Faithfulness in Ministry

Kaum muda sering kali dilihat sebagai bagian penting dari sebuah masyarakat. Mereka dianggap berpotensi karena mereka adalah generasi penerus dari para pendahulu mereka. Bahkan bisa dikatakan bahwa suatu masyarakat yang mementingkan pemuda adalah masyarakat yang memiliki jaminan masa depan.

Dalam Ulangan 6:1-9, Allah menyatakan perintah-perintah-Nya kepada bangsa Israel dan memperingati mereka untuk senantiasa melakukan dan berjalan di dalam perintah-perintah-Nya (Ul. 5:31-33). Namun, Allah juga memperingati mereka untuk senantiasa mengajarkan perintah-Nya kepada keturunan mereka (Ul. 6:2, 7). Terlebih lagi, kita juga bisa melihat contoh dari Rasul Paulus yang mendidik Timotius yang dia panggil sebagai anaknya yang sah di dalam iman (1Tim. 1:2). Dari sini kita bisa melihat betapa Tuhan menginginkan umat-Nya untuk senantiasa mementingkan generasi masa depan yang akan melanjutkan pekerjaan Tuhan di dalam Kerajaan-Nya.

Namun, musuh Allah pun tidak akan tinggal diam melihat akan pentingnya para kaum muda. Kaum muda bisa menjadi laskar Kristus yang setia dan dipakai oleh Tuhan, tetapi juga bisa menjadi anak buah si jahat yang akan mencoba merusak pekerjaan Tuhan. Maka dari itu, setan pun akan menyerang setiap pemuda-pemudi yang telah menyerahkan dirinya untuk Kristus dengan berbagai cara dan tipu daya. Salah satu cara si jahat yang akan dibahas dalam artikel ini adalah dengan membuat pemuda-pemudi ini menjadi tidak setia melayani Tuhan dengan semangat juang yang konsisten.

Gerakan Reformed Injili begitu mementingkan generasi masa depan. Hal ini tercermin melalui berbagai acara khusus pemuda seperti SPIK (Seminar Pembinaan Iman Kristen) dan KIN (Konvensi Injil Nasional). Namun, fenomena di mana banyak pemuda yang pada awalnya terlihat menggebu-gebu lalu akhirnya semangat itu padam adalah hal yang tidak lagi asing. Kita mungkin mengerti theologi dari para pembicara di dalam acara tersebut, tetapi kita tidak memiliki zeal dan api kita padam termakan oleh waktu. Jika ini adalah wajah para pemuda yang akan meneruskan perjuangan Gerakan Reformed Injili, maka masa depan gerakan ini sangatlah suram. Pemuda yang tidak memiliki kegigihan dan konsistensi dalam berjuang, hanya akan menghanyutkan gerakan ini di dalam arus sejarah.

Consistency and Faithfulness
Apakah yang dimaksudkan dengan konsistensi? Konsistensi berarti suatu keteguhan terhadap suatu keputusan yang sudah ditetapkan walau menghadapi banyak tantangan yang akan membuat orang tersebut kompromi terhadap keputusan tersebut. Konsistensi berkait erat dengan kesetiaan atau mungkin dengan terminologi “menjaga api”.

Apakah benar Tuhan melihat konsistensi atau kesetiaan pelayan-Nya sebagai suatu hal yang penting? Tentu saja! Dikatakan di dalam Ulangan 6:2 bahwa “supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya yang Kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu.” Lalu di Ulangan 6:3, “Maka dengarlah, hai orang Israel! Lakukanlah itu dengan setia…”, sehingga cukup jelas bahwa Tuhan memberikan perintah kepada umat-Nya untuk selama-lamanya setia, bukan hanya di saat mereka diberikan hukum tersebut. Terlebih lagi, hukum yang terutama yaitu mengasihi Tuhan, Allah kita, dengan segenap hati dan segenap jiwa dan segenap kekuatan (Ul. 6:5) mengandung indikasi bahwa kita pun harus mengasihi Tuhan dengan segenap waktu kita, di dalam suka atau duka, di dalam masa aman tenteram ataupun masa di mana kita dalam bahaya aniaya.

Dilihat dari sisi yang lain, Tuhan tidak hanya rindu agar umat-Nya setia kepada-Nya, tetapi Ia juga benci dan geram saat umat-Nya tidak setia. Hal ini ditunjukkan dalam Kitab Hosea di mana umat perjanjian Allah yang menolak untuk mengenal Allah dan telah melupakan hukum Tuhan (Hos. 4:6), tidak setia kepada Tuhan sebagai suami mereka, meninggalkan-Nya dan pergi melacur kepada ilah-ilah palsu dan berdosa senantiasa (Hos. 2:13, 4:7-12). Hosea 6:6-7 menyatakan bahwa Allah “menyukai kasih setia dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih daripada korban-korban bakaran. Tetapi mereka itu telah melangkahi perjanjian di Adam, di sana mereka telah berkhianat (dealt faithlessly – ESV) terhadap Aku.”

