Faith Journey: Phases in General
Masih ingatkah Anda pada hari pertama Anda menerima Tuhan sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi Anda? Mari kita coba mengingat-ingat lagi saat yang indah itu. Mungkin hari itu Anda merasa hati Anda dibakar untuk pergi menginjili, untuk belajar firman Tuhan, untuk menjelajahi kekristenan, untuk mulai saat teduh dan berdoa, untuk mulai mengikuti aktivitas-aktivitas gerejawi, dan begitu banyak hal lainnya. Masihkah Anda ingat akan hal-hal itu? Sekarang, mari menghitung, berapa lama hal-hal tersebut benar-benar Anda jalankan?
Beberapa kali saya mengamati perjalanan iman yang terasa tidak mudah. Pergumulan-pergumulan yang rasanya tidak habis-habis mulai terasa menggoyahkan. Pada umumnya, hari-hari pertama ‘post-counterpoint’, berjalan bersama Tuhan terasa begitu menyenangkan, ringan, dan riang. Rasanya seperti sirkulasi darah terpompa dengan baik. Rasanya seperti ‘everyday is a beautiful day’. Sedikit-sedikit, update quote di status Facebook atau Twitter. Bukannya salah, namun bagaimana bisa memastikan bahwa hal-hal seperti ini bukan sekadar euforia semata?
Setelah masa indah itu, ujian perlahan-lahan mulai datang satu per satu. Seperti saat kita bermain game, hari ini level 1, lulus! Besok level 2, level 3, level 4, dan seterusnya. Beberapa ‘level’ awal masih terasa durable. Tapi seiring dengan waktu, kesulitan makin bertambah, kaki mulai goyah. The obstacles come in many forms. Aktivitas membaca buku-buku theologi yang tadinya masuk dalam list aktivitas favorit kita, kini mulai timbul kecurigaan akan kepentingan akan aktivitas itu. Kita mungkin mulai berpikir, “Kok makin lama makin ribet? Makin dibaca malah makin pusing? Aduh males deh, tebel banget. Bahasanya susah, out of my league banget!” Seems so simple, tapi bukankah hal yang so called ‘simple’ ini bisa bertumbuh dan seiring dengan waktu kita mulai malas belajar? Perlahan-lahan kita akan mulai meninabobokan buku-buku yang sudah kita beli karena kini fungsinya bukan lagi sebagaimana harusnya sebuah buku, melainkan sudah berubah menjadi pajangan di rak buku. Lalu diikuti dengan “mulai malas” ikut PA. Kalau terus dituruti, lama-lama kasus ekstremnya akan muncul, enteng bolos kebaktian. Sampai kita bertemu dengan satu titik di mana kita ‘lose faith’ dan consciously membodohi diri sendiri dengan berkata, “Sudahlah, nobody’s perfect anyway… ” sambil kita bersikap acuh tak acuh terhadap iman kita.
Namun kita masih bersyukur Tuhan menempatkan kita sedemikian rupa dalam sejarah, sehingga dalam keputusasaansekalipun, Tuhan masih berbelaskasihan dan mempertemukan kita dengan acara-acara tertentu yang dirancang sendiri oleh Tuhan untuk menyalakan api iman kita. Pertanyaannya sekarang adalah apakah pada batasan tertentu, hal di atas ini akan atau mungkin sudah menjadi siklus hidup kita?
Flappy Bird
Hampir semua dari kita kenal game yang sedang menggemparkan ini. Sempatkah kita memerhatikan beberapa poin yang cukup menarik dari Flappy Bird yang juga terdapat dalam hal iman kita?
Pertama, dalam Flappy Bird satu kali Anda men-tap layar Anda, si burung tidak naik/ascend terlalu tinggi. Namun ketika Anda lepas dan tidak tap sama sekali, si burung jatuh menukik lurus dengan kecepatan yang sangat cepat. Bukankah demikian juga dengan perjalanan iman kita? Kita mendapat dorongan-dorongan yang membuat kita merasa naik lebih tinggi dengan cepat (sebenarnya tidak), tapi waktu kita ‘dilepas’, kita langsung jatuh bebas.
Kedua, yang membuat Flappy Bird seru adalah saat kita harus terbang melalui pipa-pipa yang dirancang sedemikian rupa dan pada level tertentu sering kali menyulitkan dan menghambat kita, agar akhirnya kita menabrak pipa tersebut. Bukankah demikian pula perjalanan hidup kita? Bertemu kesulitan/rintangan yang hit us pretty hard, dan pada akhirnya jatuh juga. Rintangan datang dalam level yang berbeda-beda. Terkadang masih bisa kita tahankan, terkadang cukup untuk menggoyahkan kaki kita sejenak, terkadang cukup untuk kita mempertimbangkan opsi ‘berhenti main’ atau ‘berhenti’ beriman.
