mengapa setiap penemuan atau upaya yang berpotensi untuk membawa kepada suatu revolusi ilmu pengetahuan ditentang oleh para ilmuwan dalam bidang yang bersangkutan. Ini bukan karena mereka tidak setuju secara intelek, namun karena penemuan tersebut mengancam karir dan kantong mereka, karena itu berarti bahwa riset yang telah mereka lakukan selama ini adalah salah! (“The Structure of Scientific Revolutions” oleh Thomas S. Kuhn)
Begitulah realita yang menyakitkan dari rasio hati yang menyimpang. Ia mengubah segala sesuatu menjadi politik hati, dan menguburkan logika—diperbudak demi membenarkan segala kemauan yang egois. Pendirian kita sendiri kelihatan benar menurut kita, karena kita dapat menyediakan alasan-alasan yang masuk akal. Karena itu standar menjadi kabur, karena kita dibutakan oleh pandangan yang nampak seperti koheren-namun-menipu diri sendiri.
Dampak langsung berikutnya dari kejatuhan adalah hilangnya dignitas rohani manusia. Pada mulanya diciptakan dengan kemuliaan dan hormat, di mana seharusnya Allah dan kehendak-Nya menjadi standar pikiran hati manusia, sekarang realita tersebut telah hancur dan direduksi hanya kepada suatu ide tanpa realita. (“Sin and Lostness”, oleh Pdt. Dr. Stephen Tong). Hal ini terlihat dalam komunitas ilmuwan, seperti teori evolusi yang telah menginjak-injak dignitas manusia. Demi sebuah gelar sebagai kaum intelektual maka manusia rela menjual dignitas gambar dan rupa Allah menjadi gambar dan rupa ciptaan yang lebih rendah (binatang). Kasus-kasus yang lainnya meliputi sudut pandang materialis, yang mengklaim bahwa kita hanyalah ‘mesin’, yang dibangun dari sistem-sistem yang terdiri dari molekul-molekul mati. Tentu saja, mereka yang mengklaim demikian memiliki alasan-alasan untuk membenarkan diri mereka sendiri. Mereka mempunyai argumen-argumen untuk menunjang pandangan mereka. Akan tetapi, pertanyaan untuk direnungkan adalah, mengapa paradigma-paradigma seperti itu bisa ada? Ini jelas adalah akibat manusia yang mau mandiri dari Tuhan Pencipta dengan melacurkan pikiran kepada ide-ide anthropocentric. Dalam kasus-kasus lainnya, kita lihat juga bagaimana manusia diperlakukan hanya sebagai bidak-bidak politik, tanpa hormat, kecuali fungsinya demi memenuhi tujuan diri dan uang (2 Timotius 3:1-2).
Dengan rasio yang berdosa, kita menemukan diri kita tidak berdaya tunduk kepada yang jahat. Lebih dari itu, kita telah memakai alasan untuk pembenaran diri. Karena dosa, kita menuding orang lain, mempertanyakan integritas moral mereka. Pembenaran dan pembelaan diri Adam and Hawa adalah upaya merendahkan standar moral manusia, kemuliaan mereka dan semua keturunannya dengan cara mempersalahkan orang lain dan membuang seluruh kemampuan sebagai ciptaan tertinggi yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan.
Sebagai kesimpulannya, rasio adalah suatu anugerah yang sungguh berharga dari Tuhan yang telah dirusak, digelapkan, dan dikuasai oleh dosa sejak kejatuhan manusia. Tanpa penebusan rasio, manusia akan tetap dalam perbudakan worldview dunia ini, akibatnya manusia kehilangan identitas dan kehormatannya sebagai ciptaan tertinggi. Karena itu, marilah kita mengembalikan kehormatan diri kita sebagai gambar dan rupa Allah dengan mempersembahkan rasio kita ini untuk ditaklukkan seturut dengan kehendak Allah dan hanya bagi kemuliaan-Nya (Roma 11:36).
“Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2).
Ardianto Suhendar
Pemuda GRII Singapura