Dari sini kita bisa melihat bahwa sungguh Tuhan merindukan umat-Nya untuk hidup setia memegang hukum-Nya selama-lamanya. Menyerahkan hidup kepada Tuhan bukan hanya mengenai satu momen penting yang penuh dengan suatu “euphoria”setelah mendengarkan khotbah yang menggelegar saja, tetapi juga menyerahkan seluruh hidup bukan hanya menyerahkan saat momen-momen tertentu saja. Tuhan ingin umat-Nya untuk hidup setia berjalan mengikuti Tuhan, menyimpan segala perintah-Nya dengan segenap hati dan bukan dengan setengah hati.

Faith and Obedience
Lalu mengapa api di dalam hati kita bisa padam? Apa yang menjadi alasan kita tidak setia berjalan langkah demi langkah dengan Tuhan? Jika kita menelaah Ulangan 6 dan Kitab Hosea, cukup jelas permasalahannya adalah ketidaktaatan. Namun, ketidaktaatan itu sendiri pun didasarkan dari kita yang kurang beriman teguh kepada firman Tuhan, janji-janji-Nya, dan ketetapan-ketetapan-Nya itu. Maka suatu hal yang menarik di mana kesetiaan di dalam bahasa Inggris dimengerti sebagai faithfulness. Faith (iman) dan obedience (ketaatan) memiliki kaitan yang erat. Roma 1:5 menyatakan bahwa melalui Yesus Kristus, Paulus menerima kasih karunia dan jabatan rasul supaya mereka percaya dan taat (to bring about obedience of faith – ESV) kepada nama-Nya. Lalu paralel antara Roma 1:8 dan Roma 16:19, di mana Paulus mengucap syukur karena iman umat Kristen di Roma (1:8) dan juga karena ketaatan mereka (16:19). Sehingga iman dan ketaatan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Iman yang sejati yang berpegang teguh kepada firman Tuhan akan membuahkan ketaatan dan kesetiaan.

Maka dari itu, iman kepada apakah yang akan membuahkan ketaatan dan kesetiaan? Apa yang kurang kita imani sehingga kita tidak setia? Secara singkat, kita kurang beriman kepada Injil Yesus Kritus karena iman kepada Injil Kristuslah yang akan menghasilkan buah ketaatan dan kesetiaan. Mungkin sekali jika api kita padam karena kita bukannya melihat kemuliaan Kristus tetapi terpukau dengan kemuliaan manusia di dalam sebuah khotbah yang begitu menggebu-gebu. Kita kurang beriman kepada pribadi dan karya Kristus yang berpusat pada kematian dan kebangkitan-Nya. Kita kurang beriman akan kepastian akan persatuan kita dengan diri Kristus dan pekerjaan-Nya (union with Christ) dan implikasi dari relasi tersebut. Kita kurang beriman akan fakta bahwa sungguh Allah beserta kita melalui Yesus Kristus dan di dalam persekutuan dengan Roh Kudus yang membawa kita kepada iman dan menyempurnakan iman kita (Ibr. 12:2; Flp. 1:6). Karena jika kiranya kita berfondasi akan kebenaran ini dan semakin kukuh di dalamnya, kita tentu akan terbakar dan semakin terbakar untuk setia menggenapi kehendak Tuhan.

Indicative-Imperative
Di dalam Perjanjian Baru, konsep indicative-imperative menjadi dasar dari kehidupan Kristen. Di dalam surat-surat Paulus, konsep indicative-imperative sangatlah kental. Secara singkat, indicative dan imperative adalah suatu verb mood yang akan memberi indikasi dari suatu kata kerja. Indicative mood memberikan indikasi akan suatu fakta yang pasti yang biasanya merujuk kepada peristiwa masa lalu, dan sering digunakan untuk menerjemahkan aorist tense dari bahasa Yunani di dalam Perjanjian Baru. Sedangkan imperative mood memberikan indikasi perintah (command). Di dalam Perjanjian Baru, terutama surat Paulus, konsep ini begitu jelas terlihat yaitu di mana hidup baru di dalam Kristus adalah pekerjaan Allah semata-mata (aspek indicative) dan manifestasi dari hidup di dalam Kristus pun dinyatakan dengan ketaatan manusia terhadap hukum-hukum Allah (aspek imperative).