Terakhir, bagian favorit saya dari Flappy Bird: selalu ada kesempatan kedua. Di mana Anda membuat kesalahan, Anda diperkenankan untuk memulai segala sesuatu dari awal. Namun dengan demikian hal yang sama berlaku kepada nilai Anda. Demi menikmati hak istimewa ‘second chance’ ini, Anda harus mulai dengan score ‘0’ lagi. Itulah harga yang harus dibayar supaya Anda bisa make a fresh start.
Journey of Faith during Exodus
Pada saat bangsa Israel keluar dari Mesir, perjalanan menuju Kanaan terasa begitu menjanjikan. Mereka berada dalam honeymoon phase untuk sebuah perjalanan. They eagerly and excitedly expect what lies ahead. Langkah mereka sangat penuh keyakinan. Apalagi setelah Tuhan menggulung pasukan Mesir ke dalam Laut Teberau. Selain itu, mereka juga adalah orang-orang yang sangat berani, bayangkan bahwa perjalanan ini akan membawa mereka jauh keluar zona nyaman mereka. Lalu, apa sebenarnya tujuan Tuhan? Untuk menduduki Tanah Perjanjian? Atau rekreasi? Tidak. Tuhan memanggil bangsa Israel keluar untuk kembali kepada Tuhan, bersandar kepada Tuhan, untuk beribadah kepada-Nya. Worshipping Him in the wilderness…
Setelah menyeberangi Laut Teberau, rintangan mulai datang menghampiri. Dimulai dengan kesulitan air di Mara, diikuti dengan kesulitan makanan. Waktu kesulitan-kesulitan ini datang, seharusnya bangsa Israel berdoa kepada Tuhan, tetapi mereka justru mengeluhkan keadaan-keadaan tersebut. Bukan hanya itu, mereka juga terus mengeluarkan istilah ‘if only’. If only we had died by the Lord’s hands in Egypt. If only we had died in Egypt or in this desert! If only we hadn’t left Egypt. Sewaktu di Mesir, setidaknya mereka masih ada tempat untuk pulang sewaktu malam. Setidaknya masih ada daging dalam kuali dan roti yang dapat mereka santap hingga kenyang. Tapi sekarang mereka diperhadapkan dengan situasi di mana mereka harus hidup sebagai nomad. Kehidupan nomaden adalah kehidupan yang sangat dinamis. Satu hari memasang tenda, tidak tahu kapan akan bongkar tenda dan kembali berjalan tanpa tahu kapan akan berhenti. Mereka tidak lagi tahu bagaimana memandang muka Tuhan, karena mereka memandang betapa sulitnya keadaan mereka saat itu. Satu hari mereka berselisih paham dengan Musa dan akhirnya mempertanyakan apakah Allah masih menyertai mereka atau tidak.
Sampai suatu hari Musa datang menghampiri Allah di Gunung Sinai di mana Allah menyatakan diri-Nya kepada bangsa Israel juga menetapkan aturan bagi mereka untuk hidup suci dan berkenan di hadapan-Nya. Tetapi ketika turun dari gunung, Musa mendapati bangsa Israel telah berpaling dari Tuhan Allah. Suku Lewi yang berpihak kepada Tuhan diperintahkan untuk membunuh semua yang telah menyeleweng ini, sekalipun mereka adalah saudaranya sendiri. Bangsa Israel harus membayar harga dengan nyawa saudaranya sendiri demi menjaga covenant yang telah Tuhan tetapkan atas mereka sebagai the people of God.
Living the Covenant
People in the covenant adalah orang-orang yang diciptakan oleh Tuhan sendiri dan dipimpin oleh Tuhan sendiri. Tetapi tidak berhenti sampai di situ! Umat pilihan adalah orang-orang yang juga dikasihi oleh Tuhan dan dipelihara oleh Tuhan! Tuhan bahkan mengadakan covenant dengan umat-Nya, “I am your Lord and you are My people.”
Dari awal kita sebagai umat Tuhan ditentukan berbeda dengan dunia ini. Walaupun kita tahu kita berbeda, jangan ada kesombongan pada diri kita karena kita berbeda itu semata-mata karena belas kasihan Tuhan kepada kita. Umat Allah adalah umat yang dimiliki Allah. Umat yang mengenal karakter-Nya dan kehendak-Nya. Kita tidak hanya dipanggil untuk delight in God. Tapi kita harus mengenal, mengerti, menghidupi, dan memperjuangkan kebenaran Allah. Inilah yang membuat kita berbeda from the rest of the world.
Exodus was a sign that God would take care of Israel in the future. Therefore, the exodus was the foundation of Israel’s faith, and this faith is the basis of the law. Taurat Musa simply menyatakan ‘lifestyle’ baru untuk bangsa Israel jika mereka benar-benar mengimani bahwa masa depan mereka aman di dalam tangan Tuhan. Sin comes from not believing God. The law is a description of the obedience of faith. Therefore it is not a job description for how to earn the wages of God’s blessings.
Hukum digenapi di dalam ketaatan oleh iman. Bukan berarti legalisme, seperti yang sering disalahmengertikan oleh banyak orang. Tapi lebih kepada bahwa hukum sebagai fondasi iman yang membuat umat Tuhan semakin bergantung kepada Tuhan. Membuat umat Tuhan untuk tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Tuhan demi kemuliaan diri tapi mengerjakannya karena ketaatannya yang mengalir keluar dari imannya. Not obedient in order to win God’s favor, but because we are already dependent on His free grace and trust that His commands will lead to a full and lasting joy.
Dengan demikian, ketaatan kita kepada hukum-hukum di Perjanjian Lama haruslah sama dengan ketaatan kita kepada hukum-hukum di Perjanjian Baru. Kita harus menyatakan Allah dalam kehidupan kita. Bukan hanya dalam, tapi juga melalui kehidupan kita untuk dinyatakan kepada orang lain. Kita harus memiliki gaya hidup yang membuat orang tahu bahwa kita adalah umat Allah! Jangan takut! Jika Allah ada bersama-sama dengan kita, apa yang harus kita takutkan? Kita juga harus berani untuk meninggalkan zona kenyamanan kita bagi pekerjaan Tuhan. Seperti bangsa Israel keluar dari Mesir. Seperti Abraham keluar dari Sumeria. Get out of your comfort zone and just believe! Kadang kenyamanan kita rasa begitu baik, tapi harus kita ingat bahwa baik dalam definisi kita belum tentu baik dalam definisi Tuhan. Jagalah kemurnian hidup dan hati. Hati-hati kalau sudah terlalu nyaman dan tidak ada teguran satu pun. Bisa jadi Tuhan membuang kita, membinasakan kita, dan melenyapkan kita, sehingga kita tidak lagi dikembalikan ke jalan yang benar. Sama seperti Tuhan memanggil bangsa Israel keluar dari Mesir untuk beribadah kepada-Nya, Tuhan juga memanggil kita keluar dari comfort zone kita untuk beribadah kepada Tuhan.
Ibadah bukanlah satu acara di mana kita melakukan ritual-ritual spesial. Beribadah adalah kembali pada pilihan yang telah Tuhan pilihkan untuk kita. Ketika kita hidup seluruhnya dalam pimpinan Tuham, itulah beribadah. Ciri umat Allah adalah menyatakan bahwa mereka adalah kepunyaan Allah dan takluk hanya kepada-Nya. Setiap aspek kehidupan kita harus sanggup menyatakan kebenaran Tuhan tanpa terkecuali. Sering kali kita ‘tertidur’ dan sadar atau tidak sudah membuang identitas kita sebagai umat Allah. Biarkan diri kita rela didefinisikan oleh Allah, menjawab panggilan-Nya, dan mempersiapkan diri serta menjalani panggilan itu.
Kembalikanlah pola pikir kita kepada perintah Tuhan dan itulah yang harus kita aplikasikan ke dalam hidup kita. Tapi bagaimana? Baca Kitab Suci, doa tiap hari. Ahh.. anak kecil aja tau. Tapi sayang kita lupakan hal itu. Kejarlah relasi kita dengan Tuhan. Secepat kita bisa berelasi dengan Allah, secepat itulah kita bisa kembali pulih dari keterpurukan kita.
Umat Allah juga harus terdiri dari orang-orang yang tahan uji. Karena hidup sebagai umat Allah tidak hanya diukur dari seberapa banyak yang kita kerjakan, tetapi juga berapa kuat kita dalam ujian. When the people of God lives in God’s truth, the people of God will survive. Tuhan yang menjadi sumber kekuatan dan pertolongan kita. That is why we are called His people. Hal-hal ini tidak akan terjadi tanpa usaha dan kerja keras. Mengenal Allah berarti mengasihi Dia dan menjalankan kehendak-Nya. Marilah kita hidup dengan penuh integritas, menyatakan bahwa kita adalah kepunyaan Tuhan di tengah-tengah dunia ini. Let us delight in God’s law, meditate on it day and night, and sing of its value unto all generations. Tidak takut ancaman apa pun dari dunia ini, tetapi tunduk kepada yang menciptakan dunia ini, yang membentuk umat-Nya dan menjaga umat-Nya dari penciptaan sampai kepada kita pada hari ini.
Filananda Andries
Pemudi MRII Cibubur
Referensi:
desiringgod.org
desiringgod.org.