Di dalam surat-surat Paulus, saat dia ingin mendorong gereja Tuhan, kedua verb mood ini muncul dalam perkataannya dan kedua verb mood ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Aspek indicative adalah fondasi dari pelaksanaan aspek imperative, tetapi aspek indicative juga bergantung kepada aspek imperative dalam arti bahwa jika aspek imperative tidak dilaksanakan maka aspek indicative bukanlah sebuah realitas.
Di dalam Roma 6, di ayat 4-5 Paulus berkata bahwa setiap umat Tuhan sudah dipersatukan di dalam kematian dan kebangkitan Kristus (aspek indicative), yang berarti bahwa manusia lama kita di dalam Adam dan di dalam daging sudah mati disalibkan bersama Kristus di dalam kematian Tuhan kita dan melalui persatuan di dalam kebangkitan-Nya kita peroleh hidup baru. Lalu, Paulus berkata pula aspek imperative, berdasarkan fondasi dari persatuan dengan Kristus, “Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya. Dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. Sebab kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia” (Rm. 6:12-14). Atas dasar bahwa hidup seorang Kristen adalah sebuah ciptaan baru dan ia sudah dikeluarkan dari dominasi dosa (indicative), maka dari itu seseorang yang di dalam Kristus sepatutnya hidup melayani Tuannya yang baru (imperative). Dahulu di dalam Adam kita “setia” di dalam keberdosaan karena kita adalah budak dosa, maka sekarang di dalam Kristus kita sepatutnya setia di dalam kekudusan karena kita adalah budak Kristus. Berarti iman yang sejati bukanlah iman yang tertidur dan malas (indicative without imperative). Iman yang bersandar penuh kepada kesempurnaan pribadi dan pekerjaan Kristus adalah iman yang senantiasa aktif, militant, dan menyerahkan anggota-anggota tubuhnya sebagai senjata-senjata kebenaran.

Maka kita perlu ketahui dan imani bahwa Allah yang menyelamatkan kita dari belenggu dosa melalui Kristus di dalam Roh Kudus juga adalah Allah yang memberi kita suatu keseluruhan hidup yang baru, an abiding reality, bukanlah suatu momen-momen mistis, karena kita sekarang adalah budak-budak Kristus selama-lamanya (Rm. 6:16-18). Seorang hamba atau budak terikat kepada majikannya sepanjang hidupnya, demikianlah perhambaan di dalam Kristus kita terikat selama-lamanya di dalam perjanjian yang kekal bersama Majikan kita dan terlebih lagi Majikan kita adalah Bapa kita yang mengasihi kita, dan bahkan perbudakan ini adalah perbudakan yang membebaskan dan penuh sukacita. Maka jika kita beriman kepada aspek indicative yaitu di dalam konteks Roma 6, bahwa kita adalah budak Kristus dan bukan budak dosa, maka sudah selayaknya kita menghidupi aspek imperative yaitu menaati Tuhan kita dengan setia selama-lamanya selayaknya seorang hamba Kristus.

Communion in God
Di dalam aspek yang berbeda, Alkitab juga memberikan insight yang lain mengenai kesetiaan umat-Nya yang Ia inginkan dari kita yang di dalam Kristus. Sebelumnya kita membahas mengenai aspek indicative dan aspek imperative, dan bagaimana keduanya saling mempresuposisikan satu sama yang lain. Di bagian ini, saya ingin menyatakan bahwa kehidupan kesetiaan mengikuti Tuhan bukan hanya suatu hal yang kita lakukan in absence from apa yang Tuhan juga sedang lakukan di dalam kita. Maksudnya, sering kali kita menganggap apa yang kita lakukan dalam menaati perintah Tuhan adalah suatu perilaku membalas budi kasih Tuhan. Kita merasa kita harus menaati Tuhan seperti Tuhan sudah memberikan tagihan dari sorga kepada kita yang harus dibayar dengan performa kita. Namun, kita pun harus menyadari bahwa tidak ada persembahan yang bisa membalas kasih Tuhan yang tidak terbatas di dalam Kristus. Kita hanya mengembalikan apa yang memang milik Allah dan saat kita memberikan sesuatu kepada-Nya, kita membutuhkan anugerah untuk mampu melakukan hal tersebut sehingga kita semakin berhutang kepada Tuhan. Tuhan tidak mengasihi kita lalu Ia diam dan menunggu kita untuk berespons mengasihi Dia dengan kekuatan diri, tetapi Ia mengasihi dengan membuat kita berespons terhadap kasih-Nya melalui Roh Kudus yang berdiam di dalam hati kita.

Dalam Filipi 2:12-13, Paulus menghimbau jemaat di Filipi untuk bertekun mengerjakan keselamatan mereka karena Allah sedang bekerja di dalam hati mereka untuk menyenangkan hati Tuhan. Sehingga, saat Tuhan menuntut kesetiaan kita, Ia memerintah dengan kepastian bahwa perintah-Nya tergenapi. Roh Kudus di dalam diri kita bukanlah Tuhan yang malas tetapi Tuhan yang di dalam kekekalan bekerja dengan setia. Ia yang di dalam hati kita, selalu setia mendorong kita untuk selalu taat kepada-Nya (Yeh. 36:26-28) dan yang mengukir hukum-Nya di dalam hati kita (Yer. 31:33). Namun, kita yang kurang beriman di dalam firman Tuhan ini sering tidak taat kepada-Nya dan mendukakan hati-Nya (Ef. 4:30, 1Tes. 5:19). Persekutuan kita dengan Tuhan adalah sesuatu yang organik. Kesetiaan melayani Tuhan bukanlah suatu relasi timbal balik atau pembalasan budi kepada Tuhan tetapi suatu manifestasi relasi yang organik mengikuti dinamika pimpinan Roh Kudus.

Hal yang serupa pun diungkapkan dalam Yohanes 15 di mana Kristus menyatakan diri-Nya adalah pokok anggur yang sejati, Allah Bapa sebagai pengusahanya dan mereka yang di dalam Kristus adalah ranting-rantingnya. Yesus memerintahkan mereka untuk tinggal di dalam Dia dan di dalam firman-Nya (Yoh. 15:4, 7), sehingga mereka pun boleh berbuah banyak dan mempermuliakan Bapa. Yesus juga berkata di ayat 9 dan 10 bahwa sebagaimana Yesus tinggal di dalam kasih Bapa dengan menaati perintah Bapa maka Yesus pun mengasihi kita agar kita tinggal di dalam kasih Yesus. Cukup jelas bahwa perintah untuk tinggal di dalam Kristus (abide in Christ) memberikan indikasi kesetiaan di dalam persekutuan (communion) dengan Allah.

D. A. Carson berkata bahwa Tuhan menggunakan alegori pokok anggur karena Ia ingin menunjukkan bahwa persekutuan kita di dalam Kristus adalah suatu persekutuan yang organik seperti ranting pohon saling sambung-menyambung dengan pokok anggur secara alami. Maka buah persekutuan tersebut, yaitu ketaatan dan kesetiaan kita kepada Tuhan, bukanlah suatu relasi timbal balik atau balas budi yang kaku dan mati, tetapi adalah suatu relasi yang organik. Terlebih lagi Kristus memerintahkan kita untuk tinggal di dalam kasih-Nya dengan menuruti perintah-Nya sebagaimana Ia telah menuruti perintah Bapa-Nya dan tinggal di dalam kasih Bapa-Nya. Hal ini jelas menunjukkan bahwa fondasi dari relasi kita dengan Kristus (ectype) adalah relasi Dia dengan Bapa (archetype).

Relasi antar-Pribadi di dalam Allah Tritunggal adalah suatu relasi yang sempurna, di mana antar-Pribadi “saling mendiami” (perichoresis) satu di dalam yang lain. Antar-Pribadi Tritunggal tidak mengasihi satu sama lain sebagai bentuk balas budi (seperti transaksi pasar antara penjual dan pembeli atau utang piutang) tetapi mereka saling mengasihi karena setiap Pribadi ialah Kasih, sehingga Mereka melakukannya dengan penuh kebebasan, penuh sukacita, dan penuh kemuliaan. Maka mengasihi Tuhan dengan setia seharusnya bukanlah suatu beban yang berat, tetapi itu adalah suatu hal yang natural dan alami bagi kita karena bukanlah kita lagi yang hidup namun Kristus yang hidup di dalam kita.

Conclusion
Kesetiaan kepada Tuhan adalah harga mati, karena hidup Kristen bukanlah sebuah perlombaan lari cepat (sprint) tapi adalah sebuah maraton. Tuhan mengualifikasikan kita untuk berlari agar kita mencapai garis finis dan dipanggil sebagai hamba yang baik dan setia. Tuhan memanggil kita menjadi prajurit-Nya agar kita berperang melawan kelaliman hingga kemuliaan Tuhan memenuhi seluruh bumi. Hal satu-satunya yang akan menjaga konsistensi pelayanan kita adalah ketaatan dan ketaatan berdasarkan iman. Kedua hal ini berhubungan di dalam komuni yang intim dengan Kristus di dalam Roh Kudus.

Nathanael Sitorus
Pemuda GRII Melbourne

Referensi:
1. Devoted to God: Blueprints for Sanctification, Sinclair Ferguson.
2. Biblical Theology: Old and New Testament, Geerhardus Vos.
3. The Gospel According to John (Pillar New Testament Commentary), D. A. Carson.
4. Paul: An Outline of His Theology, Herman Ridderbos.